Minggu, 21 Oktober 2018

A181710077 -PENDIDIKAN YANG TIDAK MERATA

Pendidikan di Indonesia untuk saat ini bisa di katakan tidak seimbang kualitasnya masih rendah dan masih sangat jauh dengan apa yang di harapkan bangsa .begitu banyak tempat sekolah yang di bangun dan sudah begitu banyak lulusan yang telah di cetak oleh berbagai sekolah baik dari sekolah Negri maupun swasta ,tapi hasilnya masih belum maksimal .banyak siswa yang telah lulus hanya di bekali dengan nilai nilai dari mata pelajaran dan ijazah yang itu bukan suatu jaminan bagi mereka untuk bisa bersaing meneruskan ke jenjang pendidikan uang lebih tinggi dan untuk bisa sukses dalam meniti kehidupan yang lebih baik dari segi materi maupun derajat kemuliaan hidup.faktor yang menyebabkan para peserta didik yang telah lulus kesulitan dala mencipta taman hal inovatif dan produktif sesudah mereka lulus dan Faktor peserta dodol yang telah lulus kesulitan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi yakni kuliah . Lemahnya sistem pendidikan dan kurikulum yang di anut dan di terapkan di sekolah sekolah formal .sistem pendidikan yang tidak sesuai dengan pendidikan yang ideal tentu akan sangat berpengaruh pada potensi peserta didik apalagi pendidikan kini berpusat dan di kendalikan oleh Pemerintah , tentu itu akan mengalami suatu ketimpangan di setiap pendidikan karena Pemerintah todak pernah tahu apa yang di butuhkan oleh peserta didik di setiap daerah di Indonesia karena pada dasarnya setiap orang yang memiliki potensi yang berbeda beda dan kurikulum yang di terapkan di sekolah-sekolah belum tentu sesuai dengan kebutuhan oleh peserta didik di Indonesia . Di tambah lagi cara mengajar yang menganggap peserta didik sebagai objek yang selalu di cekoki dengan materi materi yang tidak mendukung potensi para peserta didik sehingga sistem pendidikan di sekolah cenderung memaksa peserta didik untuk mengikuti apa yang dinginnya oleh sekolah bukan apa yang diinginkan oleh peserta didik dan menyebab peserta didik kesulitan untuk menemukan jati diri mereka karena kurangnya perhatian peran pengajar untuk memimbing , memfasilitasi dan mengetahui setiap potensi dari peserta didiknya. sistem pendidikan yang di terapkan cenderung hanya pada nilai atau ijazah saja tentu akan menjadikan para siswa menjadi manusia robot karena hasil dari sistem seperti ini akan menghilangkan potensi  . Karena setelah lulus para siswa hanya di bekali dengan nilai dan ijazah yang tidak memberikan jaminan yang jelas bagi kehidupan dan masa depan .lemahnya perhatian dan kesadaran Pemerintah akan pentingnya pemerataan pendidikan serta semakin mahal biaya pendidikan di berbagai sekolah sehingga mengaibatkan banyak siswa siswi yang mogok melanjutkan pendidikannya. Seperti kita ketahui di perguruan tingggi maupun pada level SD ,SMP,SMA , beserta jajaran mengalami kenaikan biaya yang melambung tinggi dan semangkin berkelas , seperti hal nya ada SD biasa dan ada juga SD favorit dan SD unggulan begitu juga hal nya dengan pendidik menengah dan pendidikan menengah ke atas .hal seperti ini yang menyebabkan pendidikan yang ada di Indonesia semngkin tidak adil karena masih jauh dengan dari prinsip sama rata dengan rasa mengenyangkan pendidikan . Mahalnya biaya pendidikan juga berimbas pada rakyat miskin jelas mereka tidak mampu untuk membiayai anak nya untu bisa duduk di bangku sekolah formal .padahal semangat belajar nya tidak jauh beda dengan orang kaya . Hanya saja rakyat miskin tidak mampu untuk membayar biaya sekolah . Padahal sah satu fungsi dan peran Pemerintah dan negara ialah untuk memberikan pendidikan bagi rakyat secara merata dan menyeluruh tanpa ada pilih kasih dan diskriminasi terhadap pendidikan . Akibat dri pendidikan yg tidak merata berimbas ke pengaruh krisisnya lowongan pekerjaan.terlebih  semakin maju perkembangan. Spesifikasi syarat lapangan pekerjaan semakin tinggi.Siswa disini merupakan salah satu unsur penting dalam pendidikan. Sebagai unsur penting, siswa harus terlibat baik secara langsung maupun secara tidak langsung dalam sistem pendidikan itu sendiri. Hal itu sebenarnya menjadi cita-cita dari penyelenggaraan kurikulum nasional kita yang 'digadang-gadang' dapat mengubah dan mereformasi sistem pendidikan di Indonesia, kurikulum 2013 atau K-13.  Ya, memang ada beberapa komponen yang direformasi dan disesuaikan dengan kebutuhan unsur-unsur penting yang sudah disebutkan tadi, namun ada ketidakadilan dalam penyelenggaraan k-13 ini, terutama dari kalangan siswa.
Dalam kurikulum 2013, sistem pengajaran lebih mengarah pada tematik terintegrasi, dimana para siswa dapat mengeksplorasi secara mandiri materi-materi yang diberikan, sedang guru sebagai fasilitator. Namun, banyak yang ditemukan kurang sesuai dengan kenyataan, seperti yang terjadi di sekolah saya sendiri. Di sini, penerapan k-13 terasa kurang adil, karena banyak murid dengan kecerdasan dan kemampuan mengeksplorasi yang dibawah rata-rata merasa terpinggirkan dengan materi yang diberikan. Materi yang diberikan sedikit banyak kurang sesuai dengan kebutuhan para siswa. Akibatnya, banyak murid (yang 'cerdas' sekalipun) akan merasa tertekan, terutama jika kurang dapat mengeksplorasi subjek-subjek yang tidak ia sukai, dan akibatnya siswa cerdas sekalipun dapat menjadi bulan-bulanan tenaga pendidik, seperti yang dialami di sekolah saya saat ini.
Jika guru hanya membuat murid menjadi tertekan dengan membayangkan murid-murid mereka sebagai buruh pencari nilai, dimana letak integrasi dan keadilan yang (seharusnya) lebih dahulu diajarkan kepada para siswa sebagai bentuk budi pekerti pendidikan? Ini juga saya alami di sekolah saya yang 'digadang' sebagai pelopor pendidikan di tempat tinggal saya tetapi kurang dalam mengajarkan integrasi, budi pekerti, dan sering hanya menganggap para murid sebagai 'makhluk serba bisa' yang sanggup melakukan segala sesuatu untuk mengejar nilai itu sendiri. Sistem pendidikan yang kami terima saat ini terlalu menitikberatkan kepada NILAI dan NAMA daripada mempelajari KEHIDUPAN.
Padahal seperti yang diketahui, setelah meninggalkan sekolah ini, kita harus berhadapan langsung dengan kerasnya kehidupan, yang sejatinya tidak bisa diukur dengan NILAI sekalipun. Banyak guru yang menganggap para muridnya hanya memiliki 1 kegiatan tiap 24 jam dalam hidupnya, yaitu MENGERJAKAN TUGAS. ya, tugas memang penting kalau kita ingin mencari nilai. Tetapi untuk mempelajari kehidupan, bukan nilai yang kita perlukan. Sistem pengajaran yang berkiblat pada nailai dan nama turut mempengaruhi pendapat para orang tua dalam memantau pendidikan buah hatinya. Para orang tua menilai nilai merupakan salah satu hal paling penting yang mungkin mereka anggap lebih penting dari makanan, dan menuntut anak-anaknya mengejar hal yang sebenarnya hampa tersebut, ya, hampa dalam kehidupan, tetapi maknanya melebihi kitab suci bagi banyak guru. Jika hal seperti ini terus terjadi, maka sistem pendidikan kita berbentuk seperti rantai makanan, memakan dan dimakan. siswa yang lebih cerdas tanpa ampun dapat 'menghabisi' rekannya yang dalam hal nilai mungkin saja hanya kurang 0.05 angka. Jadi, dimanakah letak keadilan itu?
Jika hal ini, terus terjadi, siswa yang kurang cerdas dapat sesegera mungkin terlempar dari persaingan dan bisa saja mereka tidak bisa melanjutkan persaingan mereka karena sistem ini. Di sisi lain, siswa yang merupakan siswa paling cerdas dapat dianggap sebagai konsumen puncak yang tidak memiliki musuh dan kompetisi yang tidak adil ini usai sudah. Guru yang menganggap nilai adalah segala-galanya biasanya tidak tahan terhadap kritikan dan biasanya jika mereka sudah dikritik, senjata utama mereka akan keluar, yaitu omong besar mereka, dengan berkata begini "Salah sendiri kamu masuk persaingan yang salah" atau "Kalau begitu, mengapa kamu masuk ke kelas A atau kelas B? padahal kamu pantasnya masuk kelas C?" padahal, persaingan yang salah seringkali diciptakan oleh para guru sendiri.
Ada solusi, yaitu dengan mengelompokkan siswa berdasarkan minat dan bakatnya, namun saya rasa, sekolah subjektif dalam melakukan ini. mereka lupa akan keinginan para siswa dan lebih mementingkan nilai dan persaingan tadi. Peminatan yang saya lihat di sekolah saya dapat menjadi cerminan, jika pada peminatan ilmu alam, banyak guru yang berkesan muridnya untuk belajar ilmu sosial padahal ilmu sosial itulah yang membuat para murid dapat bertahan hidup. Mungkin, ilmu alam dapat membantu para murid mencari pekerjaan yang baik, namun apakah kehidupan hanya terbatas pada pekerjaan saja? Sementara di sisi lain ilmu sosial dapat membantu mereka bertahan hidup di tengah kerasnya kehidupan abad ini?
Menurut saya, bagaimana jika murid terlibat langsung dalam permainan minat dan bakat? Dengan cara murid memilih subjek yang disukai, sehingga murid tidak lantas salah memilih hingga kemudian tertekan akibat pilihannya yang salah. Jadi peminatan yang diambil sudah bukan lagi IPA, IPS atau Bahasa, namun sudah kepada per satuan subjek itu sendiri. mungkin murid A mengambil mata pelajaran Bahasa Indonesia, Agama, Bahasa Inggris, Sosiologi, fisika, dan biologi, sementara muri B memilih Bahasa Asing, Matematika, Geografi, Sejarah, dan Kimia, dan sebagainya. Namun yang perlu digarisbawahi adalah penanaman norma dan budi pekerti serta bahasa nasional wajib dilakukan, sehingga pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Agama dan PPkn wajib diadakan.
Satu lagi, yaitu transparansi penilain terhadap para murid, dan bukan penekanan pada nilai, tetapi sudah terintegrasi pada kehidupan sehari-hari dan tentu saja harus disesuaikan pada murid itu sendiri. Hal ini menuntut para guru untuk membersihkan dalam jiwa mereka subjektivitas masing-masing dan lebih meningkatkan keadilan terhadap para muridnya.Hal ini menunjukkan bahwa, peranan sarana dan prasarana sangat penting dalam menunjang kualitas belajar siswa.

Akan tetapi kenyataanya sampai saat ini terjadi perbedaan yang sangat signifikan antara sekolah yang berada di kota dengan di daerah pedalaman. Sekolah di kota sudah memiliki fasilitas laboratorium komputer, maka anak didiknya secara langsung dapat belajar komputer. Sedangkan sekolah di desa tidak memiliki fasilitas itu dan tidak tahu bagaimana cara menggunakan komputer, kecuali mereka mengambil kursus di luar sekolah.

Perbedaan lainnya, sekolah di kota ada ruang multimedia yang dilengkapi WiFi, pustaka digital, ruang laboratorium musik, dan sebagainya. Sedangkan sekolah di pelosok hanya memakai sarana yang jauh ketinggalan, yaitu sarana alam. Banyak gedung sekolah yang berada di pedalaman masih belum diperbaiki oleh pihak pemerintah, tetapi gedung sekolah di perkotaan terus mengalami perbaikan. Hal ini penulis saksikan langsung saat melakukan penelitian terhadap beberapa sekolah yang berada di daerah pedalaman. Miris sekali memang dengan situasi seperti ini.Hal ini menunjukkan bahwa, peranan sarana dan prasarana sangat penting dalam menunjang kualitas belajar siswa.

Akan tetapi kenyataanya sampai saat ini terjadi perbedaan yang sangat signifikan antara sekolah yang berada di kota dengan di daerah pedalaman. Sekolah di kota sudah memiliki fasilitas laboratorium komputer, maka anak didiknya secara langsung dapat belajar komputer. Sedangkan sekolah di desa tidak memiliki fasilitas itu dan tidak tahu bagaimana cara menggunakan komputer, kecuali mereka mengambil kursus di luar sekolah.

Perbedaan lainnya, sekolah di kota ada ruang multimedia yang dilengkapi WiFi, pustaka digital, ruang laboratorium musik, dan sebagainya. Sedangkan sekolah di pelosok hanya memakai sarana yang jauh ketinggalan, yaitu sarana alam. Banyak gedung sekolah yang berada di pedalaman masih belum diperbaiki oleh pihak pemerintah, tetapi gedung sekolah di perkotaan terus mengalami perbaikan. Hal ini penulis saksikan langsung saat melakukan penelitian terhadap beberapa sekolah yang berada di daerah pedalaman. Miris sekali memang dengan situasi seperti ini Dan pemerintah kini harus lebih memperhatikan dalam keadaan pendidikan ini agar dapat lebih meningkatkn kualitas pendidikan di indonesia .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar