Artikel-
Latar historis mengenai upacara adat Ulur-ulur Konon cerita telaga Buret ada penunggu atau penguasa yang bernama Mbah Jigang Joyo yaitu salah satu rombongan penunggang kuda yang beristirahat di sebuah hutan yang akhirnya untuk mengobati kehausan menggali tanah hingga mengeluarkan sumber air yang besar sampai menjadi sebuah telaga. Tepat bulan Sela hari Jumat Legi rombongan jigang Joyo meninggalkan tempat dan berpesan kepada warga yang memanfaatkan air telaga bahwasannya harus menjaga dan mengrim sesajian. Masyarakat masih percaya apabila tidak dilaksanakan akan mendapat kutukan. Warga yang memanfaatkan air dari telaga yaitu Desa Sawo, Desa Gedangan, Desa Ngentrong, Desa Gamping.
Keempat desa tersebut diari oleh air dari telaga yang memberikan manfaat besar bagi kehidupan. Setiap tahun pada bulan Sela hari Jumat Legi keempat desa melakukan upacara Ulur-ulur. Upacara tersebut menjadi sebuah kebiasaan secara turun-temurun yang bertujuan untuk memperingati para leluhur yang mendapatkan kemurahan Tuhan Yang Maha Esa berupa sumber mata air. Tujuan di adakannya upacara adat ulur-ulur tersebut untuk menghormati para leluhur.
Ritual ulur-ulur dimulai dengan tayuban(sejenis nyanyian-nyanyian tradisional). Tayuban di mulai dengan membunyika gending onang-onang, menurut kepercayaan masyarakat pada saat gending onang-onang di bunyikan yang menari saat itu adalah "roh" dari mbah Jigan Jaya, biasanya di barengi dengan angin bertiup kencang, selanjutnya di teruskan dengan gending-gending lainnya. Selanjutnya memandikan arca Dwi Sri Sedono dan tabur bunga di telaga buret dan menyediakan beberapa sesaji kemudian sesaji itu semuanya di larung di telaga Buret .
Nilai Pancasila yang Tercermin dalam Upacara Adat Ulur-ulur di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung Jawa Timur
1. Ketuhanan Yang Maha Esa Nilai religius semua masyarakat mengucapkan terima kasih kepada Tuhan YME atas rahmat yang diberikan berupa sumber mata air. Masyarakat empat desa masih memegang kepercayaan nenek moyang bahwa telaga itu ada penunggu atau penguasa yang konon merupakan seseorang yang membuat telaga. Doa-doa yang dipanjatkan dalam upacara Ulur-ulur ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan tidak mengandung simbol agama tertentu.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Masyarakat empat desa mengadakan upacara Ulur-ulur tidak membeda-bedakan suku, keturunan maupun agama. Semua warga yang mengikuti upacara mendapatkan perlakuan sama.Tidak hanya terfokus warga empat desa saja yang boleh datang dalam pelaksanaan Ulur-ulur. Jadi upacara Ulur-ulur masih menjujung tinggi kemanusiaan terbukti dengan memperlakukan manusia layaknya manusia tidak ada penindasan dan diperlakukan sama serta juga bekerjasama menghormati tamu dari paguyuban lain.
3. Persatuan Indonesia Warga desa yang mendapat pengairan dari telaga hidup secara rukun dan bersamasama menjaga telaga agar air dalam telaga tersebut tidak kering tetap terus mengeluarkan sumber air. Pemanfaatan air telaga untuk pengairan diberlakukan sistem bergantian apabila pada saat musim kemarau ataupun pada saat air dalam telaga kurang untuk pengairan langsung ke empat desa serta kepentingan pribadi. Oleh karena itu unsur persatuan sudah terdapat di dalam kehidupan masyarakat Indonesia bahkan sudah dilaksanakan oleh mereka. Memiliki rasa cinta tanah air dan bersatu menjaga telaga tidak berebut air apabila air dalam telaga tidak cukup untuk mengairi keempat desa.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan Dahulu cerita mengenai upacara Ulur-ulur pernah berhenti beberapa tahun kemudian oleh salah satu warga yang peduli terhadap budaya peninggalan nenek moyang yaitu bernama mbah Mangil (alm). Beliau mengajak pini sepuh untuk melestarikan kembali budaya nenek moyang. Akhirnya pada tahun 1996 terbentuklah sebuah paguyuban yang bernama Paguyuban Sendang Tirto Mulya. Tujuannya untuk melestarikan upacara adat Ulur-ulur dan menjaga kelestarian lingkungan yang ada disekitar telaga. Di Paguyuban Sendang Tirto Mulya pemilihan ketua juga dipilih anggota, kebijakan yang diambil dasarnya musyawarah. Dalam sila keempat ini, tercermin nilai yang mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat yang harus didahulukan. Jadi dalam upacara Ulur-ulur segala sesuatu dengan cara musyawarah untuk mengambil kebijakan.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia warga bergotong royong membersihkan lingkungan dan nglampet yaitu membuat DAM atau bendungan. Sedangkan sekarang dalam pelaksanaan upacara warga empat desa bergotong royong untuk mempersiapkan keperluan yang dibutuhkan dalam upacara. Pada saat upacara berlangsung para ibu-ibu keempat desa bersama-sama bergotong royong saling membantu mempersiapkan makanan yang dibuat dari rumah dibagikan secara adil tidak memilih-milih kepada seluruh masyarakat yang sudah datang ke upacara. Keadilan sosial ialah sifat masyarakat adil dan makmur berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penghisapan, bahagia material dan bahagia spiritual, lahir dan batin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar