Selasa, 11 April 2017

NAMA : SANTI WITRI NIM : 16PR11063

TEMA    : KEWARGANEGARAAN

TOPIK   : HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN

JUDUL   : POLITIK HUKUM KEWARGANEGARAAN                     INDONESIA DALAM MENJAMIN HAK                           KEWARGANEGARAAN PEREMPUAN

 

Abstrak

Politik Hukum kewarganeraan RI diarahkan untuk memberikan perlakuan yang setara/ sama pada

semua warga negara. Perlindungan terhadap hak kewarganegaraan perempuan dalam Undang

Undang Kewarganegaaran sudah disusun sedemikian rupa sehingga perempuan dapat menurunkan

status kewarganegaraan kepada anaknya. Namun demikian masih terdapat kelemahan dalam

pengaturan dan implementasi terhadap perlindungan hak kewarganegaraan perempuan

Pendahuluan

         Jimly menyatakan bahwa setiap warga Negara mempunyai hak hak yang wajib diakui (recognized), oleh negara dan wajib dihormati (respected), dilindungi (protected), dan difasilitasi (fasilitated), serta dipenuhi (fulfiled) oleh negara. Sebaliknya warga negara mempunyai kewajiban terhadap negara yang merupakan hak negara untuk diakui (recognized), dihormati (respected), dan ditaati (complied ) oleh warga negaranya.     

         Selanjutnya masalah hak hak dan perlindungan warga negara tersebut harus

diposisikan secara tepat dalam kerangka perlindungan HAM tanpa menggangu kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

         Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, pada

Pasal 26 dinyatakan bahwa, yang menjadi warga negara ialah orang orang bangsa Indonesia asli dan orang orang bangsa lain yang disahkan dengan undang undang. Kemudian bila dihubungkan dengan Pasal 27 UUD NRI Tahun 1945 maka segala

warga negara mempunyai kedudukan yang sama didalam hukum dan pemerintahan. Dari pernyataan ini maka dapat dikatakan bahwa politik hokum kewarganegaraan Republik Indonesia saat ini diarahkan untuk memberikan perlakuan yang setara/ sama pada semua warga negara Indonesia untuk mencapai tujuan NKRI seperti yang tercantum dalam Alinea lV Pembukaan UUD NRI 1945.3

          Undang Undang No 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI sebagai undang undang pelaksanaan Pasal 26 UUD NRI Tahun1945, menolak diskriminasi,4 baik diskriminasi berdasar etnis. yaitu dengan tidak digunakannya konsep warga negara asli tapi dengan digunakannya konsep Indonesia asli yang bukan berdasar

perbedaan ras, maupun diskriminasi gender dengan tidak menganut sistem kekerabatan patrilineal atau matrilineal akan tetapi digunakannya sistem

hubungan kekerabatan parental (ayah dan ibu) dianggap sama.5

           Berdasarkan uraian sebelumnya maka permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah, bagaimana politik hukum kewarganegaraan RI dalam mangakomodasikan hak kewarganegaraan perempuan.

 

PEMBAHASAN

1. Politik Hukum Kewarganegaraan RI

          Mengenai pengertian politik hukum hingga saat ini belum ada kesatuan pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan politik hukum, Namun demikian pengertian politik hukum yang dikemukakan oleh Moh. Mahfud. MD ini dapat dijadikan acuan dalam membahas politik hokum kewarganegaraan dalam konteks hak perempuan ini. Menurut Moh. Mahfud MD politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai

tujuan negara. Dengan demikian politik hokum merupakan pilihan tentang hukum yang akan diberlakukan sekaligus piiihan tentang hukum

hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.6

           Studi Politik hukum mencakup sekurang kurangnya 3 hal yaitu; Pertama, kebijakan Negara (garis resmi) tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan dalam rangka pencapaian tujuan negara. Kedua, Latar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya, atas lahirnya produk hukum, Ketiga, penegakan hukum dalam kenyataan dilapangan.7

           Berkaitan dengan hal itu yang dimaksud politik hukum kewarganegaraan dalam tulisan ini adalah kebijakan hukum tentang kewarganegaraan yang hendak dan telah dilaksanakan, yang mencakup kebijaksanaan negara tentang pembangunan hukum (yang meliputi pembuatan dan pembaharuan hukum ), pelaksanaan dan penegakan hukum untuk membangun NKRI yang bebas dari diskriminasi, melalui lembaga lembaga negara yang berwenang membuatnya, dan sesuai dengan nilai nilai dan aspirasi masyarakat.

 

2. Hak Kewarganegaraan Perempuan.

           Lahirnya UU No 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI dilatar belakangi pertamatama adanya perubahan UUD NRI Tahun 1945 yang memberi tempat yang luas bagi perlindungan HAM yang juga berakibat terjadinya perubahan pasal pasal mengenai hal hal y ang terkait kewarganegaraan dan hak haknya. 8

          Adapun pengaturan HAM dalam UUD NRI Tahun 1945 yang berkaitan dengan

kewarganegaraan adalah bahwa, setiap orang berhak atas status kewarganegaraan (Pasal 28 D ayat(4)), memilih kewarganegaraan. (Pasal 28 E ayat (1)). Perumusan HAM dalam UUD NRI Tahun 1945 yang berkaitan dengan kedudukan yang sama dalam hukum, serta hak untuk memperoleh perlindungan dan perlakuan yang diskriminatif dinyatakan dalam Pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Pada Pasal 28 I ayat (2) dinytakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang besrsifat disdkriminatif itu.

          Sementara itu menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal-pasal yang mengatur kewarganegaran dinyatakan bahwa setiap orang berhak memiliki, memperoleh, mengganti atau mempertahankan status kewarganegaraannya, setiap orang juga bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga Negara sesuai peraturan perundangundangan serta konvensi-konvensi HAM lainnya. Bahkan seorang wanita yang menikah dengan pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.

          Dalam perspektif Instrumen Internasional

tentang HAM, didalam Deklarasi Internasional

tentang Hak Hak asasi Manusia yang diadopsi

Majelis Umum PBB tanggal 10 Desember 1948

didalam Pasal 15 dinyatakan bahwa setiap orang

berhak atas kewarganegaraan, Tidak seorangpun

dengan semena mena dapat dikeluarkan dari

kewarganegaraanya atau ditolak hak nya untuk

mengganti kewarganegaraan.

           Berdasarkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita ( Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women ) yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengahapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan khususnya Pasal 9 menyatakan bahwa negara wajib memberi kepada wanita hak yang sama dengan pria untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraannya, negara wajib menjamin bahwa perkawinan dengan orang asing maupun perubahan kewarganegaraan oleh suami selama perkawinan tidak secara otomatis mengubah kewarganegaraan atau memaksakan kewarganegaraan suami kepadanya. Negara wajib memberi kepada wanita hak yang sama dengan pria berkenaan dengan kewarganegaraan anakanak mereka.

           Perkawinan campuran beda kewarganegaraan, sudah merupakan suatu hal yang umum terjadi di berbagai tempat di belahan bumi ini, termasuk di Indonesia. Perkawinan campuran, telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Hal ini tentu saja menjadi sangat menarik untuk dikaji, karena ada dua orang yang tunduk pada ketentuan hukum dua Negara yang berbeda, yang diikat dalam suatu ikatan perkawinan, sehingga menimbulkan persoalan mengenai status kewarganegaraan mereka terutama status kewarganegaraan perempuan dalam perkawinan campuran dan status kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

 

3. Politik Hukum Kewarganegaraan RI dalam

konteks Hak Kewarganegaraan Perempuan.

           Pada masa awal kemerdekaan Pasal 26 UUD NRI 1945, secara implisit Politik Hukum Kewarganegaraan diarahkan untuk memberikan perlakuan yang sama / setara kepada semua WNI9. Pasal ini kemudian dilaksanakan lebih lanjut dengan UU No 3 Tahun 1946 Tentang Warga Negara, Penduduk Negara, dalam menentukan kewarganegaraan seseorang menggunakan asas ius soli atau law of the soil yang menentukan kewarganegaraan seorang berdasarkan tempat kelahirannya.

           Namun demikian pada Pasal 1 UU No 3 Tahun 1946 huruf d menunjukan adanya pengunaan sistem hubungan kekerabatan yang patrilineal dalam menentukan kewarganegaraan anak yang terlihat dari pernyataan ...anak yang sah, disahkan atau diakui dengan cara yang sah oleh bapanya, yang pada waktu lahirnya bapanya mempunyai kewarganegaraan Indonesia.

          Dengan adanya ketentuan ini maka terjadi diskriminasi gender karena perempuan tidak dilihat sebagai subyek yang dapat menurunkan status kewarganegaraan kepada anaknya. Selain itu dalam Pasal 3 juga diatur bahwa kewarganegaraan anak yang belum dewasa mengikuti kewarganegaraan bapanya, karena didalam Pasal 2 dinyatakan bahwa kewarganegaraan isteri mengikuti kewarganegaraan suami.

          Pada masa berikutnya, di dalam Konstitusi RIS 1949 tidak ada secara eksplisit disebutkan tentang politik hukum kewarganegaraan, akan tetapi secara implisit dapat dikatakan bahwa politik hokum kewarganegaraan RIS adalah Politik Hukum

Kewarganegaraan yang diarahkan pada pemberian perlakuan yang setara kepada semua warga Negara RIS. Pada masa berlakunya Konstitusi RIS 1949.10

          Pada masa ini kewargaannegaraan diatur dalam Pasal 5 Konstitusi RIS 1949 yang menyebutkan bahwa kewarganegaraan akan diatur dengan undang undang. Sedangkan berdasarkan Pasal 194 Konstitusi RIS 1949 menentukan bahwa

sambil menunggu Undang Undang federal mengenai kewarganegaraan,yang diakui sebagai warga negara RIS adalah mereka yang berdasar Piagam Persetujuan Pembagian Warga Negara11 telah menjadi Warga Negara RIS.

         Pada masa ini terjadi ketidakpastian hokum tentang status kewarganegaraan Indonesia terutama bagi warga negara Indonesia yang berasal dari Golongan Eropa dan Timur Asing, karena mereka telah memperoleh kewarganegaraan

Indonesia berdasarkan UU N0 3 Tahun 1946 dengan stelsel pasif, yaitu karena mereka tidak menggunakan hak repudiasinya maka mereka menjadi Warga Negara Indonesia, sedangkan dengan terjadi penyerahan kedaulatan mereka harus melakukan tindakan yuridis tertentu untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia.12

          Pada masa berlakunya UUDS 1950 secara implisit Politik Hukum Kewarganegaraan Ri dapat ditemukan pada Pasal 7 ayat (2) UUDS 1950 yang menyatakan bahwa sekalian orang berhak menuntut perlakuan dan perlindungan yang sama pleh Undang undang, yang dapat disimpulkan bahwa secara implisit terkandung hak setiap warga negara atas perlakuan yang sama dihadapan hukum, dan secara a contrario negara berkewajiban memenuhi hal tersebut.

          Dengan demikian secara implisit Politik Hukum Kewarganegaraan RI menurut UUDS 1950 diarahkan pada pemberian perlakuan yang sama/setara kepada semua WNI atau politik Hukum Kesetaraan.13 Kewarganegaraan diatur di dalam Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan bahwa mengenai warga negara akan diatur lebih lanjut dalam Undang undang, Undang undang untuk melaksanakan Pasal 5 ayat (1) ini adalah baru ada pada tahun yaitu dengan diundangkannya UU No 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan RI. Undang undang ini menitik beratkan pada penggunaan asas ius Sanguinis  untuk menentukan siapa warganegaranya hal ini nampak pada perumusan Pasal 1, namun demikian undang undang ini juga menggunakan asas ius soli sebagai perkecualian, hal ini dimaksudkan untuk mencegah aptride.

           Dalam hal terjadi perkawinan maka undang undang ini menggunakan asas kesatuan hukum. Hal ini terlihat dari Pasal 5 tentang pewarganegaraan

Pasal 9 dan Pasal 10 tentang cara memperoleh kewarganegaraan RI sebagai akibat perkawinan. Pada prinsipnya yang menentukan kesatuan kewarganegaraan dalam keluarga adalah pihak suami.14 Penentuan kewarganegaraan oleh perempuan/istri baru terjadi apabila tidak ada hubungan hukum kekeluargaan antara anak dan ayah atau ayahnya berstatus apatride atau tidak diketahui kewarganegaraanya. Hal ini menunjukan adanya dikriminasi gender dalam pengaturan kewarganegaraan, karena perempuan tidak mempunyai hak untuk menurunkan status kewarganegaraanya kepada anaknya.

           Di sisi yang lain undang undang ini menggunakan asas persamaan derajad untuk mencegah status apatride dari seorang perempuan WNI yang menikah dengan pria warganegara asing, karena perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki laki Warga Negara Asing tetap dapat memiliki kewarganegaraan Indonesia kecuali kalau ia melepaskannya sendiri.

           Dengan demikian maka menurut Undang Undang 62 Tahun 1958, asas ius sanguinis yang dianut adalah dari garis suami/ ayah yang diutamakan, karena kewarganegaraan anak mengikuti kewarganegaraan ayah. Oleh karena itu bila terjadi perkawinan campuran antara perempuan Warga Negara Indonesia dengan Laki laki Warga

Negara Asing maka anak akan berkewarganegaraan Asing, mengikuti kewarganegraan ayah. Hal ini sangat menyulitkan perempuan WNI tersebut apalagi kalau kemudian terjadi perceraian. Bahwa Undang-Undang no. 62 Tahun 1958 menganut ius sanguinis dari garis ayah. hal ini terlihat dari Pasal 1 mengenai WNI utamanya pada huruf b,c,d,e, dan Pasal 13.

           Pada masa reformasi sampai dengan tahun 2004 politik hokum kewarganegaraan RI masih mengacu pada politik hukum yang diamanahkan dalam UUD NRI 1945, dengan Undang Undang No 62 Tahun 1958 sebagai undang undang pelaksananya. Namun demikian setelah amandemen UUD NRI 1945 yang mulai berlaku pada tahun 2004 maka politik hokum kewarganegaraan dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 26 (1) dan Pasal 27 (1) UUD NRI Tahun 1945 dari Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa secara implisit Politik Hukum Kewarganegaraan RI

diarahkan untuk memberikan perlakuan yang sama /setara pada semua WNI tanpa melihat jenis kelamin dan gender untuk mencapai tujuan NKRI seperti tercantum dalam Alinea IV Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 atau Politik Hukum kesetaraan.15

          Selanjutnya baru pada tahun 2006 untuk melaksanakan ketentuan tersebut daitur lebih lanjut dalam UU No 12 Tahun 2006, dalam penjelasan Undang Undang No 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI yang disusun berdasarkan Pasal 26 UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu negara. Status kewarganegaraan menimbulkan hubungan timbale balik antara negara dan warganegaranya. Setiap warganegara mempunyai hak dan kewajiban terhadap negaranya. Sebaliknya Negara mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap warganegaranya. Disamping itu salah satu

asas dari 8 (delapan) asas yang menjadi dasar penyusunan undang undang ini adalah asas non diskriminatif, yaitu suatu asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama , golongan, jenis kelamin dan gender.

           Di dalam Undang undang ini sudah ada upaya untuk menghapus diskriminasi gender yang selama ini terjadi karena adanya pengaturan di dalam Undang Undang No 62 Tahun 1958. Hal ini dapat dilihat dalam pengaturan pasal pasal yang menunjukan digunakannya asas ius sanguinis tidak hanya dari garis laki laki, ayah atau suami saja

tetapi juga perempuan, ibu atau isteri.

           Undang Undang No 12 Tahun 2006 menerapkan asas ius sanguinis baik untuk garis laki laki maupun perempuan sehingga apabila perempuan WNI menikah secara sah dengan laki laki WNA maka anaknya dapat memperoleh dwi kewarganegaraan sesuai kewarganegaraan ayah dan ibunya. Baru setelah anak berusia 18 tahun, ia diwajibkan memilih salah satu kewarganegaraan tersebut. Hal ini merupakan satu keberhasilan bagi perlindungan terhadap perempuan dan anak sekaligus merupakan upaya penghapusan diskriminasi gender dalam pengaturan kewarganegaraan karena undang undang ini telah memberikan hak yang sama bagi laki laki dan perempuan untuk menentukan status kewarganegaraan anak. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) CEDAW yang menyatakan bahwa negara negara peserta wajib memberi kepada wanita hak yang sama dengan pria berkenaan dengan kewarganegaraan anak anak mereka. Sekaligus juga merupakan penerapan asas Equality Before The Law atau asas Persamaan di dalam hukum dan pemerintahan seperti salah satu asas yang dijadikan dasar penyusunan Undang undang ini. Selain itu juga merupakan penerapan asas non diskriminatif yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender.

           Berdasar Pasal 41 Undang Undang No. 12 Tahun 2006, anak yang lahir sebelum undang undang ini diundangkan dapat memperoleh kewarganegraan RI dengan cara mendaftarkan diri untuk memperoleh kewarganegaraan RI, hal ini berarti hanya anak dari perkawinan campuran dengan ibu WNI lah yang harus mendaftar dengan membayar sejumlah uang yang telah ditentukan, karena, anak hasil perkawinan campuran dengan ayah WNI, berdasarkan undang kewarganegaraan yang lama sudah memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Hal ini merupakan bentuk diskriminasi baru, karena di dalam pelaksanaan pencataan administrasi kependudukan yang didasarkan pada Undang Undang No 23 Tahun 2006 walaupun undang undang ini sudah mengacu pada UU No 12 Tahun 2006 tetapi dalam pelaksanaanya kalau ayahnya WNI maka anak secara otomatis adalah WNI. Jika ibunya yang WNI maka anak yang akan menjadi WNI harus membayar pengurusan pendaftaran kewarganegaraan anak. Padahal ketika pembahasan Rancangan Undang Undang No 12 Tahun 2006 tersebut harga yang harus dibayar hanyalah biaya administrasi yang sebenarnya tidak

boleh melebihi biaya pembuatan surat surat kependudukan, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP).16 Sedangkan terhadap Pasal 9 ayat (1) CEDAW yang menyatakan bahwa pernikahan dengan warga negara asing tidak secara otomatis mengubah kewarganegaraan isteri, Undang Undang No 12 Tahun 2006 masih mengimplementasikan secara ragu ragu ke dalam Pasal 26 ayat (1). Perancang Undang undang ini nampak masih kurang memiliki kepercayaan diri bahwa Hukum Internasional sudah menjamin kewarganegaraan perempuan yang sudah menikah.17

 

KESIMPULAN

           Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut : ada kesamaan antara politik hukum kewarganegaraan berdasarkan UUD NRI 1945, Konsitusi RIS 1949, UUDS Tahun1950, dan UUD NRI tahun 1945 dalam menempatkan hak kewarganegaraan perempuan, karena politik hokum yang dianut dalam UUD NRI 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 dan UUD NRI Tahun 1945 yaitu prinsip kesetaraan.

           Kesamaan selanjutnya adalah adanya ketidak sinkronan antara politik hukum dengan produk hukum yang ditetapkan yang berupa Undang Undang yang mengatur kewarganegaraan, baik itu Undang-Undang No 3 Tahun 1946 berdasarkan UUD NRI 1945, Undang-Undang No 62 Tahun 1958 berdasarkan UUDS 1950.

           Pada Undang-Undang No 12 Tahun 2006 yang disusun berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, yang dimaksudkan untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan dalam pengaturan kewarganegaraan masih terdapat nuansa diskriminatif yaitu terhadap status kewarganegaraan perempuan dalam perkawinan campuran.