Kamis, 31 Mei 2018

(Fekon08-171310560)

Pemilihan Umum Di Indonesia

Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amendemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat dan dari rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rangkaian pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Pada umumnya, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilihan anggota legislatif dan presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Pemilu harus dilakukan secara berkala, karena memiliki fungsi sebagai sarana pengawasan bagi rakyat terhadap wakilnya.
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "LUBER" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asas "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru.
"Langsung" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan.
"Umum" berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara.
"Bebas" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
"Rahasia" berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas "jujur" mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas "adil" adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia
Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 9 Partai politik dan 1 organisasi masyarakat.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya
Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya
Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.
Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.
Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.
Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah.
Pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2009 (biasa disingkat Pemilu Legislatif 2009 atau Pileg 2009) diselenggarakan untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsimaupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014. Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak di hampir seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 9 April 2009(sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 5 April, namun kemudian diundur[1]).
38 partai memenuhi kriteria untuk ikut serta dalam pemilu 2009. Partai Demokrat memenangkan suara terbanyak, diikuti dengan Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2014 (biasa disingkat Pemilu Legislatif 2014) diselenggarakan pada 9 April 2014 untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsimaupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2014-2019.
Pemilihan ini dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 serentak di seluruh wilayah Indonesia. Namun untuk warga negara Indonesia di luar negeri, hari pemilihan ditetapkan oleh panitia pemilihan setempat di masing-masing negara domisili pemilih sebelum tanggal 9 April 2014. Pemilihan di luar negeri hanya terbatas untuk anggota DPR di daerah pemilihan DKI Jakarta II, dan tidak ada pemilihan anggota perwakilan daerah.
Presiden petahana Susilo Bambang Yudhoyono tidak dapat maju kembali dalam pemilihan ini karena dicegah oleh undang-undang yang melarang periode ketiga untuk seorang presiden. Menurut UU Pemilu 2008, hanya partai yang menguasai lebih dari 20% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat atau memenangi 25% suara populer dapat mengajukan kandidatnya. Undang-undang ini sempat digugat di Mahkamah Konstitusi, namun pada bulan Januari 2014, Mahkamah memutuskan undang-undang tersebut tetap berlaku.Pemilihan umum ini akhirnya dimenangi oleh pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan memperoleh suara sebesar 53,15%, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang memperoleh suara sebesar 46,85% sesuai dengan keputusan KPU RI pada 22 Juli 2014. Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014, menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono.
Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 50% jumlah provinsi di Indonesia. Dalam hal tidak ada pasangan calon yang perolehan suaranya memenuhi persyaratan tersebut, 2 pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali dalam pemilihan umum (putaran kedua). Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat dalam pemilihan umum. Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 3 pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang. Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang sama diperoleh oleh lebih dari 1 pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.
Pemilihan umum ini diikuti oleh dua pasang calon Presiden dan Wakil Presiden yaitu Prabowo Subianto, mantan Panglima Kostrad yang berpasangan dengan Hatta Rajasa, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian 2009-2014, serta Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2004-2009. Pada tanggal 31 Mei 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 2 pasang calon Presiden dan Wakil Presiden, serta melakukan pengundian nomor urut pada 1 Juni 2014. Berikut adalah kandidat resmi beserta nomor urutnya yang telah ditetapkan KPU.
Sebelum pemilihan umum legislatif tanggal 9 April 2014, tokoh-tokoh berikut telah terlebih dahulu menyatakan pencalonan diri sebagai calon Presiden. Setelah pemilihan umum legislatif selesai digelar, mereka mengurungkan niat setelah partainya gagal mencapai batas suara/kursi yang diperlukan agar bisa mencalonkan seorang Presiden. Beberapa di antaranya akhirnya memutuskan untuk mendukung salah satu pasangan calon resmi yang ditetapkan KPU.
Pada tanggal 23 Januari 2014, Yusril Ihza Mahendra dan Effendi Ghazali melakukan gugatan atas peraturan pengajuan calon presiden dan syarat penetapan calon presiden ke Mahkamah Konstitusi. Awalnya calon presiden diajukan oleh partai atau gabungan partai yang memenuhi syarat suara setelah pelaksanaan Pemilu legislatif. Menurut Yusril, seharusnya pengajuan ini tidak disertai ambang batas presiden (presidential threshold). Namun MK menolak sebagian gugatan, dan mengabulkan sebagian tuntutan dengan melaksanakan Pilpres dan Pileg serentak mulai 2019.
Rapimnas (Rapat Pimpinan Nasional) Golkar pada tanggal 18 Mei 2014 memutuskan untuk mengusung Aburizal Bakrie sebagai Calon Presiden ataupun Calon Wakil Presiden serta memberikan kewenangan kepada Aburizal Bakrie untuk menentukan arah kebijakan politik dan koalisi.[26] Golkar sebagai parpol yang menempati tempat kedua dalam Pileg 2014 (setelah PDIP) dengan perolehan 91 kursi (14,75%), di prediksi akan membangun poros tengah bersama partai Demokrat untuk mengimbangi kekuatan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta,[27] namun kenyataannya, ketua umum Golkar Aburizal Bakrie lebih memilih bergabung dengan koalisi Prabowo-Hatta dengan meminta jatah "Menteri Senior" sehingga bertentangan dengan hasil Rapat Pimpinan Nasional Golkar 2014. 
Keputusan Aburizal Bakrie untuk bergabung dengan Prabowo-Hatta membuat kecewa banyak kader Golkar di daerah, yang beranggapan bahwa sebagai salah satu partai pemenang Pemilu seharusnya Golkar mengajukan calon Presiden ataupun calon Wakil Presiden, namun malah tidak menjadi apa-apa. Keputusan itu juga menghancurkan impian akan terbentuknya "Poros Tengah" dan meninggalkan Partai Demokrat sebagai partai terakhir yang masih belum menentukan arah pilihan koalisi. Pada tanggal 30 Juni 2014, melalui ketua harian Partai Demokrat Syarief Hasan menyatakan siap mendukung dan memenangkan Prabowo-Hatta. 
Muhammad Jusuf Kalla yang notabene adalah kader senior dari partai Golkar dicalonkan sebagai Wakil Presiden mendampingi Joko Widodo terbukti mempengaruhi solidaritas di internal "Partai Beringin" ini. Jusuf Kalla yang mempunyai segudang pengalaman di pemerintahan mulai dari jabatan menteri hingga Wakil Presiden, mempunyai pengaruh besar terhadap simpatisan dan kader Golkar di tingkat provinsi dan daerah. Walaupun elit Golkar menyatakan dukungan resmi dan terbuka terhadap kubu Prabowo-Hatta, kenyataan berkata lain karena kader Golkar di daerah banyak yang memilih Jokowi-JK sebagai pilihan Presiden. Kuatnya sosok Jusuf Kalla karena ia sangat dihormati dan disegani di intenal partai Golkar.
Aburizal Bakrie yang memutuskan untuk bergabung dengan Prabowo-Hatta melihat Jusuf Kalla sebagai ancaman akan ketidak kompakan dan krisis solidaritas di internal partai Golkar. Konflik muncul bermula saat ia memecat 3 kader golkar yang tidak mendukung Prabowo-Hatta, mereka adalah anggota DPR dari Partai Golkar, Ketua DPP Golkar Agus Gumiwang Kartasasmita, Wakil Bendahara DPP Golkar Nusron Wahid, serta Poempida Hidayatulloh Pemecatan terhadap 3 kader muda Golkar itu merupakan awal benih perpecahan di internal partai beringin yang berakumulasi menjadi rencana pemecatan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum Golkar. Banyak internal kader Golkar yang menilai pemecatan terhadap 3 kader golkar tersebut tidak sesuai dengan AD/ART dan prosedur partai.
Sosok Aburizal Bakrie yang fenomenal dengan kasus "luapan Lumpur Lapindo" di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur merupakan beban yang harus di tanggung oleh Koalisi Merah Putih. Saat Aburizal Bakrie bergabung dalam kubu Prabowo-Hatta, masyarakat Jawa Timur enggan memberikan dukungannya kepada pasangan tersebut.[30] Berdasarkan data pemilihan legislatif 2014, kubu Prabowo Hatta diramalkan unggul di Jawa Timur dengan total 46 kursi parlemen (PKS 2 kursi; Golkar 11; Gerindra 11 kursi; Demokrat 11 kursi; PAN 7 kursi; PPP 4 kursi) dan kubu Jokowi-JK hanya 41 kursi parlemen (Nasdem 7 kursi; PKB 15 kursi; PDI Perjuangan 17 kursi; Hanura 2 kursi).[31] Berdasarkan data resmi KPU, Pasangan Jokowi-JK menang di Jawa Timur dengan perolehan 53.17%.
Partai Persatuan Pembangunan
Sebelum Koalisi Merah Putih terbentuk, Partai Persatuan Pembangunan mempunyai masalah dalam hal krisis kepemimpinan di dalam internal partai berlambang Kabah tersebut. Polemik di dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berawal dari kedatangan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali dalam kampanye akbar Partai Gerindra di Gelora Bung Karno, Senayan pada tanggal 23 Maret 2014. Kehadiran Suryadharma Ali untuk mendukung Prabowo adalah keputusan sepihak tanpa melalui prosedur parpol, sehingga menimbulkan polemik di lapisan bawah kader PPP di mana Prabowo tidak masuk dalam satu di antara delapan bakal capres yang ditetapkan dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) II PPP di Bandung. 
Atas sikap tersebut, sebanyak 27 dewan pimpinan wilayah (DPW) PPP mendesak agar Suryadharma segera dijatuhi sanksi, mulai dari pemberhentian sementara hingga pemecatan. Pengurus wilayah PPP protes lantaran sikap Suryadharma itu dianggap melecehkan usaha yang tengah dibangun kader di akar rumput di mana saat para kader PPP berjuang untuk memenangkan PPP, Suryadharma justru membelot ke partai lain. Atas desakan tersebut, Suryadharma memecat Waketum PPP dan empat Ketua DPW, yaitu Suharso Monoarfa dari jabatan Wakil Ketua Umum PPP, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PPP Jawa Barat Rachmat Yasin, Ketua DPW Jawa Timur Musyaffa Noer, Ketua DPW Sumatera Utara Fadli Nursal, Ketua DPW Sulawesi Selatan Amir Uskara, dan Sekretaris DPW Kalimantan Tengah Awaludin Noor. 
Setelah pemecatan dilontarkan oleh Suryadharma Ali, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terbagi menjadi dua kubu yakni kubu yang mendukung keputusan Suryadharma Ali untuk menjalin koalisi dengan Prabowo dan kubu yang menentang. Internal PPP menganggap bahwa Suryadharma Ali telah bertindak otoriter dengan memecat kader tanpa prosedur yang jelas dan membuat arah koalisi tanpa melalui proses rapimnas. Wakil Ketua Umum PPP Emron Pangkapi menjelaskan PPP merupakan sebuah partai yang memiliki aturan dan konstitusinya sendiri. Menurutnya, tidak ada seorang pun di dalam partai yang bisa menempatkan dirinya di atas aturan dan konstitusi tersebut. 
Rapat Pimpinan Nasional (rapimnas) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berakhir Minggu pada tanggal 20 April 2014 dini hari memutuskan untuk memberhentikan sementara Suryadharma Ali dari jabatannya sebagai Ketua Umum DPP PPP. Alasan pemberhentian Suryadharma karena dia tidak bersedia menghadiri Rapimnas. 
Pada tanggal 24 April 2014, Partai Persatuan Pembangunan mengadakan Musyawarah Kerja Nasional III (Mukernas III) PPP di Hotel Seruni, Cisarua, Bogor. Suryadharma Ali tidak disambut oleh para petinggi PPP yang sudah berada di meja pimpinan rapat. Tak terdengar juga ada tepuk tangan atau antusiasme dari para peserta. Wakil Ketua Umum PPP Emron Pangkapi, yang dalam mukernas ini didaulat sebagai pelaksana tugas ketua umum sekaligus penyelenggara mukernas. Emron terlihat mendapatkan sambutan yang berbeda. Saat masuk ke ruang mukernas, Emron terlihat langsung disambut tepuk tangan para peserta. Dia juga langsung dipersilakan untuk naik ke meja pimpinan rapat.[39] Dalam pertermuan itu Kubu Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali dan kubu Sekretaris Jenderal PPP Romahurmuziy alias Romy kembali bersepakat untuk melakukan islah. Dalam kesempatan itu, Suryadharma Ali mengungkapkan permintaan maafnya kepada semua kader PPP yang hadir dalam Mukernas dan kepada mayarakat atas kisruh yang terjadi di internal PPP. Ia mengaku salah karena telah melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai. Namun jabatan ketua umum Suryadharma Ali di persingkat dan akan berakhir pada Oktober 2015.
Pada tanggal 12 Mei 2014, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melaksanakan rapat pimpinan nasional yang akhirnya resmi memutuskan arah koalisinya ke Prabowo Subianto. Keputusan koalisi PPP ke Prabowo dilakukan secara musyawarah mufakat yang melibatkan 33 Dewan Pimpinan Wilayah PPP seluruh Indonesia. 
Pada masa kampanye pemilihan Presiden 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait penyelenggaraan haji di Kementerian Agama tahun anggaran 2012-2013. Sebelumnya, bakal calon presiden dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto, memuji kinerja Suryadharma sebagai Menteri Agama. Prabowo menilai, penyelenggaraan ibadah haji yang dilakukan oleh Kementerian Agama setiap tahunnya sudah sangat baik.
Partai Demokrat
Partai Demokrat merupakan partai pemenang pemilu 2009 di mana Partai Demokrat mengantongi 20,85% suara atau 150 anggota legislatif, akan tetapi pada pemilihan legislatif 2014, Demokrat hanya mampu mengantongi 10,19% suara atau 61 anggota legislatif. Suara partai demokrat berguguran di setiap lini lumbung suara Demokrat, akibatnya partai Demokrat tidak mampu mengajukan calon presiden tetapi harus berkoalisi dengan partai lain untuk mengajukan capres.
SBY yang kala itu menjabat sebagai ketua umum demokrat menyatakan akan bersikap netral atau tidak akan bergabung secara formal dengan kubu capres Jokowi atau kubu capres Prabowo dalam pemilu presiden nanti, namun SBY meminta kepada kader Demokrat untuk tidak golput. Pernyataan resmi Partai Demokrat ini sesuai dengan hasil Rapimnas Partai Demokrat pada 17 Mei 2014 lalu, di mana Demokrat akan bersikap netral dalam pemilu presiden Juli nanti. 
Demokrat gagal membentuk poros baru lantaran perolehan suara di pemilu legislatif hanya sekitar 10 persen, sehingga konvensi partai Demokrat untuk mengusung calon Presiden menjadi tidak relevan. Partai Demokrat kemudian berusaha membuka wacana untuk membangun poros tengah bersama partai Golkar demi mengimbangi kekuatan Jokowi-JK ataupun Prabowo-Hatta, namun keinginan itu harus kandas di tengah jalan karena Demokrat ditinggalkan partai Golkar yang lebih memilih menerima tawaran "Menteri Senior" dari kubu Prabowo-Hatta. Ini berakibat pada partai Demokrat menjadi partai terakhir yang belum menentukan sikap akan arah pilihan politik.
Dukungan informil partai Demokrat terhadap Prabowo-Hatta mengalir saat Pasangan capres-cawapres dari koalisi Merah Putih Prabowo-Hatta memaparkan visi misinya di depan elite dan kader Partai Demokrat di Hotel Sahid Jaya, Bogor. Akan tetapi SBY tidak hadir dalam acara tersebut demi menjaga netralitas sebagai seorang Presiden.


(HUKUM A/01)