Kamis, 04 Mei 2017
(Mardiono-FHUMPREGA22) Konsep ketenagakerjaan (perburuhan) negara Spanyol dan perbandingannya dengan Indonesia.
Konsep ketenagakerjaan negara INDONESIA -FILIPINA
TUGAS 2
Konsep ketenegarakerjaan
NEGARA INDONESIA-FILIPINA
(INDONESIA)
Konsep ketenagakerjaan membagi penduduk menjadi dua kelompok, yaitu penduduk usia kerja dan penduduk bukan usia kerja. Konsep ketenagakerjaan dapat digambarkan oleh diagram ketenagakerjaan berikut:
Sumber: Hussmans, dkk (1990)
Penjelasan sbb:
a. Penduduk Usia kerja
Penduduk Usia Kerja adalah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas, sesuai dengan ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.
b. Penduduk Bukan Usia Kerja
Penduduk Bukan Usia Kerja adalah penduduk yang berusia di bawah 15 tahun.
c. Angkatan Kerja
Angkatan Kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja dan pengangguran.
d. Bukan Angkatan Kerja
Bukan Angkatan Kerja (BAK) adalah penduduk usia kerja yang pada periode referensi tidak mempunyai/melakukan aktivitas ekonomi, baik karena sekolah, mengurus rumah tangga atau lainnya (pensiun, penerima transfer/kiriman, penerima deposito/bunga bank, jompo atau alasan yang lain).
e. Bekerja
Bekerja yaitu kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan paling sedikit selama satu jam dalam seminggu yang lalu. Bekerja selama satu jam tersebut harus dilakukan berturut-turut dan tidak terputus. Kegiatan bekerja ini mencakup, baik yang sedang bekerja maupun yang punya pekerjaan tetapi dalam seminggu yang lalu sementara tidak aktif bekerja, misal karena cuti, sakit dan sejenisnya.
Di beberapa negara, konsep bekerja didasarkan atas kebiasaan (Gainful Worker Concept). Konsep ini menentukan seseorang apakah bekerja atau tidak berdasarkan kebiasaannya (usual activity). Konsep ini tidak memakai batasan waktu tertentu
f. Pengangguran
Terdapat dua definisi pengangguran yaitu definisi standar dan definisi luas (relaxed). Pengangguran definisi standar yaitu meliputi penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan/mempersiapkan suatu usaha. Sedangkan pengangguran definisi luas juga mencakup penduduk yang tidak aktif mencari kerja tetapi bersedia/siap bekerja. Sejak tahun 2001, definisi pengangguran yang digunakan oleh Sakernas adalah definisi luas, sehingga pengangguran mencakup empat kriteria yaitu: mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, putus asa/merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (discouraged worker) dan sudah diterima bekerja tapi belum mulai bekerja.
(FILIPINA)
Saat ini, tenaga kerja Filipina (OFW) menjadi bagian amat penting bagi masyarakat dan ekonomi negeri ini. Pemerintah menyebutnya OFW (semula adalah overseas contract workers, pekerja kontrak luar negeri, OCW) sebagai pahlawan negara – mba bagong bayani – terutama karena kiriman uang dari mereka menjadi bagian penting pendapatan. Terminologi OFW mencakup beragam kelompok tenaga kerja Filipina yang mengais rejeki di luar negeri: mereka dapat saja warga Filipina yang menjadi penduduk permanen di luar negeri atau pekerja kontrak, tercatat atau tidak tercatat. Berdasarkan kompilasi statistik, mereka dapat dikategorikan sebagai warga Filipina yang menetap di luar negeri atau OFW. Sepanjang 1999, terdapat 2,8 juta warga Filipina yang menetap di luar negeri dan 4,2 juta OFW, di antara mereka 2,4 juta tercatat dan 1,8 juta tidak tercatat. OFW lebih jauh diklasifikasikan sebagai pekerja yang bekerja di laut, kebanyakan laki-laki, dan yang bekerja di daratan, dengan jumlah pekerja perempuan yang meningkat. Tulisan ini menyentuh pertumbuhan partisipasi perempuan dalam diaspora pekerja Fulipina dan upaya pemerintah mendorong migrasi pekerja ke luar negeri.
Konsep Ketenagakerjaan Negara Singapura Dan Perbandingannya Dengan Indonesia
Sebagai salah satu negara di Asia Tenggara, Singapura adalah negara maju yang memiliki tata kelola ketenagakerjaan cukup baik. Menurut Kementerian Luar Negeri Indonesia, hukum di Singapura juga cukup adil serta relatif tidak memihak warga negaranya.
Dalam hal penanganan kasus BMI khususnya bidang ketenagakerjaan, KBRI senantiasa berkoordinasi dengan Ministry of Manpower (MOM) Singapura yang salah satu tugasnya adalah untuk membantu permasalahan tenaga kerja asing di Singapura.
MOM juga memiliki portal resmi yang beralamat diwww.mom.gov.sg. Portal tersebut dengan lengkap memberikan informasi tentang tata kelola ketenagakerjaan di Singapura. Tak hanya soal hukum yang diterapkan, hal-hal lain seperti hak-hak dan informasi gaji untuk tenaga kerja asing juga diberikan. Bisa dikatakan jika sistem informasi MOM adalah salah satu model informasi ketenagakerjaan yang perlu ditiru, utamanya untuk Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI.
Perjanjian bilateral ketenagakerjaan/ kekonsuleran antara Indonesia dan Singapura belum terjalin. Selama ini segala macam peraturan ketenagakerjaan yang mengatur BMI dituangkan ke dalam beberapa regulasi di antaranya:
Employment of Foreign Manpower Act 1990, mengatur mengenai tata cara dan prosedur pekerja asing di Singapura, termasuk juga larangan bekerja bagi pekerja asing tanpa ijin kerja yang sah dan sanksi denda bagi majikan yang melakukannya (pasal 5) pembatalan ijin kerja (pasal 9) dsb.Immigration Act; mengatur tentang aspek keimigrasian Singapura antara lain mengenai tata cara dan prosedur untuk masuk dan keluar Singapura. Peraturan keimigrasian Singapura dimulai sejak 1919 dan telah diamandemen beberapa kali.Tidak ada UU mengenai domestic workers, namun Kemnaker Singapura memiliki guidelinesyang menjamin perlindungan pekerja domestik di Singapura. Guidelines mengatur: keharusan majikan menjamin well being (perlakuan baik) untuk pembantu rumah tangga yang dipekerjakan; memiliki kontrak kerja tertulis; membayar medical expenses, asuransi, waktu istirahat cukup, membayar levy (pajak) bulanan, memberi gaji yang disetujui; serta memuat jenis hukuman yang dapat dikenakan ke majikan apabila terbukti menganiaya pembantu rumah tangga.
Beberapa instrumen HAM yang telah diratifikasi oleh Singapura adalah Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women dan Convention on the Rights of the Child. Kemlu pun mengungkapkan jika ratifikasi tersebut mencerminkan komitmen Singapura dalam memberikan perlindungan yang layak bagi pekerja asing, terutama pekerja perempuan.
Kasus-kasus yang dialami BMI di Singapura pun, menurut Kemlu, tergolang ringan seperti kasus disharmoni (92%); disusul kasus hukum (5%) dan kasus ketenagakerjaan (3%). Kasus-kasus disharmonisasi tersebut antara lain adalah jenis pekerjaan yang tidak sesuai, perselisihan dan alasan pribadi.
Disharmonisasi dengan majikan diantaranya terjadi karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan budaya Singapura, kegagalan komunikasi dengan majikan, ketidakmampuan menguasai pekerjaan, dan kasus pelanggaran kontrak kontrak kerja.
Permasalahan tenaga kerja di Indonesia semakin berat. Bagaimana tidak berat, angka pengangguran saja sudah mencapai 38,3 juta jiwa. Dari angka itu tercatat 8,1 juta yang menganggur total atau tidak bekerja sama sekali dan tidak memiliki penghasilan. Sementara yang 30,2 juta, itu setengah menganggur, atau mereka yang bekerja di bawah 35 jam. Bahkan, bila ada buruh yang dibayar UMR, meski bekerja selama 40 jam, tak cukup untuk memenuhi standar hidupnya.
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan ditandai dengan jumlah penganggur dan setengah penganggur yang besar, pendapatan yang relatif rendah dan kurang merata. Sebaliknya pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.
Kondisi pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal; dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.
Masalah Ketenagakerjaan di Indonesia
1. Pengangguran dan pendidikan rendah
Masalah di atas pada akhirnya tali temali menghadirkan implikasi buruk dalam pembangunan hukum di Indonesia. Bila ditelusuri lebih jauh keempat masalah di atas dapatlah disimpulkan bahwa akar dari semua masalah itu adalah karena ketidakjelasan politik ketenagakerjaan nasional. Sekalipun dasar-dasar konstitusi UUD 45 khususnya pasal 27 dan pasal 34 telah memberikan amanat yang cukup jelas bagaimana seharusnya negara memberikan perlindungan terhadap buruh/pekerja.
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja. Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja. Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yang disebabkan antara lain: perusahaan yang menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif; peraturan yang menghambat inventasi; hambatan dalam proses ekspor impor, dll.
Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun 2002, sebesar 9,13 juta penganggur terbuka, sekitar 450 ribu diantaranya adalah yang berpendidikan tinggi. Bila dilihat dari usia penganggur sebagian besar (5.78 juta) adalah pada usia muda (15-24 tahun). Selain itu terdapat sebanyak 2,7 juta penganggur merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (hopeless). Situasi seperti ini akan sangat berbahaya dan mengancam stabilitas nasional. Masalah lainnya adalah jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja kurang dari jam kerja normal 35 jam per minggu, pada tahun 2002 berjumlah 28,87 juta orang. Sebagian dari mereka ini adalah yang bekerja pada jabatan yang lebih rendah dari tingkat pendidikan, upah rendah, yang mengakibatkan produktivitas rendah. Dengan demikian masalah pengangguran terbuka dan setengah penganggur berjumlah 38 juta orang yang harus segera dituntaskan.
Keadaan Angkatan Kerja dan Keadaan Kesempatan Kerja
Masalah pengangguran dan setengah pengangguran tersebut di atas salah satunya dipengaruhi oleh besarnya angkatan kerja. Angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2002 sebesar 100,8 juta orang. Mereka ini didominasi oleh angkatan kerja usia sekolah (15-24 tahun) sebanyak 20,7 juta. Pada sisi lain, 45,33 juta orang hanya berpendidikan SD kebawah, ini berarti bahwa angkatan kerja di Indonesia kualitasnya masih rendah.
Pada tahun 2000, Singapura memiliki tenaga kerja sekitar 2,2 juta. Negara ini memiliki kemampuan berbahasa Inggris terbesar di Asia. Hal itu menjadikannya sebagai tempat yang menarik bagi perusahaan-perusahaan multinasional. Pengangguran di Singapura terbilang sangat sedikit, yaitu sekitar 1,9% pada tahun 2012.
(DiansyahBima-FHUMPREGA01) Konsep ketenagakerjaan (perburuhan) negara Belgia dan perbandingannya dengan Indonesia
Konsep ketenagakerjaan (perburuhan) negara Belgia dan perbandingan dengan Indonesia
Belgia.
Munculnya Pasal 31 UU No 24 Tahun 2009 yang mengharuskan bahwa kontrak berbahasa Indonesia sempatmeresahkan berbagai pihak. Pasal 31 UU No.24 Tahun 2009 sudah "memakan korban", dimana kontrak yang tidak mencantumkan bahasa indonesia dibatalkan oleh pengadilan. Sebelum UU ini terbit, Peraturan Bank Indonesia (PBI) juga memuat aturan yang sama untuk kontrak Derivative.
Di Belgia, aturan semacam ini juga ada. Bahkan, usianya lebih lama, yakni sejak 1973. Aturan di Belgia lebih ketat lagi, kontrak harus dimuat dengan bahasa resmi mereka. Bila dilanggar, maka akan batal demi hukum. Kasus ini bahkan sempat "mampir" ke Pengadilan Uni Eropa dalam kasus Anton Las yang diputus pada April 2013 lalu.
Anton Las adalah warga negara Belanda yang menetap di negeri kincir angin itu. Dia bekerja sebagai pegawai tetap dari PSA Antwerp, sebuah perusahaan yang didirikan di Antwerp (Belgia). Perusahaan tersebut juga merupakan bagian dari multinational group yang memiliki kantor di Singapura. Dalam perjalanannya, Anton Las dan perusahaannya mengalami sengketa kerja.
Lalu, pengacara Anton Las mempersoalkan bahasa dalam kontrak kerja tersebut, dan menyatakan kontrak itu batal demi hukum. Sebab, kontrak itu dibuat dengan Bahasa Inggris, bukan menggunakan bahasa Belanda. Pasal 4 Konstitusi Belgia mengakui ada empat bahasa yang diakui berdasarkan pembagian wilayah di sana, yakni wilayah berbahasa Perancis, wilayah berbahasa Belanda , wilayah berbahasa Jerman dan wilayah dua bahasa di ibukota Brussells.
Nah, aturan penggunaan berbahasa kontrak ini diatur dalam "the Decree of the Vlaamse Geemschap of 19 July 1973". Pasal 2 Decree tersebut menyatakan bahwa "bahasa yang digunakan dalam hubungan kontrak kerja antara pekerja dan pemberi kerja, serta peraturan perusahaan dan dokumen lain yang dibutuhkan secara hukum, harus berbahasa Belanda". Bila aturan ini dilanggar, maka konsekuensinya, kontrak akan batal demi hukum. Anton Las dan pengacara menggunakan dasar ini untuk menyatakan bahwa kontrak kerjanya dengan perusahaan batal demi hukum, karena PSA Antwerp merupakan perusahaan yang berada di wilayah berbahasa Belanda di Kerajaan Belgia.
Namun, PSA Antwerp menilai argumen tersebut seharusnya tidak diterima oleh Pengadilan Belgia. Perusahaan beranggapan kasus ini berkaitan erat dengan Hukum Uni Eropa, sehingga hukum Belgia bukan satu-satunya yang menjadi rujukan. Apalagi, dalam kasus ini, ada unsur "Cross-Border", dimana Anton merupakan warga Belanda yang bekerja untuk perusahaan Belgia. Sehingga, pada prinsipnya, Anton Las sedang menikmati haknya untuk mendapatkan "freedom of movement for workers" yang tunduk pada Hukum Uni Eropa.
Oleh karena itu, PSA Antwerp menilai Hukum Belgia mengenai penggunaan bahasa dalam kontrak tersebut tidak bisa diterapkan dalam kasus ini. Selain itu, baik Anton Las dan perusahaan jelas-jelas mengerti isi kontrak itu dalam bahasa Inggris. Adalah hal yang aneh, bila kontrak dibuat dalam bahasa Belanda, padahal Direktur Perusahaan yang menandatangani kontrak itu adalah warga negara Singapura yang sama sekali tidak memahami bahasa Belanda. Demikian argumen perusahaan.
Atas sengketa ini, Pengadilan Belgia kemudian mengajukan pertanyaan (preliminary reference) ke Pengadilan Uni Eropa mengenai kasus ini. Sebab, kasus ini berkaitan dengan interpretasi Pasal 45 the Treaty on the Functioning of the European Union (TFEU) yang menjamin freedom of movement of workers (kebebasan bergerak bagi pekerja untuk seluruh wilayah Uni Eropa).
Lalu, apa kata Pengadilan Uni Eropa mengenai hal ini?
Pengadilan Uni Eropa memahami argumen Pemerintah Belgia bahwa aturan kontrak bahasa itu memiliki tiga tujuan. Yakni, (1) untuk mempromosikan dan mendorong penggunaan salah satu bahasa resmi nasional Belgia; (2) untuk memastikan perlindungan terhadap para pekerja agar memungkinkan mereka memeriksa dokumen (kontrak) kerja dalam bahasa yang mereka pahami (bahasa nasional) serta agar pengadilan bisa memahami bila ada sengketa kerja; (3) untuk memastikan pemeriksaan dan pengawasan ketenagakerjaan oleh inspektorat berjalan efektif.
Argumen Pemerintah Belgia ini merujuk kepada aturan bahwa Uni Eropa harus menghormati kekayaan budaya dan perbedaan bahasa di masing-masing negara anggota (Pasal 3(3) the Treaty on the European Union dan Pasal 22 the Charter of Fundamental Rights of the European Union) dan identitas nasional negara anggota Uni Eropa (Pasal 4(2) TEU).
Namun, Pengadilan Uni Eropa menilai penggunaan aturan tersebut harus dilaksanakan secara proporsional. Para hakim di Luxembourg ini menegaskan bahwa untuk konteks dimana masing-masing pihak memiliki unsur "Cross-Border", tidak terlalu penting untuk memiliki pengetahuan bahasa resmi negara tersebut. Dalam situasi ini, masing-masing pihak boleh membuat kontrak dengan bahasa lain selain bahasa resmi negara tersebut.
Lebih lanjut, Pengadilan Uni Eropa menyatakan bahwa aturan domestic negara anggota seharusnya tidak hanya mewajibkan penggunaan bahasa resmi nasional dalam kontrak yang mengandung unsur cross border, tetapi juga mengizinkan penggunaan bahasa lain yang dipahami oleh masing-masing pihak. Aturan semacam ini akan lebih terasa proporsional. Sehingga, itu bisa menciptakan win win solution, dimana prinsip freedom of movement for workers dalam Hukum Uni Eropa tidak dilanggar dan di sisi lain bisa juga melindungi tujuan dari atruan nasional dimaksud sebagaimana disebutkan di atas.
Oleh karena itu, Pengadilan Uni Eropa memutuskan bahwa Pasal 45 TFEU harus diinterpretasikan sebagai "menghalangi" legislasi nasional yang mengharuskan penggunaan eksklusif bahasa resmi nasional dalam hal kontrak yang bersifat "cross border" dan mengakibatkan batal demi hukumnya kontrak tersebut.
Sebenarnya, bila melihat UU No.24 Tahun 2009, para legislator di Senayan sudah lebih maju. Sebab, Pasal 31 ayat (2) memang memungkinkan bahwa kontrak yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris, selain tetap ada kewajiban menulis dalam bahasa Indonesia sebagaimana diatur Pasal 31 ayat (1).
Jadi, bila mengikuti amar putusan Pengadilan Uni Eropa itu, maka UU No.24 Tahun 2009 sebenarnya sudah sangat siap digunakan apabila ASEAN kelak menerapkan freedom of movement for workers secara kaffah (keseluruhan) layaknya Uni Eropa
Indonesia.
Masalah ketenagakerjaan adalah salah satu masalah pokok yang harus dihadapi oleh negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia. Jumlah penduduk yang terus meningkat tanpa diikuti pertambahan lapangan pekerjaan selalu menjadi pemicu menjamurnya pengangguran.
Sedangkan asas ketenagakerjaan yang digunakan menurut Abdussalam adalah asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah, sedangkan asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan naional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Asas tersebut dapat dikatakan pembangunan ketenagakerjaan dilakukan secara menyeluruh mulai dari daerah hingga pusat dengan tujuan untuk pencapaian pembangunan nasional yang adil dan merata.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja atau buruh, oleh sebab itu pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerjasama yang saling mendukung. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2003 pasal 3 tentang ketenagakerjaan. Dalam Undang-Undang tersebut memuat adanya pelaksanaan pembangunan ketenagakerjaan dapat terwujud dengan melibatkan peranan pemerintah, pengusaha dan pekerja atau buruh.
Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha.
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan ditandai dengan jumlah penganggur dan setengah penganggur yang besar, pendapatan yang relatif rendah dan kurang merata. Sebaliknya pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat.
Berikut beberapa masalah ketenagakerjaan di Indonesia.
1.Jumlah angkatan kerja yang besar
Besarnya angkatan kerja yang ada di Indonesia tidak mampu diserap semuanya oleh kesempatan kerja yang ada, karena tidak berimbangnya jumlah angkatan kerja yang ada dengan ketersediaan kesempatan kerja. Hal ini merupakan pokok yang menyebabkan terhambatnya penyelenggaraan pembangunan ekonomi.
2. Kualitas tenaga Kerja Relatif Rendah
Kualitas tenaga kerja yang rendah ini disebabkan karena tingkat pendidikan penduduk yang rendah pula atau belum memadai dengan jenis pekerjaan yang tersedia. Tidak saja disebabkan banyaknya usia putus sekolah, namun juga disebabkan oleh rendahnya mutu pendidikan sehingga tenaga kerja tidak mampu menyerap atau menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Rendahnya kualitas tenaga kerja akan berpengaruh pada tingkat prduktivitas yang ujung-ujungnya menyebabkan proses produksi yang tidak efisien. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa produk Indonesia yang tidak mampu bersaing dengan produk luar terutama barang-barang yang dihasilkan negara-negara maju. Bukan karena sedikitnya modal yang disediakan dalam proses produksi, justeru sebaliknya biaya produksi tinggi tapi hasil produksi rendah.
3. Persebaran Tenaga Kerja Tidak Merata
Luasnya wilayah dan banyaknya kepulauan d Iindonesia serta terkonsentrasinya penduduk di Pulau Jawa juga merupakan penyebab timbulnya permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia. Kondisi geografis Indonesia ini mengakibatkan persebaran penduduk tidak merata. Daerah-daerah luas di Indonesia kekurangan penduduk sementara di Pulau Jawa kelebihan penduduk (padat). Banyaknya penduduk di Pulau Jawa ini dapat menigkatkan investasi di pulau tersebut. Berbagai usaha didirikan namun tetap tidak mampu untuk menekan jumlah pengangguran, malah sebaliknya semakin tinggi. Karena pulau jawa terutama kota-kota besar sudah menjadi daya tarik bagi pencari kerja dari luar Pulau Jawa. Padahal daerah di luar Pulau Jawa memiliki potensi alam yang melimpah dan belum diolah secara optimal.
4. Kesempatan Kerja Masih Terbatas
Berbagai sektor pekerjaan yang tersedia baik dibidang agraris, ekstraktif, industri, perdagangan dan jasa tidak mampu menampung besarnya jumlah angkatan kerja yang ada. Ketersediaan kesempatan kerja dibidang-bidang tersebut sangat terbatas bila dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja yang besar. Mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan sehingga tingkat kesejahteraan hidup rendah, karena mereka tidak memperoleh penghasilan.
5. Meningkatnya Pengangguran
Muara dari permasalahan ketenagakerjaan ini adalah semakin tingginya tingkat pengangguran. Apalagi tingginya tingkat pengangguran ini semakin diperparah dengan adanya PHK (pemutusan hubungan kerja) besar-besaran. PHK besar-besaran biasanya dilakukan untuk efisiensi perusahaan.
Pengangguran ini akan berakibat luas dalam perspektif pembangunan ekonomi negara. Banyaknya jumlah pengangguran merupakan faktor penghambat pembangunan ekonomi negara dan pemicu terganggunya kestabilitasan sosial dan politik
Mohon maaf bila ada kesalahan dalam pengerjaaan tugas makalah ini.