Rabu, 25 April 2018

(Hukum01-171710458) Sistematika Buruh dan Warga Negara Beserta Problematikannya

Buruh merupakan orang yang bekerja untuk orang lain yang mempunyai suatu usaha kemudian mendapatkan upah atau imbalan sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Upah biasanya diberikan secara harian maupun bulanan tergantung dari hasil kesepakatan yang telah disetujui.

Kesejahteraan buruh Meskipun buruh mempunyai posisi yang strategis dalam perpolitikan bangsa, namun seringkali suara buruh tidak didengar oleh para birokrat. Seringkali buruh hanya menjadi kebutuhan sementara bagi para pihak-pihak yang berkepentingan dan meninggalkanya ketika mereka sudah masuk pada lingkaran kekuasaan. Sangat ironis sekali melihat realita yang terjadi antara buruh dan birokrasi. Padahal kalau kita melihat bahwa kalangan industri sangat diuntungkan upah buruh Indonesia yang bisa dibilang sangat murah sekali dibandingkan dengan Negara-negara berkembang lainya. Dengan upah buruh yang relative rendah tersebut dan produktivitas buruh yang sedemikian tinggi, buruh mampu memberikan keuntungan yang besar bagi kalangan dunia usaha atau pengusaha. Hubungan antara buruh dan pengusaha idealnya adalah saling menguntungakan antara satu dengan yang lainnya. Disisi buruh, semestinya sudah mendapatkan apa seharusnya menjadi hak-haknya. Tidak hanya upah yang memberi kesejahtetaan terhadap kehidupan buruh itu sendiri. Namun juga hal-hal lain yang sekiranya dapat menunjang kesejahteraan buruh tersebut. Diantaranya jaminan social tenaga kerja (Jamsostek), mekanisme pemutusan hubungan kerja sampai pada pembayaran uang pesangon ketika buruh sudah memasuki purna kerja. Karena yang terjadi selama ini buruh seringkali hanya mendapat upah pekerjaanya tanpa mengerti yang menjadi hak-haknya.

 

Pengertian buruh pada saat ini di mata masyarakat awam sama saja dengan pekerja, atau tenaga kerja. Padahal dalam konteks sifat dasar pengertian dan terminologidiatas sangat jauh berbeda. Secara teori, dalam kontek kepentingan, didalam suatu perusahaan terdapat 2 (dua) kelompok yaitu kelompok pemilik modal (owner) dankelompok buruh, yaitu orang-orang yang diperintah dan dipekerjanan yang berfungsisebagai salah satu komponen dalam proses produksi. Dalam teori Karl Marx tentangnilai lebih, disebutkan bahwa kelompok yang memiliki dan menikmati nilai lebih disebutsebagai majikan dan kelompok yang terlibat dalam proses penciptaan nilai lebih itudisebut Buruh. Dari segi kepemilikan kapital dan aset-aset produksi, dapat kita tarik  benang merah, bahwa buruh tidak terlibat sedikitpun dalam kepemilian asset, sedangkanmajikan adalah yang mempunyai kepemilikan aset. Dengan demikian seorang manajer atau direktur disebuah perusahaan sebetulnya adalah buruh walaupun mereka mempunyaiembel-embel gelar keprofesionalan.Buruh berbeda dengan pekerja. Pengertian pekerja lebih menunjuk pada prosesdan bersifat mandiri. Bisa saja pekerja itu bekerja untuk dirinya dan menggaji dirinyasendiri pula. Contoh pekerja ini antara lain Petani, nelayan, dokter yang dalam prosesnya pekerja memperoleh nilai tambah dari proses penciptaan nilai tambah yang mereka buatsendiri. Istilah tenaga kerja di populerkan oleh pemerintah orde baru, untuk menggantikata buruh yang mereka anggap kekiri-kirian dan radikal.

Meskipun buruh mempunyai posisi yang strategis dalam perpolitikan bangsa, namun seringkali suara buruh tidak didengar oleh para birokrat. Seringkali buruh hanya menjadi kebutuhan sementara bagi para pihak-pihak yang berkepentingan dan meninggalkanya ketika mereka sudah masuk pada lingkaran kekuasaan. Sangat ironis sekali melihat realita yang terjadi antara buruh dan birokrasi. Padahal kalau kita melihat bahwa kalangan industri sangat diuntungkan upah buruh Indonesia yang bisa dibilang sangat murah sekali dibandingkan dengan Negara-negara berkembang lainya. Dengan upah buruh yang relative rendah tersebut dan produktivitas buruh yang sedemikian tinggi, buruh mampu memberikan keuntungan yang besar bagi kalangan dunia usaha atau pengusaha. Hal ini bisa dilihat dari nilai tambah rata-rata setiap pekerja per tahun pada industri pangan sebesar 9,3 juta, indusri sandang 6,9 juta dan industri barang capital 16,7 juta atau sebanyak 10,5 juta untuk semua industri. Itu terjadi pada tahun 1997. Angka ini menunjukkan bahwa industri memungkinkan untuk memperbaiki upah buruh bahkan memberi upah yang tinggi . Disamping itu terdapat ketimpangan yang sangat mencolok antara upah yang diterima pekerja dengan keuntungan yang diperoleh pengusaha melalui peningkatan produktifitas buruh . Namun kenyataan berbicara lain, tuntutan normative buruh yang menginginkan perbaiakan kesejahteraan dengan cara peningkatan upah seringkali tidak mendapat respon yang memadai dari pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab. Pemerintah sebagai pihak yang seharusnya melindungi hak-hak buruh dengan aturan-aturan yang dibuatnya, seringkali atau bahkan tidak memainkan peranannya untuk membela hak-hak buruh. Justru yang terjadi sebaliknya, pemerintah malah menurunkan standart upah minimum buruh dibawah standart yang layak. Setali tiga uang dengan pemerintah, pengusaha sebagai golongan yang mengeksploitasi tenaga buruh juga tidak menampakkan taringnya. Padahal dengan naiknya upah buruh juga akan menyebabkan naiknya daya beli masyarakat secara umum. Uang dari buruh akhirnya kembali ke tangan para pengusaha melalui berbagai transaksi yang dilakukan oleh buruh dan keluarganya yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang positif pada pertumbuhan ekonomi.

Buruh dan pengusaha idealnya adalah saling menguntungakan antara satu dengan yang lainnya. Disisi buruh, semestinya sudah mendapatkan apa seharusnya menjadi hak-haknya. Tidak hanya upah yang memberi kesejahtetaan terhadap kehidupan buruh itu sendiri. Namun juga hal-hal lain yang sekiranya dapat menunjang kesejahteraan buruh tersebut. Diantaranya jaminan social tenaga kerja (Jamsostek), mekanisme pemutusan hubungan kerja sampai pada pembayaran uang pesangon ketika buruh sudah memasuki purna kerja. Karena yang terjadi selama ini buruh seringkali hanya mendapat upah pekerjaanya tanpa mengerti yang menjadi hak-haknya. Kemudian yang terjadi, misalnya ketika buruh mengalami kecelakaan kerja, buruh tidak mengetahui bahwa dia mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan social tenaga kerja. Atau ketika buruh di PHK tanpa tahu penyebabnya, bahwa didalam pemutusan hubungan kerja dalam dunia usaha, terdapat mekanisme yang harus dipatuhi oleh golongan pengusaha, salah satunya dengan memberi uang pesangon. Disamping hak, buruh juga harus paham dengan apa yang menjadi kewajibannya, yaitu menjalankan fungsi buruh sebagai pelaku.

Peran pemerintah sangat vital sekali dalam terciptanya iklim yang kondusif bagi perekonmian bangsa. Pemerintah sebagai pembuat regulator semestinya mengetahui apa-apa yang dibutuhkan oleh pelaku dunia usaha yang diantaranya adalah buruh dan pengusaha tanpa membedakan status mereka dalam struktur masyarakat. Pemerintah harus bersikap arif dan fair dalam membuat regulator yang nantinya tidak mengntungkan atau merugikan salah satu pihak. Didalam masalah perburuhan nasional, pemerintah harus mengedepankan nilai-nilai social termasuk juga membuat regulator yang menjamin kesejahteraan buruh oleh perusahaan. Kesejahteraan buruh sangat perlu diperhatikan oleh pemerintah, karena apabila kita lihat bahwa tidak sedikit dari masyarakat Indonesia yang bekerja sebagai buruh pada dunia industri. Kita misalkan, apabila kesejahteraan buruh tidak mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah dan para buruh tetap hidup dalam garis kemiskinan, maka akan tercipta masalah social baru didalam masyarakat. Seperti kita lihat pada kasus diatas, terlihat bahwa peran pemerintah sangat minim sekali didalam upayanya meningkatkan kesejahteraaan buruh. Pemerintah cenderung untuk membela kaum pengusaha dengan asumsi bahwa semakin rendah upah yang dibayarkan kepada buruh, maka semakin hidup dunia industri. Sudah saatnyalah pemerintah memainkan peranannya untuk lebih bersikap balance tanpa merugikan kaum buruh dan juga kaum dunia usaha. Buruh sudah semestinya diberi ruang untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Salah satunya dengan regulator yang dibuat pemerintah.

Sebenarnya pemerintah Indonesia telah menetapkan gaji minimum (UMR) untuk  para buruh. Hanya saja para buruh tak pernah menyadari hal tersebut. Bayangkan jika gaji buruh naik, apa mungkin pimpinan mau menerima gaji yang selisihnya tidak jauh berbeda dengan para buruh. Banyaknya jumlah buruh dan pimpinan tidak memungkinkan perusahaan sanggup menggaji para buruh yang sangat banyak sesuai dengan UMR yang telah ditetapkan pemerintah. Disamping itu, jika barang yang diproduksi perusahaan tersebut dijual murah pasti perusahaan mengalami kebangkrutan. Dari kondisi diatas bisa ditarik satu perpektif  yang menjembatani hubungan antara buruh dan pimpinan perusahaan. Bahwa selalu ada hukum rimba dalam setiap sistem stratifikasi di Indonesia, tidak terkecuali dalam dunia bisnis.

Sampai kapan pun tidak akan pernah ada yang disebut kesepahaman nyata antara buruh dan pemilik modal (pengusaha). Di negara manapun, kesepakatan perburuhan merupakan upaya politik yang kemudian disekapakati atau tidak disepakati secara politik. Upah minimum di Indonesia hanya dilandasi survei regional terhadap biaya kebutuhan hidup (living cost) dan biaya-biaya tambahan lainnya. Padahal, tidak semua orang memiliki kebutuhan yang sama. Apapun masalahnya, bahwa setiap orang harus menerima suatu kenyataan yang disebut kesepakatan upah. Semua negara akan senantiasa bermasalah dengan perburuhan, kecuali beberapa negara penganut jalur komunis/sosialis. Di negara-negara komunis, kesejangan pendapatan relatif sangat rendah. Keseluruhan kapital dianggap milik negara dan dialokasikan untuk pendanaan kesejahteraan. Lain halnya di negara sosialis seperti di Eropa dan beberapa negara di Asia, kesenjangan pendapatan tidak terlalu tinggi, akan tetapi setiap orang dijamin hak-hak dasarnya. Lambat laun melalui proses dan waktu mereka tumbuh menjadi negara industri dan menjual produknya ke berbagai penjuru dunia. Konflik perburuhan di semua negara sebenarnya akan senantiasa bermuara pada kepentingan politik dan ekonomi. Konflik pada kepentingan ekonomi terletak pada tarik menarik kepentingan individu (institusi rumah tangga) yang menyediakan tenaga kerja dan kepentingan pemilik kapital yang menyediakan lapangan kerja. Kepentingan tenaga kerja tidak semata menuntut akan pendapatan yang layak, melainkan tuntutan atas kesejahteraan. Demikian pula halnya dengan kepentingan pemilik kapital yang menginginkan untuk mengefektifkan biaya produksi agar dapat mengoptimalkan laba operasionalnya.

Fakta yang tidak bisa dikesampingkan, apabila daya saing produk di dalam negeri relatif masih rendah. Beberapa bulan yang lalu, pemerintah telah membuka departemen baru yang disebut Departemen Pariwisata dan Perekonomian Kreatif. Sektor perekonomian kreatif relatif masih baru berkembang di negeri ini. Sekalipun memiliki keunggulan komparatif, akan tetapi pelaku usaha dituntut senantiasa mengkedepankan inovasi. Tentu saja, inovasi akan menciptakan biaya yang tidak sedikit. Jika mau kompetitif di pasar internasional, maka pelaku uaha perekonomian kreatif dituntut pula mengkdepankan keunggulan kompetitifnya. Satu-satunya elemen biaya yang masih bisa dikompromikan hanyalah upah pekerja. Perekonomian biaya tinggi dituding pula menyebabkan iklim usaha menjadi sangat tidak kondusif. Para pelaku usaha (pemilik kapital) tidak hanya harus mengelola produksi maupun persaingan, akan tetapi harus dihadapkan dengan biaya ekonomi tinggi. Sebut saja di antaranya biaya birokrasi yang dianggap masih menjadi beban bagi pengusaha, termasuk di antaranya masih maraknya praktik pungutan liar. Tidak mengherankan apabila pelanggaran atas kesepakatan upah oleh pengusaha didukung (dilindungi) oleh pihak aparatur pemerintahan sendiri. Asosiasi buruh tidak bisa berbuat banyak, karena para pengusaha sudah dilindungi oleh aparat keamanan, baik kepolisian maupun TNI. Bisa dibayangkan ongkos yang harus dibayarkan oleh pengusaha untuk menutup ekonomi biaya tinggi.

 

Penulis artikel :

Rahayu


(Hukum01-171710795) Hal-Hal Terkait Buruh Beserta Problematikanya

Akhir-akhir ini kita disibukkan dengan sajian media mengenai masalah-masalah perburuhan khususnya di Indonesia. Semua itu mengindikasikan, bahwa dunia perburuhan kita belum tertata sebagaimana mestinya. Isu-isu untuk melakukan demo, tersaji setiap saat. Hal ini berarti, ada masalah yang mendasar yang belum terselesaikan. Masalah yang mendasar itu tentunya terkait regulasi dan kebijakan pemerintah. Karena itu, yang diperlukan adalah kejujuran semua pihak. Dunia usaha dituntut jujur untuk memberikan upah yang layak, sementara pemerintah selayaknya harus memfasilitasi, sehingga dunia usaha bisa menjadi wahana yang mensejahterakan pekerja. Masalah ini, akan sangat lebih baik , kalau bisa dituangkan dalam regulasi / perundangan dan kebijakan terkait kesejahteraan buruh. DPR, sebagai wakil rakyat dan wakil buruh, bisa mengambil inisiatif, sebagaimana DPR telah mengambil inisiatif dengan terbitnya UU BPJS. Sebab, menumbuhkan kondisi perburuhan yang kondusif merupakan langkah yang strategis membangun bangsa.
Buruh pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan baik berupa jasmani maupun rohani. Perburuhan, telah ada didunia sejak peradaban manusia dimulai. Sejak dulu, buruh telah dipandang sebelah mata diseluruh dunia, padahal keberadaan mereka sangat membantu roda perekonomian suatu bangsa. Hingga akhirnya muncullah usaha-usaha dari kalangan buruh untuk  melindungi hak-hak mereka.
Tanggal 1 Mei ditetapkan menjadi hari perjuangan kelas pekerja sedunia. Satu Mei dipilih karena mereka terinspirasi kesuksesan aksi buruh di Kanada pada tahun 1872. Ketika itu buruh Kanada menuntut 8 jam kerja seperti buruh di AS, dan mereka berhasil. Delapan jam kerja di Kanada resmi diberlakukan mulai tanggal 1 Mei 1886.
Pembangunan Nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dalam mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, merata baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Salah satu problem yang langsung menyentuh kaum buruh adalah rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta tanggungannya. Kebutuhan hidp semakin meningkat, sementara gaji yang diterima relative tetap. Faktor ini menjadi salah satu pendorong protes kaum buruh.
Problem kesejahteraan hidup. Pencapaian kesejahteraan, tergantung pada kemampuan gaji dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Gaji yang relative tetap, sedangkan kebutuhan hidup semakain bertambah membuat kualitas kesejahteraan rakyat (termasuk buruh) semakin rendah. Sedangakan problem PHK adalah perkara biasa dalam dunia ketenaga kaerjaan. Asalkan sesuai dengan kesepakatan kerjaa bersama (KKB) baik pihak pekerja maupun pengusaha.  Problem perburuhan ini sebenarnya terjadi karena kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja yang menjadi pilar sistem kapitalisme. Dengan kebebasan ini, seorang pengusaha yang senantiasa berorientasi keuntungan dianggap sah mengeksploitasi tenaga buruh. Dengan kebebasan ini pula, kaum buruh diberi ruang kebebasan mengekspresikan tuntutannya akan peningkatan kesejahteraan dengan memanfaatkan serikat pekerja, melakukan sejumlah intimidasi bahkan tindakan anarkis sekalipun.
Sedangkan dasar yang memicu konflik buruh dan pengusaha sendiri, disebabkan oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost (biaya hidup) terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Maka tidak heran namanya Upah Minimum. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu yang minimum sekedar untuk mempertahankan hidup mereka. Konsekuensinya kemudian adalah terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh. Dampak dari eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan Sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.
Jadi, masalah perburuhan akan selalu ada selama relasi antara buruh dan pengusaha dibangun berdasarkan sistem ini. Meski mereka telah melakukan sejumlah tambal sulam untuk menyumbat kemarahan kaum buruh dan menghadapi provokasi kaum Sosialis, namun tambal sulam ini secara natural hanya sekedar untuk mempertahankan sistem Kapitalisme. Tetapi, jika diklaim bahwa tambal sulam ini telah berhasil memecahkan masalah perburuhan, jelas hanya klaim bohong dan kosong. Dalam perspektif politik ekonomi, kaum buruh selalu berada dalam kungkungan nasib yang menyedihkan. Mereka berada dalam kekuasaan dan kendali pemilik modal atau majikan. Di balik tenaga mereka yang mengalami eksploitasi luar biasa, upah yang mereka nikmati kerap tidak cukup untuk (sekadar) memenuhi kebutuhan pokok. Bahkan, tidak jarang upah hasil kerja mereka sebulan penuh hanya cukup untuk bertahan hidup selama 10 hari. Di sisi lain, mereka pun selalu berada dalam ancaman bayang-bayang PHK (pemutusan hubungan kerja) secara sepihak dengan pesangon yang ala kadarnya.
Gambaran di atas merupakan realitas yang tidak bisa dihindarkan kala paradigma ekonomi yang digunakan ialah paradigma industrial-kapitalistik. Dalam paradigma industrial-kapitalistik ini, pemilik modal (majikan) cenderung memposisikan buruh (pekerja) sebagai bagian dari faktor produksi. Buruh kerapkali ditekan untuk bekerja tanpa mengenal lelah (tak ubahnya sebuah mesin produksi), tetapi upah yang dibayarkan sangat rendah. Hal ini tidak lepas dari prinsip ekonomi kapitalis itu sendiri bahwa untuk mendapatkan profit (untung) sebesar-besarnya, maka biaya produksi harus ditekan sekecil-kecilnya. Dalam lingkungan negara yang menganut sistem sekuler-kapitalisme, realitas semacam itu adalah sebuah keniscayaan. Ada beberapa faktor yang dijadikan sebagai alat pembenar (legitimator) berkaitan dengan eksploitasi buruh
Berbicara konteks kesejahteraan, kehidupan buruh cenderung marjinal dan tak sesuai dengan hak-hak manusiawi. Berbicara hak-hak pekerja/buruh, berarti kita membicarakan hak-hak asasi maupun hak yang bukan asasi. Hak asasi adalah hak yang melekat pada diri pekerja/buruh itu sendiri yang dibawa sejak lahir dan jika hak tersebut terlepas/terpisah dari diri pekerja/buruh itu akan menjadi turun derajat dan harkatnya sebagai manusia, sedangkan hak yang bukan asasi berupa hak pekerja/buruh yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sifanya non asasi.

Memang hampir di semua negara saat ini, problem ketenagakerjaan atau perburuhan selalu tumbuh dan berkembang, baik di negara maju maupun berkembang, baik yang menerapkan ideologi kapitalisme maupun sosialisme. Hal demikian terlihat dari adanya departemen yang mengurusi ketenagakerjaan pada setiap kabinet yang dibentuk. Hanya saja realitas tiap negara memberikan beragam problem riil, sehingga terkadang memunculkan berbagai problema yang berbeda. 


Seperti Indonesia sebagai salah satu negara berkembang,  problem ketenagakerjaan sampai saat ini masih terkait dengan sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya kemampuan SDM tenaga kerja, tingkat gaji yang rendah hingga jaminan sosial yang nyaris tidak ada. Belum lagi, perlakuan yang merugikan pekerja, seperti penganiayaan, tindak asusila, penghinaan, sampai pelecehan seksual. Sehingga banyak warga Indonesia menjadi tenaga kerja luar negeri. Namun mereka, warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, banyak yang mengalami nasib yang kurang beruntung karena lemahnya Indonesia di Mata Dunia yang dipandang sebagai negara para koruptor dan kurang menghargai masyarakat terutama buruh. Pemerintah dituntut berperan untuk menengahi konflik kepentingan antara buruh dan pengusaha dengan cara membuat aturan permainan dan mengatur kompromi diantara pihak-pihak berkepentingan. Dengan demikian pada hakekatnya, dalam kerangka Hubungan Industrial Pancasila (HIP), kebijakan UMR merupakan titik keseimbangan sebagai hasil musyawarah bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Perjuangan kaum buruh untuk memperbaiki kesejahteraan selama ini cukup jelas, yakni menunjukkan betapa upah tenaga kerja sangat tidak kompetitif dan jauh dari mencukupi. Relasi yang selama ini dibangun masih menempatkan posisi subordinatif terhadap majikan (pengusaha). Sehingga yang muncul ketidaksatu paduan buruh dan pengusaha, justru rasa ketidakpercayaan dan kecurigaan antara satu dan yang lain semakin mengkristalisasi perbedaan orientasi masing-masing. 

Melihat persoalan ketenagakerjaan yang demikian kompleks di atas, tentu saja juga membutuhkan pemecahan yang komprehensip dan sistemis. Sebab, persoalan tenaga kerja, bukan lagi merupakan persoalan individu, yang bisa diselesaikan dengan pendekatan individual. Akan tetapi, persoalan tenaga kerja di atas merupakan persoalan sosial, yang akhirnya membutuhkan penyelesaian yang mendasar dan menyeluruh.

Persoalan yang sangat erat hubungannya dengan fungsi dan tanggung jawab negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya harus diselesaikan melalui kebijakan dan implementasi negara dan tidak menyerahkan penyelesaiannya kepada pengusaha dan buruh. Sedangkan masalah kontrak kerja, dapat diselesaikan sendiri oleh pengusaha dan buruh. Pemerintah dalam hal ini hanya berfungsi sebagai pengawas sekaligus penengah jika terjadi persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh pengusaha dan buruh. Sehingga, menghadapi problem ketenagakerjaan saat ini, rasanya tak cukup jika pemerintah hanya melakukan revisi perundang-undangan, melainkan mesti mengacu kepada akar persoalan ketenagakerjaan itu sendiri.

Dengan demikian agar persoalan ketenagakerjaan dapat diselesaikan dengan tuntas, maka persoalan pemenuhan kebutuhan masyarakat seharusnya menjadi fokus perhatian. Selain itu, penyelesaian berbagai masalah ketenagakerjaan perlu dilakukan dengan tetap mencari solusi yang paling menguntungkan bagi kedua belah pihak, tidak ada yang dirugikan, baik buruh maupun pengusaha.

Karenanya, langkah penting yang perlu diambil adalah melakukan kategorisasi, dengan memisahkan permasalahan ketenagakerjaan yang terkait erat dengan pemenuhan kebutuhan dan masalah yang langsung berhubungan dengan kontrak kerja pengusaha dengan pekerja. Kategori pertama terkait dengan persoalan ketersediaan lapangan kerja, pengangguran, lemahnya SDM, tuntutan kenaikan upah serta tuntutan tunjangan sosial. Sedangkan kategori kedua menyangkut persoalan kontrak kerja antara pengusaha dan buruh mencakup persoalan PHK serta berbagai penyelesaian sengketa perburuhan lainnya.

Baik buruh maupun pengusaha berusaha meraih kemakmuran ekonomi. Menurut filsuf Yunani, Plato, kemakmuran ekonomi hanya bisa dicapai melalui pembagian kerja yang adil. Keadilan sendiri harus bersifat istimewa, karena didalamnya terdapat pengakuan dan penghormatan terhadap hak individu.

Jika hendak menyelesaikan problem kesejahteraan hidup, baik bagi kaum buruh maupun rakyat secara makro, tentunya penyelesaiannya harus mampu mencakup penyelesaian yang bersifat kasuistis dan sekaligus dibarengi oleh usaha penyelesaian bersifat sistemis-integralistis. Bila penyelesaian yang dilakukan hanya bersifat kasuistis dan parsial, maka problem mendasar seputar kesejahteraan hidup kaum buruh dan rakyat secara menyeluruh tidak akan selesai. Pemerintah melakukan berbagai langkah yang mampu memberikan nilai dan rasa keadilan, tidak saja bagi para pengusaha tapi juga bagi para buruh. Adanya pendapat bahwa persoalan ketenagakerjaan bukan semata-mata masalah buruh dan pengusaha, melainkan masalah bangsa adalah benar adanya. Maka, sudah semestinya pemerintah berupaya memberikan penyelesaian yang adil bagi semuanya.

Bahwa pemerintah harus memperhatikan kepentingan para pengusaha agar roda perekonomian negeri ini dapat terus bergerak itu benar. Namun, cara-cara ini mestinya tidak harus dengan mengorbankan para buruh. Sekedar contoh, pemerintah sebenarnya bisa menempuh berbagai upaya untuk menghilangkan berbagai faktor yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi bagi perusahaan. Misalnya, izin-izin dipermudah dan pungutan-pungutan liar harus dibabat. Karena, sudah menjadi rahasia umum, pungutan-pungutan itu sangat besar. Penciptaan iklim bisnis yang kondusif akan membantu menyehatkan perusahaan sehingga perusahaan pun dapat berbuat adil kepada para pekerjanya.


Penulis Artikel :
Amira Sukma Tristyana

(Hukum01-171710793) Tenaga Kerja Asing dan Buruh Serta Problematikanya

Berbicara tentang perekonomian Indonesia,seperti mendeskripsikan tangisan  keras dengan air mata yang semakin mengering.Sama hal nya dengan kesempatan kerja yang semakin sempit bahkan tak mampu lagi menampung pekerja yang bertambah setiap tahun. Ironisnya, ditengah kondisi seperti itu,tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia semakin ramai. Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. Di dalam UU ter­sebut, juga menegaskan keten­tuan bahwa setiap pengusaha dilarang memperkerjakan orang-orang asing tanpa izin tertulis dari menteri atau pe­jabat yang ditunjuk.

Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri di era globalisasi ini telah membawa mobilisasi pekerja antar negara dengan mudah. Sebab itulah tenaga kerja asing pun bisa masuk ke Indonesia. Harus digaris ba­wahi, bahwa penggunaan te­naga kerja asing itu telah di atur dengan tegas dalam Pera­turan Perundang-Undangan Republik Indonesia. Terdapat syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi sebelum mem­perkejakan tenaga asing di Indoneisa.

Tenaga kerja asing tidak boleh menduduki jabatan kerja yang dilarang. Jabatan kerja yang dilarang  telah diatur dalam Keputusan Men­teri Tenaga Kerja dan Trans­migrasi Republik Indonesia No 40 Tahun 2012 Tentang Jabatan-Jabatan Tertentu yang Dilarang Diduduki Tenaga Kerja Asing.Lebih kurang ada 19 jabatan kerja yang dilarang untuk tenaga kerja asing, beberapa diantaranya adalah menjadi direktur personalia, manejer hubungan indus­trial, dan manajer personalia. Jaba­tan-jabatan tersebut mengatur perihal pengadaan dan penem­patan tenaga kerja, penggajian dan pengupahan, serta kom­pensasi balas jasa dan jaminan sosial. Selain itu juga tentang sistem kontrol personalia, proses pemutusan hubungan kerja,pendidikan dan pela­ti­han,serta pengembanagan karier. Tujuan dibuatnya kepu­tusan menteri ini adalah untuk mem­perjelas batasan peng­gu­naan tenaga kerja asing di In­donesia dan untuk me­lin­du­ngi para tenaga kerja indo­ne­sia. Bertolak ukur pada dasar hukum yang telah di undang­kan oleh pemerintah, seakan memberikan jaminan yang kuat terhadap nasib para pen­cari kerja di Indonesia. Tetapi apa yang terjadi dalam prak­tiknya, mereka masih tertatih mencari kesana-kemari lowo­ngan pekerjaan. Baik itu lulu­san Sekolah Menengah Atas hingga Sarjana pun sangat sulit untuk mendapatkan pe­kerjaan di negeri sendiri.

Penggunaan tenaga kerja asing memang memiliki dam­pak positif kepada pere­ko­nomian dan perkembangan Indonesia jika memenuhi prosedur dan persyaratan seba­gaimana yang telah diatur. Tenaga kerja asing itu meru­pakan penambah devisa bagi negara, dan dapat memacu semangat tenaga kerja Indo­nesia untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manu­sianya, agar dapat bersaing dengan tenaga kerja asing.  Akan tetapi di balik dampak positif, ada begitu banyak dampak negatif, karena seperti  yang kita tahu, terkadang aturan itu tidak sesuai dengan praktiknya. Contohnya, masih banyak oknum yang mencari keuntungan dengan menye­ludupkan tenaga kerja asing itu ke Indonesia. Memperkaya diri sendiri dan golongan tanpa tahu begitu banyak anak bangsa yang kelaparan.

Kemana lagi harapan bang­­­­sa Indonesia ini ber­tum­pu jika tidak pada pemimpin pemerintahannya. Berharap perlindungan dengan sayap kejujuran yang teduh adalah hal yang dirindukan saat ini. Dalam persoalan peng­gu­naan tenaga kerja asing di Indo­nesia, pemerintah diha­rapkan dapat lebih teliti dan fokus agar tidak ada lagi tenaga kerja asing ilegal yang dapat men­cari keuntungan di Indone­sia, dimana ke­untu­ngan itu meru­pakan hak warga negara Indo­nesia.Jika masalah tenaga kerja asing telah mampu di­atasi peme­rintah, maka per­soalan pere­konomian Indo­nesia pun lebih dapat di kontrol dan dijaga kestabilita­san­­nya.

Buruh pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan baik berupa jasmani maupun rohani. Perburuhan, telah ada didunia sejak peradaban manusia dimulai. Sejak dulu, buruh telah dipandang sebelah mata diseluruh dunia, padahal keberadaan mereka sangat membantu roda perekonomian suatu bangsa. Hingga akhirnya muncullah usaha-usaha dari kalangan buruh untuk  melindungi hak-hak mereka.

Namun di dalam perjalanannya di Indonesia sebagai negara yang menginginkan kesejateraan masyarakatnya yang tersirat dan terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945, masih belum mampu menyelesaikan masalah tentang hak-hak kaum buruh dengan baik. Akar permasalahan yang terjadi pada buruh masih terletak pada persoalan-persoalan hubungan antara kesepakatan pengusaha dan pemerintah yang akhirnya berimbas buruk pada buruh dan msayarakat sebagai konsumen. Hal itu disebabkan adanya praktik-praktik gratifikasi, kolusi, nepotisme dan Korupsi yang melanda setiap bagian pelaksana pemerintahan mulai dari tingkat yang paling bawah hingga tingkat yang paling tinggi. Imbas dari kelalaian pengawasan, dan penetapan keputusan yang tidak adil memberikan masalah pada buruh berupa:

  1. Problem Upah

Salah satu problem yang langsung menyentuh kaum buruh adalah rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan upah/gaji yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya. Faktor ini, yakni kebutuhan hidup semakin meningkat, sementara gaji yang diterima relatif tetap, menjadi salah satu pendorong gerak protes kaum buruh. Sistem pengupahan di Indonesia, diwujudkan dalam suatu sistem yang khas Hubungan Industiral Pancasila (HIP). Dalam HIP, kepentingan pengusaha dan buruh diwujudkan dalam suatu musyawarah. Ini berarti HIP memberikan kedudukan (bargaining power) yang seimbang antara pengusaha dan buruh. Dalam HIP, kedudukan pengusaha dan buruh adalah partnership yang seharusnya saling memahami dan menghormati, mengingat kedua-duanya memiliki tanggung jawab yang sama dalam berproduksi.  HIP meletakkan hubungan ideal antara pengusaha dan buruh sebagai hubungan yang harmomis. Pemerintah berkepentingan terhadap masalah upah, karena upah merupakan sarana pemerataan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus terkait dengan kemajuan perusahaan yang nantinya berpengaruh pada perkembangan perekonomian nasional atau daerah. Untuk membantu mengatasi problem upah/gaji, pemerintah biasanya membuat "Batas minimal gaji" yang harus dibayarkan oleh perusahaan kepada pekerjanya, yang kemudian dikenal dengan istilah Upah Minimum Regional (UMR) atau Upah Minimum Daerah (UMD). Intervensi pemerintah dalam hal ini ditujukan menghilangkan kesan eksploitasi pemilik usaha kepada buruh, karena membayar di bawah standar hidupnya. Nilai UMR dan UMD ini biasanya dihitung bersama berbagai pihak yang merujuk kepada Kebutuhan Fisik Minimum Keluarga (KFM), Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), atau kondisi lain di daerah yang bersangkutan. Penetapan UMR sendiri sebenarnya sangat bermasalah dilihat dari realitas terbentuknya kesepakatan upah antara pengusaha dan buruh. Dalam kondisi normal dan dalam sudut pandang keadilan ekonomi, seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya peran jasa buruh dalam mewujudkan hasil usaha dari perusahaan yang bersangkutan.

  1. Problem Pemenuhan Kebutuhan dan Kesejahteraan Hidup

Aristoteles (filsuf Yunani) mendefinisikan kebutuhan mendasar manusia adalah semua kebutuhan dasar yang menyangkut dimensi manusia meliputi kebutuhan material, kesehatan, kebutuhan sosial (diterima masyarakat) hingga kebutuhan untuk meng-aktulisasi sebagai manusia. Implikasinya adalah setiap manusia berhak untuk secara leluasa mengambil inisiatif untuk memenuhi kebutuhannya. Hak pemenuhan kebutuhan hidup didasarkan pada fakta bahwa manusia adalah mahluk biologis yang memiliki kebutuhan dasar biologis meliputi kecukupan makanan, perlindungan, pakaian, perawatan medis dan pendidikan. Ketika para buruh hanya memiliki sumber pendapatan berupa upah/gaji, maka pencapaikan kesejahteraan bergantung pada kemampuan gaji dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dalam kenyataanya, jumlah gaji relatif tetap, sementara itu kebutuhan hidup selalu bertambah (adanya bencana, sakit, sekolah, tambah anak, harga barang naik, listrik, telepon, biaya transportasi, dan lain-lain.) Hal ini menyebabkan kualitas kesejahteraan rakyat (termasuk buruh) semakin rendah. Sejatinya, negara tidak lepas tangan dari usaha pemenuhan kebutuhan dasar warga negara, apalagi yang menyangkut kebutuhan pokok. Kondisi yang menimpa kaum buruh, memang tidak jauh beda dengan mayoritas rakyat/kaum lainnya selain buruh. Artinya, problem kesejahteraan ini lebih bersifat problem sistemis dari pada hanya sebatas problem ekonomi, apalagi problem buruh cukup diselesaikan antara buruh dan pengusaha semata. Padahal dwi pihak, kaum buruh selalu tak bisa berbuat apa-apa bila berhadapan dengan pengusaha. 

  1. Problem Pemutusan Hubungan Kerja

Salah satu persoalan besar yang dihadapi para buruh saat ini adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pemutusan hubungan kerja menjadi momok menakutkan bagi buruh dan menambah kontribusi pengangguran di Indonesia. Dalam kondisi ketika tidak terjadi keseimbangan posisi tawar menawar dan pekerjaan merupakan satu-satunya sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK menjadi bencana besar yang bisa-bisa membuat buruh traumatis. Secara umum PHK terjadi karena beberapa sebab, seperti permintaan sendiri, berakhirnya masa kontrak kerja, kesalahan buruh, masa pensiun, kesehatan/kondisi fisik yang tidak memungkinkan, atau karena meninggal dunia. Problem PHK biasanya terjadi dan kemudian menimbulkan problem lain yang lebih besar di kalangan buruh karena beberapa kondisi dalam hubungan buruh-pengusaha. Sebenarnya, PHK bukanlah problem yang besar kalau kondisi sistem hubungan buruh pengusaha telah seimbang dan adanya jaminan kebutuhan pokok bagi buruh sebagaimana bagi seluruh rakyat oleh sistem pemerintahan yang menjadikan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat sebagai asas politik perekonomiannya.

  1. Problem Tunjangan Sosial dan Kesehatan

Dalam masyarakat kapitalistis seperti saat ini, tugas negara lebih pada fungsi regulasi, yakni pengatur kebebasan warga negaranya. Karena itu, sistem ini tidak mengenal tugas negara sebagai "pengurus dan penanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya". Rakyat yang ingin memenuhi kebutuhannya harus bekerja secara mutlak, baik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya maupun kebutuhan pelengkapnya sehingga prinsip struggle for life benar-benar terjadi. Jika seseorang terkena bencana atau kebutuhan hidupnya meningkat, ia harus bekerja lebih keras secara mutlak. Begitu pula ketika ia sudah tidak mampu bekerja karena usia, kecelakaan, PHK atau sebab lainnya, maka ia tidak punya pintu pemasukan dana lagi. Kondisi ini menyebabkan kesulitan hidup luar biasa, terutama bagi seorang warga negara yang sudah tidak dapat bekerja atau bekerja dengan gaji sangat minim hingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.

  1. Problem Lapangan Pekerjaan

Kelangkaan lapangan pekerjaan bisa terjadi ketika muncul ketidakseimbangan antara jumlah calon buruh yang banyak, sedangkan lapangan usaha relatif sedikit; atau banyaknya lapangan kerja, tapi kualitas tenaga kerja buruh yang ada tidak sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan. Kelangkaan lapangan pekerja ini memunculkan angka tingkat pengangguran yang tinggi yang dapat berakibat pada aspek sosial yang lebih luas.


Dalam era globalisasi, pemerintah harus mengakomodasi tekanan internasional terhadap kebijakan pemerintah yang berkenanaan dengan masalah humanisme.  Sebagai contoh aktual adalah : isu ancaman pembatalan fasilitas bea masuk (Generalized  System of Preferences – GSP) oleh Pemerintah dan Parlemen Amerika Serikat pada tahun 1993 terhadap bea masuk produk-produk ekspor Indonesia ke Amerika Serikat.  Ancaman tersebut berkaitan dengan perlindungan hak-hak buruh dan praktek buruh anak di Indonesia.


Penulis artikel :
Irvan Pratama

(Hukum01-171710623) Kedudukan Buruh dan Problematikanya

Buruh, pekerja, tenaga kerja, karyawan pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainnya kepada pemberi kerja atau majikan atau pengusaha.

Buruh adalah mereka yang bekerja pada usaha perorangan dan diberikan imbalan secara harian maupun borongan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, baik lisan maupun tertulis yang biasanya imbalan kerja tersebut diberikan secara harian.

Pada dasarnya, buruh, pekerja, tenaga kerja maupun karyawan adalah sama. Tapi di Indonesia buruh selalu diindentikan dengan pekerja rendahan, hina, kasar dan sebagainya. Sedangkan pekerja, tenaga kerja dan karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih tinggi dan diberikan kepada buruh yang tidak memakai otot tetapi otak dalam bekerja, tetapi pada intinya keempat kata tadi mempunyai makna yang sama yaitu pekerja. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku umum untuk seluruh pekerja maupun pungasaha di Indonesia..

Menurut UU No 13 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 atay 2, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Tenaga kerja merupakan modal utama serta pelaksanaan dari pembangunan masyarakat pancasila. Tujuan terpenting dari pembangunan masyarakat tersebut adalah kesejahteraan rakyat termasuk tenaga kerja. Tenaga kerja sebagai pelaksana pembangunan hatus di jamin hak-haknya. PER-04/MEN/1994 mengatakan bahwa pengertian tenaga kerja adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan yang belum wajib mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja karena adanya pentahapan kepesertaan.

Secara umum pengertian buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan upah. Dalam konteks kepentingan didalam suatu perusahaan terdspat dua kelompok yaitu kelompok pemilik modal (owner) dan kelompok buruh., yaitu orang-orang yang diperintah dan dipekerjakan dan berfungsi sebagai salah satu komponen dalam proses produksi. Dalam teori Karl Marx tentang nilai lebih disebutkan bahwa kelompok yang memiliki dan menikmati nilai lebih disebut sebagai majikan dan kelompok yang terlibat dalam.proses penciptaan nilai lebih itu disebut buruh.

Buruh berbeda dengan pekerja. Pengertian pekerja lebih menunjuk kepada proses dan bersifat mandiri, bisa saja pekerja itu bekerja untuk dirinya sendiri dan mengaji dirinya sendiri seperti petani yang mempunyai tanah garapan sendiri, nelayan yang mempunyai kapal ikan sendiri, dokter yang membuka praktek sendiri dll yang dalam proses bekerjanya memperoleh nilai tambah dari apa yang mereka buat sendiri. Istilah tenaga kerja dan karyawan dipopulerkan oleh pemerintah orde baru untuk menggantikan kata buruh yang pada waktu itu dianggap kekiri-kirian dan radikal.

Problem Ketenagakerjaan di Indonesia sampai saat ini masih terkait dengan sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya SDA tenaga kerja, upah murah dan jaminan sosial yang seadanya. Dan juga perlakuan yang merugikan bagi para pekerja seperti penganiayaan, tindak asusila, penghinaan, intimidasi sampai pelecehan seksual. Akhirnya banyak warga negara Indonesia yang menjadi tenaga kerja di luar negeri dan ini pun menyisakan masalah dengan kurangnya perlindungan dan pengawasan dari negara terhadap para tenaga kerja Indonesia tersebut.

Indonesia sebagai negara bercita-cita ingin mensejahterakan rakyatnya seperti yang terkandung dan menjadi amanat dalam Pancasila dan UUD 1945 walaupun dalam prakteknya belum bisa mewujudkan amanat ini terutama terkait dengan permasalahan yang dialami oleh kaum pekerja/buruh. Akar permasalahan yang terjadi pada pekerja/buruh masih terletak pada persoalan-persoalan hubungan dan kesepakatan antara pengusaha dan pemerintah yang akhirnya berimbas kepada pekerja/buruh dan masyarakat sebagai konsumen.  Kasus gratifikasi dan korupsi yang melibatkan pengusaha dan pemerintah akhirnya mengakibatkan kelalaian dalam pengawasan dan penetapan keputusan yang pada akhirnya merugikan kaum pekerja/buruh.

Problem yang muncul akibat dari kelalaian pengawasan dan penetapan keputusan yang tidak adil ini berupa :

 

 

 

  1. Problem Upah.


Salah satu problem yang langsung menyentuh kaum buruh adalah rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan upah yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat sementara upah yang diterima relative tetap, menjadi salah satu pendorong gerakan protes kaum pekerja/buruh.
Sistem perburuhan di Indonesia mengacu pada sistem Hubungan Industrial Pancasila, dalam sistem ini kedudukan pengusaha dan pekerja/buruh adalah setara, memiliki tanggung jawab yang sama, saling menghormati dan saling memahami. Semua kepentingan harus dibicarakan secara musyawarah. Pemerintah berkepentingan terhadap masalah upah, karena upah merupakan sarana pemerataan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus terkait dengan kemajuan perusahaan yang nantinya berpengaruh pada perkembangan perekonomian nasional dana atau daerah. Untuk mengatasi permasalahan upah pemerintah biasanya menetapkan batas minimal upah/Upah Minimum Regional yang harus dibayarkan perusahaan kepada pekerjanya, walaupun penetapan UMK ini sebenarnya bermasalah kerena seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya peran jasa buruh dalam mewujudkan hasil usaha dari peruasahaan yang bersangkutan.

 

  1. Problem Pemenuhan Kebutuhan dan Kesejahteraan Hidup.


Aristoteles (filsuf Yunani) mendefinisikan kebutuhan mendasar manusia adalah semua kebutuhan dasar yang menyangkut dimensi manusia meliputi kebutuhan material, kesehatan, kebutuhan sosial (diterima masyarakat) hingga kebutuhan untuk meng-aktualisasi sebagai manusia. Implikasinya adalah setiap manusia berhak untuk secara leluasa mengambil inisiatif untuk memenuhi kebutuhannya. Hak pemenuhan kebutuhan hidup didasarkan pada fakta bahwa manusia adalah mahluk biologis yang memiliki kebutuhan dasar biologis meliputi kecukupan makanan, perlindungan, pakaian, perawatan medis dan pendidikan. Ketika para pekerja/buruh hanya memiliki sumber pendapatan berupa upah, maka pencapaian kesejahteraan bergantung pada kemampuan upah dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dalam kenyataanya, jumlah upah relatif tetap, sementara kebutuhan hidup selalu bertambah seperti biaya pendidikan, perumahan, sakit dll. Hal ini menyebabkan kualitas kesejahteraan rakyat termasuk pekerja/buruh semakin rendah. Seharusnya pemerintah tidak lepas tangan dari usaha pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya apalagi menyangkut kebutuhan pokok.

  1. Problem Pemutusan Hubungan Kerja

PHK adalah salah satu persoalan besar yang dihadapi oleh kaum pekerja/buruh. PHK menjadi hal yang menakutkan bagi kaum pekerja/buruh dan menambah kontribusi bagi pengangguran di Indonesia. Dalam kondisi ketika tidak terjadi ketidakseimbangan posisi tawar menawar dan pekerjaan merupakan satu-satunya sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK menjadi bencana besar yang dapat membuat buruh menjadi traumatis. Problem PHK biasanya terjadi dan menimbulkan problem lain yang lebih besar dikalangan buruh karena beberapa kondisi dalam hubungan buruh-pengusaha. Sebenarnya, PHK bukanlah problem yang besar kalau kondisi sistem hubungan pekerja/buruh dan pengusaha telah seimbang dan adanya jaminan kebutuhan pokok bagi pekerja/buruh sebagaimana bagi seluruh rakyat oleh sistem pemerintahan yang menjadikan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat sebagai asas politik perekonomiannya.

  1. Problem Tunjangan Sosial dan Kesehatan


Dalam masyarakat kapitalis seperti saat ini, tugas  negara lebih pada fungsi regulasi, yakni pengatur kebebasan warga negaranya. Sistem ini tidak mengenal tugas negara sebagai pengurus dan penanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya. Rakyat yang ingin memenuhi kebutuhannya harus bekerja secara mutlak, baik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya maupun kebutuhan pelengkapnya. Jika seseorang terkena bencana atau kebutuhan hidupnya meningkat, ia harus bekerja lebih keras secara mutlak. Begitu pula ketika ia sudah tidak mampu bekerja karena usia, kecelakaan, PHK atau sebab lainnya, maka ia tidak punya pintu pemasukan dana lagi. Kondisi ini akan menyebabkan kesulitan hidup, terutama bagi rakyat yang sudah tidak dapat bekerja atau bekerja dengan upah yang minim sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

  1. Problem Lapangan Pekerjaan

Kelangkaan pekerjaan bisa terjadi ketika muncul ketidakseimbangan antara jumlah calon pekerja/buruh yang banyak, sedangkan lapangan pekerjaan relatif sedikit, atau banyaknya lapangan kerja, tapi kualitas tenaga kerja pekerja/buruh yang ada tidak sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan. Kelangkaan pekerjaan ini dapat menimbulkan gejolak sosial, angka pengangguran yang tinggi dapat berakibat pada aspek sosial yang lebih luas.

Melihat permasalahan ketenagakerjaan diatas, tentu saja membutuhkan pemecahan yang baik dan sistematis, karena permasalahan tenaga kerja bukan lagi permasalahan individu yang bisa diselesaikan dengan pendekatan individual, tetapi merupakan persoalan sosial, yang akhirnya membutuhkan penyelesaian yang mendasar dan menyeluruh. Persoalan  yang sangat erat hubungannya dengan fungsi dan tanggung jawab negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya harus diselesaikan melalui kebijakan dan pelaksanaan oleh negara bukan diselesaikan oleh pekerja/buruh dan pengusaha. Sedangkan masalah hubungan kerja dapat diselesaikan oleh pekerja/buruh dan pengusaha. Menghadapi permasalahan yang ada maka pemerintah tidak cukup dengan hanya merevisi perundang-undangan, melainkan mesti mengacu kepada akar permasalahan ketenagakerjaan itu sendiri. Yang terpenting adalah pemerintah tidak boleh melepaskan fungsinya untuk melindungi dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya adalah hal ini kesejahteraan bagi pekerja/buruh.

PERMASALAHAN BURUH

Perburuhan di Indonesia selalu mempermasalahkan aspek kelayakan upah minimum yang tidak pernah menjadi kesepakatan antara buruh dengan pengusaha. Sampai kapan pun tidak akan pernah ada yang disebut dengan kesepahaman nyata antara buruh dengan pemilik modal (pengusaha). Di negara manapun, kesepakatan perburuhan merupakan upaya politik yang kemudian disepakati atau tidak disepakati secara politik. Upah minimum di Indonesia hanya dilandasi hasil survei regional terhadap kebutuhan hidup (living cost) dan biaya-biaya tambahan lainnya, padahal tidak semua orang memiliki yang sama. Adapun masalahnya bahwa setiap orang harus menerima kenyataan yang disebut kesepakatan upah.

Semua negara akan senantiasa bermasalah dengan perburuhan, kecuali dengan negara yang menganut paham komunis/sosialis. Di negara komunis, kesenjangan pendapatan relative sangat rendah. Keseluruhan kapital dianggap milik negara dan dialokasikan untuk pendanaan kesejahteraan. Adapun di negara sosialis kesenjangan pendapatan tidak terlalu tinggi , akan tetapi setiap orang dijamin hak-hak dasarnya.

Konflik perburuhan di semua negara sebenarnya akan bermuara pada kepentingan politik dan ekonomi. Konflik pada kepentingan ekonomi terletak pada tarik menariknya kepentingan individu (institusi rumah tangga) yang menyediakan tenaga kerja dan kepentingan pemilik kapital yang menyediakan lapangan kerja. Kepentingan tenaga kerja tidak semata menuntut akan pendapatan yang layak, melainkan tuntutan atas kesejahteraan. Demikian pula halnya dengan pemilik kapital yang menginginkan untuk mengefektifkan biaya produksi agar dapat mengoptimalkan laba operasionalnya. Permasalahan perburuhan sesungguhnya harus dilihat dari sudut pandang ekonomi dengan melihat aliran pendapatan dan biaya. Sektor rumah tangga menginginkan untuk memperoleh pendapatan dengan memberikan kontribusi berupa produktivitas kepada pemilik modal. Tentu saja, pendapatan tersebut dianggap sepadan untuk memenuhi hak-hak dasarnya sebagai warga negara, yaitu kesejahteraan. Biaya hidup yang selama ini menjadi pedoman pengukuran standarisasi upah minimum hanyalah mengukur ongkos kebutuhan pokok sehari-hari. Sementara itu, biaya hidup bukanlah ukuran yang memiliki sifat statis, tetapi akan senantiasa dinamis mengikuti perubahan atas harga (inflasi).

Dari sisi pemilik kapital selalu akan menganggap komponen upah sebagai bagian dari komponen biaya produksi. Pemilik capital menginginkan untuk mengoptimalkan perolehan laba bersihnya. Produktivitas yang diberikan oleh tenaga kerja diharapkan akan dapat memberikan manfaat untuk mengoptimalkan output dan menopang strategi bersaing. Fakta tadi harus dipandang dengan secara realistis, apabila masalah perusahaan tidak semata mengenai input dan output semata.

Menurut UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dikatakan bahwa perusahaan tidak hanya diwajibkan membayar upah buruh/pekerja, melainkan memiliki kewajiban pula untuk memenuhi kesejahteraan. Upah layak sesungguhnya tidak pernah terjadi di Indonesia, kecuali yang disebut upah murah. Sekalipun ada yang disebut standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL), akan tetapi ukuran statistic tersebut belum tentu merepresentasikan kehidupan layak yang sesungguhnya apalagi apabila dikaitkan dengan PP No 78 Tahun 2015 yang meninjau tentang KHL ini selama 5 tahun sekali. Maka yang terjadi adalah pendapatan buruh/pekerja lebih terserap habis hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya saja, belum lagi kalau ada pelanggaran atas kesepakatan upah oleh pihak perusahaan. Di Indonesia pun upah murah sering dipakai sebagai upaya menarik investor asing agar mau menanamkan modalnya.

Jadi penulis bisa menarik kesimpulan, bahwa sampai kapanpun aka nada perbedaan persepsi mengenai upah dan kesejahteraan buruh/pekerja, kesepakatan upah yang terjadi lebih kepada kesepakatan politik bukan atas nilai keadilan dan kesejahteraan dan yang memperburuk keadaan ini adalah kebijakan upah murah selalu dipakai oleh pemerintah dalam upaya menarik investor asing ke Indonesia.

Permasalahan perburuhan yang ada sampai saat ini lebih disebabkan karena faktor-faktor di luar hubungan kerja/industrial itu sendiri, misalnya:  

  1. Ketimpangan jumlah lapangan kerja dan jumlah tenaga kerja yang mengakibatkan posisi buruh atau tenaga kerja dalam posisi yang lemah; 
  2. Hak-hak dasar atau hak-hak normatif yang seharusnya dinikmati oleh warga negara termasuk buruh dan saat ini belum bisa dipenuhi oleh Negara, antara lain: pendidikan yang murah dan berkualitas, transportasi umum yang murah, layak dan aman, biaya kesehatan/ jaminan kesehatan, harga-harga kebutuhan pokok, perumahan, jaminan hari tua untuk warga negara yg sudah berusia lanjut ; jaminan mendapatkan pekerjaan;
  3. Hak-hak di bidang hukum, antara lain: perlindungan hukum bagi buruh yang melakukan kegiatan serikat pekerja, pengawasan pemerintah terhadap pelanggaran hak-hak buruh, ketakutan akan pemutusan hubungan kerja (PHK);

 

Penulis artikel :
Anisa Agustina

(Hukum02-171710813) Buruh Tolak Rencana Pemerintah Permudah Izin Tenaga Kerja Asing

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia ( KSPI) menolak rencana pemerintah untuk mempermudah peraturan mengenai tenaga kerja asing (TKA) yang bekerja di Indonesia. Ini mengingat jumlah pengangguran di Indonesia juga masih tinggi.

Presiden KSPI Said Iqbal menegaskan, dengan dipermudah, bisa jadi tenaga kerja asing yang tak punya kemampuan akan berbondong-bondong ke Indonesia.

Apalagi, saat ini peraturan mengenai tenaga kerja asing sudah sangat mudah. Seperti tidak adanya kebebasan bebas visa untuk negara-negara tertentu dan dihilangkannya kewajiban bisa berbahasa Indonesia.

Dia mengungkapkan, KSPI tidak menolak investasi asing. Karena investasi dapat mendorong pembangunan yang menciptakan lapangan kerja sehingga dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi kemiskinan.

"Dengan investasi yang meningkat, maka pertumbuhan ekonomi diharapkan akan semakin meningkat. Namun, pertumbuhan ekonomi yang meningkat juga harus diimbangi dengan penyerapan tenaga kerja sehingga tidak ada lagi warga Indonesia yang menganggur," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (22/3/2018).

Jika pengangguran meningkat, amanat konstitusi yaitu warga negara Indonesia mempunyai hak mendapatkan penghidupan yang layak tidak akan tercapai.

Oleh karena itu, Said Iqbal mengharapkan pemerintah benar-benar mengawasi tenaga kerja asing yang masuk di Indonesia agar tidak mendominasi dan menyalahi peraturan.

Atas dasar itu, KSPI menolak masuknya tenaga kerja asing yang tidak memiliki keterampilan untuk mengambil lapangan pekerjaan yang seharusnya dapat dimasuki pekerja Indonesia.

KSPI mendesak pemerintah untuk menghentikan kebijakan aturan yang mempermudah TKA khususnya TKA China yang masuk bekerja di Indonesia.

"Kami tidak menginginkan masyarakat Indonesia menjadi penonton dalam negeri dan tidak berdaya saing karena menjadi tamu di negerinya sendiri, menjadi asing di negaranya sendiri," ungkap dia.

Said menambahkan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juga tegas melarang TKA yang tak punya kemampuan bekerja di Indonesia, terkecuali yang skill worker atau tenaga kerja berketerampilan seperti tenaga ahli mesin teknologi tinggi, ahli hukum internasional, akuntansi internasional, dan lain-lain.

Itu pun wajib dipersyaratkan TKA harus bisa berbahasa Indonesia, satu orang TKA didampingi 10 orang pekerja lokal, terjadi transfer of knowledge dan transfer of job.

"Apa yang dilakukan pemerintah dengan mempermudah izin TKA adalah pengingkaran dan menciderai konstitusi dan berpotensi presiden melanggar UUD 1945," ujar  dia. 

Nama: Pratiwi Ningsih

(Hukum02-171710772) Arah suara buruh di 2019 dan perpecahan serikat pekerja


Setahun menjelang pemilu 2019, partai politik gencar mencari dukungan suara ke kantong-kantong suara potensial, termasuk golongan kelas pekerja atau buruh. Namun, suaranya dinilai tidak signifikan karena masih kurang kompak.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengungkapkan bahwa akan ada deklarasi calon presiden yang dinilai mewakili aspirasi para buruh pada perayaan 'May Day' atau Hari Buruh Internasional pada 1 Mei.

Menurutnya, calon terkuat capres pihaknya hingga saat ini adalah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli.
Namun, Said mengakui deklarasi tersebut hanya bentuk dukungan dari para buruh, dan yang menentukan adalah partai politik.

"Prabowo dan Rizal Ramli. Itu maunya buruh. Tapi kan buruh bukan partai politik, nanti partai politik yang menentukan," kata dia, kawasan Menteng, Jakarta, (24/4).

Lebih jauh, Said mengatakan suara potensial dari KSPI mencapai sekitar 5 juta pemilih. Pihaknya juga akan bekerja untuk meraup suara dari luar anggota.

"Anggota KSPI 2,2 juta. Dikalikan istri dan anak satu, maka kami punya suara hampir 5 juta,"

Terpisah, pengamat politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai wajar jika buruh memberikan dukungan terbuka terhadap salah satu calon Presiden.

Sebab, mereka juga mempunyai aspirasi yang perlu diperjuangkan. Dukungan terhadap salah satu calon adalah salah satu cara menyuarakannya.

"Boleh-boleh saja enggak ada masalah karena semua calon masih berpeluang. apalagi kalau sudah punya massa rial, tinggal melakukan pendekatan terhadap parpol," kata dia, saat dihubungiCNNIndonesia.com, Selasa (24/4).

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah angkatan kerja Indonesia pada Februari 2017 sebanyak 131,55 juta, sedangkan penduduk pekerjanya mencapai 124,54 juta. Jumlah ini naik sebanyak 6,13 juta orang dibanding pada semester sebelumnya, dan bertambah 3,89 juta dibandingkan pada Februari 2016.

Meskipun suara dari golongan buruh cukup besar, lanjut Hendri, hal itu tidak memberikan jaminan kemenangan bagi calon presiden yang didukung.

Hal itu terjadi pada Pemilu Presiden 2014. Saat itu, KSPI dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menyatakan dukungannya terhadap pasangan Presiden-Wakil Presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Namun akhirnya, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang memenangkan pemilihan.

"Pengaruh buruh memang cukup besar dan buruh itu sudah pernah dicoba di kancah perpolitikan Indonesia, namun belum berhasil," kata Hendri.

Senada, Direktur Populi Center Usep S Ahyar mengatakan suara buruh bisa menambah perolehan suara meskipun tidak cukup siginifkan. Pasalnya, suara buruh tidak bulat karena ada perbedaan pandangan politik di masing-masing .

Misalnya, pada Pemilu Presiden 2014 tetap ada dua serikat buruh, yakni Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), yang mendukung Jokowi-JK.

"Tentunya suara buruh akan menambah kekuatan di partai. Tapi di buruh juga mempunyai kepentingan yang berbeda beda dan suaranya juga terpecah," kata Usep.

Lebih jauh, Usep mengatakan suara buruh akan berpengaruh signifikan jika kondisi organisasi seperti era orde baru diterapkan. Saat itu hanya satu organisasi golongan profesi tertentu yang diakui pemerintah.

Misalnya, PGRI yang menaungi para guru atau Kerukunan Tani Indonesia (KTI) yang menaungi para petani. Sehingga, suara di dalam organisasi itu tidak terpecah.

Pasca reformasi, menurut Usep, banyak bermunculan organsiasi dari golongan yang sama. Pun Begitu pada buruh. Hingga saat ini banyak organsiasi buruh yang tersebar hingga ke level paling kecil. Organisasi-organisasi itu belum tentu mempunyai kepentingan politik yang sama.

"Buruh itu macam-macam juga. Saya kira itu mengapa tidak kuat mendukung, karena di organisasinya tidak begitu solid. Kalau jadi satu kekuatan itu saya kira dahsyat juga.

Nama : Nur aida

(Hukum01-171710590) Serikat Buruh Akan Ajukan Uji Materi Perpres Tenaga Kerja Asing

Perpres dianggap memberikan kemudahan perizinan kepada tenaga kerja asing, dan berpotensi melanggar beberapa undang-undang.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berencana mengajukan gugatan uji materi Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga kerja asing (TKA). KSPI mendapat bantuan hukum dari pengacara sekaligus Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dalam gugatan Perpres tersebut ke Mahkamah Agung.

"Saya akan bertindak sebagai kuasa hukum KSPI untuk menguji materil Perpres kontroversial yang diteken Presiden Jokowi dengan petitum maksimal agar Mahkamah Agung membatalkan Perpres karena bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi kedudukannya dari Perpres," kata Yusril dalam pesan tertulis, Senin (23/4).

Perpres tersebut dianggap memberikan kemudahan perizinan kepada tenaga kerja asing, dan berpotensi melanggar beberapa undang-undang, di antaranya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 

Yusril mengatakan Ketua KSPI Said Iqbal telah membicarakan rencana gugatannya melalui perbincangan telefon. Kemudian empat orang Pengurus KSPI juga telah menemuinya di DPP Partai Bulan Bintang untuk mendiskusikan uji materil Perpres tersebut.

"Sebagai organisasi pekerja, KSPI tentu mempunyai legal standing untuk menguji Perpres itu, karena isinya merugikan kepentingan pekerja Indonesia dan sebaliknya menguntungkan buruh asing," kata Yusril.

Yusril mengatakan dirinya akan memberi bantuan hukum secara sukarela. Apalagi, menurut dia, Perpres tentang TKA tersebut tidak menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat. "Mudah-mudahan uji materil terhadap Perpres No 20/2018 akan memperkuat tuntutan KSPI," kata Yusril.

Selain menggugat Perpres tentang TKA ke MA, KSPI berencana akan mengerahkan buruh memprotes aturan tersebut pada 1 Mei 2018 nanti. Mereka menuntut pemerintah mencabut Perpres yang dianggap mempermudah masuknya buruh asing.

Di samping itu, KSPI bersama dengan Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPMI) akan mendeklarasikan calon presiden ( capres) yang mendukung buruh pada Pilpres 2019 saat demo hari buruh.

Perpres tentang TKA ini mendapat sorotan tak hanya dari kaum buruh tapi juga kelompok oposisi pemerintah di parlemen. Saat ini beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan dibentuknya Panitia Khusus mengenai Perpres tersebut.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Hanif Dhakiri menjelaskan Perpres Nomor 20/2018 tentang Tenaga Kerja Asing bertujuan mempermudah birokrasi perizinan, bukan membebaskan masuknya TKA.

"Misalnya mengurus izin kenapa harus sebulan kalau seminggu bisa, kenapa harus seminggu kalau sehari bisa, kenapa harus sehari kalau sejam bisa. Nah izin-izin itu yang disederhanakan," kata Hanif, dikutip dari Antaranews, Minggu (22/4).

Dia mengatakan beberapa syarat TKA yang bekerja di Indonesia masih diberlakukan, seperti syarat pendidikan, kompetensi, waktu kerja, jabatan, dan uang kompensasi.

"Mereka hanya boleh menduduki jabatan menengah ke atas. Pekerja kasar di dalam Perpres yang baru tetap tidak boleh, tetap terlarang. Jadi tidak ada yang yang berubah dari sisi itu," kata Hanif. 

Tahun 2018 yang mengatur mengenai tenafa kerja asing (TKA). Aturan ini dikhawatirkan KSPI mengurangi hak masyarakat untuk bisa mendapatkan pekerjaan di negerinya sendiri.

tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengaku bakal merayakan Hari Buruh Internasional (May Day) dengan aksi turun ke jalan menyuarakan berbagai tuntutannya. KSPI akan menerjunkan 1 juta buruh dari 25 provinsi menggelar aksi tersebut.

Presiden KSPI Said Iqbal mengaku, di wilayah Jakarta dan sekitarnya, aksi ini akan dipusatkan di depan Istana Kepresidenan. Setelah itu, akan dilanjutkan jalan kaki menuju Istora Senayan, Kompleks Stadion Gelora Bung Karno.
Kedua, para buruh menuntut kepada pemerintah untuk bisa menurunkan harga beras, listrik, dan bahan bakar minyak (BBM). Memang harga BBM bersubsidi tidak naik.

Namun, kenyataannya volume dikurangi sehingga masyarakat beralih menggunakan BBM nonsubsidi. Di sisi lain, BBM nonsubsidi justru mengalami kenaikan harga.
Di sana kita akan mendeklarasikan calon presiden pilihan buruh. Jelas nanti kalau terpilih bisa mendengar dan memperjuangkan hak-hak para buruh," kata Said Iqbal di Hotel Mega Proklamasi, Selasa (24/4/2018).

Setidaknya ada empat tuntutan para buruh yang akan disuarakan pada hari buruh nantinya. Dan hal itu pula yang akan diperjuangkan presiden pilihan buruh.

Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung memaklumi jika ada yang menggoreng penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Pasalnya, saat ini sudah tahun politik. 

Pramono menegaskan, Perpres itu sesungguhnya hanya mempermudah administrasi penggunaan TKA khususnya untuk tenaga kerja kelas menengah ke atas, yang selama ini berbelit-belit, dan pengurusannya terlalu lama.

"Perbaikan yang dilakukan dalam Perpres itu adalah administrasi pengurusan agar misalnya seorang direktur yang sudah bekerja di sini kan banyak. Kemudian mereka harus keluar dulu ke Singapura untuk izin sementara, baru masuk lagi. Nah yang begitu-begitu yang diatur dipermudah. Jadi bukan mempermudah tenaga kerja asing untuk masuk. Bukan, sama sekali bukan," tegas Pramono seperti dikutip dari laman resmi Setkab, Jakarta, Kamis (19/4/2018). 

Pramono kembali menegaskan, penerbitan Perpres tentang penggunaan tenaga kerja asing itu sama sekali tidak berhubungan dengan tenaga non-skill, namun hanya pada level medium ke atas, manajer, general manager, dan direktur yang akan memperpanjang izin kerjanya agar tidak perlu balik dulu ke Singapura, baru ke Indonesia.

Yang kedua, ini juga berkaitan dengan misalnya jabatan seorang direktur keuangan mau pindah menjadi direktur operasi, itu sebelumnya  izin dulu.
"Itu. Terlalu berbelit-belit. Nah sekarang itulah yang dipermudah," pungkas Pramono Anung. 

Hari Buruh Internasional atau yang dikenal dengan 'May Day', akan kembali diperingati pada 1 Mei 2018. Polri sudah menyiapkan skenario pengamanan seperti tahun sebelumnya.
Wakapolri Komjen Syafruddin mengatakan, pengamanan peringatan hari buruh sudah dilakukan secara rutin setiap tahun.

"Seperti rutin saja per tahun. Ini kan namanya hari ulang tahun, ya jadi bukan sesuatu yang mengkhawatirkan," kata Syarudidin saat ditemui di kantor Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta, Senin 23 April 2018.

Syafruddin menjelaskan, Polri sejauh ini belum menerima izin dari pihak buruh. Izin itu termasuk mengenai jumlah massa buruh yang akan turun ke jalan menyampaikan pendapat di muka umum.

Dia memastikan, setiap aparat yang berada di Polda Metro akan bersiaga mengamankan wilayahnya dalam peringatan hari buruh. Biasanya, kata dia, massa buruh akan banyak memperingati 'May Day' di kota-kota besar seperti DKI Jakarta, serta daerah seperti Jawa Barat dan Jawa Timur.
Untuk arus lalu lintas pun besar kemungkinan tidak akan berpengaruh mengingat merupakan hari libur nasional.

Nama : Anong Sari Bunga