Buruh merupakan orang yang bekerja untuk orang lain yang mempunyai suatu usaha kemudian mendapatkan upah atau imbalan sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Upah biasanya diberikan secara harian maupun bulanan tergantung dari hasil kesepakatan yang telah disetujui.
Kesejahteraan buruh Meskipun buruh mempunyai posisi yang strategis dalam perpolitikan bangsa, namun seringkali suara buruh tidak didengar oleh para birokrat. Seringkali buruh hanya menjadi kebutuhan sementara bagi para pihak-pihak yang berkepentingan dan meninggalkanya ketika mereka sudah masuk pada lingkaran kekuasaan. Sangat ironis sekali melihat realita yang terjadi antara buruh dan birokrasi. Padahal kalau kita melihat bahwa kalangan industri sangat diuntungkan upah buruh Indonesia yang bisa dibilang sangat murah sekali dibandingkan dengan Negara-negara berkembang lainya. Dengan upah buruh yang relative rendah tersebut dan produktivitas buruh yang sedemikian tinggi, buruh mampu memberikan keuntungan yang besar bagi kalangan dunia usaha atau pengusaha. Hubungan antara buruh dan pengusaha idealnya adalah saling menguntungakan antara satu dengan yang lainnya. Disisi buruh, semestinya sudah mendapatkan apa seharusnya menjadi hak-haknya. Tidak hanya upah yang memberi kesejahtetaan terhadap kehidupan buruh itu sendiri. Namun juga hal-hal lain yang sekiranya dapat menunjang kesejahteraan buruh tersebut. Diantaranya jaminan social tenaga kerja (Jamsostek), mekanisme pemutusan hubungan kerja sampai pada pembayaran uang pesangon ketika buruh sudah memasuki purna kerja. Karena yang terjadi selama ini buruh seringkali hanya mendapat upah pekerjaanya tanpa mengerti yang menjadi hak-haknya.
Pengertian buruh pada saat ini di mata masyarakat awam sama saja dengan pekerja, atau tenaga kerja. Padahal dalam konteks sifat dasar pengertian dan terminologidiatas sangat jauh berbeda. Secara teori, dalam kontek kepentingan, didalam suatu perusahaan terdapat 2 (dua) kelompok yaitu kelompok pemilik modal (owner) dankelompok buruh, yaitu orang-orang yang diperintah dan dipekerjanan yang berfungsisebagai salah satu komponen dalam proses produksi. Dalam teori Karl Marx tentangnilai lebih, disebutkan bahwa kelompok yang memiliki dan menikmati nilai lebih disebutsebagai majikan dan kelompok yang terlibat dalam proses penciptaan nilai lebih itudisebut Buruh. Dari segi kepemilikan kapital dan aset-aset produksi, dapat kita tarik benang merah, bahwa buruh tidak terlibat sedikitpun dalam kepemilian asset, sedangkanmajikan adalah yang mempunyai kepemilikan aset. Dengan demikian seorang manajer atau direktur disebuah perusahaan sebetulnya adalah buruh walaupun mereka mempunyaiembel-embel gelar keprofesionalan.Buruh berbeda dengan pekerja. Pengertian pekerja lebih menunjuk pada prosesdan bersifat mandiri. Bisa saja pekerja itu bekerja untuk dirinya dan menggaji dirinyasendiri pula. Contoh pekerja ini antara lain Petani, nelayan, dokter yang dalam prosesnya pekerja memperoleh nilai tambah dari proses penciptaan nilai tambah yang mereka buatsendiri. Istilah tenaga kerja di populerkan oleh pemerintah orde baru, untuk menggantikata buruh yang mereka anggap kekiri-kirian dan radikal.
Meskipun buruh mempunyai posisi yang strategis dalam perpolitikan bangsa, namun seringkali suara buruh tidak didengar oleh para birokrat. Seringkali buruh hanya menjadi kebutuhan sementara bagi para pihak-pihak yang berkepentingan dan meninggalkanya ketika mereka sudah masuk pada lingkaran kekuasaan. Sangat ironis sekali melihat realita yang terjadi antara buruh dan birokrasi. Padahal kalau kita melihat bahwa kalangan industri sangat diuntungkan upah buruh Indonesia yang bisa dibilang sangat murah sekali dibandingkan dengan Negara-negara berkembang lainya. Dengan upah buruh yang relative rendah tersebut dan produktivitas buruh yang sedemikian tinggi, buruh mampu memberikan keuntungan yang besar bagi kalangan dunia usaha atau pengusaha. Hal ini bisa dilihat dari nilai tambah rata-rata setiap pekerja per tahun pada industri pangan sebesar 9,3 juta, indusri sandang 6,9 juta dan industri barang capital 16,7 juta atau sebanyak 10,5 juta untuk semua industri. Itu terjadi pada tahun 1997. Angka ini menunjukkan bahwa industri memungkinkan untuk memperbaiki upah buruh bahkan memberi upah yang tinggi . Disamping itu terdapat ketimpangan yang sangat mencolok antara upah yang diterima pekerja dengan keuntungan yang diperoleh pengusaha melalui peningkatan produktifitas buruh . Namun kenyataan berbicara lain, tuntutan normative buruh yang menginginkan perbaiakan kesejahteraan dengan cara peningkatan upah seringkali tidak mendapat respon yang memadai dari pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab. Pemerintah sebagai pihak yang seharusnya melindungi hak-hak buruh dengan aturan-aturan yang dibuatnya, seringkali atau bahkan tidak memainkan peranannya untuk membela hak-hak buruh. Justru yang terjadi sebaliknya, pemerintah malah menurunkan standart upah minimum buruh dibawah standart yang layak. Setali tiga uang dengan pemerintah, pengusaha sebagai golongan yang mengeksploitasi tenaga buruh juga tidak menampakkan taringnya. Padahal dengan naiknya upah buruh juga akan menyebabkan naiknya daya beli masyarakat secara umum. Uang dari buruh akhirnya kembali ke tangan para pengusaha melalui berbagai transaksi yang dilakukan oleh buruh dan keluarganya yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang positif pada pertumbuhan ekonomi.
Buruh dan pengusaha idealnya adalah saling menguntungakan antara satu dengan yang lainnya. Disisi buruh, semestinya sudah mendapatkan apa seharusnya menjadi hak-haknya. Tidak hanya upah yang memberi kesejahtetaan terhadap kehidupan buruh itu sendiri. Namun juga hal-hal lain yang sekiranya dapat menunjang kesejahteraan buruh tersebut. Diantaranya jaminan social tenaga kerja (Jamsostek), mekanisme pemutusan hubungan kerja sampai pada pembayaran uang pesangon ketika buruh sudah memasuki purna kerja. Karena yang terjadi selama ini buruh seringkali hanya mendapat upah pekerjaanya tanpa mengerti yang menjadi hak-haknya. Kemudian yang terjadi, misalnya ketika buruh mengalami kecelakaan kerja, buruh tidak mengetahui bahwa dia mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan social tenaga kerja. Atau ketika buruh di PHK tanpa tahu penyebabnya, bahwa didalam pemutusan hubungan kerja dalam dunia usaha, terdapat mekanisme yang harus dipatuhi oleh golongan pengusaha, salah satunya dengan memberi uang pesangon. Disamping hak, buruh juga harus paham dengan apa yang menjadi kewajibannya, yaitu menjalankan fungsi buruh sebagai pelaku.
Peran pemerintah sangat vital sekali dalam terciptanya iklim yang kondusif bagi perekonmian bangsa. Pemerintah sebagai pembuat regulator semestinya mengetahui apa-apa yang dibutuhkan oleh pelaku dunia usaha yang diantaranya adalah buruh dan pengusaha tanpa membedakan status mereka dalam struktur masyarakat. Pemerintah harus bersikap arif dan fair dalam membuat regulator yang nantinya tidak mengntungkan atau merugikan salah satu pihak. Didalam masalah perburuhan nasional, pemerintah harus mengedepankan nilai-nilai social termasuk juga membuat regulator yang menjamin kesejahteraan buruh oleh perusahaan. Kesejahteraan buruh sangat perlu diperhatikan oleh pemerintah, karena apabila kita lihat bahwa tidak sedikit dari masyarakat Indonesia yang bekerja sebagai buruh pada dunia industri. Kita misalkan, apabila kesejahteraan buruh tidak mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah dan para buruh tetap hidup dalam garis kemiskinan, maka akan tercipta masalah social baru didalam masyarakat. Seperti kita lihat pada kasus diatas, terlihat bahwa peran pemerintah sangat minim sekali didalam upayanya meningkatkan kesejahteraaan buruh. Pemerintah cenderung untuk membela kaum pengusaha dengan asumsi bahwa semakin rendah upah yang dibayarkan kepada buruh, maka semakin hidup dunia industri. Sudah saatnyalah pemerintah memainkan peranannya untuk lebih bersikap balance tanpa merugikan kaum buruh dan juga kaum dunia usaha. Buruh sudah semestinya diberi ruang untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Salah satunya dengan regulator yang dibuat pemerintah.
Sebenarnya pemerintah Indonesia telah menetapkan gaji minimum (UMR) untuk para buruh. Hanya saja para buruh tak pernah menyadari hal tersebut. Bayangkan jika gaji buruh naik, apa mungkin pimpinan mau menerima gaji yang selisihnya tidak jauh berbeda dengan para buruh. Banyaknya jumlah buruh dan pimpinan tidak memungkinkan perusahaan sanggup menggaji para buruh yang sangat banyak sesuai dengan UMR yang telah ditetapkan pemerintah. Disamping itu, jika barang yang diproduksi perusahaan tersebut dijual murah pasti perusahaan mengalami kebangkrutan. Dari kondisi diatas bisa ditarik satu perpektif yang menjembatani hubungan antara buruh dan pimpinan perusahaan. Bahwa selalu ada hukum rimba dalam setiap sistem stratifikasi di Indonesia, tidak terkecuali dalam dunia bisnis.
Sampai kapan pun tidak akan pernah ada yang disebut kesepahaman nyata antara buruh dan pemilik modal (pengusaha). Di negara manapun, kesepakatan perburuhan merupakan upaya politik yang kemudian disekapakati atau tidak disepakati secara politik. Upah minimum di Indonesia hanya dilandasi survei regional terhadap biaya kebutuhan hidup (living cost) dan biaya-biaya tambahan lainnya. Padahal, tidak semua orang memiliki kebutuhan yang sama. Apapun masalahnya, bahwa setiap orang harus menerima suatu kenyataan yang disebut kesepakatan upah. Semua negara akan senantiasa bermasalah dengan perburuhan, kecuali beberapa negara penganut jalur komunis/sosialis. Di negara-negara komunis, kesejangan pendapatan relatif sangat rendah. Keseluruhan kapital dianggap milik negara dan dialokasikan untuk pendanaan kesejahteraan. Lain halnya di negara sosialis seperti di Eropa dan beberapa negara di Asia, kesenjangan pendapatan tidak terlalu tinggi, akan tetapi setiap orang dijamin hak-hak dasarnya. Lambat laun melalui proses dan waktu mereka tumbuh menjadi negara industri dan menjual produknya ke berbagai penjuru dunia. Konflik perburuhan di semua negara sebenarnya akan senantiasa bermuara pada kepentingan politik dan ekonomi. Konflik pada kepentingan ekonomi terletak pada tarik menarik kepentingan individu (institusi rumah tangga) yang menyediakan tenaga kerja dan kepentingan pemilik kapital yang menyediakan lapangan kerja. Kepentingan tenaga kerja tidak semata menuntut akan pendapatan yang layak, melainkan tuntutan atas kesejahteraan. Demikian pula halnya dengan kepentingan pemilik kapital yang menginginkan untuk mengefektifkan biaya produksi agar dapat mengoptimalkan laba operasionalnya.
Fakta yang tidak bisa dikesampingkan, apabila daya saing produk di dalam negeri relatif masih rendah. Beberapa bulan yang lalu, pemerintah telah membuka departemen baru yang disebut Departemen Pariwisata dan Perekonomian Kreatif. Sektor perekonomian kreatif relatif masih baru berkembang di negeri ini. Sekalipun memiliki keunggulan komparatif, akan tetapi pelaku usaha dituntut senantiasa mengkedepankan inovasi. Tentu saja, inovasi akan menciptakan biaya yang tidak sedikit. Jika mau kompetitif di pasar internasional, maka pelaku uaha perekonomian kreatif dituntut pula mengkdepankan keunggulan kompetitifnya. Satu-satunya elemen biaya yang masih bisa dikompromikan hanyalah upah pekerja. Perekonomian biaya tinggi dituding pula menyebabkan iklim usaha menjadi sangat tidak kondusif. Para pelaku usaha (pemilik kapital) tidak hanya harus mengelola produksi maupun persaingan, akan tetapi harus dihadapkan dengan biaya ekonomi tinggi. Sebut saja di antaranya biaya birokrasi yang dianggap masih menjadi beban bagi pengusaha, termasuk di antaranya masih maraknya praktik pungutan liar. Tidak mengherankan apabila pelanggaran atas kesepakatan upah oleh pengusaha didukung (dilindungi) oleh pihak aparatur pemerintahan sendiri. Asosiasi buruh tidak bisa berbuat banyak, karena para pengusaha sudah dilindungi oleh aparat keamanan, baik kepolisian maupun TNI. Bisa dibayangkan ongkos yang harus dibayarkan oleh pengusaha untuk menutup ekonomi biaya tinggi.
Penulis artikel :
Rahayu