Kamis, 17 Mei 2018

(HUKUM 01 / 171710623 ) Terorisme Dalam Perspektif Hukum Dalam Hubungan HAM

Dalam perspektif hukum dan kajian tentang hak asasi manusia, tindak
pidana terorisme merupakan kejahatan luar biasa (Extraordinary
Crime)yang membutuhkan pula penanganan dengan cara-cara luar
biasa(Extraordinary Measure). Upaya pemberantasan terhadap tindak
pidana terorisme tidak dapat dilakukan dengan hanya mengandalkan
kepada ketentuan-ketentuan hukum secara normatif serta sikap-sikap
represif pihak penegak hukum. Semua pihak yang terlibat, hendaknya
lebih memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku dan menghormati
nilai-nilai hak asasi manusia. Upaya luar biasa yang dimaksud adalah
terlibatnya semua pihak yang saling bahu-membahu dalam memberantas
terorisme demi terjaganya kehormatan dan keselamatan umat manusia.
Upaya ini sudah semestinya untuk secara tegas dinyatakan dalam
berbagai kebijakan hukum pemerintah agar dalam pelaksanaannya dapat
terarah dan terukur serta lebih memebrikan rasa tanggung jawab bersama
yang bersifat mutlak.

Ada 2 (dua) alasan mendasar bagi Bangsa Indonesia untuk menjadikan
terorisme sebagai musuh besar kebangsaan bahkan kemanusiaan secara
umum .
1. Pertama, demokrasi dan kebebasan politik tidak lengkap jika tidak
merasa aman. Padahal gerakan reformasi bertujuan membuat kita semua
merasa lebih aman di rumah sendiri dan lebih nyaman dalam kehidupan
bernegara. Kita semua mengambil tanggung jawab memerangi terorisme
yang ingin mengambil rasa aman.
2. Kedua, terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk
gerakan yang terorganisasi. Dewasa ini terorisme mempunyai jaringan
yang luas dan bersifat global yang mengancam perdamaian dan keamanan
nasional maupun internasional.

Pandangan yang demikian itu berpengaruh pula terhadap kebijakan serta
politik hukum yang diambil Indonesia guna mewujudkan suatu sistem
panangkal dan pemberantas bagi tindakan dan jaringan terorisme. Dalam
perspektif hukum, terorisme dinobatkan sebagai suatu kejahatan yang
tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa. Hal ini didukung pula
oleh doktrin secara akademis, dimana terorisme dikategorikan sebagai
"kejahatan luar biasa" atau "extraordinary crime" . Kajian tentang hak
asasi manusia (HAM) telah pula turut ambil bagian dalam menjustifikasi
terorisme yang dikategorikan sebagai "kejahatan terhadap kemanusiaan"
atau "crime against humanity".

Kaitan antara HAM dan Terorisme adalah adanya pelanggaran yang
disebabkan oleh aksi teror yang melanggar HAM khususnya Hak Sipil dan
politik dimana hak sipol tersebut tercantum pada DUHAM. Seorang
teroris telah mengambil hak hidup dari rakyat sipil yang menjadi
korban terorisme dan melanggar aturan yang terkait dengan HAM, maka
bisa dianggap wajar apabila para teroris yang bersalah secara fatal
dalam melakukan tindakannya teroris tersebut dapat dihukum dengan
hukuman yang sangat berat karena telah mengorbankan tidak hanya satu
atau dua oeang rakyat sipil yang menjadi korban tetapi bisa sampai
puluhan atau ribuan orang yang menjadi korban. Para teroris telah
mengambil hidup mereka dimana setiap korban terorisme meninggalkan
sanak keluarganya dan itu merupakan tindakan pelanggaran HAM. Oleh
karena itu, negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan keadaan yang
aman dilingkungan negara khususnya dari serangan terorisme tersebut.
Selain itu negara juga mempunyai tanggungjawab terhadap rakyatnya
termasuk korban terorisme beserta keluarga dari korban teroris yang
meninggal dunia dengan cara menyantuni dan memberikan bantuan kepada
mereka.

Terorisme dan HAM bisa jadi suatu yang paradoks. Pada satu sisi,
teroris atau tersangka teroris tergolong telah melakukan kejahatan
berat yaitu tidak hanya telah menghabiskan nyawa orang lain yang
kadang kala tidak tahu apa – apa , tapi juga menebarkan rasa takut dan
cemas kepada anggota masyarakat yang lain bahkan menembus batas
teritorial negara sekalipun. Dari sisi hukum formal dan sistem norma
yang berlaku di masyarakat, semua tindakan kriminal seharusnya
diberikan hukuman yang setimpal dengan dampak yang dihasilkannnya.
Namun pada sisi lain penegakan hukum terhadap kejahatan teroris
terkadang dilakukan dengan cara mengabaikan nilai – nilai kemanusiaan
HAM. Padahal, para tersangka teroris adalah manusia juga yang memiliki
hak asasi sebagai manusia yang harus kita hargai. Artinya mereka pun
harus dilakukan selayaknya manusia yang lain termasuk dipenuhi hak –
haknya.

Sering kali tindakan teroris ditujukan atas sebuah perintah agama
tertentu, disini islam menjadi klaim negara-negara tertentu menunjuk
agama islam sebagai teroris. Islam adalah teroris begitulah paham
orang-orang anti islam. Sasaran terorisme bisa jadi siapa saja dan apa
saja. Entah itu negara atau kelompok atau individu. Namun pada
prinsipnya dan yang paling menyakitkan, terorisme adalah kejahatan
terhadap kemanusiaan. Dalam hal ini kita berbicara pada posisi dimana
HAM menjadi sasaran tindakan teror itu dilakukan.

Jika kita melihat peledakan bom dilakukan sebagai sebuah usaha untuk
mengekspresikan pendapatnya, maka cara itu sangat tidak manusiawi,
karena tidak ada yang lebih berharga di dunia ini daripada nyawa
seseorang. Seperti Peledakan bom Bali, Bom Bunuh Diri si Surabaya
misalnya, telah menyebabkan puluhan bahkan ratusan nyawa lenyap.
Kejahatan seperti ini jelas tidak bisa ditolelir oleh HAM. Dengan
adanya rasa takut dan cemas yang melanda warga masyarakat yang
diakibatkan oleh terorisme, maka para teroris telah merampas hak asasi
orang lain tentang rasa aman. Di sini kita bisa melihat bahwa sasaran
utama terorisme bukan lagi sekadar kejahatan terhadap negara atau
kelompok atau individu, melainkan kejahatan terhadap HAM. Namun yang
menjadi masalah adalah kejahatan teroris yang di atas namakan jihad
seperti bom bali dan bom surabaya telah menimbulkan kejahatan
kemanusiaan. Jihad dalam islam adalah salah satu perbuatan yang
bernilai pahala besar di dalamnya. Namun jihad yang di klaim sebagai
alasan bencana bom bali dan bom surabaya menimbulkan akibat berupa
penderitaan dan banyak korban meninggal dunia.
Jika menyandingkan HAM dan jihad yang di klaim seperti bom bali dan
bom surabaya, jihad tersebut telah melanggar Hak Asasi Manusia, yaitu
hak untuk hidup. Namun hak untuk berjihad adalah hak asasi juga. Yaitu
hak seseorang untuk menjalankan perintah agamanya.

Namun apakah yang menjadi sesuatu yang salah antara teroris
berdasarkan jihad yang merupakan perintah agama, ataukah jihad
semestinya tidak melanggar HAM. Hingga saat ini hal tersebut masih di
perdebatkan dalam islam itu sendiri, apakah jihad seperti itu adalah
benar adanya.
Namun tindakan terorisme seperti bom bali dan bom surabaya adalah
kejahatan karena telah membunuh orang. Apakah adanya kesalahan
pemahaman terhadap arti jihad yang salah, karena tidak ada agama yang
mengajarkan kekerasan dan kejahatan terlebih islam yang berarti damai.

Tidak sulit bagi siapapun untuk menyimpulkan bahwa terorisme merupakan
suatu tindakan yang sangat merugikan masyarakat baik nasional maupun
internasional, bahkan sekaligus merupakan kejahatan terhadap hak asasi
manusia (HAM). Dengan merujuk pada ketentuan Pasal 3 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia yang menetukan, "Setiap orang berhak atas
kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu". Sehingga
adanya rasa takut dan cemas yang melanda warga masyarakat yang
diakibatkan oleh terorisme, maka para teroris telah merampas hak asasi
orang lain tentang rasa aman. Apalagi jika tindakan itu menimbulkan
korban nyawa yang sering tidak sedikit jumlahnya. Dengan demikian,
baik melalui pemahaman logika sederhana maupun dengan analisa
normatif, telah dapat dibuktikan bahwa tindakan terorisme merupakan
kejahatan terhadap HAM.

Terorisme sendiri sebagai suatu fenomena sosial mengalami perkembangan
seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Cara-cara yang
digunakan untuk melakukan kekerasan dan ketakutan juga semakin canggih
seiring dengan keinginan teknologi modern. Proses globalisasi dan
budaya massa menjadi lahan subur perkembangan terorisme. Kemudahan
menciptakan ketakutan dengan teknologi tinggi dan perkembangan
informasi melalui media yang luas, membuat jaringan dan tindakan teror
semakin mudah mencapai tujuannya. Indonesia sendriri pada saat ini
sudah memiliki peraturan untuk menanggulangi tindak pidana terorisme
sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Pembuat undang-undang menempatkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
ini sebagai peraturan payung dan bersifat koordinatif yang berfungsi
memperkuat ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan
lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme.

Pembentukan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, merupakan kebijakan dan langkah
antisipatif yang bersifat proaktif yang di landaskan kepada
kehati-hatian dan bersifat jangka panjang, karena masyarakat Indonesia
adalah masyarakat multi etnik dan mendiami ratusan ribu pulau yang
tersebar di seluruh wilayah nusantara, letaknya ada yang berbatasan
dengan negara lain dan oleh karenanya seluruh komponen bangsa
Indonesia berkewajiban memelihara dan meningkatkan kewaspadaan akan
adanya segala bentuk kegiatan tindak pidana terorisme, disamping itu
konflik yang sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia berakibat
sangat merugikan kehidupan bangsa Indonesia yang menyebabkan
kemunduran peradaban yang pada akhirnya Indonesia akan dapat menjadi
tempat subur berkembangnya terorisme baik yang dilakukan orang
Indonesia sendiri maupun orang asing.

Materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 terdiri dari 47 (empat puluh
tujuh) pasal yang antara lain mengatur masalah ketentuan umum, lingkup
berlakunya, kualifikasi tindak pidana terorisme, tindak pidana yang
berkaitan dengan terorisme di sidang pengadilan, kompensasi, restitusi
dan rehabilitasi serta kerjasama internasional.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa tindak
pidana terorisme yang diatur didalam undang-undang ini dikecualikan
dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak
pidana politik, tindak pidana dengan motif politik dan tindak pidana
dengan tujuan politis yang menghambat ekstradisi.

Selanjutnya, ancaman pidana minimal khusus di dalam Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 yang ternyata tidak disertai dengan aturan atau
pedoman pemidanaan untuk menerapkan ancaman pidana tersebut, menurut
Barda Nawawi Arif ini merupakan perpanjangan dari sistem KUHP, dan
seharusnya undang-undang khusus ini di luar KUHP membuat aturan khusus
atau tersendiri untuk penerapannya. Hal ini merupakan konsekwensi dari
adanya Pasal 103 KUHP karena KUHP sendiri bukan mengatur masalah ini.
Dengan tidak adanya aturan atau pedoman pemidanaan ini maka tidak
begitu jelas apakah pidana minimal itu dapat diperingan (dalam hal ada
faktor yang meringankan) atau dapat diperberat (dalam hal ada faktor
yang memberatkan).

Sejak itulah, terorisme menjadi musuh bersama bangsa Indonesia, musuh
kemanusiaan, musuh rakyat Indonesia, bahkan lebih jauh lagi, terorisme
adalah musuh umat manusia di seluruh dunia. Demikianlah diksi yang
populer ditengah-tengah kehidupan umat manusia sebagai suatu kecaman
terhadap segala bentuk terorisme yang jumlahnya meningkat dewasa ini,
baik yang terjadi di Indonesia maupun di dunia pada umumnya.


Penulis Artikel : Anisa Agustina

(hukum 02 -171710829) HAM DAN TERORISME

HAM DAN TERORISME
Ham adalah hak asasi manusia yang telah dimiliki oleh setiap manusia.yang telah mendasar pada diri seseorang.hukum mutlak bagi seseorang yang memiliki hak seratus persen untuk hidupnya.tidak ada campur tangan orang lain.ham dimiliki oleh setiap orang dari bayi bahkan telah dimiliki dari dalam kandungan.setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain,karena terserah orang tersebut untuk berlaku apa saja dengan hidupnya asalkan tidak mengganggu hidup dan kenyamanan khalayak ramai. Hak dapat diartikan sebagai kekuasaan dalam melakukan sesuatu atau kepunyaan, sedangkan asasi adalah hal yang utama, dasar. Sehingga hak asasi manusia atau sering disebut sebagai HAM dapat diartikan sebagai kepunyaan atau milik yang bersifat pokok dan melekat pada setiap insan sebagai anugerah yang telah diberikan oleh Allah SWT. Dasar-dasar HAM yang tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat atau Declaration of Independence of USA serta yang tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti yang terdapat pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 31 ayat 1, serta pasal 30 ayat 1. Hak asasi manusia atau HAM mempunya beberapa ciri-ciri khusus jika dibandingkan dengan hak-hak yang lainnya.
 Berikut ciri khusus hak asasi manusia. 
Tidak dapat dicabut, HAM tidak dapat dihilangkan atau diserahkan.
Tidak dapat dibagi, semua orang berhak untuk mendapatkan semua hak, baik itu hak sipil, politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Hakiki, HAM merupakan hak asasi semua manusia yang sudah pada saat manusia itu lahir.
Universal, HAM berlaku bagi semua orang tanpa memandang status, suku, jenis kelamin, atau perbedaan yang lainnya. Persamaan merupakan salah satu dari berbagai ide hak asasi manusia yang mendasar.
MACAM – MACAM HAM
Hak Asasi Pribadi (Personal Right)
Hak asasi pribadi merupakan hak yang ruang lingkupnya kepentingan diri dan sebagian besar dampaknya baik positif maupun negatif lebih besar terhadap diri sendiri dibandingkan orang lain.
Hak Kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
Hak kebebasan untuk memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
Hak Kebebasan untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama kepercayaan masing-masing

Hak Asasi Politik (Political Right)
Hak asasi politik ketika diperbolehkannya keikutsertaan masyarakat, tidak pandang bulu, ras, agama dan sebagainya dalam dunia perpolitikan suatu negara. Ada beberapa hak yang dimiliki masyarakat dalam kebijakan politik atau hak asasi politik :
Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
Hak membuat dan mendirikan parpol atau partai politik dan organisasi politik lainnya
Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi

Hak Asasi Hukum ( Legal Equality Right)
Hak asasi hukum merupakan hak yang seharusnya didapatkan oleh masyarakat ketika melakukan sesuatu yang berkenaan dengan hukum negara. Dalam artian Hak asasi hukum ini dimiliki oleh setiap golongan masyarakat dan berhak dihormati dan diberlakukan sebaik  mungkin.
Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil atau PNS
Hak mendapatkan layanan dan perlindungan hukum.
 Hak Asasi Ekonomi (Property Right)
Hak asasi ekonomi merupakan hak yang sudah semestinya dimiliki setiap masyarakat untuk bertahan hidup dengan memenuhi kebutuhannya. Jika saja seseorang tak mempunyai hak asasi ekonomi, kemungkinan terburuknya dia tidak akan bisa bertahan hidup di suatu negara.
Hak kebebasan melakukan kegiatan jual-beli
Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontak
Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang,dll
Hak Kebebasan untuk memiliki sesuatu
Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak

 
Hak Asasi Peradilan (Procedural Right)
Hak asasi peradilan berlaku ketika seseorang melewati batas hukum yang ada di negaranya dan diadili untuk ditegaskan penerapan hukum tetapi masih berhak mendapatkan pembelaan hukum.
Hak mendapatkan pembelaan hukum di pengadilan
Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan penyelidikan di mata hukum.
Hak Asasi Sosial Budaya (Social Culture Right)
Hak Asasi Sosial budaya merupakan hak yang diterapkan berdasarkan  kegiatan yang berhubungan dengan interaksi dan budaya masyarakat sekitar. Berikut hak-hak asasi sosial budaya
Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
Hak mendapatkan pengajaran
Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan minat dan bakat

terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat.berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak seringkali merupakan warga sipil.korban tindakan teroris
Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan. Tindakan teror tidaklah sama dengan vandalisme, yang motifnya merusak benda-benda fisik. Teror berbeda pula dengan mafia. Tindakan mafia menekankan omerta, tutup mulut, sebagai sumpah. Omerta merupakan bentuk ekstrem loyalitas dan solidaritas kelompok dalam menghadapi pihak lain, terutama penguasa. Berbeda dengan Yakuza atau mafia Cosa Nostra yang menekankan kode omerta, kaum teroris modern justru seringkali mengeluarkan pernyataandan tuntutan. Mereka ingin menarik perhatian masyarakat luas dan memanfaatkan media massa untuk menyuarakan pesan perjuangannya.

Assyura rahmawati.

(Hukum 02 - NIM 171710090) JUDUL: gagasan pemikiran kita sendiri terhadap HAM dan TERORISME

Tema : Gagasan Pemikiran HAM dan TERORISME
Istilah HAM :  Berasal dari 3 kata Hak, Asasi dan Manusia.
Hak yang berasal dari bahasa Arab Hagga yang artinya benar, pasti, nyata. Asasi yang berasal dari kata Assa yang artinya membangun, mendirikan, meletakkan asas-asas sedangkan Manusia yng artinya umat, ciptaan tuhan.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma yang menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota maupun internasional. mereka umumnya dipahami sebagai hak-hak dasar yang seseorang secara inheren berhak karena dia adalah manusia dan yang melekat pada semua manusia dan yang melekat pada semua manusia terlepas dari bangsa, lokasi, bahasa, agama, asal-usul etnis atau status lainnya.
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinassi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masayarakat. Berbeda dengan perang aksi teror tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti watu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta sering kali merupakan warga sipil. 
Sangat erat sekali kaitannya antara HAM dan Terorisme ini. Kaitan antara Terorisme dan HAM adalah adanaya pelanggaran yang disebabkan oleh aksi teror yang melanggar hak-hak asasi manusia khususnya hak sipil dan politik dimana hak sipil tersebut tercantum pula pada DUHAM. Pasal 3 Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia menyatakan "setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu". terdapat pula dalam konvenan internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966. Isi dari konvenan yang terkait dengan pelanggaran HAM yang disebabkan oleh tindakan terorisme yaitu hak atas hidup dan hukuman mati hanya untuk kejahatan berat. Dari psal tersebut dapat dijelaskan bahwa seorang teroris telah mengambil hak hidup dari rakyat sipil yang menjadi korban terorisme. Dan tersebut melanggar peraturan-peraturan terkait hak asasi manusia. Maka bisa dianggap wajar apabila para teroris yang bersalah secara fatal dalam tindakan terorisme tersebut di hukum dengan hukuman yang sangat berat. 
Karena telah mengorbankan tidak hanya satu atau dua orang rakyat sipil yang menjadi korban tetapi bisa sampai puluhan atau ribuan yang menjadi korban. Dan para teroris telah mengambil hidup mereka, dimana setiap korban terorisme meninggalkan kelurganya dan itu tindakan pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM didefinisikan sebagai suatu, "pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dar instrumen-instrumen  internasional Hak Asasi Manusia". Pengertian yang lain menjelaskan bahwa planggaran HAM adalah tindakan atau kelalaian oleh negara terhadap norma yang belum dipidana dalam hukum pidana, merupakan norma hak asasi yang diakui secara internasional. Oleh karena itu dalam hal ini negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan keadaan yang aman di lingkungan negara dan memperkuat pertahanan negara, khususnya dari serangan terorisme.  Negara juga bertanggung jawab terhadap rakyatnya termasuk korban terorisme beserta keluarga dari korban teroris yang meninggal dunia dengan cara menyantuni, dan memberikan bantuan kepada mereka.
Teroris dan HAM masih menjadi masalah yang serius yang perlu diperhatikan. Radikalisme agama adalah yang paling populer di indonesia jika harus dikaitkan dengan terorisme yang sedang berkembnag saat ini. Sedangkan radikalisme itu sendiri sering dikaitkan dengan gerakan kelompok ekstrim dari suatu agama tertentu. Yang sering menjadi penargetan adalah agama islam. Mereka mengatas nama kan islam sebagai gerakan mereka. Padahal sebenarnya bukan begitu, islam mengajarkan kebaikan layaknya agama lain. Dan tidak ada dalam agama islam yang mengajarkan rdikalisme. Islam sejatinya bukanlah dengan gerakan radikal. Seandainya seorang teroris berbicara mengenai HAM mengapa ia bisa membunuh manusia begitu banyak tanpa ada rasa kemanusiaan sama sekali. Sasaran utama mereka ialah rata-rata dari aparat kepolisian. Polisi masih memperilakukan mereka sebagaimana manusia umumnya memberikan makan dengan cara disuapi satu persatu akan  tetapi mereka yang terorisme tidak sama sekali memiliki rasa kasihan atau rasa kemanusiaan sebelum mereka melakukan kejahatan mereka. Tampak jelas sekali perbedaanya. Kalaupun iya para teroris harus dihukum mati ya mau gimana lagi salah satu cara untuk mengatasinya tapi bukan berarti di hukum mati satu orang tidak ada lagi diluar sana saya yakin masih banyak teroris berkeliaran dan lagi menjalankan misi kejahatan selanjutnya mungkin ditempat yang lain. Kita harus terus wasapada terhadap hal ini karna bisa saja mungkin kita menjadi korban mereka selanjutnya. Membicarakan tentang HAM terhadap Terorisme ini tidak akan ada habis-habisnya, teroris membicarakan mengenai HAM untuk diri mereka pribadi akan tetapi mereka tidak menerapkan HAM tersebut dikehidupan mereka justru sebaliknya mereka mengambil HAM itu dari manusia lainnya yang hidup. Dengan secara tidak langsung  para teroris ini mengebom manusia sehingga mereka mati tidak hanya sedikit yang mereka bom melainkan banyak orang terutama orang-orang yang lagi melakukan ibadah di gereja dan dimana-mana. Aparat kepolisian masih punya rasa kemanusiaan terhadap para teroris tapi mengapa mereka malahan ingin membunuh para polisi itu? Kalau pun mereka marah karna ditahan sama pihak polisi, kepolisian mempunyai alasan yang kuat untuk menjawab itu semua, karna mereka melakukan kesalahan lah dan banyak merugikan orang-orang maka mereka ditahan.

-DITA IRIYANI-

Hukum- 02 (171710850) HAM dan TERORISME

  HAK ASASI MANUSIA DAN TERORISME     

  Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari Masyarakat yang majemuk, dengan berbagai perbedaan budaya, bahasa, dan pemikiran. Indonesia bukan Negara yang maju saat ini, tapi sanggat luas .banyak permasalahan yang tidak terselesaikan di negeri ini mulai dari korupsi, Kemiskinan, pengangguran, nakoba dan lainnya yang membuat negeri ini lamabat untuk berkembang bahkan menuju kemajuan. Saat ini Indonesia dihadapkan dengan sebuah permasalahan besar yang harus ditangani dengan serius. Terorisme dan Hak Asasi Manusia. Ya, gerakan radikalisme yang sudah lama ada di negeri ini bahkan dimulai pada Awal kemerdekaan. 

Terorisme mengancam Indonesia saat ini dengan berbagai cara, mulai dari pengeboman diberbagai tempat, mereka juga melakukan kekerasan terhadap orang-orang yang mereka anggap musuh.
  
Radikalisme agama adalah yang paling populer di Indonesia jika harus dikaitkan dengan terorisme yang sedang berkembang sekarang ini. Sedangkan Radikalisme itu sendiri sering dikaitkan dengan gerakan kelompok ekstrim dari suatu agama tertentu. Yang sering menjadi penargetan adalah agama islam .
  
Dengan mengatas namakan agama islam dalam gerakan mereka, padahal dalam islam tidak pernah mengajarkan radikalisme seperti yang mereka lakukan, islam mengajarkan tentang kebaikan  layaknya agama lainnya. 
  
 Radikalisme bisa berujung terorisme, tak jarang di Indonesia terjadi serangan dari teroris. Salah satunya yang baru-baru ini terjadi teror bom bunuh diri di Surabaya,Jawa Timur. Setidaknya menewaskan 13 orang dan dikabarkan 43 orang mengalamai lika-luka akibat peristiwa ledakan yang terjadi di tiga gereja secara beruntun itu. 
  
Semua orang, mulai dari yang muda hingga tua mempunyai HAM didalam dirinya. Bahkan seseorang yang jahatpun seperti teroris mempunyai HAM. Tidak ada ketentuan di dalam instrumen HAM nasional dan internasional yang menyebutkan bahwa seorang penjahat tidak punya HAM. Ini berarti HAM tidak memandang fisik maupun sikap seseorang.
   
Di Indonesia, masih banyak masyarakat yang HAM nya belum terpenuhi. Bahkan penegakan HAM di Indonesia masih belum bisa dimengerti oleh sebagian besar masyarakat. HAM selalu disalahgunakan dan disalah artikan. Maka dari itu HAM sebaiknya ditegakkan agar tetap melindungi hak-hak setiap warga negaranya.      

  Meskipun HAM dan terorisme adalah hal yang berkebalikan, HAM bisa digunakan untuk melakukan pendekatan berbasis HAM. Dengan menggunakan pendekatan berbasis HAM, terorisme dapat dapat dilokalisir sehingga tidak menyebar luas ke masyarakat.
Mereka adalah korban dari indoktrinasi dan penyebaran pemahaman agama yang salah melalui berbagai media, apalagi sekarang adalah zaman teknologi sudah canggih. Semua akses bisa didapat dengan mudahnya.
   
Pendekatan HAM juga memberikan bagian yang besar kepada organisasi kemasyarakatan, media, institusi pendidikan, LSM dll. Untuk berperan serta menanggulangi terorisme. Terorisme, sebagai paham tidak bisa hanya diselesaikan oleh aparat negara yang jumlahnya sedikit dibandingkan dengan ancaman dan teror yang sangat luas dan mengglobal.  
   
Dan melalui pemeriksaan di pengadilan, aparat negara mendapat data dan informasi tentang terorisme yang didapat dari tersangka/terdakwa, saksi, ahli dan bukti lainnya. Ini berguna untuk membuka dan menelusuri jaringan teroris yang ada agar bisa dilakukan pencegahan dan penindakan.
  
 Selain dengan pendekatan HAM, akar dari terorisme, yaitu radikalisme dapat di cegah dengan memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan baik dan benar. Generasi muda dituntut untuk menganut ilmu dan akan sangat baik jika ilmu diperkenalkan dengan benar. Karena pemikiran para generasi muda masih mengembara karena ras keingintahuannya besar.
  
 Tetapi bukan hanya ilmu pengetahuan, ilmu agama juga perlu diperhatikan. Karena agama merupakan fondasi yang penting terkait dengan perilaku, sikap dan keyakinan seseorang terhadap Tuhan. Ilmu pengetahuan harus seimbang dengan Ilmu agama agar tercipta pemikiran yang seimbang pula.

Kristina

(HUKUM-01/203-171710794) Tidak Berlakunya HAM Bagi Pelaku Teror

Berangkat dari kesadaran umat manusia di dunia dalam rangka memajukan perlindungan terhadap hak – hak  manusia. Kaitan antara terorisme dan HAM adalah adanya pelanggaran yang disebabkan oleh aksi teror yang melanggar  hak – hak asasi manusia khususnya hak sipil dan politik dimana hak sipol tersebut, tercantum pula pada DUHAM.

Seorang teroris telah mengambil hak hidup dari rakyat sipil yang menjadi korban terorisme. Dan tersebut melanggar  peraturan – peraturan terkait hak asasi manusia. Maka bisa dianggap wajar apabila para teroris yang bersalah secara fatal dalam tindakan  terorisme tersebut di hukum dengan hukuman yang sangat berat. Karena telah mengorbankan tidak hanya satu atau dua orang rakyat sipil yang menjadi korban tetapi bisa sampai puluhan atau ribuan yang menjadi korban. Dan para teroris telah mengambil hidup mereka, dimana setiap korban terorisme meninggalkan sanak keluarganya, dan itu tindakan pelanggaran HAM.

Oleh karena itu, dalam hal ini negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan keadaan yang aman di lingkungan negara dan memperkuat pertahanan negara, khususnya dari serangan terorisme. Negara juga bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Termasuk korban terorisme beserta kelurga dari korban teroris yang meninggal dunia, dengan cara menyantuni, dan memberikan bantuan kepada  mereka. Karena anggota keluarga yang telah menjadi korban terrorisme sebagianya adalah tulang punggung keluarga.

Pemerintah juga harus menyikapi atau memantau masyarakatnya khususnya golongan bawah . karena banyak kejadian masyarakat indonesia yang kurang perhatian pemerintah bergabung bersama ISIS (terorris).  Dengan cara menjanjikan kenyamanan, sejahtera, tempat tinggal geratis, bahkan digaji. Tapi sebenarnya hanya tipuan saja bertolak belakang dengan apa yang dijanjikan . bahkan perempuan disebut pabrik anak. Tidak adanya HAM di sekelompok ISIS, banyak anak anak laki laki maupun perempuan tewas ditangan teroris.

Bicara soal hak asasi manusia (HAM) hampir semua orang sepakat bahwa aksi terorisme merupakan salah satu bentuk pelanggaran berat di samping kejahatan perang, pembasmian etnis, atau juga penggunaan senjata kimia. Di Indonesia, rentetan aksi terorisme yang telah terjadi sejak tahun 2000 hingga kasus-kasus terbaru seperti teror Bom Thamrin dan Bom Samarinda tahun lalu sejatinya juga merupakan kasus pelanggaran HAM. Kelompok teroris begitu tega meledakkan bom di jalan raya, hotel, kawasan wisata, kafe, bahkan tempat ibadah, demi kepentingan politik mereka.

Aksi terorisme melahirkan para korban, yaitu masyarakat sipil yang tak tahu menahu tentang konflik yang dipersoalkan kelompok teroris. Di antara para korban ada yang sekadar lewat, nongkrong, mampir makan, atau sedang bekerja mencari nafkah di lokasi-lokasi kejadian teror. Ratusan korban telah meninggal dunia akibat serangan terorisme sementara ratusan lainnya mengalami penderitaan menahun akibat kejahatan luar biasa itu. Sebagian mereka mengalami cacat seumur hidup karena kehilangan anggota tubuh, sebagian lainnya mengalami luka psikologis yang hingga kini belum sepenuhnya dapat dipulihkan.

 

Derita akibat serangan teror tak berhenti di situ. Ketika serangan terorisme berhasil membunuh nyawa manusia, pada saat yang sama tercipta anak-anak yatim atau piatu yang kehilangan orang tuanya, tercipta keluarga yang kehilangan tulang punggungnya, tercipta kemiskinan -atau setidaknya ancaman kemiskinan- yang tersistem. Dari alasan ini kita mengetahui betapa terorisme adalah kezaliman dan merupakan bentuk pelanggaran HAM yang nyata.

Dalam perspektif Islam, manusia digambarkan oleh Al-Quran sebagai makhluk yang paling sempurna, mulia, serta terhormat. Bersandar dari pandangan kitab suci ini, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM tidak lain merupakan tuntutan Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap pemeluknya. Dalam Islam, sebagaimana dinyatakan oleh pemikir muslim Abu al-A'la al-Maududi (1967), HAM adalah hak kodrati yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau pihak mana pun. Hak-hak yang diberikan tersebut bersifat permanen atau kekal.

Gagasan Islam tentang HAM berpijak pada konsep tauhid, yaitu pengakuan keesaan Allah yang tergambar dari ungkapan syahadat, la ilaha illa Allah, tiada tuhan/sesembahan selain Allah. Konsep ketauhidan mengandung inti persamaan dan persaudaraan seluruh manusia. Tauhid juga mencakup ide persamaan dan persatuan semua makhluk, benda tak bernyawa, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. HAM merupakan standar normatif yang ditetapkan Allah atau dibuat manusia berdasarkan firman Allah untuk mengatur hubungan sesama manusia baik antarindividu, antarmasyarakat, maupun antarnegara. Pengakuan adanya hak asasi yang melekat pada diri setiap manusia bermakna pengakuan adanya kewajiban yang harus ditunaikan terhadap umat manusia.

Akan tetapi, dengan lihai para teroris justru mengklaim bahwa aksi teror yang mereka lakukan adalah tuntunan yang diajarkan dalam Islam. Mereka mengesampingkan fakta betapa Islam menganjurkan pemeluknya untuk menghormati umat agama lain. Yang mereka tonjolkan adalah ayat Alquran yang menganjurkan untuk membunuh kaum di luar Islam. Padahal, ayat-ayat suci Alquran selalu terkait dengan konteks sosial yang membingkai wacana tentang sebab ayat tersebut turun. Kelompok teroris tak pernah peduli akan aspek sosial kemasyarakatan setiap melancarkan serangan. Belakangan ini bahkan umat muslim yang berseberangan dengan pemahaman keagamaan mereka pun juga menjadi sasaran teror karena dinilai telah kafir.

Menimbang kekejaman terorisme yang melahirkan berbagai penderitaan korban mestinya membuat negara menyadari bahwa aspek perlindungan HAM korban teror wajib diperkuat. Memperkuat perlindungan HAM korban terorisme menurut hemat penulis adalah dengan menjamin hak-hak mereka sebagai korban aksi terorisme, yang diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, terpenuhi.

Hak-hak korban terorisme dalam UU No. 15/2003 yang terabaikan ini harus menjadi perhatian bersama seiring dengan adanya rencana revisi UU tersebut yang kini tengah digodok pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Selama hak kompensasi belum terbayarkan, selama itu pula negara menanggung hutang kepada para korban terorisme.

Sementara itu, hak-hak korban terorisme yang diatur dalam UU No. 31/2014 mencakup bantuan rehabilitasi medis, psikologis, dan psikososial. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU tersebut, telah mulai memberikan hak-hak kepada sebagian korban. Dari ratusan korban terorisme yang ada di Indonesia, LPSK baru dapat menjangkau puluhan di antara mereka disebabkan bermacam kendala, termasuk tentang assessment korban.

Menangani  korban terorisme memang hal baru bagi LPSK mengingat selama ini lembaga tersebut lebih banyak mengurusi korban pelanggaran HAM berat. Dalam memberikan hak-hak kepada korban pelanggaran HAM berat, LPSK berdasarkan pada surat keterangan korban yang didapat dari Komnas HAM. Sementara itu, menghadapi korban terorisme LPSK terkesan kebingungan tentang siapa yang berwenang menentukan korban. Lembaga tersebut mengambil langkah hati-hati dalam melakukan penelusuran tentang korban sebab tak mau disalahkan dalam membelanjakan anggaran negara. Menurut hemat penulis, ke depan LPSK harus didukung untuk dapat menjangkau lebih banyak lagi korban terorisme sehingga negara benar-benar bekerja konstitusional dengan melaksanakan amanat UU.

Tindakan pencegahan terorisme dapat diartikan sebagai tindakan yang efektif melalui kebijakan dan berbagai program strategi untuk mencegah terjadinya aksi terorisme di Indonesia. Menghadapi ancaman terroisme yang akhirnya menimbulkan ketakutan serta penderitaan terhadap manusia, pemerintah demokratis harus dihadapkan pada pilihan yang sulit dalam menentukan kebijakan dan keputusan akan hal ini. Di satu sisi, mereka harus menjunjung tinggi nilai-nilai dasar demokratis yaitu berdasarkan proses hukum dan hak asasi manusia. Di sisi lain, mereka harus memfokuskan pada dampak serta kerusakan yang disebabkan oleh terorisme itu sendiri.

Dalam rangka menanggulangi terorisme, negara dituntut untuk tegas dalam penanganannya karena ini menyangkut mengenai prinsip keamanan negara. Dalam rangka penegakan hukum, terdapat dua pendekatan yang digunakan yaitu soft approach dan hard approach, namun selama ini negara dominan menggunakan hard approach. Hard approach sendiri terdiri dari hukum, militer, dan intelijen.

Pada dasarnya Indonesia telah memiliki aturan hukum sebagai langkah berpartisipasi dalam rangka pemberantasan terorisme. Namun dalam aturan hukum tersebut yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenai terorisme saat ini dirasa masih belum cukup untuk memberantas tindak terorisme.

Dalam rangka melakukan proses hukum terhadap terorisme tersebut, terdapat empat poin penting, diantaranya :

    Inkapasitatif (dihilangkan kapasitasnya),

    Retributif (membalas sesuai atau setimpal dengan perbuatan),

    Rehabilitatif (menyembuhkan teroris yang salah jalan dalam proses pidana),

    Restoratif (hubungan pelaku dan korban dibuat damai kembali ketika pelaku sudah selesai menjalankan masa hukumannya).

Dalam proses ini hanya inkapasitatif dan retributif yang tidak memiliki nuansa hak asasi manusianya hanya semata-mata pembalasan. Sehingga hal yang harus dikedepankan dalam upaya penanggulangan terorisme adalah mengendepankan hak asasi manusia dan bukan semata-mata tindakan pembalasan

Masih terdapat beberapa kelemahan substantif dalam Undang-Undang dan peraturan hukum mengenai terorisme. Kelemahan tersebut justru akan memunculkan polemik baru khususnya mengenai klasifikasi teror atau dalam konteks teror mengenai motif politik yang tidak dapat dicari dan yang tidak dibahas dalam KUHP, serta peluang pelanggaran hak asasi manusia dalam proses hukumnya. Sehingga hal tersebut dapat segera diubah dan dilengkapi mengenai kekurangan-kekurangannya.

Pendekatan kontraterorisme yang banyak dilakukan oleh negara di dunia adalah pendekatah hukum. Sehingga diperlukan peraturan hukum yang jelas dan tepat, selain itu jangan sampai ada kekosongan hukum untuk antisipasi terhadap hukum terorisme. Upaya penegakan hukum dalam memerangi terorisme dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (selalu berada dalam koridor hukum).

Apa yang tengah menjadi masalah mengenai terorisme adalah lebih dari perlindungan hak asasi manusia dan pada dasarnya penting karena merupakan masalah prinsip. Ada dimensi praktis yang harus menjadi pertimbangan dengan baik. Misalnya tindakan penembakan yang disengaja terhadap orang yang tidak bersalah dalam operasi terorisme, biaya yang mahal dan cenderung tidak efisien yang memberikan kesan bahwa biaya jangka panjang mungkin lebih besar daripada manfaat jangka pendek.

Indonesia merupakan demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Namun, selama ini Indonesia masih menggunakan pendekatan kekerasan dalam menangani terorisme misalnya dengan penyergapan, pengejaran, pembunuhan, penangkapan oleh aparat keamanan. Keinginan yang besar dalam gerakan kontra terorisme seringkali mengabaikan nilai-nilai HAM di dalamnya. Terdapat beberapa dugaan pelanggaran hukum dan ham yang kerap dilakukan oleh polisi dan Densus 88, dimana bentuk pelanggaran yang dilakukan secara umum berupa penggunaan kekuatan berlebihan (excessive Use of Force) yang mengakibatkan tewasnya si tertuduh, kemudian pelanggaran hak atas rasa aman serta ketenangan dari masyarakat, penembakan salah sasaran (shooting innocent civilians), penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya, penangkapan dan penahanan paksa serta salah tangkap.[12]Aksi terorisme memang merupakan suatu aksi yang melanggar HAM namun cara-cara untuk memperlakukan para pelaku terorisme perlu untuk mengedepankan aspek HAM karena isu HAM berpengaruh terhadap upaya penanggulangan terorisme

Hak asasi manusia memiliki peran sentral dalam pemenuhan semua aspek dari strategi kontra terorisme. Beberapa negara telah terlibat dalam penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya dalam melawan terorisme, sedangkan perlindungan hukum untuk mencegah penyiksaan sering diabaikan. Sekjen PBB Kofi Anan menekankan bahwa tindakan kontra terorisme yang efektif tetap memperhatikan aspek perlindungan hak asasi manusia yang tidak bertentangan dengan tujuan, namun saling melengkapi dan saling memperkuat.


Penulis Artikel : Beni Kardo

(Hukum01 - 171710751) Penanganan Terorisme Terhadap Hak Asasi Manusia

Dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pemberantasan terorisme ini, saya hendak memberikan catatan melalui tulisan ini, agar tidak salah menempatkan Hak Asasi Manusia atau Hak Asasi Manusia di anggap menjadi penghalang dalam pemberantasan terorisme. Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa oleh manusia sejak lahir yang secara kodrat melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat karena merupakan anugerah Allah SWT. HAM adalah hak yang bersifat asasi. Artinya, hak – hak yang di miliki oleh manusia berdasarkan kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga bersifat suci. Dengan kata lain, HAM adalah bermacam – macam hak dasar yang di miliki pribadi manusia sebagai anugerah dari Allah SWT yang dibawa sejak lahir maka HAM meleket erat pada setiap manusia siapapun dia tanpa terkecuali sehingga hak asasi itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Tidak ada seorang atau pihak mana pun bisa mencabut HAM seseorang secara sewenang – wenang termasuk pemerintah.


            Sementara itu pengertian HAM juga disebut dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 39 Tahun 1999 yang berbunyi "Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Allah SWT dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia".


            Apakah seorang teroris mempunyai HAM? Ya, sudah pasti. Tidak ada ketentuan di dalam instrumen HAM nasional dan internasional yang menyebutkan bahwa seorang penjahat, misalnya teroris, tidak punya HAM. Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana aspek HAM bagi teroris yang telah membunuh orang dan merugikan kepentingan umum? Ada yang berpendapat oleh karena aksi mereka telah merenggut hak hidup dan hak atas rasa aman bagi masyarakat secara luas, tidak pantas bagi teroris untuk dijamin dan di lindungi HAM nya. Sementara, terduga teror diperlakukan sebagai manusia yang pada dirinya melekat hak – hak yang dilindungi oleh Undang – Undang. Mereka yang di tuduh melakukan teror, diadili melalui proses hukum dengan mengedepankan asas due process of law dalam koridor criminal justice system. 


            Dengan pendekatan berbasis HAM, terorisme dapat dilikalisir sehingga tidak menyebar luas ke masyarakat. Pendekatan yang humanis menempatkan teroris para pelaku lapangan bukan hanya sebagai semata, namun juga korban. Mereka adalah korban dari indoktrinasi dan penyebaran pemahaman agama yang salah melalui berbagai media, diantaranya internet. Namun untuk itu, selepas di penjara mereka harus direhabilitasi dan di berdayakan secara sosial dan ekonomi. Pendekatan HAM juga memberikan porsi yang besar kepada aktor – aktor nonnegara seperti (organisasi kemasyarakatan, media, institusi pendidikan, LSM, dll) untuk berperan serta menanggulangi terorisme. Hal ini karena terorisme sebagai paham dan gerakan yang tidak bisa anya diatasi oleh aparat negara yang jumlah dan kapasitasnya sangat terbatas, dibandingkan skala ancaman dan gerakan teror yang sangat luas dan mengglobal.    


            Melalui pemeriksaan dipengadilan, aparat negara bisa memperoleh banyak data dan informasi tentang terorisme yang diperoleh dari tersangka atau terdakwa, saksi, ahli, dan alat bukti lainnya. Keterangan ini berguna untuk menguak dan menelusuri jaringan teror yang ada untuk kepentingan pencegahan dan penindakan. Salin itu, proses penegakan hukum menjadi media edukasi bagi publik dan terduga teroris bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah dan melanggar hukum. Alhasil pendekatan berbasis HAM dalam penanggulangan terorisme tidak melemahkan upaya menekan aksi teror, akan tetapi justru memperkuatnya melalui partisipasi luas masyarakat. Partisipasi masyarakat adalah modal sosial yang sangat penting supaya penanggulangan teror menjadi gerakan sosial kemasyarakatan, bukan hanya semata menjadi tugas dan tanggung jawab aparat negara yang dalam banyak hal mempunyao banyak keterbatasan.

 

            Kaitan antara terorisme dan HAM adalah adanya pelanggaran yang di sebabkan oleh aksi teror yang melanggar hak – hak asasi manusia khusunya hak sipil dan politik di mana hak sipol tersebut tercantum pula pada DUHAM. Pasal 3 Deklarasi Universal tentang Hak – Hak Asasi Manusia menyatakan "Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu". Terdapat pula dalam Konvenan Internasional Hak – Hak Sipil dan Politik yang isi dari konvenan tersebut terkait dengan pelanggaran HAM yang di sebabkan oleh tindakan terorisme yaitu hak atas hidup dan hukuman mati hanya untuk kejahatan berat. Dari kedua pasal tersebut, dapat di jelaskan bahwa seorang teroris telah mengambil hak hidup dari rakyat sipil yang menjadi korban terorisme. Dan tersebut melanggar peraturan – peraturan terkait hak asasi manusia. Maka bisa di anggap wajar apabila para teroris yang bersalah secara fatal dalam tindakan terorisme tersebut di hukum dengan hukuman yang sangat berat. Karena telah mengorbankan tidak hanya satu atau dua orang rakyat sipil yang menjadi korban tetapi bisa sampai puluhan atau ribuan yang menjadi korban. Dan para teroris telah mengambil hidup mereka di mana setiap korban terorisme meninggalkan keluarganya dan itu tindakan pelanggaran HAM.

 

            Pelanggaran hak asasi manusia di definisikan sebagai suatu pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari instrumen – instrumen Internasional Hak Asasi Manusia. Pengertian yang lain menjelaskan bahwa pelanggaran HAM adalah tindakan atau kelalaian oleh negara terhadap norma yang belum di pidana dalam hukum pidana tetapi, merupakan norma hak asasi yang di akui secara Internasional. Oleh karena itu, dalam hal ini negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan keadaan yang aman di lingkungan negara dan memperkuat pertahanan negara khususnya dari serangan terorisme. Negara juga betanggung jawab terhadap rakyatnya. Termasuk korban terorisme berserta keluarga dari korban teroris yang meninggal dunia, dengan cara menyantuni dan memberikan bantuan kepada mereka.

 

            Terkait dengan penanganan terorisme setiap negara mempunyai kewajiban untuk turut andil dalam memerangi terorisme yang sekaligus sebagai upaya untuk menjaga perdamaian. Dalam upaya – upaya memengari terorisme tersebut perlu di perhatikan prinsip – prinsip HAM dan tidak melakukan tindakan yang pragmatis. Polisi memiliki kewenangan dalam penanggulangan terorisme, namun juga ada batasan – batasan nyata yang mengatur aspek dari kepolisian itu sendiri. Kekuatan diskresi yang melekat dalam mandat tugas mereka juga harus di ikuti dengan proses pemahaman untuk menghormati berbagai ketetapan yang telah di sepakati dalam standar HAM yang telah di akui. Sudah seharusnya tantangan – tantangan yang akan dan telah di hadapi oleh polisi di jalankan dalam koridor hukum dan standar HAM. Tindakan pencegahan terorisme dapat di artikan sebagai tindakan yang efektif melalui kebijakan dan berbagai program strategi untuk mencegah terjadinya aksi terorisme di Indonesia. Menghadapi ancaman terorisme yang akhirnya menimbulkan ketakutan serta penderitaan terhadap manusia, pemerintah demokratis harus di hadapkan pada pilihan yang sulit dalam menentukan kebujakan dan keputusan akan hal ini. Di satu sisi mereka harus menjunjung tinggi nilai – nilai dasar demokratis yaitu berdasarkan proses hukum dan hak asasi manusia. Di sisi lain mereka harus memfokuskan pada dampak serta kerusakan yang di sebabkan oleh terorisme itu sendiri.

 

            Selain upaya dalam menjelaskan wewenang dan tugas dalam penanggulangan terorisme oleh polisi, terdapat upaya kerjasama antara polisi dan lembaga intelijen. Semangat dan kinerja berlimpah yang dilakukan oleh aparat keamanan untuk melakukan oenumpasan terorisme diharapkan dapat dibarengi dengan kegiatan menyimpulkan dan mengolah data yang diberikan oleh intelijen yang memadai. Intelijen harus difungsikan secara profesional dan efektif menjadi mata, telinga, rasa, dan pikiran untuk memberikan pencegahan sehingga mampu mengidentifikasi jaringan, kelompok, serta dapat mengantisipasi segala bentuk penyebaran bahaya terorisme. Apa yang tengah menjadi masalah mengenai terorisme adalah lebih dari perlindungan hak asasi manusia dan pada dasarnya penting karena merupakan masalah prinsip. Ada dimensi praktis yang harus menjadi pertimbangan dengan baik. Misalnya tindakan penembakan yang disengaja terhadap orang yang tidak bersalah dalam operasi terorisme, biaya yang mahal dan cenderung tidak efisien yang memberikan kesan bahwa biaya jangka panjang mungkin lebih besar daro pada manfaat jangka pendek.

 

            Indonesia merupakan demokrasi yang menjunjung tinggi nilai – nilai kemanusiaan. Namun, selama ini Indonesia masih menggunakan pendekatan kekerasan dalan menangani terorisme misalnya dengan penyergapan, pengejaran, pembunuhan, penangkapan oleh aparat keamanan. Keinginan yang besar dalam gerakan kontra terorisme seringkali mengabaikan nilai – nilai HAM didalamnya. Terdapat beberapa dugaan pelanggaran hukum dan ham yang kerap dilakukan oleh polisi dan Densus 88, dimana bentuk pelanggaran yang dilakukan secara umum berupa penggunanaan kekuatan berlebihan yang askibatnya tewasnya si tertuduh, kemudian pelanggaran hak atas rasa aman serta ketenganan dari masyarakt, penembakan salah sasaran, penyiksaan dan perlakuan tidak menusiawi lainnya, penangkapan dan penahanan paska serta salah tangkap. Aksi terorisme memeng merupakan suatu aksi yang melanggar HAM namun cara – cara untuk memperlakukan para pelaku terorisme perlu untuk mengedepankan aspek HAM karena isu HAM berpengaruh terhadap upaya penanggulangan terorisme.

 

            Hak asasi manusia memiliki peran sentral dalam pemenuhan semua aspek dari strategi kontra terorisme. Beberapa negara telah terlibat dalam penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya dalam melawan terorisme, sedangkah perlindungan hukum untuk mencegah penyiksaan sering diabaikan. Menekankan bahwa tindakan kontra terorisme yang efektif tetap memperhatikan aspek perlindungan hak asasi manusia yang tidak bertentangan dengan tujuan namun saling melengkapi dan saling memperkuat.

 

Dalam menanggulangi tindakan terorisme di Indonesia, wewenang dan tugas berada pada polisi karena hal ini menyangkut mengenai keamanan negara. Keterlibatan militer hanya akan dilakukan ketika situasi melai darurat dan ancaman itu sendiri sudah mengancam pertahanan negara. Kemudian dilakukan pemanfaatan laporan intelijen sebagai langkah efektif dan tidak lanjut dalam proses penyidikan terhadap pelaku terorisme. Mengenai kontraterorisme di Indonesia memang masih banyak perubahan terutama dari aspek hukum dan HAM dalam penanganan terorisme itu sendiri. Terdapat kaitan erat mengenai penanganan terorisme terhadap hukum dan HAM. Sehingga salam proses penangananya, polisi selaku pihak yang berwenang harus menjunjung tinggi HAM dan tidak keluar dari koridor hukum sekalipun terhadap pelaku terorisme, karena justru hal tersebut akan menimbulkan polemik baru dan bukan menjadi solusi dari permasalahan.

 

 

Penulis Artikel :

Rosa Gustiani

203/171710721 ( HAM DAN TERORISME) sella amelia


(HUKUM-01/203-171710458) Pemberatasan Keberadaan Terorisme Dan Hubungan Dalam HAM

Terorisme bukanlah merupakan masalah baru, karena gerakan maupun kelompok-kelompok terorisme ini sesungguhnya telah lama ada. Makin maraknya tindak kejahatan yang dilakukan berbagai kelompok teroris yang muncul akhir-akhir ini memang sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya negara yang merasakan dampak buruk dari gerakan terorisme internasional ini, tindak kriminal yang mereka lakukan kian brutal dan makin banyak jatuh korban jiwa dari kalangan sipil yang tak berdosa. Terorisme umumnya disebabkan faktor pertentangan ideologi, agama, etnik, perbedaan pandangan hidup individu, keinginan untuk memisahkan diri dari suatu negara, maupun akibat kesenjangan sosial. Namun hal ini belum cukup mendapat perhatian serius dari setiap negara. Masalah ini baru kemudian mendapat perhatian serius pada saat terjadinya kasus yang luar biasa dan menimbulkan korban jiwa dalam jumlah yang banyak.

Hingga saat ini, definisi terorisme masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan, dan dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Amerika Serikat sendiri yang pertama kali mendeklarasikan 'perang melawan terorisme' belum memberikan definisi yang gamblang dan jelas sehingga semua orang bisa memahami makna sesungguhnya tanpa dilanda keraguan, tidak merasa didiskriminasikan serta dimarjinalkan. Kejelasan definisi ini diperlukan agar tidak terjadi salah tangkap, dan berakibat merugikan kepentingan banyak pihak, di samping demi kepentingan atau target meresponsi hak asasi manusia (HAM) yang seharusnya wajib dihormati oleh semua orang beradab.

Kejahatan terorisme pada saat sekarang ini hadir dan menjelma dalam kehidupan bagaikan momok, virus ganas, dan bahkan seperti monster yang menakutkan yang sewaktu-waktu dan tidak dapat diduga bisa menjelmakan terjadinya prahara nasional dan global, termasuk mewujudkan tragedi kemanusiaan, pengebirian martabat bangsa dan penyejarahan tragedi atas Hak Asasi Manusia (HAM). Hak asasi manusia kehilangan eksistensinya dan tercabut kesucian atau kefitrahannya di tangan pembuat teror yang telah menciptakan kebiadaban berupa aksi animalisasi (kebinatangan) sosial, politik, budaya, dan ekonomi.

Terorisme dewasa ini benar-benar merupakan bagian dari momok besar bagi bangsa Indonesia, di samping dunia atau masyarakat Internasional. Dikatakan demikian, karena sempat membuat gentar rakyat kecil karena kejadian yang mereka alami telah mengakibatkan banyak pihak yang dirugikan dan dikorbankan. Sehingga menjadikannya sebagai suatu fenomena modern dan telah menjadi fokus perhatian berbagai organisasi internasional, berbagai kalangan dan negara.

Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa aksi-aksi terorisme, baik yang berdimensi lokal maupun internasional, juga merupakan sebuah bentuk penolakan, resistensi ataupun reaksi tandingan yang diperlihatkan sebuah kelompok dalam lingkungan terbatas maupun luas, karena persamaan gagasan dan persepsi terhadap sistem ekonomi dunia yang dinilai timpang, tidak adil, dan merugikan mayoritas masyarakat dunia, ataupun masyarakat lain yang minoritas, yang aspirasinya disalurkan oleh perjuangan gerakan tersebut. Keprihatinan yang besar atas realitas kemiskinan yang semakin meluas dan tingkat kesenjangan yang tinggi dalam sebuah negara, maupun antara sedikit negara maju dan banyak negara berkembang dan terbelakang di Asia, Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika dan bahkan Eropa serta sebagian benua Amerika lainnya, adalah kondisi yang menyuburkan pertumbuhan gerakan terorisme dan aksi-aksi mereka di berbagai belahan dunia. Sehingga, walaupun muncul gerakan dan aksi-aksi terorisme yang dilancarkan tidak selalu tepat dalam waktu yang bersamaan atau serentak, namun tingkat keprihatinan yang sama atas realitas kemiskinan dan kesenjangan sosial di sekitarnya, ataupun atas sistem dunia yang terus berlangsung, telah menyebabkan mudah berkembangnya gerakan dan aksi-aksi terorisme di suatu negara, kawasan dan dunia secara lebih luas.

Dalam perkembangannya tindak pidana terorisme yang terjadi selama ini cenderung dihubungkan dengan ajaran agama Islam yang radikal dan seolah-olah Islam membolehkan melakukan berbagai bentuk tindak pidana kekerasan yang dikenal dengan tindak pidana terorisme. Sebenarnya terorisme yang mengatasnamakan agama bisa jadi merupakan akibat dari hubungan antar negara, ketika negara dipersepsikan sebagai representasi agama. Sehingga setiap konflik yang muncul antar negara disebut juga konflik agama seperti konflik antara negara-negara Arab dan Israel, padahal yang menjadi pelaku kekerasan atau teror berasal dari kelompok-kelompok dalam masyarakatnya yang memang memiliki perbedaan agama. Namun demikian, memang sulit untuk menarik hubungan bahwa agama merupakan sumber dari aksi terorisme ketika kita segaris dengan realis bahwa negara adalah unit yang sekular dan kuat (power) merupakan faktor yang dominan mempengaruhi hubungan antar negara. Bila unit analisanya adalah kelompok masyarakat, maka faktor agama bisa merupakan salah satu faktor penting dalam menjelaskan aktivitas mereka.  

Perdebatan tentang pelaku dan motif dari terorisme sering harus membawa kita kepada identifikasi ideologi dan agama dari pelaku terorisme, karena ideologi atau agama merupakan sumber legitimasi dari aksinya. Negara mendapatkan legitimasi kekerasan atau teror karena kedaulatan dan kewenangan konstitusionalnya. Isu tentang 'terorisme Islam' perlu dilihat lebih jauh apakah Islam melegitimasi teror atau pelaku terorisme baik negara atau bukan negara telah membajak Islam. 

 

Mengenai terorisme membutuhkan kesadaran mendalam yang mampu menguraikan setiap unsur, bentuk, modus, dan aspek-aspek dalam terorisme serta mengklasifikasikannya secara objektif dan ilmiah, khususnya yang berkaitan dengan pertimbangan dari aspek akibat yang menimpa umat manusia. Masyarakat beradab pada zaman modern sekarang ini tidak ada yang membenarkan aksi apapun yang tergolong terorisme. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terorisme merupakan sebuah bentuk kekerasan langsung atau tidak langsung, yang dikenakan pada sasaran yang tidak sewajarnya mendapat perlakuan kekerasan tersebut, dan dengan aksi tersebut dimaksudkan agar tejadi rasa takut yang luas di tengah-tengah masyarakat. Walaupun ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa terorisme lahir dan tumbuh dari rasa kekecewaan akibat perlakuan tidak adil yang berlangsung lama dan kelihatan tidak ada harapan perubahan serta keadaan ekonomi yang tidak kunjung habisnya dirasakan oleh kelompok-kelompok tertentu.

Namun demikian, terorisme tidak dapat diidentikkan dengan perbuatan yang bermotif agama (terutama agama Islam), melainkan lebih bermuatan politik. Azyumardi Azra, mengatakan, terorisme sebagai kekerasan politik sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan Islam. Islam mengajarkan etos kemanusiaan yang sangat menekankan kemanusiaan universal. Islam menganjurkan umatnya untuk berjuang mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kehormatan.

Akan tetapi, perjuangan itu haruslah tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau terorisme. Setiap perjuangan untuk keadilan harus dimulai dengan premis bahwa keadilan adalah konsep universal yang harus diperjuangkan dan dibela setiap manusia.

Bicara soal hak asasi manusia (HAM) hampir semua orang sepakat bahwa aksi terorisme merupakan salah satu bentuk pelanggaran berat di samping kejahatan perang, pembasmian etnis, atau juga penggunaan senjata kimia. Di Indonesia, rentetan aksi terorisme yang telah terjadi sejak tahun 2000 hingga kasus-kasus terbaru seperti teror Bom Thamrin dan Bom Samarinda tahun lalu sejatinya juga merupakan kasus pelanggaran HAM. Kelompok teroris begitu tega meledakkan bom di jalan raya, hotel, kawasan wisata, kafe, bahkan tempat ibadah, demi kepentingan politik mereka.

Aksi terorisme melahirkan para korban, yaitu masyarakat sipil yang tak tahu menahu tentang konflik yang dipersoalkan kelompok teroris. Di antara para korban ada yang sekadar lewat, nongkrong, mampir makan, atau sedang bekerja mencari nafkah di lokasi-lokasi kejadian teror. Ratusan korban telah meninggal dunia akibat serangan terorisme sementara ratusan lainnya mengalami penderitaan menahun akibat kejahatan luar biasa itu. Sebagian mereka mengalami cacat seumur hidup karena kehilangan anggota tubuh, sebagian lainnya mengalami luka psikologis yang hingga kini belum sepenuhnya dapat dipulihkan.

Derita akibat serangan teror tak berhenti di situ. Ketika serangan terorisme berhasil membunuh nyawa manusia, pada saat yang sama tercipta anak-anak yatim atau piatu yang kehilangan orang tuanya, tercipta keluarga yang kehilangan tulang punggungnya, tercipta kemiskinan -atau setidaknya ancaman kemiskinan- yang tersistem. Dari alasan ini kita mengetahui betapa terorisme adalah kezaliman dan merupakan bentuk pelanggaran HAM yang nyata.

Dalam perspektif Islam, manusia digambarkan oleh Al-Quran sebagai makhluk yang paling sempurna, mulia, serta terhormat. Bersandar dari pandangan kitab suci ini, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM tidak lain merupakan tuntutan Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap pemeluknya. Dalam Islam, sebagaimana dinyatakan oleh pemikir muslim Abu al-A'la al-Maududi (1967), HAM adalah hak kodrati yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau pihak mana pun. Hak-hak yang diberikan tersebut bersifat permanen atau kekal.

Gagasan Islam tentang HAM berpijak pada konsep tauhid, yaitu pengakuan keesaan Allah yang tergambar dari ungkapan syahadat, la ilaha illa Allah, tiada tuhan/sesembahan selain Allah. Konsep ketauhidan mengandung inti persamaan dan persaudaraan seluruh manusia. Tauhid juga mencakup ide persamaan dan persatuan semua makhluk, benda tak bernyawa, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. HAM merupakan standar normatif yang ditetapkan Allah atau dibuat manusia berdasarkan firman Allah untuk mengatur hubungan sesama manusia baik antarindividu, antarmasyarakat, maupun antarnegara. Pengakuan adanya hak asasi yang melekat pada diri setiap manusia bermakna pengakuan adanya kewajiban yang harus ditunaikan terhadap umat manusia.

Akan tetapi, dengan lihai para teroris justru mengklaim bahwa aksi teror yang mereka lakukan adalah tuntunan yang diajarkan dalam Islam. Mereka mengesampingkan fakta betapa Islam menganjurkan pemeluknya untuk menghormati umat agama lain. Yang mereka tonjolkan adalah ayat Alquran yang menganjurkan untuk membunuh kaum di luar Islam. Padahal, ayat-ayat suci Alquran selalu terkait dengan konteks sosial yang membingkai wacana tentang sebab ayat tersebut turun. Kelompok teroris tak pernah peduli akan aspek sosial kemasyarakatan setiap melancarkan serangan. Belakangan ini bahkan umat muslim yang berseberangan dengan pemahaman keagamaan mereka pun juga menjadi sasaran teror karena dinilai telah kafir.

Menimbang kekejaman terorisme yang melahirkan berbagai penderitaan korban mestinya membuat negara menyadari bahwa aspek perlindungan HAM korban teror wajib diperkuat. Memperkuat perlindungan HAM korban terorisme menurut hemat penulis adalah dengan menjamin hak-hak mereka sebagai korban aksi terorisme, yang diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, terpenuhi.

Dalam UU No. 15/2003, disebutkan bahwa korban terorisme berhak mendapatkan hak restitusi dan kompensasi. Restitusi, ganti rugi kepada korban yang dibayarkan oleh pelaku, hampir pasti tak dapat diharapkan. Mirisnya, hak kompensasi atau ganti rugi negara kepada korban karena gagal memberikan rasa aman, juga tak pernah terbayarkan sebab pemberian kompensasi menurut UU tersebut mensyaratkan adanya putusan pengadilan. Berdasarkan pengalaman Aliansi Indonesia Damai (AIDA), lembaga yang beperhatian terhadap korban terorisme, dari ratusan korban terorisme yang ada di Indonesia, mulai korban Bom Bali 2002 hingga korban Bom Thamrin 2016, belum ada satu pun yang mendapatkan kompensasi dari negara.

Hak-hak korban terorisme dalam UU No. 15/2003 yang terabaikan ini harus menjadi perhatian bersama seiring dengan adanya rencana revisi UU tersebut yang kini tengah digodok pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Selama hak kompensasi belum terbayarkan, selama itu pula negara menanggung hutang kepada para korban terorisme.

Sementara itu, hak-hak korban terorisme yang diatur dalam UU No. 31/2014 mencakup bantuan rehabilitasi medis, psikologis, dan psikososial. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU tersebut, telah mulai memberikan hak-hak kepada sebagian korban. Dari ratusan korban terorisme yang ada di Indonesia, LPSK baru dapat menjangkau puluhan di antara mereka disebabkan bermacam kendala, termasuk tentang assessment korban.

Menangani korban terorisme memang hal baru bagi LPSK mengingat selama ini lembaga tersebut lebih banyak mengurusi korban pelanggaran HAM berat. Dalam memberikan hak-hak kepada korban pelanggaran HAM berat, LPSK berdasarkan pada surat keterangan korban yang didapat dari Komnas HAM. Sementara itu, menghadapi korban terorisme LPSK terkesan kebingungan tentang siapa yang berwenang menentukan korban. Lembaga tersebut mengambil langkah hati-hati dalam melakukan penelusuran tentang korban sebab tak mau disalahkan dalam membelanjakan anggaran negara. Menurut hemat penulis, ke depan LPSK harus didukung untuk dapat menjangkau lebih banyak lagi korban terorisme sehingga negara benar-benar bekerja konstitusional dengan melaksanakan amanat UU.

 Penulis Artikel: Rahayu 



(HUKUM-01/203-171710793) PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME DALAM PERSPEKTIF HAM

Berangkat dari kesadaran umat manusia di dunia dalam rangka memajukan perlindungan terhadap hak – hak  manusia, dan juga untuk memenuhi ketentuan pasal 68 piagam PBB yang berisi "Dewan Ekonomi dan Sosial mendirikan panitia – panitia, di bidang – bidang ekonomi sosial, dan untuk memajukan hak – hak  manusia, dan panitia – panitia lain sebagaimana diperlukan bagi  pelaksanaan fungsi – fungsinya, maka terbentuklah Komisi Hak – Hak Manusia (Commision on Human Rights) pada tahun 1946. Sidang pertama diadakan pada bulan Januari 1947 dipimpin oleh Ny. Franklyn Delano Roosevelt. Setelah dua tahun bekerja, akhirnya konisi tersebut menghasilkan Deklarasi Universal tentang Hak – Hak Asasi Manusia/DUHAM. (Universal Declaration of Human Rights) yang dinyatakan diterima baik oleh Sidang Umum PBB yang digelar di istana Chaillot (Paris) tanggal 10 Desember 1948. 
Kaitan antara terorisme dan HAM adalah adanya pelanggaran yang disebabkan oleh aksi teror yang melanggar  hak – hak asasi manusia khususnya hak sipil dan politik dimana hak sipol tersebut, tercantum pula pada DUHAM. Pasal 3 Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia menyatakan "Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu." Terdapat pula dalam Konvenan Internasional Hak – Hak Sipil dan Politik yang telah diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966. Isi dari konvenan yang terkait dengan pelanggraan HAM yang disebabkan oleh tindakan terorisme yaitu hak atas hidup, dan hukuman mati hanya untuk kejahatan berat.
Dari kedua pasal tersebut, dapat dijelaskan bahwa seorang teroris telah mengambil hak hidup dari rakyat sipil yang menjadi korban terorisme. Dan tersebut melanggar  peraturan – peraturan terkait hak asasi manusia. Maka bisa dianggap wajar apabila para teroris yang bersalah secara fatal dalam tindakan  terorisme tersebut di hukum dengan hukuman yang sangat berat. Karena telah mengorbankan tidak hanya satu atau dua orang rakyat sipil yang menjadi korban tetapi bisa sampai puluhan atau ribuan yang menjadi korban. Dan para teroris telah mengambil hidup mereka, dimana setiap korban terorisme meninggalkan sanak keluarganya, dan itu tindakan pelanggaran HAM. Pelanggaran  hak asasi  manusia didefinisikan sebagai suatu, "pelanggaran terhadap  kewajiban  negara yang lahir dari instrumen – instrumen Internasional Hak Asasi Manusia". Pengertian yang lain mejelaskan bahwa pelanggaran HAM adalah tindakan atau kelalaian oleh negara terhadap norma yang belum dipidana dalam hukum pidana tetapi, merupakan norma hak asasi yang diakui secara Internasional.
Oleh karena itu, dalam hal ini negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan keadaan yang aman di lingkungan negara dan memperkuat pertahanan negara, khususnya dari serangan terorisme. Negara juga bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Termasuk korban terorisme beserta kelurga dari korban teroris yang meninggal dunia, dengan cara menyantuni, dan memberikan bantuan kepada  mereka.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena:
1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus di mana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.

Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ''(lex specialis derogat lex generalis)''. Keberlakuanlex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria:
1. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
2. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.
Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti:
Melalui sistem evolusi berupa amendemen terhadap pasal-pasal KUHP.
Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya.
Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme.
Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi. Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain.
Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnya saja, akan tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikan bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila dibandingkan asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila memang diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat dengan Hak Asasi Manusia. Atau mungkin karena sifatnya sebagai Undang-Undang yang khusus, maka bukan penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-Undang Khusus tersebut.
Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), penyelesaian suatu perkara Tindak Pidana sebelum masuk dalam tahap beracara di pengadilan, dimulai dari Penyelidikan dan Penyidikan, diikuti dengan penyerahan berkas penuntutan kepada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP) menyebutkan bahwa perintah Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan Tindak Pidana berdasarkan Bukti Permulaan yang cukup. Mengenai batasan dari pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang secara jelas mendefinisikannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi dasar pelaksanaan Hukum Pidana. Masih terdapat perbedaan pendapat di antara para penegak hukum. Sedangkan mengenai Bukti Permulaan dalam pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pasal 26 berbunyi:
1. Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap Laporan Intelijen.
2. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
3. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
4. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya Bukti Permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan Penyidikan.
Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang dapat dikategorikan sebagai Bukti Permulaan, termasuk pula Laporan Intelijen, apakah dapat dijadikan Bukti Permulaan. Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan (Hearing) secara tertutup. Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau pihak lain mana pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap hak-hak setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat.
Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telah terlanggar, karena banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap perbuatan terormelalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat, di mana aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror. Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalamnon-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan di banyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat. Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia. Demikian menurut Munir, bahwa memang secara nasional harus ada Undang-Undang yang mengatur soal Terorisme, tetapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi Manusia. Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia, bukan sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan.

Penulis Artikel : Irvan Pratama

(HUKUM-01/203-171710795) Terorisme Dalam Perspektif Hukum Dan HAM

Bangsa Indonesia masih berada dalam masa transisi dari rezim otoriter dan represif ke rezim demokratis, namun menyadari masih lemahnya penguasaan masalah dan kesadaran bahwa penegakan HAM merupakan kewajiban seluruh bangsa tanpa kecuali, perlu diterapkan keadilan yang bersifat transisional, yang memungkinkan para korban pelanggaran HAM di masa lalu dapat memperoleh keadilannya secara realistis.

Penegakan HAM sangat bergantung seberapa berkualitas demokrasi dijalankan di Indonesia. Demokrastisasi Indonesia sekalipun telah mencapai perubahan positif masih banyak resiko negatif yang membayangi, dimana kran liberalisasi politik, kebebasan media massa serta jaminan artikulasi warga negara menjadi kisah sukses yang harus diapresiasi sebagai dampak nyata reformasi.

Komnas HAM seringkali mendapat banyak sorotan dan diangap tidak independen karena proses seleksi komisioner sarat dengan kepentingan politik serta orang-orang yang menjadi kandidat komisioner tidak memiliki latar belakang pengetahuan dan pemahaman HAM yang luas. Ketika terpilih menjadi komisioner, ideologi partai atau kelompok tempatnya berasal lebih mewarnai pola pikirnya ketimbang paham HAM universal. Lembaga yang lahir dari pergulatan perjuangan manusia dipundaknya menanggung marwah untuk mendorong terwujud dan tegaknya martabat setiap manusia.

Untuk itu, Komnas HAM sangat diharapkan berperan maksimal dalam mendorong perlindungan dan penegakan HAM. Apalagi di tengah trend pelanggaran HAM yang semakin massif dari tahun ke tahun, peran lembaga ini sangat ditungu-tunggu. Meski Komnas HAM diberi mandat oleh UU untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat akan tetapi mendapat kendala yang terletak pada kurangnya Political Will….kelompok, golongan, ataupun individu terhadap kelompok, golongan, atau individu lainnya untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut.

Akibatnya Komnas HAM untuk melakukan pemanggilan pun menjadi berdebatan dikalangan pemerintah dan sering diabaikan oleh pihak-pihak yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat. Disisi lain, saat ini HAM tidak lagi dipandang sekadar sebagai perwujudan faham individualisme dan liberalisme tetapi lebih dipahami secara humanistis sebagai hak-hak yang inheren dengan harkat dan martabat kemanusiaan, apapun latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin dan pekerjaannya.

Dewasa ini pula banyak kalangan yang berasumsi negatif terhadap pemerintah dalam menegakkan HAM. Perlu diketahui bahwa pemerintah Indonesia sudah sangat serius dalam menegakkan HAM, hal ini dapat dlihat dari upaya pemerintah Indonesia menyambut baik kerja sama internasional dalam upaya menegakkan HAM di seluruh dunia atau di setiap negara dan sangat merespons terhadap pelanggaran HAM internasional hal ini dapat dibuktikan dengan kecaman presiden atas beberapa agresi militer di beberapa daerah akhir-akhir ini contoh; Irak, Afghanistan, dan baru-baru ini Indonesia juga memaksa PBB untuk bertindak tegas kepada Israel yang telah menginvasi Palestina dan menimbulkan banyak korban sipil, wanita dan anak-anak.

Tidak sulit bagi siapapun untuk menyimpulkan bahwa terorisme merupakan suatu tindakan yang sangat merugikan masyarakat baik nasional maupun internasional, bahkan sekaligus merupakan kejahatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Dengan merujuk pada ketentuan Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menetukan, "Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu". Sehingga adanya rasa takut dan cemas yang melanda warga masyarakat yang diakibatkan oleh terorisme, maka para teroris telah merampas hak asasi orang lain tentang rasa aman. Apalagi jika tindakan itu menimbulkan korban nyawa yang sering tidak sedikit jumlahnya. Dengan demikian, baik melalui pemahaman logika sederhana maupun dengan analisa normatif, telah dapat dibuktikan bahwa tindakan terorisme merupakan kejahatan terhadap HAM.

 

Terorisme sendiri sebagai suatu fenomena sosial mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Cara-cara yang digunakan untuk melakukan kekerasan dan ketakutan juga semakin canggih seiring dengan keinginan teknologi modern. Proses globalisasi dan budaya massa menjadi lahan subur perkembangan terorisme. Kemudahan menciptakan ketakutan dengan teknologi tinggi dan perkembangan informasi melalui media yang luas, membuat jaringan dan tindakan teror semakin mudah mencapai tujuannya.

 

Bentuk-bentuk terorisme seiring perkembangan zaman dapat diperinci sebagai berikut:

  1. Sebelum Perang Dunia II, hampir semua tindakan terorisme terdiri atas pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah.
  2. Terorisme pada tahun 1950-an yang dimulai di Aljazair, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan "serangan yang bersifat acak" terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang mereka sebut (Algerian Nationalist) sebagai "terorisme negara". Menurut mereka, pembunuhan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan bukanlah soal yang harus dirisaukan, bahkan sasarannya adalah mereka yang tidak berdosa.
  3. Terorisme yang muncul pada tahun 1960-an dan terkenal dengan istilah "terorisme media", berupa serangan acak atau random terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas.

Dari gambaran diatas sejarah panjang perkembangan dan perubahan wajah terorisme dari waktu ke waktu. Hal ini pula yang menyebabkan sampai saat ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Terorisme. Berbagai konsepsi dan definisi yang disampaikan oleh para ahli mengenai terorisme, sangat beragam mengikuti perkembangan corak tindakan tersebut yang sangat dinamis.

 

Sebagian ahli berpendapat bahwa terorisme adalah penggunaan atau ancaman kekerasan fisik oleh individu-individu atau kelompok-kelompok untuk tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang ada, apabila tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan, melumpuhkan atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih besar daripada korban-korban langsungnya. Terorisme melibatkan kelompok-kelompok yang berusaha untuk menumbangkan rezim-rezim tertentu untuk mengoreksi keluhan kelompok/nasional, atau untuk menggerogoti tata politik internasional yang ada.

 

Pembentukan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, merupakan kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat proaktif yang di landaskan kepada kehati-hatian dan bersifat jangka panjang, karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat multi etnik dan mendiami ratusan ribu pulau yang tersebar di seluruh wilayah nusantara, letaknya ada yang berbatasan dengan negara lain dan oleh karenanya seluruh komponen bangsa Indonesia berkewajiban memelihara dan meningkatkan kewaspadaan akan adanya segala bentuk kegiatan tindak pidana terorisme, disamping itu konflik yang sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia berakibat sangat merugikan kehidupan bangsa Indonesia yang menyebabkan kemunduran peradaban yang pada akhirnya Indonesia akan dapat menjadi tempat subur berkembangnya terorisme baik yang dilakukan orang Indonesia sendiri maupun orang asing.

 

Materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 terdiri dari 47 (empat puluh tujuh) pasal yang antara lain mengatur masalah ketentuan umum, lingkup berlakunya, kualifikasi tindak pidana terorisme, tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme di sidang pengadilan, kompensasi, restitusi dan rehabilitasi serta kerjasama internasional.

Ditinjau dari optik yuridis, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mempunyai kekhususan meliputi :

  1. sebagai ketentuan payung terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme juga bersifat ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus koordinatif dan berfungsi memperkuat ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. adanya perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa yang disebut"safe guarding rules"
  3. adanya pengecualian bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik atau tindak pidana yang bermotif politik atau tindak pidana yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerja sama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif.
  4. ketentuan undang-undang ini memberi kemungkinan Presiden membentuk satuan tugas anti teror dengan berlandaskan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sun shine principle) dan atau prinsip pembatasan waktu efektif (sunset principle).
  5. adanya kualifikasi bahwa pendanaan untuk kegiatan terorisme sebagai tindak pidana terorisme.
  6. dikenal, diakui dan dipertahankannya ancaman sanksi pidana dengan minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap pelaku tindak pidana terorisme.

 

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa tindak pidana terorisme yang diatur didalam undang-undang ini dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik dan tindak pidana dengan tujuan politis yang menghambat ekstradisi.

 

Dalam hal ini, harus diakui bahwa dalam penjelasan undang-undang tersebut sangat disayangkan tidak dijelaskan apa yang dimaksud tindak pidana politik dan tindak pidana dengan tujuan politik. Menurut Barda Nawawi Arif , dalam kebijakan legilatif selama ini tidak ada suatu suatu perbuatan yang secara formal di kualifikasikan sebagai "kejahatan atau tindak pidana politik" oleh karena itu dapat dikatakan bahwa istilah "kejahatan atau tindak pidana politik" bukan merupakan istilah yuridis melainkan hanya merupakan istilah atau sebutan teoritik ilmiah (scientific term).

 

Selanjutnya, ancaman pidana minimal khusus di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang ternyata tidak disertai dengan aturan atau pedoman pemidanaan untuk menerapkan ancaman pidana tersebut, menurut Barda Nawawi Arif ini merupakan perpanjangan dari sistem KUHP, dan seharusnya undang-undang khusus ini di luar KUHP membuat aturan khusus atau tersendiri untuk penerapannya. Hal ini merupakan konsekwensi dari adanya Pasal 103 KUHP karena KUHP sendiri bukan mengatur masalah ini. Dengan tidak adanya aturan atau pedoman pemidanaan ini maka tidak begitu jelas apakah pidana minimal itu dapat diperingan (dalam hal ada faktor yang meringankan) atau dapat diperberat (dalam hal ada faktor yang memberatkan).

 

Dilihat dari sudut kebijakan kriminal, maka upaya penanggulangan kejahatan (termasuk tindak pidana terorisme) dengan sarana hukum pidana (penal policy) bukan merupakan kebijakan yang strategis. jadi kebijakan strategis dalam penanggulangan kejahatan (termasuk tindak pidana terorisme) terletak pada kebijakan penanggulangan yang sensitif.

 

Inilah yang tidak dipenuhi oleh kebijakan penal dalam menanggulangi kejahatan, karena kebijakan penal merupakan kebijakan parsial, represif dan simptomik. Walaupun kebijakan penal bersifat represif, namun sebenarnya juga mengandung unsur preventif, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap delik atau kejahatan diharapkan ada efek pencegahan atau penangkalnya (deterent effect). Disamping itu kejahatan penal tetap diperlukan dalam penanggulangan kejahatan karena hukum pidana merupakan salah satu sarana kebijakan sosial untuk menyalurkan "ketidaksukaan masyarakat (social dislike) atau "pencelaan atau kebencian sosial" (social disaproval / social abhorence) yang sekaligus juga diharapkan menjadi sarana "perlindungan dengan sosial" (social defence), oleh karena itulah sering dikatakan bahwa "penal policy" merupakan bagian integral dari social defence policy.

 

Agaknya dimasa yang akan datang peran serta masyarakat hendaknya dimasukkan di dalam Rencana Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, hal ini mengingat sulitnya upaya mendeteksi kejahatan terorisme dan di dalam kenyataannya pihak Kepolisian memasang gambar-gambar atau foto tokoh-tokoh teroris yang dicari dengan meminta bantuan masyarakat.

 

Menurut saya, kesimpulannya Kesepakatan dunia yang menjadikan tindakan terorisme sebagai musuh bersama yang mengancam terhadap HAM sangat mendasar dan mendapat pembenaran baik dengan menggunakan logika sosial maupun logika hukum. Terorisme dipandang sebagai kejahatan luar biasa yang membutuhkan penanganan dengan cara-cara yang luar biasa. Upaya yang dimaksud tentu saja upaya yang komprehensip dengan tidak hanya mengandalkan hukum semata sebagai pilar utama dalam pemberantasan tindakan terorisme. Upaya luar biasa yang dimaksud adalah terlibatnya semua pihak yang saling bahu-membahu dalam memberantas terorisme demi terjaganya kehormatan dan keselamatan umat manusia. Upaya ini sudah semestinya untuk secara tegas dinyatakan dalam berbagai kebijakan hukum pemerintah agar dalam pelaksanaannya dapat terarah dan terukur serta lebih memebrikan rasa tanggung jawab bersama yang bersifat mutlak.


Penulis Artikel : Amira Sukma Tristyana