Dalam perspektif hukum dan kajian tentang hak asasi manusia, tindak
pidana terorisme merupakan kejahatan luar biasa (Extraordinary
Crime)yang membutuhkan pula penanganan dengan cara-cara luar
biasa(Extraordinary Measure). Upaya pemberantasan terhadap tindak
pidana terorisme tidak dapat dilakukan dengan hanya mengandalkan
kepada ketentuan-ketentuan hukum secara normatif serta sikap-sikap
represif pihak penegak hukum. Semua pihak yang terlibat, hendaknya
lebih memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku dan menghormati
nilai-nilai hak asasi manusia. Upaya luar biasa yang dimaksud adalah
terlibatnya semua pihak yang saling bahu-membahu dalam memberantas
terorisme demi terjaganya kehormatan dan keselamatan umat manusia.
Upaya ini sudah semestinya untuk secara tegas dinyatakan dalam
berbagai kebijakan hukum pemerintah agar dalam pelaksanaannya dapat
terarah dan terukur serta lebih memebrikan rasa tanggung jawab bersama
yang bersifat mutlak.
Ada 2 (dua) alasan mendasar bagi Bangsa Indonesia untuk menjadikan
terorisme sebagai musuh besar kebangsaan bahkan kemanusiaan secara
umum .
1. Pertama, demokrasi dan kebebasan politik tidak lengkap jika tidak
merasa aman. Padahal gerakan reformasi bertujuan membuat kita semua
merasa lebih aman di rumah sendiri dan lebih nyaman dalam kehidupan
bernegara. Kita semua mengambil tanggung jawab memerangi terorisme
yang ingin mengambil rasa aman.
2. Kedua, terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk
gerakan yang terorganisasi. Dewasa ini terorisme mempunyai jaringan
yang luas dan bersifat global yang mengancam perdamaian dan keamanan
nasional maupun internasional.
Pandangan yang demikian itu berpengaruh pula terhadap kebijakan serta
politik hukum yang diambil Indonesia guna mewujudkan suatu sistem
panangkal dan pemberantas bagi tindakan dan jaringan terorisme. Dalam
perspektif hukum, terorisme dinobatkan sebagai suatu kejahatan yang
tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa. Hal ini didukung pula
oleh doktrin secara akademis, dimana terorisme dikategorikan sebagai
"kejahatan luar biasa" atau "extraordinary crime" . Kajian tentang hak
asasi manusia (HAM) telah pula turut ambil bagian dalam menjustifikasi
terorisme yang dikategorikan sebagai "kejahatan terhadap kemanusiaan"
atau "crime against humanity".
Kaitan antara HAM dan Terorisme adalah adanya pelanggaran yang
disebabkan oleh aksi teror yang melanggar HAM khususnya Hak Sipil dan
politik dimana hak sipol tersebut tercantum pada DUHAM. Seorang
teroris telah mengambil hak hidup dari rakyat sipil yang menjadi
korban terorisme dan melanggar aturan yang terkait dengan HAM, maka
bisa dianggap wajar apabila para teroris yang bersalah secara fatal
dalam melakukan tindakannya teroris tersebut dapat dihukum dengan
hukuman yang sangat berat karena telah mengorbankan tidak hanya satu
atau dua oeang rakyat sipil yang menjadi korban tetapi bisa sampai
puluhan atau ribuan orang yang menjadi korban. Para teroris telah
mengambil hidup mereka dimana setiap korban terorisme meninggalkan
sanak keluarganya dan itu merupakan tindakan pelanggaran HAM. Oleh
karena itu, negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan keadaan yang
aman dilingkungan negara khususnya dari serangan terorisme tersebut.
Selain itu negara juga mempunyai tanggungjawab terhadap rakyatnya
termasuk korban terorisme beserta keluarga dari korban teroris yang
meninggal dunia dengan cara menyantuni dan memberikan bantuan kepada
mereka.
Terorisme dan HAM bisa jadi suatu yang paradoks. Pada satu sisi,
teroris atau tersangka teroris tergolong telah melakukan kejahatan
berat yaitu tidak hanya telah menghabiskan nyawa orang lain yang
kadang kala tidak tahu apa – apa , tapi juga menebarkan rasa takut dan
cemas kepada anggota masyarakat yang lain bahkan menembus batas
teritorial negara sekalipun. Dari sisi hukum formal dan sistem norma
yang berlaku di masyarakat, semua tindakan kriminal seharusnya
diberikan hukuman yang setimpal dengan dampak yang dihasilkannnya.
Namun pada sisi lain penegakan hukum terhadap kejahatan teroris
terkadang dilakukan dengan cara mengabaikan nilai – nilai kemanusiaan
HAM. Padahal, para tersangka teroris adalah manusia juga yang memiliki
hak asasi sebagai manusia yang harus kita hargai. Artinya mereka pun
harus dilakukan selayaknya manusia yang lain termasuk dipenuhi hak –
haknya.
Sering kali tindakan teroris ditujukan atas sebuah perintah agama
tertentu, disini islam menjadi klaim negara-negara tertentu menunjuk
agama islam sebagai teroris. Islam adalah teroris begitulah paham
orang-orang anti islam. Sasaran terorisme bisa jadi siapa saja dan apa
saja. Entah itu negara atau kelompok atau individu. Namun pada
prinsipnya dan yang paling menyakitkan, terorisme adalah kejahatan
terhadap kemanusiaan. Dalam hal ini kita berbicara pada posisi dimana
HAM menjadi sasaran tindakan teror itu dilakukan.
Jika kita melihat peledakan bom dilakukan sebagai sebuah usaha untuk
mengekspresikan pendapatnya, maka cara itu sangat tidak manusiawi,
karena tidak ada yang lebih berharga di dunia ini daripada nyawa
seseorang. Seperti Peledakan bom Bali, Bom Bunuh Diri si Surabaya
misalnya, telah menyebabkan puluhan bahkan ratusan nyawa lenyap.
Kejahatan seperti ini jelas tidak bisa ditolelir oleh HAM. Dengan
adanya rasa takut dan cemas yang melanda warga masyarakat yang
diakibatkan oleh terorisme, maka para teroris telah merampas hak asasi
orang lain tentang rasa aman. Di sini kita bisa melihat bahwa sasaran
utama terorisme bukan lagi sekadar kejahatan terhadap negara atau
kelompok atau individu, melainkan kejahatan terhadap HAM. Namun yang
menjadi masalah adalah kejahatan teroris yang di atas namakan jihad
seperti bom bali dan bom surabaya telah menimbulkan kejahatan
kemanusiaan. Jihad dalam islam adalah salah satu perbuatan yang
bernilai pahala besar di dalamnya. Namun jihad yang di klaim sebagai
alasan bencana bom bali dan bom surabaya menimbulkan akibat berupa
penderitaan dan banyak korban meninggal dunia.
Jika menyandingkan HAM dan jihad yang di klaim seperti bom bali dan
bom surabaya, jihad tersebut telah melanggar Hak Asasi Manusia, yaitu
hak untuk hidup. Namun hak untuk berjihad adalah hak asasi juga. Yaitu
hak seseorang untuk menjalankan perintah agamanya.
Namun apakah yang menjadi sesuatu yang salah antara teroris
berdasarkan jihad yang merupakan perintah agama, ataukah jihad
semestinya tidak melanggar HAM. Hingga saat ini hal tersebut masih di
perdebatkan dalam islam itu sendiri, apakah jihad seperti itu adalah
benar adanya.
Namun tindakan terorisme seperti bom bali dan bom surabaya adalah
kejahatan karena telah membunuh orang. Apakah adanya kesalahan
pemahaman terhadap arti jihad yang salah, karena tidak ada agama yang
mengajarkan kekerasan dan kejahatan terlebih islam yang berarti damai.
Tidak sulit bagi siapapun untuk menyimpulkan bahwa terorisme merupakan
suatu tindakan yang sangat merugikan masyarakat baik nasional maupun
internasional, bahkan sekaligus merupakan kejahatan terhadap hak asasi
manusia (HAM). Dengan merujuk pada ketentuan Pasal 3 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia yang menetukan, "Setiap orang berhak atas
kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu". Sehingga
adanya rasa takut dan cemas yang melanda warga masyarakat yang
diakibatkan oleh terorisme, maka para teroris telah merampas hak asasi
orang lain tentang rasa aman. Apalagi jika tindakan itu menimbulkan
korban nyawa yang sering tidak sedikit jumlahnya. Dengan demikian,
baik melalui pemahaman logika sederhana maupun dengan analisa
normatif, telah dapat dibuktikan bahwa tindakan terorisme merupakan
kejahatan terhadap HAM.
Terorisme sendiri sebagai suatu fenomena sosial mengalami perkembangan
seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Cara-cara yang
digunakan untuk melakukan kekerasan dan ketakutan juga semakin canggih
seiring dengan keinginan teknologi modern. Proses globalisasi dan
budaya massa menjadi lahan subur perkembangan terorisme. Kemudahan
menciptakan ketakutan dengan teknologi tinggi dan perkembangan
informasi melalui media yang luas, membuat jaringan dan tindakan teror
semakin mudah mencapai tujuannya. Indonesia sendriri pada saat ini
sudah memiliki peraturan untuk menanggulangi tindak pidana terorisme
sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Pembuat undang-undang menempatkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
ini sebagai peraturan payung dan bersifat koordinatif yang berfungsi
memperkuat ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan
lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme.
Pembentukan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, merupakan kebijakan dan langkah
antisipatif yang bersifat proaktif yang di landaskan kepada
kehati-hatian dan bersifat jangka panjang, karena masyarakat Indonesia
adalah masyarakat multi etnik dan mendiami ratusan ribu pulau yang
tersebar di seluruh wilayah nusantara, letaknya ada yang berbatasan
dengan negara lain dan oleh karenanya seluruh komponen bangsa
Indonesia berkewajiban memelihara dan meningkatkan kewaspadaan akan
adanya segala bentuk kegiatan tindak pidana terorisme, disamping itu
konflik yang sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia berakibat
sangat merugikan kehidupan bangsa Indonesia yang menyebabkan
kemunduran peradaban yang pada akhirnya Indonesia akan dapat menjadi
tempat subur berkembangnya terorisme baik yang dilakukan orang
Indonesia sendiri maupun orang asing.
Materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 terdiri dari 47 (empat puluh
tujuh) pasal yang antara lain mengatur masalah ketentuan umum, lingkup
berlakunya, kualifikasi tindak pidana terorisme, tindak pidana yang
berkaitan dengan terorisme di sidang pengadilan, kompensasi, restitusi
dan rehabilitasi serta kerjasama internasional.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa tindak
pidana terorisme yang diatur didalam undang-undang ini dikecualikan
dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak
pidana politik, tindak pidana dengan motif politik dan tindak pidana
dengan tujuan politis yang menghambat ekstradisi.
Selanjutnya, ancaman pidana minimal khusus di dalam Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 yang ternyata tidak disertai dengan aturan atau
pedoman pemidanaan untuk menerapkan ancaman pidana tersebut, menurut
Barda Nawawi Arif ini merupakan perpanjangan dari sistem KUHP, dan
seharusnya undang-undang khusus ini di luar KUHP membuat aturan khusus
atau tersendiri untuk penerapannya. Hal ini merupakan konsekwensi dari
adanya Pasal 103 KUHP karena KUHP sendiri bukan mengatur masalah ini.
Dengan tidak adanya aturan atau pedoman pemidanaan ini maka tidak
begitu jelas apakah pidana minimal itu dapat diperingan (dalam hal ada
faktor yang meringankan) atau dapat diperberat (dalam hal ada faktor
yang memberatkan).
Sejak itulah, terorisme menjadi musuh bersama bangsa Indonesia, musuh
kemanusiaan, musuh rakyat Indonesia, bahkan lebih jauh lagi, terorisme
adalah musuh umat manusia di seluruh dunia. Demikianlah diksi yang
populer ditengah-tengah kehidupan umat manusia sebagai suatu kecaman
terhadap segala bentuk terorisme yang jumlahnya meningkat dewasa ini,
baik yang terjadi di Indonesia maupun di dunia pada umumnya.
Penulis Artikel : Anisa Agustina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar