Minggu, 20 Mei 2018

JUNIARDI KERI, Nim 171710846, Kelas 204.


GAGASAN PEMIKIRAN HAM DAN AKSI TERORISME

Pendahuluan

Rangkaian peristiwa ledakan bom yang terjadi di Indonesia telah memberikan efek ketakutan yang luar biasa di tengah masyarakat. Pasca peristiwa tersebut, pemerintah Indonesia langsung mengeluarkan peraturan hukum dan perundang-undangan mengenai terorisme. Hal ini dilakukan sebagai upaya penanggulangan masalah terorisme di Indonesia.

Tulisan ini akan membahas dan merespon mengenai kebijakan konta terorisme ditinjau dari perspektif penegakan hukumnya dan merespon beberapa tulisan yang terkait. Pertama, tulisan Dr. Petrus Reinhard Golose yang berjudul strategi penguatan hukum dan deradikalisasi dalam mengeliminasi tindakan pidana terorisme secara garis besar membahas mengenai kebijakan serta wewenang aparat dalam upaya penanggulangan terorisme. Kedua, tulisan Usman Hamid mengenai pengembangan pemikiran dan solusi strategis penanggulangan aksi terorisme dalam perspektif hukum dan HAM secara garis besar membahas mengenai penegahak HAM dalam upaya pemberantasan terorisme. Dan ketiga, tulisan T. Nasrullah mengenai tinjauan yuridis aspek hukum materil maupun formil terhadap UU No. 15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang secara garis besar membahas mengenai kritis atas UU terorisme yang berlaku di Indonesia.

Kewenangan Terhadap Penanggulangan Terorisme dan Penegakan Hukum di Indonesia

             Dalam upaya penanggulangan terorisme, terdapat perbedaan mengenai tugas dan wewenang dalam melakukan upaya penanggulangan terorisme. Dalam tulisan Dr. Petrus Reinhard Golose mengenai strategi penguatan hukum dan deradikalisasi dalam mengeliminasi tindakan pidana terorisme, menyebutkan mengenai permasalahan terorisme di Indonesia pada saat ini masih merupakan tindak pidana yang mengancam keamanan, belum mengancam pertahanan dan eksistensi negara. Oleh karena itu, institusi yang memiliki wewenang dalam penegakan hukum bagi tindak pidana terorisme adalah kepolisian bersama instansi penegakan hukum lainnya. Militer tidak dapat terlibat dalam penegakan hukum. Keterlibatan militer hanya dapat dilakukan apabila terjadi keadaan darurat seperti adanya serangan nuklir dan senjata kimia. Apabila militer diminta membantu proses penegakan hukum, terbatas hanya pada membagi informasi, penyediaan perlengkapan, peralatan, jasa, dan keahlian.

Di Indonesia, dalam hal ini TNI dan Polri mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda. Hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang dan peratuan mengenai keduanya, yaitu dalam TAP MPR-RI No.VII/MPR-RI/2000, UUD 1945 BAB XII Pertahanan dan Keamanan Negara Pasal 30, UU No. 34 Tahun 2004 dan UU No. 2 Tahun 2002, dan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Teroris sendiri merupakan ancaman keamanan nasional sehingga jelas bahwa terorisme di Indonesia merupakan tindak pidana yang mengancam keamanana nasional, maka kewenangan penegakan hukum tindak pidana terorisme berada di tangan Polri.

 Penanggulangan Terorisme dalam Perspektif HAM

Dalam tulisannya, Usman Hamid membahas mengenai konsep keamanan nasional dengan melindungi kedaulatan negara. Selain itu, konsep keamanan nasional juga tidak lepas dari keamanan insani serta melindungi hak-hak setiap warga negaranya. Begitu pula dalam menangani masalah terorisme, sebagai negara demokrasi tentunya mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Mengapa hak asasi manusia amat penting?. Hal ini dikarenakan bahwa hak asasi manusia adalah suatu hal yang mengikat secara universal, bersifat absolut, pada diri manusia, melekat dalam diri masing-masing individu sebagai suatu nilai yang tidak bisa dikurangi, menjadi jaminan legal untuk melindungi individu dan kelompok dari tindakan-tindakan yang bisa mengancam hak dasar tersebut.

Terkait penanganan terorisme di dunia, setiap negara yang di bawah PBB mempunyai kewajiban untuk turut andil dalam memerangi terorisme yang sekaligus sebagai upaya untuk menjaga perdamaian dunia. Dalam upaya-upaya memerangi terorisme tersebut perlu diperhatikan prinsip-prinsip HAM dan tidak melakukan tindakan yang pragmatis.

MK memberi istilah terhadap aksi terorisme sebagai kejahatan biasa yang sangat kejam. Terorisme tidak sama dengan kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. MK sendiri mengakui bahwa putusan itu diambil karena belum ada landasan yuridis bahwa kejahatan terorisme juga tersangkut paut dengan kejahatan luar biasa.

Dalam upaya menanggulangi aksi-aksi terorisme diperlukan suatu penguatan terhadap peran penegak hukum khususnya di Indonesia dengan menitikberatkan pada institusi keamanan, dalam hal ini kepolisian sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam menghadapi aksi serangan maupun ancaman terorisme. Pemerintah Indonesia disponsori oleh Australia oleh beberapa pemerintah asing khususnya pemerintah Australia dan Amerika Serikat membentuk Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri sebagai lini terdepan dalam pemberantasan terroisme. Tugas pokoknya lebih banyak menitikberatkan untuk segera membongkar kasus pemboman, menangkap pelaku, dan membongkar jaringan teroris yang berada di belakang aksi teror.

Polisi memiliki kewenangan dalam penanggulangan terorisme, namun juga ada batasan-batasan nyata yang mengatur aspek dari kepolisian itu sendiri. Kekuatan diskresi yang melekat dalam mandat tugas mereka juga harus diikuti dengan proses pemahaman untuk menghormati berbagai ketetapan yang telah disepakati dalam standar HAM yang telah diakui dunia internasional. Sudah seharusnya tantangan-tantangan yang akan dan telah dihadapi oleh polisi dijalankan dalam koridor hukum dan standar HAM internasional.

Tinjauan Yuridis Aspek Hukum Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

             Dalam tulisannya, T. Nasrulla membahas mengenai Peraturan Pemerintah Penggani Undang-Undang (Perppu) No.1 dan 2 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang No.15 tahun 2003. UU itu menyebutkan bahwa tindak pidana terorisme dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Pendapat tersebut berbeda dengan tulisan sebelumnya yang menyebutkan bahwa aksi terorisme merupakan aksi terorisme sebagai kejahatan biasa yang sangat kejam. Namun terlepas dari perbedaan mengenai kategori dari terorisme, perlu adanya suatu kebijakan yang tepat dalam penanganannya.

UU terorisme memberikan justifikasi terhadap sejumlah pelanggaran hak asasi manusia. Hak tersebut adalah hak-hak non derogable rights atau yang tidak boleh dikesampingkan. seperti hak hidup, hak bebas atas penyiksaan dan hak persamaan di dalam hukum. Sikap yang tegas dalam menghadapi terorisme sangat di perlukan, namun perlu diperhatikan bahwa dalam menangani sebuah aksi terorisme yang dapat dikategorikan sebagai kondisi darurat, sikap yang over responsif dapat mempengaruhi negatif terhadap perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan hak asasi manusia.

Kebijakan Dalam Rangka Penanganan Terorisme Melalui Penegakan Hukum dan HAM di Indonesia

Tindakan pencegahan terorisme dapat diartikan sebagai tindakan yang efektif melalui kebijakan dan berbagai program strategi untuk mencegah terjadinya aksi terorisme di Indonesia. Menghadapi ancaman terroisme yang akhirnya menimbulkan ketakutan serta penderitaan terhadap manusia, pemerintah demokratis harus dihadapkan pada pilihan yang sulit dalam menentukan kebijakan dan keputusan akan hal ini. Di satu sisi, mereka harus menjunjung tinggi nilai-nilai dasar demokratis yaitu berdasarkan proses hukum dan hak asasi manusia. Di sisi lain, mereka harus memfokuskan pada dampak serta kerusakan yang disebabkan oleh terorisme itu sendiri.

Dalam rangka menanggulangi terorisme, negara dituntut untuk tegas dalam penanganannya karena ini menyangkut mengenai prinsip keamanan negara. Dalam rangka penegakan hukum, terdapat dua pendekatan yang digunakan yaitu soft approach danhard approach, namun selama ini negara dominan menggunakan hard approachHard approach sendiri terdiri dari hukum, militer, dan intelijen.

Jika cara-cara militer diterapkan untuk mengatasi atau menanggulangi terorisme, ini merupakan keamanan militer (meskipun ini terkait juga dengan keamanan politik). Sesuai pengertian politik menurut Barry Buzan adalah pembentukan tingkah laku manusia dengan tujuan untuk mengatur sekelompok orang dalam jumlah yang besar. Jadi ancaman politik merupakan sub-bagian dari ancaman nasional yang tidak memakai cara-cara militer dalam skala besar. Keterlibatan militer tidak cocok dalam penanganan terorisme karena terorisme merupakan kejahatan melanggar hukum sehingga jika militer terlibat berarti militer termasuk pada penegakan hukum. Militer dalam konteks ini hanya membantu polisi apabila polisi tidak mampu mengatasi gangguan yang terjadi dan membutuhkan tambahan kekuatan.

Selain upaya dalam menjelaskan wewenang dan tugas dalam penanggulangan terorisme oleh militer dan polisi, terdapat upaya kerjasama antara polisi dan lembaga intelijen. Semangat dan kinerja berlimpah yang dilakukan oleh aparat keamanan untuk melakukan penumpasan terorisme diharapkan dapat dibarengi dengan kegiatan menyimpulkan dan mengolah data yang diberikan oleh intelijen yang memadai. Intelijen harus difungsikan secara profesional dan efektif menjadi mata, telinga, rasa, dan pikiran untuk memberikan pencegahan sehingga mampu mengidentifikasi jaringan, kelompok, serta dapat mengantisipasi segala bentuk penyebaran bahaya terorisme

Dari hard approach, kemudian muncul pemikiran antimainstream yang mengatakan bahwa dalam penanganan terorisme harus melibatkan serta memperhatikan tiga hal, yaitu (a) rule of law, (b) hak asasi manusia, dan (c) partisipasi pemerintah. Penegakan hukum sendiri merupakan hal yang esensial dalam strategi pemberantasan terorisme karena terorisme sendiri harus ditindak oleh hukum yang tegas dan negara harus turun tangan pada penegakan hukum tersebut.

(a) Rule of Law

Pada dasarnya Indonesia telah memiliki aturan hukum sebagai langkah berpartisipasi dalam rangka pemberantasan terorisme. Namun dalam aturan hukum tersebut yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenai terorisme saat ini dirasa masih belum cukup untuk memberantas tindak terorisme.

Dalam rangka melakukan proses hukum terhadap terorisme tersebut, terdapat empat poin penting, diantaranya :

  • Inkapasitatif (dihilangkan kapasitasnya),
  • Retributif (membalas sesuai atau setimpal dengan perbuatan),
  • Rehabilitatif (menyembuhkan teroris yang salah jalan dalam proses pidana),
  • Restoratif (hubungan pelaku dan korban dibuat damai kembali ketika pelaku sudah selesai menjalankan masa hukumannya).

Dalam proses ini hanya inkapasitatif dan retributif yang tidak memiliki nuansa hak asasi manusianya hanya semata-mata pembalasan. Sehingga hal yang harus dikedepankan dalam upaya penanggulangan terorisme adalah mengendepankan hak asasi manusia dan bukan semata-mata tindakan pembalasan

Masih terdapat beberapa kelemahan substantif dalam Undang-Undang dan peraturan hukum mengenai terorisme. Kelemahan tersebut justru akan memunculkan polemik baru khususnya mengenai klasifikasi teror atau dalam konteks teror mengenai motif politik yang tidak dapat dicari dan yang tidak dibahas dalam KUHP, serta peluang pelanggaran hak asasi manusia dalam proses hukumnya. Sehingga hal tersebut dapat segera diubah dan dilengkapi mengenai kekurangan-kekurangannya.

Pendekatan kontraterorisme yang banyak dilakukan oleh negara di dunia adalah pendekatah hukum. Sehingga diperlukan peraturan hukum yang jelas dan tepat, selain itu jangan sampai ada kekosongan hukum untuk antisipasi terhadap hukum terorisme. Upaya penegakan hukum dalam memerangi terorisme dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (selalu berada dalam koridor hukum).

(b) Hak Asasi Manusia

Apa yang tengah menjadi masalah mengenai terorisme adalah lebih dari perlindungan hak asasi manusia dan pada dasarnya penting karena merupakan masalah prinsip. Ada dimensi praktis yang harus menjadi pertimbangan dengan baik. Misalnya tindakan penembakan yang disengaja terhadap orang yang tidak bersalah dalam operasi terorisme, biaya yang mahal dan cenderung tidak efisien yang memberikan kesan bahwa biaya jangka panjang mungkin lebih besar daripada manfaat jangka pendek.

Indonesia merupakan demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Namun, selama ini Indonesia masih menggunakan pendekatan kekerasan dalam menangani terorisme misalnya dengan penyergapan, pengejaran, pembunuhan, penangkapan oleh aparat keamanan. Keinginan yang besar dalam gerakan kontra terorisme seringkali mengabaikan nilai-nilai HAM di dalamnya. Terdapat beberapa dugaan pelanggaran hukum dan ham yang kerap dilakukan oleh polisi dan Densus 88, dimana bentuk pelanggaran yang dilakukan secara umum berupa penggunaan kekuatan berlebihan (excessive Use of Force) yang mengakibatkan tewasnya si tertuduh, kemudian pelanggaran hak atas rasa aman serta ketenangan dari masyarakat, penembakan salah sasaran (shooting innocent civilians), penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya, penangkapan dan penahanan paksa serta salah tangkap. Aksi terorisme memang merupakan suatu aksi yang melanggar HAM namun cara-cara untuk memperlakukan para pelaku terorisme perlu untuk mengedepankan aspek HAM karena isu HAM berpengaruh terhadap upaya penanggulangan terorisme

Hak asasi manusia memiliki peran sentral dalam pemenuhan semua aspek dari strategi kontra terorisme. Beberapa negara telah terlibat dalam penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya dalam melawan terorisme, sedangkan perlindungan hukum untuk mencegah penyiksaan sering diabaikan. Sekjen PBB Kofi Anan menekankan bahwa tindakan kontra terorisme yang efektif tetap memperhatikan aspek perlindungan hak asasi manusia yang tidak bertentangan dengan tujuan, namun saling melengkapi dan saling memperkuat.

Penutup

Menurut pendapat saya pribadi dalam menanggulangi tindakan terorisme di Indonesia, wewenang dan tugas berada pada polisi karena hal ini menyangkut mengenai kemananan negara. Keterlibatan militer hanya akan dilakukan ketika situasi mulai darurat dan ancaman itu sendiri sudah mengancam pertahanan negara. Kemudian dilakukan pemanfaatan laporan intelijen sebagai langkah efektif dan tindak lanjut dalam proses penyidikan terhadap pelaku terorisme.

Mengenai kontaterorisme di Indonesia memang masih perlu banyak perubahan terutama dari aspek hukum dan HAM dalam penanganan terorisme itu sendiri. Terdapat kaitan yang erat mengenai penanganan terorisme terhadap hukum dan HAM. Sehingga dalam proses penanganannya, polisi selaku pihak yang berwenang harus menjunjung tinggi HAM dan tidak keluar dari koridor hukum sekalipun terhadap pelaku terorisme, karena justru hal tersebut akan menimbulkan polemik baru dan bukan menjadi solusi dari permasalahan.

 


(HUKUM02-171710634) HAM, TERORISME DAN STIGMA

Belakangan ini media disibukkn dengan masalah teroris yang terjadi, tindakan biadab yang menewaskan beberapa orang. Teroris merupakan jenaya yag mengalalkan segala cara untuk mencapai matlamat, dan teroris ini biasanya mereka adala agen haram yang mempunyai pengaruh politik, mereka melakukannya demi mencapai matlamat ideologi yang melampaui batas. Strategi teroris ini adalah melancarkan aksi ganas, menarik peratian global tentang tujuan mereka, rancangan keganasan demi perhatian, dan menyerang sasaran yang menjadi symbol pengahalang mereka. Hal ini adalah satu yang sangat bertentangan dengan kemanusiaan manapun. Tetapi sangat disayangkan selalu ada stigmatisasi yang mencoba untuk dilakukan oleh pemberitaan-pemberitaan dengan mengaitkan setiap kekerasan bila itu dilakukan oleh seorang muslim maka dikaitkan jihad dikaitkan dengan Islam dikaitkan dengan ekstrimisme dikaitkan dengan radikalisme dikaitkan dengan fundamentalisme. Tetapi bila pelakunya bukan seorang muslim maka yang kita dapatkan beritanya misalnya sebagai pembunuhan-pembunuhan biasa tetapi tidak dikatakan judulnya sebagai terrorism. Karna stigmatisasi buruk itu dibangun pada Islam, sehingga ketika muslim pelakunya pasti dibuat besar-besaran yang disalakan adalah muslimnya, Islamnya(agama), yang disalaaakan adalah(seluruh) komunitas-komunitas muslimnya di seluruh Dunia. Ini yang terjadi bila pelakunya adalah muslim tetapi bila tidak, tidak akan ada pengkaitan-pengkaitan seperti tersebut. dan satu lagi yang menarik adalah suatu pandangan yang harus kita ketahui bawa kadang kita membenci sesuatu itu berdasarkan anggapan dan berdasarkan perasaan bukan berdasarkan fakta. Kita membicarakan bawa agama yang berada dibalik semua ini. Orang-orang mengedepankan opini yang tidak  benar. Pofesor Robert Pape dari Universitas Cichago (ahli terorisme yang terkenal di Amerika). 3500 kasus dia menyimpulkan "Hubungan antara terorisme bunu diri dan fundamentalis Islam sangat kecil atau dengan agama manapun di Dunia. Sebaliknya semua serangan teroris bunuh diri adalah sebagai bagian dari startegi sekular untuk mencapai tujuannya, untuk memaksakan demokrasi, untuk menarik pasukan militer dari teritori yang dianggap teroris sebagai tanah mereka". Yang dilakukan itu tidak berdasarkan agama, karena tindakan itu tidak bisa disalakan atas dasar sebuah agama atau satu agama sendiri, karena tidak ada satu agama pun yang mengajarkan ajaran teror tersebut. jikalau pun ada pemuka agama yang mengajarkan hal tersebut terjadi sesuatu yang salah pada pemuka agama tersebut bukan berarti agama yang dapat disalahkan. Dan lagi-lagi latar blakang agama yang dijadikan objek utama. Terlibatnya agama, umat islam, atas pembunuhan  pada beberapa hari yang lalu karena mereka semua (Islam). Itulah Islam itulah muslim, itulah qur'an, klaim yang sangat menakjubkan. Pandangan yang sangat remeh. Campuran dari kutipan yang diambil semaunya dari fakta dan tokoh, selktif, distorsi, salah paham, misinterpretasi, kutipan yang salah. Dan IRONINYA ketika kita berbicara tentang terorisme ironinya adalah oposisi dan teroris muslim, tipe-tipe seperti Al-Qaeda sebenarnya punya satu kesamaan. Dan langsung dapat memberi anggapan dan percaya bahwa Islam itu agama perang dan kekerasan. Semuanya adalah berdasarkan anggapan.


Akibat semua itu adalah cara berpakaian pun dapat dipandang sebagai ancaman, contohnya penggunaan cadar dapat dilarang dan dapat dicap langsung sebagai teroris. Tidak hanya itu bahkan dibeberapa daerah mereka yang menggunakan pakaian tersebut terbatasi atau hak mereka seola dibatasi contonya seperti dilarang ketika ingin menaiki bus melarang pemakaian cadar dilingkungan pekerjaan dan sebagainya. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah bahaya yang ditimbulkan oleh pakaian? Padahal itu merupakan sala satu hak individu yang tidak dapat diganggu atau dicampuri. Berbicara tentang hak, kita telah mengenal yang namanya HAM. HAM merupakan hak dasar yang dimiliki manusia sejak dilahirkan ke dunia yang secara kodrat sudah melekat dalam diri manusia tersebut yang arus dijunjung tinggi dan di akui ole semua orang. HAK merupakan sebuah unsur normative sebagai pedoman dalam berprilaku, melindungi kebebasan, kekkebalan, dan menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga hakikat dan martabatnya. Dan dapat kita liat setela kejadian-kejadian itu masyarakat melakukan pengakiman kepada wanita bercadar, berjilbab panjang, lelaki berjenggot celana cingkrang. Masyarakat semestinya harus lebi bijak meliat setiap permasalahan yang ada. Jika pemerintah, penegak hukum jika paranoid dengan segala macam itu dapat merugikan masyarakatnya. Pemerintah dam masyarakat seharusnya melakukan deteksi dini, siapa- siapa saja dan dimanaa saja potensi terror yang akan terjadi. Mendeteksi dengan tepat siapa pelakunya. Wanita-wanita bercadar dirazia. Itu meningkatkan radikalisme, malah menmbulkan bibit teroris baru.


Perihal hukuman bagi pelaku teroris sangat disetujui bila dihukum berat. Namun, semuanya harus dipertimbangkan aspek hukum dan bukti yang dimiliki termasuk opsi  soal hukuman mati. Jika dalam dakwaan jaksa semua unsur memberatkan terpenuhi dengan skala luar biasa, teroris lain tak jadi masalah jika penegak hukum penuh.


Kuatnya stigma pakaian syar'I terutama itu sangat dikaitkan dengan terorisme. Tidak hanya itu, mereka yang berpakaian syar'I kerap diperlakukan kurang sopan diruang publik. Bahkan hal ini menyebabkab beberapa orang yang menggunakan pakaian tersebut takut akan keluar dari rumahnya dikarenakan maraknya aksi terorisme itu akibat pandangan masyarakat yang dirasa menyudutkan mereka. Diskriminasi atau intimidasi inilah merupakan sala satu keberhasilan agenda para terorisme dalam melancarkan aksinya, hal itu sudah menyukseskan kampanye pelaku-pelaku terorisme. Stigma wanita becadar maupun lakil-laki berjenggot dan bercelana cingkrang tidak ada kaitannya dengan orang yang berpaam radikal. ini adalah sala satu pikiran yang paling mengganggu. Perempuan bercadar dan lelaki berjenggot tidak selamanya teroris  dan radikal. Sama alnya seperti perempuan tidak berjilbab yang tidak selamnaya bejad dan kurang iman.


Kaitan antara terorisme dan HAM adalah adanya pelanggaran yang disebabkan oleh aksi teror yang melanggar  hak – hak asasi manusia khususnya hak sipil dan politik dimana hak sipol tersebut, tercantum pula pada DUHAM. Pasal 3 Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia menyatakan "Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu." Terdapat pula dalam Konvenan Internasional Hak – Hak Sipil dan Politik yang telah diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966. Isi dari konvenan yang terkait dengan pelanggraan HAM yang disebabkan oleh tindakan terorisme yaitu hak atas hidup, dan hukuman mati hanya untuk kejahatan berat. Dari kedua pasal tersebut, dapat dijelaskan bahwa seorang teroris telah mengambil hak hidup dari rakyat sipil yang menjadi korban terorisme. Dan tersebut melanggar  peraturan – peraturan terkait hak asasi manusia. Maka bisa dianggap wajar apabila para teroris yang bersalah secara fatal dalam tindakan  terorisme tersebut di hukum dengan hukuman yang sangat berat. Karena telah mengorbankan tidak hanya satu atau dua orang rakyat sipil yang menjadi korban tetapi bisa sampai puluhan atau ribuan yang menjadi korban. Dan para teroris telah mengambil hidup mereka, dimana setiap korban terorisme meninggalkan sanak keluarganya, dan itu tindakan pelanggaran HAM.


Pelanggaran  Hak Asasi  Manusia didefinisikan sebagai suatu, "pelanggaran terhadap  kewajiban  negara yang lahir dari instrumen – instrumen Internasional Hak Asasi Manusia" . Pengertian yang lain mejelaskan bahwa pelanggaran HAM adalah tindakan atau kelalaian oleh negara terhadap norma yang belum dipidana dalam hukum pidana tetapi, merupakan norma hak asasi yang diakui secara Internasional. Oleh karena itu, dalam hal ini negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan keadaan yang aman di lingkungan negara dan memperkuat pertahanan negara, khususnya dari serangan terorisme. Negara juga bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Termasuk korban terorisme beserta kelurga dari korban teroris yang meninggal dunia, dengan cara menyantuni, dan memberikan bantuan kepada  mereka.

 

 

Adila Safitri

 

 

 

 

 

(Hukum02-171710813 Ham dan teroris)

HAM merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk tuhan YME yang wajib dihormati daan dilindungo leh negara, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Sebagai hak-hak dasar "yang seseorang secara inheren berhak karena dia adalah manusia", dan yang "melekat pada semua manusia" terlepas dari bangsa, lokasi, bahasa, agama, asal-usul etnis atau status lainnya.Ini berlaku di mana-mana dan pada setiap kali dalam arti yang universal, dan ini egaliter dalam arti yang sama bagi setiap orang. HAM membutuhkan empati dan aturan hukum dan memaksakan kewajiban pada orang untuk menghormati hak asasi manusia dari orang lain. Mereka tidak harus diambil kecuali sebagai hasil dari proses hukum berdasarkan keadaan tertentu; misalnya, hak asasi manusia mungkin termasuk kebebasan dari penjara melanggar hukum , penyiksaan, dan eksekusi. Doktrin dari hak asasi manusia telah sangat berpengaruh dalam hukum internasional, lembaga-lembaga global dan regional. beberapa pemikir menunjukkan bahwa hak asasi manusia harus menjadi persyaratan minimum untuk menghindari pelanggaran terburuk, sementara yang lain melihatnya sebagai standar yang lebih tinggi. Hak Asasi Manusia adalah merupakan hak dasar dan hak pokok dari sebuah kehidupan bagi seseorang sendiri. HAM yang mempunyai hak fundamental, yang berarti tidak bisa dicabut atau diambil dimana saja selama manusia itu masih ada dan berada dimana saja. Oleh karena itu pemerintah menetapkan dasar hukum HAM yang terdapat pada undang-undang dasar 1945.

Macam-macam Hak Asasi Manusia

Setelah mengetahui dengan berbagai dasar hukum Hak Asasi Manusia, dan juga tentang penegakan hukum untuk Hak Asasi Manusia yang diterapkan di Indonesia. Juga Hak Asasi Manusia bisa didapatkan dari berbagai macam untuk mendapatkan penuh Hak Asasi Manusia. Lalu apa saja sih macam-macam Hak Asasi Manusia sebagai berikut:

1. Hak Asasi Pribadi/Personal Rights Hak asasi yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia sebagai kehidupan pribadi manusia. Contoh hak-hak asasi pribadi ini sebagai berikut:

a. Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian, dan berpindah-pindah tempat.

-          Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat.

-          Hak kebebasan memilih dan aktif dalam organisasi atau perkumpulan.

-          Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing.

b. Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing.

2. Hak Asasi Ekonomi/Property Rigths

Hak yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia dalam kegiatan perekonomian.

3. Hak Asasi Politik/Political Rights

Hak yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia pada kegiatan asas politik.

4. Hak Asasi Hukum/Legal Equality Rights

Hak yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia sebagai hak asasi, yaitu hak yang berlangsungan dengan hak asasi hukum.

5. Hak Asasi Sosial Budaya/Social Culture Rights

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkikan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil. Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam. Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.

Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Terorisme. erupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena :

1.       Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.

2.       Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.

3.       Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.

4.       Adanya suatu perbuatan yang khusus di mana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.

Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ''(lex specialis derogat lex generalis)''. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria :

1.       bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.

2.       bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.

Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti :

1.       Melalui sistem evolusi berupa amendemen terhadap pasal-pasal KUHP.

2.       Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya.

3.       Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme.

Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi. Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain. Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnya saja, akan tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikan bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila dibandingkan asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila memang diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat dengan Hak Asasi Manusia. Atau mungkin karena sifatnya sebagai Undang-Undang yang khusus, maka bukan penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-Undang Khusus tersebut. Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), penyelesaian suatu perkara Tindak Pidana sebelum masuk dalam tahap beracara di pengadilan, dimulai dari Penyelidikan dan Penyidikan, diikuti dengan penyerahan berkas penuntutan kepada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP) menyebutkan bahwa perintah Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan Tindak Pidana berdasarkan Bukti Permulaan yang cukup. Mengenai batasan dari pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang secara jelas mendefinisikannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi dasar pelaksanaan Hukum Pidana. Masih terdapat perbedaan pendapat di antara para penegak hukum. Sedangkan mengenai Bukti Permulaan dalam pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pasal 26 berbunyi :

1.       Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap Laporan Intelijen.

2.       Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri.

3.       Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.

4.       Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya Bukti Permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan Penyidikan.

Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang dapat dikategorikan sebagai Bukti Permulaan, termasuk pula Laporan Intelijen, apakah dapat dijadikan Bukti Permulaan. Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan (Hearing) secara tertutup. Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau pihak lain mana pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap hak-hak setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat. Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan ketidakpastian hukum, diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti Permulaan dan batasan mengenai Laporan Intelijen, apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya hakikat Laporan Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti Permulaan. Terutama karena ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut memberikan wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah melakukan Tindak Pidana Terorisme, maka kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini penyidik. Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telah terlanggar, karena banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap perbuatan teror melalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat, di mana aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror. Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan di banyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa  penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat. Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia. Demikian menurut Munir, bahwa memang secara nasional harus ada Undang-Undang yang mengatur soal Terorisme, tetapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi Manusia. Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia, bukan sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan

 -Pratiwi Ningsih

Fekon 08 171310559 Judul:Memberantas Terorisme Di Indonesia

Tema Artikel:Terorisme

 

Judul

Memberantas Terorisme Di Indonesia

Beberapa waktu lalu warga indonesia dikejutkan dengan kasus Bom bunuh diri di 3 gereja di surabaya.dari informasi yang beredar,pelakunya adalah wanita.yang mengejutkan lagi wanita ini melakukan aksinya dengan membawa dua orang anak yang masih dibawah umur,yang diketahui sebagai anak dari wanita pelaku bom bunuh diri tersebut.dikatakan juga bahwa pelaku bom bunuh diri tersebut  adalah anggota dari ISIS.Gerakan ISIS juga disebut sebagai gerakan radikal yang berasal dari negara syam dan suriah.tetapi orang orang dari organisasi tersebut menginginkan perubahan tanpa memikirkan Hak Asasi Manusia.nah di artikel saya ini,saya akan membahas tentang cara untuk memberantas terorisme di indonesia menurut saya pribadi.setelah mendengar informasi tentang ISIS,bagaimana cara untuk menarik perhatian orang atau sekelompok masayarakat agar mau bergabung dengan ISIS,janji janji yang ditawarkan oleh ISIS,dan banyak lagi cara ISIS untuk memikat hati seseorang atau sekelompok masyarakat ,ISIS juga menyebarkan propagandanya melalui media sosial.ada beberapa masyarakat indonesia yang menurut saya masih awam dengan menggunaka media sosial.yang kita tau,media sosial ini sering menampilkan berita terkini yang sedang terjadi di negara ibu pertiwi.terkadang ada sebagian masyarakat yang menelan mentah mentah dalam memahami konteks berita tersebut.nah disinilah maksud saya tadi mengatakan bahwa sebagian masyarakat indonesia itu ada yang masih awam dalam menggunakan dan memahami media sosial.

terorisme bukan hanya di lakukan dalam bentuk pengeboman ataupun pembajakan alat transportasi massal. Melainkan dengan cara DOKTRINASI, dimana sarsarannya sebagian besar berasal dari kalangan pelajar terutama mahasiswa yang secara psikologis masih bisa di goyahkan pendiriannya

Masa remaja ibarat orang yang sedang kehausan. Seseorang yang haus kemudian ditawari minuman, tentu dia akan meminumnya seketika. Kalau minuman itu baik, mengandung unsur kesehatan, seperti kesehatan mental, kesehatan ideologi, kesehatan doktrin-dokrin agama, tentu tidak masalah, namun jika minuman tersebut mengandung racun, dan mencekopi pemahaman yang keliru, tentu akan menjadi persoalan.

Oleh karena itu, satu-satunya cara adalah bersaing dengan para penyebar virus-virus yang menyesatkan tersebut. Dalam hal ini pendidikan keluarga dan peran orangtua cukup penting. Sesibuk apapun orangtua, jangan sampai lupakan keluarga, karena keluarga berperan penting untuk menangkal terorisme dan radikalisme ditingkatan remaja. Para orangtua harus melakukan dialog, komunikasi efektif, dan diskusi tentang bahaya laten terorisme dan radikalisme.

Selain lingkungan keluarga, yang berperan penting untuk menangkal paham radikalisme dan terorisme adalah lingkungan masyarakat sekitar, seperti memberdayakan lembaga RT/RW. Dengan ini, maka potensi remaja bisa tersalurkan, dan generasi muda tidak terjebak pada paham terorisme dan radikalisme.

 

Indonesia memiliki potensi terorisme yang sangat besar dan perlu langkah antisipasi yang ekstra cermat. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang kadang tidak dipahami oleh orang tertentu cukup dijadikan alasan untuk melakukan teror. Berikut ini adalah potensi-potensi terorisme tersebut :

·        Terorisme yang dilakukan oleh negara lain di daerah perbatasan Indonesia. Beberapa kali negara lain melakukan pelanggaran masuk ke wilayah Indonesia dengan menggunakan alat-alat perang sebenarnya adalah bentuk terorisme. Lebih berbahaya lagi seandainya negara di tetangga sebelah melakukan terorisme dengan memanfaatkan warga Indonesia yang tinggal di perbatasan dan kurang diperhatikan oleh negera. Nasionalisme yang kurang dan tuntutan kebutuhan ekonomi bisa dengan mudah orang diatur untuk melakukan teror.

·

 

·        Terorisme yang dilakukan oleh warga negara yang tidak puas atas kebijakan negara. Misalnya bentuk-bentuk teror di Papua yang dilakukan oleh OPM. Tuntutan merdeka mereka ditarbelakangi keinginan untuk mengelola wilayah sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Perhatian pemerintah yang dianggap kurang menjadi alasan bahwa kemerdekaan harus mereka capai demi kesejahteraan masyarakat. Terorisme jenis ini juga berbahaya, dan secara khusus teror dilakukan kepada aparat keamanan.

 

 

·        Terorisme yang dilakukan oleh organisasi dengan dogma dan ideologi tertentu. Pemikiran sempit dan pendek bahwa ideologi dan dogma yang berbeda perlu ditumpas menjadi latar belakang terorisme. Bom bunuh diri, atau aksi kekerasan yang terjadi di Jakarta sudah membuktikan bahwa ideologi dapat dipertentangkan secara brutal. Pelaku terorisme ini biasanya menjadikan orang asing dan pemeluk agama lain sebagai sasaran.

 

·        Terorisme yang dilakukan oleh kaum kapitalis ketika memaksakan bentuk atau pola bisnis dan investasi kepada masyarakat. Contoh nyata adalah pembebasan lahan masyarakat yang digunakan untuk perkebunan atau pertambangan tidak jarang dilakukan dengan cara yang tidak elegan. Terorisme bentuk ini tidak selamanya dengan kekerasan tetapi kadang dengan bentuk teror sosial, misalnya dengan pembatasan akses masyarakat.

 

 

·        Teror yang dilakukan oleh masyarakat kepada dunia usaha, beberapa demonstrasi oleh masyarakat yang ditunggangi oleh provokator terjadi secara anarkis dan menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi perusahaan. Terlepas dari siapa yang salah, tetapi budaya kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat adalah suatu bentuk teror yang mereka pelajari dari kejadian-kejadian yang sudah terjadi.

 

 

Menurut saya cara yang pertama dalam memberantas terorisme ini adalah masyarakat dan saya Pribadi khususnya harus bijak dalam menggunakan media sosial dan harus dapat menelaah suatu berita yang sedang booming disekitar kita khususnya masyarakat indonesia.Karena di zaman sekarang teroris mudah mempengaruhi orang lewat media sosial.

Masyarakat sering mudah percaya dan menurut saya kurang bijak dalam menggunakan media sosial,banyak sekali masyarakat waga negara indonesia yang tidak menelaah suatu berita dan sering menelan mentah mentah berita tersebut.tidak mencari tahu asal muasal dari berita tersebut.menurut saya di perlukan pengetahuan dalam menggunakan smart phone,kita harus mengerti juga dalam menggunakan media sosial,terkadang emosi adalah salah satu faktor yang menyebabkan orang tidak sempat untuk menelaah suatu berita yang dilihat nya atau yang ia ketahui dari media sosial atau internet.

Cara yang kedua adalah dengan mengamalkan nilai nilai yang terkandung dalam pancasila dan bhineka tunggal ika.berita yang saya paparkan tadi diatas tadi,jika masyarakat tidak memahami pancasila dan bhineka tunggal ika dapat dipastikan negara ini akan terpecah berai.kita mengetahui bahwa dari pendidikan dimulai di bangku sekolah dasar (SD),sampai di perguruan tinggi pelajaran yang kita kenal dengan PKN(Pendidikan Kewarganegaraan) selalu diajarkan oleh guru kita.kita sering diajarkan bahwa setiap masyarakat indonesia harus mempunyai toleransi baik itu agama,suku,ras dll.

 

Ketiga Memperkenalkan Ilmu Pengetahuan Dengan Baik Dan Benar

untuk mencegah paham radikalisme dan tindak terorisme ialah memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan baik dan benar. Pengenalan tentang ilmu pengetahuan ini harusnya sangat ditekankan kepada siapapun, terutama kepada para generasi muda. Hal ini disebabkan pemikiran para generasi muda yang masih mengembara karena rasa keingintahuannya, apalagi terkait suatu hal yang baru seperti sebuah pemahaman terhadap suatu masalah dan dampak pengaruh globalisasi.

Dalam hal ini, memperkenalkan ilmu pengetahuan bukan hanya sebatas ilmu umum saja, tetapi juga ilmu agama yang merupakan pondasi penting terkait perilaku, sikap, dan juga keyakinannya kepada Tuhan. Kedua ilmu ini harus diperkenalkan secara baik dan benar, dalam artian haruslah seimbang antara ilmu umum dan ilmu agama. Sedemikian sehingga dapat tercipta kerangka pemikiran yang seimbang dalam diri.

langkah berikutnya ialah tentang bagaimana cara untuk memahamkan ilmu pengetahuan tersebut. Karena tentunya tidak hanya sebatas mengenal, pemahaman terhadap yang dikenal juga diperlukan. Sedemikian sehingga apabila pemahaman akan ilmu pengetahuan, baik ilmu umum dan ilmu agama sudah tercapai, maka kekokohan pemikiran yang dimiliki akan semakin kuat. Dengan demikian, maka tidak akan mudah goyah dan terpengaruh terhadap pemahaman radikalisme sekaligus tindakan terorisme dan tidak menjadi penyebab lunturnya bhinneka tunggal ika sebagai semboyan Indonesia.

Keempat Meminimalisir Kesenjangan Sosial

Kesenjangan sosial yang terjadi juga dapat memicu munculnya pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme. Sedemikian sehingga agar kedua hal tersebut tidak terjadi, maka kesenjangan sosial haruslah diminimalisir. Apabila tingkat pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme tidak ingin terjadi pada suatu Negara termasuk Indonesia, maka kesenjangan antara pemerintah dan rakyat haruslah diminimalisir. Caranya ialah pemerintah harus mampu merangkul pihak media yang menjadi perantaranya dengan rakyat sekaligus melakukan aksi nyata secara langsung kepada rakyat. Begitu pula dengan rakyat, mereka harusnya juga selalu memberikan dukungan dan kepercayaan kepada pihak pemerintah bahwa pemerintah akan mampu menjalankan tugasnya dengan baik sebagai pengayom rakyat dan pemegang kendali pemerintahan Negara.

Kelima Menjaga Persatuan Dan Kesatuan

Menjaga persatuan dan kesatuan juga bisa dilakukan sebagai upaya untuk mencegah pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme di kalangan masyarakat, terbelih di tingkat Negara. Sebagaimana kita sadari bahwa dalam sebuah masyarakat pasti terdapat keberagaman atau kemajemukan, terlebih dalam sebuah Negara yang merupakan gabungan dari berbagai masyarakat. Oleh karena itu, menjaga persatuan dan kesatuan dengan adanya kemajemukan tersebut sangat perlu dilakukan untuk mencegah masalah radikalisme dan terorisme. Salah satu yang bisa dilakukan dalam kasus Indonesia ialah memahami dan penjalankan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sebagaimana semboyan yang tertera di sana ialah Bhinneka Tunggal Ika.

 

 

Keenam Mendukung Aksi Perdamaian

Aksi perdamaian mungkin secara khusus dilakukan untuk mencegah tindakan terorisme agar tidak terjadi. Kalau pun sudah terjadi, maka aksi ini dilakukan sebagai usaha agar tindakan tersebut tidak semakin meluas dan dapat dihentikan. Namun apabila kita tinjau lebih dalam bahwa munculnya tindakan terorisme dapat berawal dari muncul pemahaman radikalisme yang sifatnya baru, berbeda, dan cenderung menyimpang sehingga menimbulkan pertentangan dan konflik. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mencegah agar hal tersebut (pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme) tidak terjadi ialah dengan cara memberikan dukungan terhadap aksi perdamaian yang dilakukan, baik oleh Negara (pemerintah), organisasi/ormas maupun perseorangan.

Ketujuh Berperan Aktif Dalam Melaporkan Radikalisme Dan Terorisme

Peranan yang dilakukan di sini ialah ditekankan pada aksi melaporkan kepada pihak-pihak yang memiliki kewenangan apabila muncul pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme, entah itu kecil maupun besar. Contohnya apabila muncul pemahaman baru tentang keagamaan di masyarakat yang menimbulkan keresahan, maka hal pertama yang bisa dilakukan agar pemahaman radikalisme tindak berkembang hingga menyebabkan tindakan terorisme yang berbau kekerasan dan konflik ialah melaporkan atau berkonsultasi kepada tokoh agama dan tokok masyarakat yang ada di lingkungan tersebut. Dengan demikian, pihak tokoh-tokoh dalam mengambil tindakan pencegahan awal, seperti melakukan diskusi tentang pemahaman baru yang muncul di masyarakat tersebut dengan pihak yang bersangkutan.

Kedelapan Meningkatkan Pemahaman Akan Hidup Kebersamaan

Meningkatkan pemahaman tentang hidup kebersamaan juga harus dilakukan untuk mencegah munculnya pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme. Meningkatkan pemahaman ini ialah terus mempelajari dan memahami tentang artinya hidup bersama-sama dalam bermasyarakat bahkan bernegara yang penuh akan keberagaman, termasuk Indonesia sendiri. Sehingga sikap toleransi dan solidaritas perlu diberlakukan, di samping menaati semua ketentuan dan peraturan yang sudah berlaku di masyarakat dan Negara. Dengan demikian, pasti tidak akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan karena kita sudah paham menjalan hidup secara bersama-sama berdasarkan ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan di tengah-tengah masyarakat dan Negara.

Kesembilan Menyaring Informasi Yang Didapatkan

Menyaring informasi yang didapatkan juga merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme. Hal ini dikarenakan informasi yang didapatkan tidak selamanya benar dan harus diikuti, terlebih dengan adanya kemajuan teknologi seperti sekarang ini, di mana informasi bisa datang dari mana saja. Sehingga penyaringan terhadap informasi tersebut harus dilakukan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, di mana informasi yang benar menjadi tidak benar dan informasi yang tidak benar menjadi benar. Oleh karena itu, kita harus bisa menyaring informasi yang didapat sehingga tidak sembarangan membenarkan, menyalahkan, dan terpengaruh untuk langsung mengikuti informasi tersebut.

Kesepuluh Ikut Aktif Mensosialisasikan Radikalisme Dan Terorisme

 

Mensosialisasikan di sini bukan berarti kita mengajak untuk menyebarkan pemahaman radikalisme dan melakukan tindakan terorisme, namun kita mensosialisasikan tentang apa itu sebenarnya radikalisme dan terorisme. Sehingga nantinya akan banyak orang yang mengerti tentang arti sebenarnya dari radikalisme dan terorisme tersebut, di mana kedua hal tersebut sangatlah berbahaya bagi kehidupan, terutama kehidupan yang dijalani secara bersama-sama dalam dasar kemajemukan atau keberagaman. Jangan lupa pula untuk mensosialisasikan tentang bahaya, dampak, serta cara-cara untuk bisa menghindari pengaruh pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme. (baca : cara merawat kemajemukan bangsa Indonesia)

Pemerintah pun mempunyai cara tersendiri dalam menanggulangi terorisme tersebut, yaitu dengan cara Pemerintah tetap berpedoman pada prinsip yang telah diambil sebelumnya, yakni melakukan secara preventif dan represif yang didukung oleh upaya pemantapan kerangka hukum sebagai dasar tindakan proaktif dalam menangani aktivitas, terutama dalam mengungkap jaringan terorisme. Peningkatan kerja sama intelijen, baik dalam negeri maupun dengan intelijen asing, melalui tukar-menukar informasi dan bantuan-bantuan lainnya, terus ditingkatkan. Untuk mempersempit ruang gerak pelaku kegiatan terorisme, Pemerintah akan terus mendorong instansi berwenang untuk meningkatkan penertiban dan pengawasan terhadap lalu lintas orang dan barang di bandara, pelabuhan laut, dan wilayah perbatasan, termasuk lalu lintas aliran dana, baik domestik maupun antarnegara.

 

 

 

Demikian beberapa cara mencegah radikalisme dan terorisme yang biasanya muncul di kalangan masyarakat, bahkan Negara, termasuk Indonesia sendiri. Cara pencegahan ini harus diketahui dan dilakukan oleh siapapun, terlebih generasi muda yang merupakan ujung tombak penerus bangsa di masa depan. Apalagi mengingat generasi muda masih mudah terpengaruh dengan pemahaman-pemahaman baru yang biasanya muncul di tengah-tengah masyarakat sehingga mereka rentang terpancing untuk terpengaruh ke dalamnya. Sedemikian sehingga mudah tertanam di pikirannya untuk mengikuti pemahaman-pemahaman radikal yang dapat memicu tidak kekerasan dan konflik. Oleh karena itu, upaya pencegah juga harus lebih ditetankan dan dilakukan kepada para generasi muda yang merupakan ujung tombak penerus bangsa di masa depan. Terorisme harus di usut tuntas sampai ke'akar'nya, sehingga menimalisir terjadinya hal yang lebih buruk lagi. Jangan langsung mempercayai orang asing yang tiba-tiba berlagak sudah akrab.

 

 

 

 

Disusun Oleh:Muhammad Luthfi Yurza Siswanto

 

 

 

 


Re: (Fekon08.171310639) pilkada damai


PELAKSANAAN PILKADA SERENTAK YANG DEMOKRATIS, 
DAMAI DAN BERMARTABAT

Dalam praktiknyaPilkada melahirkan berbagai konflik yang di antaranya dipicu oleh masalah
administrasi data pemilih, netralitas penyelenggara Pemilu, serta kurangnya kepatuhan
peserta pilkada dan partai politik terhadap peraturan yang berlaku. Kajian ini menggunakan
metode penelitian kualitatif refleksif, yaitu ingin merefleksikan tentang pilkada serentak dan
kaitannya terhadap upaya membangun geliat demokrasi dalam pemerintahan dan politik lokal
serta menjamin hadirnya kemaslahatan bersama dalam masyarakat. Masalahnya adalah
bagaimana pilkada serentak sebagai agenda politik nasional menuju demokratisasi dapat
berjalan secara substansi dan tidak sekedar ritual prosedur semata. 
Tulisan ini akan memaparkan mengenai Pelaksanaan Pilkada Serentak Yang Demokratis, Damai Dan Bermartabat dalam mewujudkan kompetisi yang fair dan terbuka (fair and open in
regular base) dalam pemilihan kepala daerah secara serentak. 
Hasil kajian menunjukkan bahwa pilkada yang demokratis konstitusional, damai dan bermartabat adalah pemilihan kepala daerah yang dalam proses pelaksanaannya transparan, 
akuntabel, kredibel, dan partisipatif, serta hasilnya dapat diterima oleh semua pihak, sehingga
mampu menjamin hadirnya kemaslahatan bersama dalam masyarakat

Pendahuluan

Agenda politik nasional strategis
dan memiliki aspek pemerintahan dan
kemasyarakatan yang luas dengan segala
konsekuensinya bagi masa depan sistem
politik Indonesia adalah Pelaksanaan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 
serentak. Bukan hanya mengejar target
keserentakan pencalonan, dinamika
kampanye, dan pelantikannya, tetapi
juga kesejalanannya dinamika di daerah
dengan agenda pembangunan yang
dicanangkan Pusat agar dapat mencapai
sasaran dengan hasil maksimal. 
Konstruksi politik beroperasinya sistem
presidensial yang tidak terpencar masing-
masing kegiatannya di tingkat lokal
sebagai akibat latar belakang politik
kepala daerahnya yang beragam dengan
pemerintah koalisi di Pusat, adalah
sintesa besar dari pembahasan substansi
penting dari demokrasi pilkada sebagai
agenda nasional. 1
Penyelenggaraan pilkada
serentak yang dilaksanakan secara
bertahap dimulai pada 2015, kemudian
tahap kedua akan dilaksanakan pada
15 Februari 2017 untuk kepala daerah
yang masa jabatannya berakhir pada
semester kedua 2016 dan yang berakhir
pada 2017. Selanjutnya, secara bertahap
gelombang ketiga direncanakan Juni
2018, berikutnya tahun 2020, 2022, dan
2023 hingga pilkada serentak nasional
pada tahun 2027 yang meliputi seluruh
wilayah Indonesia. Pilkada secara rutin
menjadi agenda nasional yang dilakukan
dalam kurun waktu 5 tahun sekali.
Pilkada serentak 2017 akan
diselenggarakan di 7 provinsi (Aceh, 
Kepulauan Bangka Belitung, DKI Jakarta, 
Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan
Papua Barat), 18 kota, dan 76 kabupaten
atau khusus bagi kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang akan mengakhiri masa
jabatannya pada Juli 2016-Desember
2017 (tersebar di 28 Provinsi)
pilkada serentak tahap II di provinsi
Jawa tengah akan diselenggarakan di
tujuh Kabupaten/Kota, yaitu Kabupaten
Banjarnegara, Kabupaten Batang, 
Kabupaten Brebes, Kabupaten Cilacap, 
Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara dan
Kota Salatiga.
Pilkadaserentakmerupakanupaya
untuk menciptakan local accountability, 
political equity dan local responsiveness. 
Dengan begitu, demokratisasi di tingkat
lokal terkait erat dengan tingkat partisipasi, 
dan relasi kuasa yang dibangun atas dasar
pelaksanaan azas kedaulatan rakyat. 
Selain itu, hasil pilkada juga harus mampu
menghantarkan masyarakat pada kondisi
sosial, politik dan ekonomi yang lebih
baik. Pilkada yang baik akan melahirkan
pemerintahan yang baik. Pilkada yang
diselenggarakan secara lebih profesional, 
demokratis, akan memberikan dampak
nyata terhadap perubahan politik.
Meskipun demikian, dalam
praktiknya Pilkada melahirkan berbagai
konflik yang di antaranya dipicu oleh
masalah administrasi data pemilih, 
netralitas penyelenggara Pemilu, serta
kurangnya kepatuhan peserta pilkada
dan partai politik terhadap peraturan yang
berlaku. Pilkada serentak sebagai agenda
politik nasional menuju demokratisasi
dapat berjalan secara substansi dan tidak
sekedar ritual prosedur semata. Dalam
tulisanini, Penulistertarikuntukmembahas
tentang Bagaimana Pelaksanaan Pilkada
Serentak Yang Demokratis, Damai Dan
Bermartabat?

B. Pembahasan
1.  Kerangka Teoretis Demokrasi
Konstitusional dalam
Penyelenggaraan Pilkada Serentak
Secara harfiah demokrasi
berasal dari bahasa Yunani, demos
yang berarti rakyat dan kratia yang
berarti pemerintahan. Sedangkan
secara istilah, demokrasi merupakan
dasar hidup bernegara yang
menempatkan rakyat dalam posisi
berkuasa (government or role by
people) sehingga pada tingkat
terakhir rakyat memberikan ketentuan
mengenai kehidupannya, termasuk
dalam menilai kebijaksanaan negara
karena kebijaksanaan tersebut
menentukan kehidupan rakyat. 
Demokrasi dapat dijustifikasikan
sebagai government of, by, and for
people.
2. Ada dua pendekatan terhadap demokrasi: pendekatan normatif dan
pendekatan empirik.
3. Pendekatan
normatif, menekankan pada ide dasar
dari demokrasi yaitu kedaulatan ada
di tangan rakyat dan oleh karenanya
pemerintahan diselenggarakan
dari, oleh, dan untuk rakyat. Dalam
perkembangannya, ide kedaulatan
rakyat secara utuh sulit diterapkan
selain beragam dan seringkali saling
bertentangan, rakyat juga sulit
dihimpun untuk penyelenggaraan
pemerintahan sehari-hari. Oleh
karena itulah muncul ide demokrasi
yang terkonkretisasi dalam lembaga
perwakilan, baik lembaga eksekutif, 
legislatif maupun yudikatif yang
anggota-anggotanya dipilih dari
partai politik atau perseorangan
sebagai agregasi dari berbagai
kepentingan rakyat. Sedangkan
pendekatan empirik menekankan
pada perwujudan demokrasi dalam
kehidupan politik sebagai rangkaian
prosedur yang mengatur rakyat untuk
memilih, mendudukkan dan meminta
pertanggungjawaban wakilnya di
lembaga perwakilan. Wakil-wakil
inilah yang kemudian membuat dan
menjalankan keputusan publik. 
Anders Uhlin mengemukakan
adanya dua pendekatan berbeda
terhadap konsep demokrasi, yaitu sebagai tujuan dan sebagai label bagi
sistem politik yang ada. Teori normatif
berkenaan dengan demokrasi sebagai
tujuan (resep tentang bagaimana
demokrasi seharusnya), sementara
teori empiris berkenaan dengan sistem
politik yang ada (deskripsi tentang apa
demokrasi itu sekarang).4 Sedangkan
Franz Magnis Suseno dalam
menelaah mengenai pengertian dasar
demokrasi, membedakan antara apa
yang disebutnya dengan "telaah etika
politik" di satu pihak dan "diskursus
politik" di lain pihak. Menurutnya
"diskursus politik" dapat diartikan
sebagai mengajukan penilaian, kritik, 
dan tuntutan langsung terhadap
realitas politik yang bertujuan menilai, 
mempengaruhi, mempertahankan
atau mengubah keadaan dalam
negara serta menanggapi langsung
argumentasi dan legitimasi yang
diajukan oleh pelbagai aktor di
panggung politik. Sedangkan telaah
"etika politik" termasuk telaah filsafat
yang obyeknya adalah prinsip-
prinsip sebagai dasar untuk dapat
mempertanyakan syarat, konsistensi
dan implikasi-implikasi pertanyaan
diskursus politik dari segi prinsip etika. 
Terkait dengan demokrasi dari
segi etika politik, negara demokratis
memiliki lima gugus ciri hakiki, yaitu: 
negara hukum; prinsip kontrol nyata
masyarakat terhadap pemerintah; 
prinsip perwakilan melalui lembaga
perwakilan yang dipilih melalui pemilu
yang bebas; prinsip mayoritas; dan
adanya prinsip jaminan terhadap
hak-hak demokratis.
5. Sedangkan
negara demokratis terkait dengan
diskursus politik memiliki lima macam
elemen, yaitu: partisipasi, di mana rakyat terlibat dalam pembuatan
keputusan politik; adanya kontestasi
yang menyamakan kedudukan di
antara rakyat; adanya tingkat liberasi
dan kebebasan yang dijamin untuk
atau oleh rakyat; adanya sistem
perwakilan; dan satu sistem pemilihan
berdasarkan aturan mayoritas.
6.Menurut Beetham normatifitas
demokrasi bertujuan untuk memberi
ruang kontrol rakyat terhadap urusan-
urusan publik atas dasar kesetaraan
politik dan solidaritas antara
warganegara yang mensyaratkan
seperangkat prinsip umum tentang
hak dan kemampuan bagi semua
orang untuk berpartisipasi, otorisasi, 
representasi dan bertanggungjawab
secara transparan

7.Dalam suatu
pemerintahan, prinsip-prinsip di
atas mensyaratkan seperangkat
instrumen, meliputi: (i) pemilu yang
demokratis, keterwakilan, pemerintah
yang responsif dan bertanggung
jawab; (ii) konstitusi atau hukum yang
menjamin kesetaraan, kepastian
hukum dan keadilan; dan (iii) 
partisipasi masyarakat dalam segala
bentuk, baik media, seni, maupun
organisasi masyarakat sipil yang
bebas dan berorientasi demokratis. 
Prasyarat efektifnya suatu sistem
demokrasi adalah independensi atau
kemandirian dan korespondensi atau
kesesuaianantaradefinisiresmidemos
(yakni bagaimana "warganegara
Indonesia" didefinisikan secara legal-
konstitusional dan administratif) yakni
dengan bagaimana masyarakat
mengidentifikasi diri mereka dalam
urusan public dalam arti kratos. Hal
inilah yang pada akhirnya mengacu
pada responsifitas representas Demokrasi normatif sebagai
sebuah ide pemerintahan rakyat
memposisikan rakyat dalam posisi
sentral untuk menentukan dan menilai
kebijaksanaan negara oleh karena
kebijaksanaan tersebut menentukan
kehidupan rakyat. Kedaulatan rakyat
ini dipahamai Rousseau sebagai
kemauan rakyat (volonte generale
atau general will) yang dilembagakan
melalui lembaga perwakilan rakyat
agar dapat dirumuskan dalam
public policy. 
8. Atas dasar tersebut
maka lahirlah teori demokrasi
representatif, di mana hak untuk
membuat keputusan-keputusan politik
dijalankan oleh sedikit orang dalam
lembaga parlemen (legislatif) yang
dipilih rakyat melalui pemilu sebagai
implementasi kedaulatan rakyat
yang diimbangi dengan lembaga
pemerintah (eksekutif) sebagai
pelaksana kebijakan parlemen dan
lembaga-lembaga hukum (yudikatif).
Sedangkan dari sudut empiris, sistem
politik demokratis adalah sistem yang
menunjukkan bahwa kebijakan umum
ditentukan atas dasar mayoritas
oleh wakil-wakil yang diawasi secara
efektif oleh rakyat dalam pemilihan
berkala yang didasarkan atas prinsip
kesamaan politik dan diselenggarakan
dalam suasana terjaminnya
kebebasan politik.
9. Terkait dengan hal tersebut, 
April Carter maupun Lawrence Dood10
menyatakan bahwa dalam teori
demokrasi (representative democratie
theory), institusi perwakilannya
meliputi kekuasaan legislatif, 
eksekutif dan yudikatif.
10. Pelembagaan
demokrasi memiliki tiga komponen
kualifikasi sebagai modus vivendi
yang diharap dapat mendorong dan
mengembangkan demokrasi yang
sehat, yaitu kompetensi, konstituensi
maupun integritas.
11.Tiga komponen
kualifikasi tersebut merupakan
modus vivendi yang bersifat kumulatif
bagi demokratisnya pelembagaan
demokrasi secara hukum. 
Konstituensi memberikan legalitas
kepadaposisipolitikseseorangdengan
tanggung jawab yang harus diberikan
kepada konstituennya dapat diukur
berdasarkan dedikasi. Kompetensi
memberikan efektivitas kepada posisi
politik seseorang, dengan tanggung
jawab yang harus diberikan kepada
komitmen kerjanya dapat diukur
berdasarkan prestasi. Sedangkan
integritas memberikan legitimasi
kepada seseorang dengan tanggung
jawab berkenaan dengan komitmen
terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip
yang menjadi pedoman, oleh karena
itu diukur berdasarkan kemampuan
resistensi terhadap represi politik, 
komersialisasi dan tingkat otonomi
berhadapan dengan deviasi politik.
Demokrasi konstitusional
(constitutional democratie) adalah
gagasan bahwa pemerintahan yang
demokratis adalah pemerintahan yang
terbatas kekuasaannya dan tidak
dibenarkan bertindak tiran terhadap
warganya. Pembatasan kekuasaan
pemerintahan tersebut termaktub
dalam konstitusi yang dibuat
berdasarkan prosedur demokratis
sehingga sering disebut dengan
pemerintahan berdasarkan konstitusi
(constitutional government).
12.  Dengan
demikian, Pilkada Serentak (Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, serta Walikota dan
Wakil Walikota) adalah pelaksanaan
kedaulatan rakyat di wilayah provinsi
dan kabupaten/kota untuk memilih
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, serta Walikota dan
Wakil Walikota secara langsung dan
demokratis (Pasal 1 angka 1 UU No. 
8 Tahun 2015).
2. Pembelajaran dari Pilkada Serentak
2015
KPU, Panwaslu, dan pemda
merupakan tiga pilar utama dalam
pelaksanaan pilkada. Hal ini berkaitan
dengan kelengkapan logistik dan
perlengkapan Pilkada, daftar pemilih
tetap (DPT), penerbitan surat keputusan
pemberhentian bagi pasangan calon
bupati-wakil bupati atau walikota-wakil
walikota yang merupakan pegawai
negeri sipil (PNS), anggota DPR, 
maupun TNI/Polri aktif, serta penertiban
alat peraga kampanye atau APK di
beberapa daerah yang pemasangannya
melanggar peraturan. Pilkada serentak
2015 di Jawa Tengah diikuti sebanyak
56 pasangan calon kepala daerah. Yakni
Kota Semarang, Magelang, Surakarta, 
Pekalongan, Kabupaten Rembang, 
Kebumen, Purbalingga, Pekalongan, 
Boyolali, Blora, Kendal, Sukoharjo, 
Semarang, Wonosobo, Demak, 
Purworejo, Grobogan, Pemalang, Sragen, 
dan Wonogiri, Klaten. Dari 56 pasangan
calon, 52 pasangan calon di antaranya
diusung partai politik dan gabungan partai
politik. Sedangkan empat pasangan
calon, mencalonkan diri melalui jalur
perorangan. Calon perorangan dari
Kabupaten Wonosobo, Klaten, Rembang, 
dan Magelang. Sebanyak 13 calon
merupakan mantan bupati/walikota
setempat, 11 calon adalah wakil bupati/
wakil walikota yang mencalonkan diri
sebagai bupati/walikota, sebanyak 26
calon berprofesi sebagai anggota DPR
RI/DPRD, dan 10 calon berlatar belakang
PNS
Terkait dengan penyelenggaraan
Pilkada serentak 2015 di Jawa Tengah, 
ketidaknetralan ASN dalam juga terjadi, 
salah satunya di Kabupaten Pemalang
yakni intervensi Sekretaris Daerah
(Sekda) Kabupaten Pemalang, terhadap
anggota panitia pengawas (panwas) 
daerah setempat, namun penindakan
kepada ASN tersebut lemah. Selain itu, 
terdapat 3 (tiga) TPS yang dilakukan
Pemungutan Suara Ulang(PSU) yaitu
di Kabupaten Kebumen da 1 TPS dan di
Kabupaten Pekalongan ada 2 TPS.
Pengalaman berharga yang dapat
dipetik dari pelaksanaan pilkada serentak
2015, dapat kita telaah untuk mewujudkan
pilkada serentak yang demokratis
konstitusional, damai dan bermartabat. 
Pertama, fase pra pemungutan suara. 
Kedua, fase proses pemungutan suara, 
dan ketiga, fase pasca pemungutan suara.
Pada fase pra pemungutan suara, 
setidaknya persoalan yang muncul adalah
masalah pencalonan, penganggaran, 
data pemilih, kampanye, dan distribusi
logistik. Munculnya kasus pelanggaran
administratif yang diuji melalui putusan
PTUN dan berlanjut dengan kasasi di
tingkat MA memakan waktu lama. Kurun
waktu penyelesaian sengketa pilkada
yang lama tersebut, telah berakibat pada
tertundanya pilkada serentak di lima
daerah atau gagal dilaksanakan (Provinsi
Kalimantan Tengah, Kabupaten Fakfak, 
Kota Pemantangsiantar, Kabupaten
Simalungun, dan Kota Manado).
Pada fase proses pemungutan
suara hingga rekapitulasi perolehan
suara merupakan momen krusial yang
paling disoroti berbagai kalangan, karena
dianggap momen yang paling rawan
terjadinya berbagai pelanggaran pemilu. 
Mulai dari pemilih mencoblos lebih dari
satu kali, praktek politik uang, manipulasi
perolehan suara dan lain sebagainya. 
Politik uang dalam tahapan pencalonan
ataupun ketika di tahapan pemungutan
suara masih berkembang. UU Pilkada
belum dapat digunakan untuk menjerat
pelaku politik uang.
Nama : abang irwan