Minggu, 20 Mei 2018

(Hukum 01 - 171710628) Terorisme Melanggar Hak Asasi

  Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil. Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.

Selasa, 8 Mei hingga Senin 14 Mei adalah pekan yang penuh ketegangan dan teror. Narapidana terorisme mengambil alih Rutan Mako Brimob, Depok. Dan di Surabaya, untuk pertama kalinya di Indonesia, bom bunuh diri dilakukan sekeluarga inti, ayah, ibu yang membawa serta anak-anak mereka. Simak urutannya:

Selasa 8 Mei 2018-Kabar adanya kerusuhan di Rutan Mako Brimob dikonfirmasi oleh Polisi menjelang tengah malam. Menurut Polisi, kerusuhan tersebut bermula dari cekcok tahanan dan petugas.

Rabu 9 Mei 2018-Lima orang polisi meninggal. Napi teroris merebut senjata petugas dan mengambil alih rutan.Satu polisi masih disandera sejumlah narapidana terorisme. Sementara, seorang teroris ditembak mati oleh aparat polisi saat kerusuhan.

Kamis, 10 Mei 2018-Pagi hari, perlawanan para napi teroris di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, akhirnya dipatahkan.

Jumat, 11 Mei 2018-Seorang anggota polisi tewas ditusuk teroris yang ditangkapnya karena bersikap mencurigakan. Teroris tersebut kemudian ditembak di tempat.

Sabtu, 12 Mei 2018-Dua perempuan, Dita Siska Millenia dan Siska Nur Azizah ditangkap polisi karena diduga akan melakukan penusukan kepada anggota Brimob di Mako Brimob.

Minggu 13 Mei 2018, pukul 02.00-Empat orang terduga teroris di Cianjur tewas ditembak polisi. Keempat orang tersebut merupakan anggota Jamaah Ansharut Daulah, pimpinan Aman Abdurrahman, dan diduga akan melakukan serangan terhadap aparat kepolisian, kata juru bicara polisi, Irjen Setyo Wasisto, Minggu (13/05).

Minggu, 13 Mei 2018, pukul 07.30-Image caption Maria Hamdani, memasang foto bibinya, Mayawati yang menjadi korban bom di Gereja Santa Maria Tak Bercela. Mayawati sempat dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara selama 12 jam. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto. Bom meledak di tiga gereja di Surabaya: Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Gereja Pantekosta Jalan Arjuna, GKI di Jalan Diponegoro. Pelaku satu keluarga, enam tewas. Mereka adalah pemimpin JAD Surabaya, Dita, istri dan keempat anaknya. Warga yang meninggal mencapai 12 orang dalam tiga kejadian dan puluhan luka-luka.

Minggu, 13 Mei 2018, pukul 22.50-Ada ledakan di rumah susun Wonocolo di Sidoarjo, diduga karena para teroris tak sengaja meledakkan bomnya sendiri.

Senin, 14 Mei 2018-Polisi menangkap sembilan orang di Surabaya, antara lain di Graha Pena dan di kawasan Jembatan Merah Surabaya. Empat orang ditembak mati karena, menurut juru bicara Polda Jatim, melawan dan membahayakan petugas.

   Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.  Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.

 

  Beirut – Undang-undang terbaru Arab Saudi dan deretan peraturan kerajaan terkait terorisme menciptakan kerangka hukum yang tampaknya mempidanakan hampir setiap pemikiran dan pendapat berbeda sebagai terorisme. Serangkaian pasal di dalamnya yang dikeluarkan sejak Januari 2014, berpeluang membungkam semua ruang kebebasan berekspresi yang sebelumnya sudah sangat dibatasi di Arab Saudi. Pemerintah Saudi hampir tidak pernah mentolerir kritik atas kebijakan-kebijakannya, tetapi undang-undang dan peraturan terbaru ini menjadikan nyaris setiap pendapat kritis atau perkumpulan indepeden sebagai kejahatan terorisme, ujar Joe Stork, wakil direktur Timur Tengah dan Afrika Utara dari Human Rights Watch. Peraturan ini membuyarkan harapan bahwa Raja Abdullah dapat membuka sebuah ruang yang sehat untuk kelompok-kelompok independen dan para kritikus yang mengemukakan pendapatnya secara damai.

  Peraturan hukum terbaru ini muncul di tengah kampanye untuk membungkam para aktivis independen dan kritikus damai lewat intimidasi, penyidikan, penangkapan, penuntutan, dan pemenjaraan. Pada 9 Maret, aktivis hak asasi manusia terkemuka Abdullah al-Hamid dan Mohammed al-Qahtani telah menjalani setahun dari  11 dan 10 tahun hukuman penjara mereka karena mengkritik pemerintah melanggar hak asasi manusia dan karena keanggotaan mereka di sebuah organisasi hak-hak sipil dan politik tanpa izin. Dua aktivis HAM lain, Waleed Abu al-Khair dan Mikhlif al-Shammari, baru-baru ini kalah dalam gugatan banding mereka dan kemungkinan akan menjalani tiga bulan dan lima tahun hukuman penjara karena mengkritisi pemerintah Saudi. Pada 31 Januari, pemerintah Saudi mengumumkan secara resmi Hukum Pidana untuk Kejahatan dan Pendanaan Terorisme ("undang-undang terorisme"). Undang-undang ini mengandung cacat serius, termasuk pasal-pasal ambigu dan pasal-pasal karet yang dapat digunakan oleh pihak berwenang untuk mempidanakan kebebasan berpendapat, serta memberi kekuasaan berlebihan kepada polisi tanpa adanya pengawasan pengadilan. Undang-undang ini mensyaratkan kekerasan sebagai elemen esensial hanya terkait serangan terhadap Saudi dari luar kejaraan atau di atas kapal-kapal pengangkut barang Saudi. Di dalam kerajaan, "terorisme" bisa berupa aksi non-kekerasan – termasuk tindakan "apapun" yang bermaksud, di antara yang lain, "menghina nama baik negara," "mengganggu ketertiban umum," atau "meresahkan keamanan masyarakat," yang tidak didefinisikan secara jelas di dalam undang-undang tersebut.

  Pada 3 Februari, dua hari sesudah undang-undang terorisme berlaku, Raja Abdullah mengeluarkan Keputusan Kerajaan nomor 44 yang mempidanakan mereka "yang berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan berbahaya di luar kerajaan" dengan hukuman penjara antara tiga sampai 20 tahun. Pada 7 Maret, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan peraturan yang lebih jauh menetapkan sebuah daftar awal kelompok-kelompok yang dianggap pemerintah sebagai organisasi teroris, termasuk Ikhwanul Muslimin dan kelompok Houthi di Yaman, bersama dengan "Al-Qaeda, Al-Qaeda di Semenanjung Arab, Al-Qaeda di Yaman, Al-Qaeda di Irak, Da'ish (Negar Islam Irak dan Negeri Syam, atau ISIS), Jabhat al-Nusra, dan Hizbullah di dalam kerajaan." Peraturan kementerian dalam negeri ini mencakup pula sederetan ketentuan lain dimana pihak berwenang dapat memidanakan hampir semua pendapat atau perkumpulan yang kritis terhadap pemerintah dan pandangan Islam pemerintah. Ketentuan "terorisme" ini termasuk:

 

 

Pasal 1

 Mengutarakan pemikiran ateis dalam bentuk apapun, atau mempertanyakan pokok-pokok ajaran agama Islam yang menjadi dasar negara ini.

Pasal 2

 Siapapun yang menolak kesetiaan mereka kepada penguasa negara, atau yang bersumpah setia kepada perkumpulan, organisasi, aliran [pemikiran], kelompok, atau individu lain apapun di dalam atau di luar [kerajaan].

Pasal 4

Siapapun yang mendanai organisasi, kelompok, aliran [pemikiran], asosiasi, atau perkumpulan [teroris], atau menunjukkan afiliasi dengan mereka, atau bersimpati, atau mempromosikan, atau menggelar pertemuan di bawah payung mereka, baik di dalam maupun di luar kerajaan; termasuk berpartisipasi melalui media suara, tulis, atau visual; media sosial dalam bentuk suara, tulis, atau visual; situsweb internet; atau mengedarkan konten mereka dalam bentuk apapun, atau menggunakan slogan kelompok dan aliran [pemikiran] mereka, atau simbol apapun yang menunjukkan dukungan atau simpati dengan mereka.

Pasal 6

 Melakukan kontak atau korespondensi dengan kelompok, aliran [pemikiran], atau individu yang memusuhi kerajaan.

Pasal 8

 Berupaya mengguncang tatanan sosial atau ikatan nasional, atau menyerukan, berpartisipasi, mempromosikan, atau menghasut aksi duduk, memprotes, menggelar pertemuan, atau membuat pernyataan kelompok dalam bentuk apapun, atau siapapun yang mengganggu kesatuan atau stabilitas kerajaan dengan cara apapun.

Pasal 9

 Menghadiri konferensi, seminar, atau pertemuan di dalam maupun di luar (kerajaan) yang menargetkan keamanan masyarakat, atau menabur perpecahan di dalam masyarakat.

Pasal 11

Menghasut atau membuat negara-negara, komite, atau organisasi internasional bersikap menentang kerajaan.

 

Menurut Human Rights Watch sejumlah pasal karet ini mengandung bahasa yang oleh jaksa dan hakim telah digunakan untuk menuntut dan mendakwa para aktivis independen dan kritikus damai.

 

Tuntutan terhadap Al-Qahtani and al-Hamid mencakup dakwaan  "melanggar kesetiaan dengan penguasa," "mencemari nama baik keagamaan dan integritas Dewan Agung Ulama," "menabur perpecahan," dan "melakukan usaha meresahkan keamanan dalam negeri dengan menyerukan demonstrasi." Peraturan terbaru tentang terorisme mengklasifikasikan beberapa tuduhan itu sebagai tindakan terorisme.

  Para anggota lain dari organisasi mereka, Asosiasi Hak-hak Sipil dan Politik Saudi (ACPRA), dihukum karena dituduh dengan dakwaan serupa, termasuk Mohammed al-Bajadi, Omar al-Saeed, dan Abd al-Kareem al-Khodr. Salah seorang anggota yang dipenjara, Fowzan al-Harbi, diadili di Pengadilan Pidana Riyadh dengan dakwaan yang meliputi "berpartisipasi dalam seruan atau hasutan melanggar kesetiaan terhadap penguasa," "mencemarkan nama baik integitas dan keagamaan Dewan Agung Ulama," "berpartisipasi dalam mendirikan sebuah organisasi tanpa izin" –yakni, ACPRA—"mempublikasikan rincian penyelidikannya," dan "menggambarkan penguasa rezim Saudi—dengan tidak adil—sebagai negara polisi." Pada perkara 9 Maret, Saudi Press Agency (SPA) melaporkan, pengadilan banding Saudi menguatkan hukuman delapan tahun penjara kepada seorang warga Saudi karena "keterlibatannya menghasut [anggota keluarga] tahanan dalam kasus keamanan untuk berdemonstrasi dan melakukan aksi duduk lewat cara memproduksi, menyimpan, dan mengirim tweet, video klip di YouTube, dan situs jejaring sosial," serta  sarkasmenya terhadap penguasa kerajaan dan otoritas keagamaan.

  Pada 10 Maret, SPA melaporkan tuntutan terhadap seorang pria lain, dengan 10 tahun penjara dan denda 100.000 riyal ($26.600), karena "terlibat dalam mengikuti, menyimpan, dan mengirim ulang tweet yang berisi hasutan di situs jejaring sosial (Twitter) yang menentang penguasa, ulama, dan lembaga-lembaga pemerintah dan hubungannya dengan orang-orang yang menyebut dirinya reformis…Seorang aktivis HAM lain, Fadhil al-Manasif, yang berperan penting dalam mendokumentasikan sejumlah kekerasan terhadap demonstran di Provinsi Timur di tahun 2011, diadili karena "menebarkan perpecahan," "menghasut opini publik melawan negara," dan berkomunikasi dengan kantor berita luar negeri untuk membesar-besarkan pemberitaan dan merusak reputasi kerajaan. Dan aktivis HAM dari Riyadh, Mohammed al-Otaibi dan Abdullah al-Attawi, yang  bulan April 2013 berada di bawah penyidikan karena mendirikan organisasi hak asasi manusia pada April 2012—Serikat


Fidelis Elvin


Tidak ada komentar:

Posting Komentar