Minggu, 20 Mei 2018

Anisa Putri (171710762)

Hak Asasi Manusia dan Terorisme di Indonesia

 

Akhir-akhir Indonesia baru saja digencarkan dengan berita adanya aksi terorisme yang terjadi di beberapa tempat di Jawa Timur tepat nya pengeboman terjadi di tiga gereja di Surabaya dan pada senin paginya disusul di gerbang Polrestabes Surabaya. Akibatnya dari kejadian ini banyak yang berprespektif bahwa dalang dari semua ini adalah umat muslim.

 Dikabarkan bahwa para teroris ini datang dari sebuah gerakan yang berasal dari Iraq dan Syria gerakan ini dikenal dengan nama ISIS (Islamic State in Iraq and Syria). Namun apakah di setiap kejadian pengeboman di Indonesia real di lakukan oleh  gerakan ini saja? dan orang-orang dengan mudah menuduh dan memberikan gelar pada seluruh umat muslim bahwa benar umat muslim lah teroris yang sebenarnya.

Hampir seluruh kejadian pengeboman yang terjadi di dunia memojokan salah satu agama ini. Padahal mereka juga percaya bahwa tidak ada satu pun agama yang mengajarkan untuk saling membunuh orang-orang yang bersalah. Terlebih lagi dampak yang diberikan oleh orang-orang kepada salah satu agama yang tidak bersalah ini mereka mendiskriminasikan, mecemooh dan tak jarang mereka langsung melakukan kekerasan. Indonesia yang meyoritasnya adalah muslim kini mulai terlihat seperti negara Islamophobia.

Lalu bagaimana dengan para pelaku yang sesungguhnya yang jelas-jelas telah melakukan perbuatan yang sangat keji. Membunuh manusia-manusia yang tidak bersalah dengan mudahnya tanpa merasa bersalah bahkan memastikan bahwa surga sudah di depan matanya ?

Karna adanya kejadian ini banyak pihak yang meminta agar para pelaku terorisme di tindak lanjuti dan dihukum seberat-beratnya agar mendapat efek jera serta mencegah terulang kembali terjadinya aksi terorisme kembali di Indonesia. Mengingatkan kembali bahwa Terkait Rancangan UU Tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang di DPR RI, soal ancaman hukuman bagi pelaku terorisme menjadi salah satu butir pembahasan krusial. Lalu apakah pandagan menurut Hak Asasi Manusia ( HAM ) dalam hal ini.

Sebelum itu mari kita simak dulu apakah itu terorisme menurut Wikipedia: Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.

Dalam pengertian diatas maknanya ialah teroris tidaklah hanya mereka yang merencanakan sesuatu sekedar untuk membunuh dengan cara di ledakan tetapi orang-orang yang mereka yang merasa kehidupan mereka terancam atau di ancam oleh seseorang karena konflik pribadi. Contoh dari beberapa kasus teror yang terjadi adalah kasus Novel Baswedan kasus penyiraman air keras kewajah penyidik senior Komisi Pemberntasan Korupsi (KPK). Penyiraman air keras kemantan Polri saat pulang dai ibadah Shalar Subuh berjamaah di masjid dekat dari kediamannya,kawasan Kelapa Gading , Jakarta Utara. Kasus ini termasuk dalam kasus aksi terorisme namun dalam penanganan kasus ini tidak mendapatkan respon yang sangat cepat dari pihak Kapolri .

Terdapat juga beberapa kasus lainnya yakni teror yang di lakukan oleh orang-orang yang di anggap gila menyerang beberapa Ulama di sejumlah pesantren  yang aneh nya terjadi secara beruntun. Namun hal ini juga tidak juga  mendapat respon cepat dari Kapolri. Ada keganjalan dalam kasus-kasus diatas keganjalan yang sangat tampak dari hal ini adalah ketika yang menjadi korban adalah orang-orang muslim, proses  hukum yang di lakukan lamban. Sedangkan ketika orang-orang muslim ini yang di anggap sebagai pelaku proses yang respon dengan sangat baik.

Lalu apakah ini yang di sebut keadilan ? Yang di sebut Kemanusiaan yang adil dan beradab sesuai kah dengan Dasar Negara kita? Lalu di manakah peran HAM (Hak Asasi Manusia) dalam hal ini. Dna apakah layak para pelaku teror ini dilindungi dengan HAM?

Presiden Joko Widodo telah memerintahkan percepatan pembahasan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang sudah cukup lama tertunda. Salah satu faktor penting yang membuat pembahasan rancangan undang-undang itu tertunda adalah untuk menghindari potensi pelanggaran HAM. Kapolri menyampaikan bahwa prinsip dasar dalam pemberantasan terorisme tetap dalam koridor penghormatan dan perlindungan HAM. Hal ini juga dinyatakan oleh Menkopolhukam Wiranto, bahwa jikapun TNI dilibatkan dalam pemberantasan terorisme, akan tetap memperhatikan HAM. Kalangan DPR juga sepakat bahwa HAM harus menjadi prinsip yang tidak boleh ditinggalkan.

Di sisi lain, ada yang berpendapat, mengingat begitu mendesak dan bahayanya tingkat ancaman terorisme, HAM bisa dikesampingkan. Hal ini karena HAM memberikan batasan-batasan yang dianggap menghalangi penegakan hukum. Misalnya, penangkapan atas terduga teroris harus memenuhi minimal dua alat bukti yang cukup. Penegak hukum tidak bisa menangkap terduga teroris secara sewenang-wenang tanpa ada bukti yang kuat. Dalam konteks pro dan kontra aspek HAM dalam pemberantasan terorisme ini, saya hendak memberikan catatan melalui tulisan ini, agar tidak salah menempatkan HAM atau HAM dianggap menjadi penghalang dalam pemberantasan terorisme. Baca juga: UU Anti-terorisme Seharusnya Juga Atur soal Pengawasan Mantan Napi Teroris HAM adalah hak yang melekat pada setiap orang yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai sebuah anugerah, maka HAM melekat erat pada setiap manusia, siapapun dia tanpa terkecuali. Tidak ada seorang atau pihak manapun bisa mencabut HAM seseorang secara sewenang-wenang, termasuk pemerintah. Apakah seorang teroris mempunyai HAM? Ya, sudah pasti. Tidak ada ketentuan di dalam instrumen HAM nasional dan internasional yang menyebutkan bahwa seorang penjahat, misalnya teroris, tidak punya HAM.
 di Indonesia, terduga teror diperlakukan sebagai manusia yang pada dirinya melekat hak-hak yang dilindungi oleh undang-undang. Mereka yang dituduh melakukan teror, diadili melalui proses hukum dengan mengedepankan asas due process of law dalam koridor criminal justice system. Dengan pendekatan berbasis HAM, terorisme dapat dilokalisir sehingga tidak menyebar luas ke masyarakat. Pendekatan yang humanis menempatkan teroris para pelaku lapangan bukan hanya sebagai pelaku semata, namun juga korban. Mereka adalah korban dari indoktrinasi dan penyebaran pemahaman agama yang salah melalui berbagai media, di antaranya internet. Untuk itu, selepas dipenjara, mereka harus dirahabilitasi dan diberdayakan secara sosial dan ekonomi. Pendekatan HAM juga memberikan porsi yang besar kepada aktor-aktor nonnegara (organisasi kemasyarakatan, media, institusi pendidikan, LSM, dll) untuk berperan serta menanggulangi terorisme. Hal ini karena terorisme, sebagai faham dan gerakan, tidak bisa hanya diatasi oleh aparat negara yang jumlah dan kapasitasnya sangat terbatas, dibandingkan skala ancaman dan gerakan teror yang sangat luas dan mengglobal.

Pemidanaan terhadap tindakan demikian dinilai penting mengingat, misalnya, kini banyak orang Indonesia yang pulang dari Suriah dan diduga mereka simpatisan dan pendukung Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Sejumlah temuan aparat keamanan terhadap teror beberapa waktu terakhir menunjuk pelakunya terlibat NIIS. Aparat hukum memerlukan payung hukum agar bisa menangkap mereka. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tercatat sedikitnya 150-an orang Indonesia yang kembali dari Suriah –mereka diduga terlibat dalam NIIS sepanjang 2014-2015.

Dalam kaitan itu pula RUU ini kemudian menetapkan jangka waktu penahanan seseorang. Jika sebelumnya UU No. 15/2003 mengatur masa penahanan seseorang maksimal 7x24 jam, dalam RUU ini aparat bisa menahan orang sampai 30 hari. Selain itu, mereka yang terbukti, misalnya, mengikuti pelatihan terorisme di luar negeri, paspornya bisa dicabut.

Penambahan masa tahanan inilah yang menjadi sorotan para aktivis HAM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil. Menurut Koalisi panjangnya kewenangan penangkapan adalah melanggar prinsip-prinsip HAM, termasuk konvensi internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICEAFRD).

Koalisi juga menyoroti sejumlah pasal lain yang dinilai melanggar HAM, seperti pencabutan kewarganegaraan mereka yang mengikuti pelatihan tindak pidana terorisme dan konsep deradikalisasi yang memberi wewenang aparat hukum menempatkan seseorang di satu tempat selama enam bulan. Koalisi menilai RUU Antiterorisme ini tidak membahas secara jelas bentuk pertangungjawaban aparat dalam melakukan operasi pemberantasan terorisme.

Koalisi menunjuk sejumlah fakta kerap terjadinya salah tangkap terhadap seseorang yang diduga pelaku terorisme. Ini, misalnya, seperti yang menimpa Siswoyo di Jawa Tengah. Koalisi juga menunjuk catatan Komnas HAM yang menghitung ada sekitar 210 orang yang diduga melakukan terorisme tewas tanpa menjalani proses peradilan terlebih dahulu.

Dalam kerangka hak asasi manusia, menurut peneliti pada Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, tindakan demikian masuk kategori extrajudicial killing atau pembunuhan yang dilakukan di luar sistem hukum. Atas kritik itu, Ketua Panitia Khusus RUU Antiterorisme, Muhammad Syafi'i menyatakan pihaknya menerima semua masukan itu. Menurut dia, prinsipnya, RUU tidak membuka celah terjadinya pelanggaran HAM

Namun dalam hal ini di pemerintah tidak berlaku secara adil melihat kronologis kasus berhubungan erat dengan berbau muslim RUU ingin segera di tangani dengan cepat ada nya perubahan RUU ini juga di dorong karna adanya kasus-kasus yang belakangan ini memojokan umat muslim.

masyarakat berharap agar pemerintah dapat lebih dalam memperhatikan kembali apa yang akan menjadi keputusan pemerintah.

Anisa Putri

171710762

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar