Minggu, 20 Mei 2018

(HUKUM 01- 171710756) MENGAPA HAM PENTING DALAM PENANGGULANGAN TERORISME

Mengapa HAM penting dalam penanggulangan terorisme?          

HAM adalah hak yang melekat pada setiap orang yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai sebuah anugerah, maka HAM melekat erat pada setiap manusia, siapapun dia tanpa terkecuali. Tidak ada seorang atau pihak manapun bisa mencabut HAM seseorang secara sewenang-wenang, termasuk pemerintah. Apakah seorang teroris mempunyai HAM? Ya, sudah pasti. Tidak ada ketentuan di dalam instrumen HAM nasional dan internasional yang menyebutkan bahwa seorang penjahat, misalnya teroris, tidak punya HAM. Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana aspek HAM bagi teroris yang telah membunuh orang dan merugikan kepentingan umum? Ada yang berpendapat, oleh karena aksi mereka telah merenggut hak hidup dan hak atas rasa aman bagi masyarakat secara luas, tidak pantas bagi teroris untuk dijamin dan dilindungi HAM-nya. Di sinilah perbedaan antara pendekatan pemberantasan terorisme berbasis HAM dan yang tidak berbasis HAM. Kita sudah menyaksikan penerapan dari Patriot Act di Amerika Serikat yang diberlakukan sejak peristiwa teror Menara Kembar WTC di New York pada 11 September 2001. Melalui undang-undang itu, aparat AS bisa menginterogasi, menangkap, dan menahan seseorang yang dituduh sebagai teroris secara sewenang-wenang dan dengan waktu yang tidak terbatas, tanpa adanya bukti. Orang-orang yang dituduh teror itu di antaranya diisolasi di penjara Guantanamo Kuba atau penjara rahasia lainnya. Mereka mendapatkan siksaan dan perlakuan yang sangat tidak manusiawi selama ditahan. Apakah lantas teror di AS bisa diatasi dengan kebijakan yang represif itu? Tidak! Teror malahan semakin sering terjadi di AS, bahkan oleh warga negara AS sendiri. Aksi dan tindakan teror semakin sulit untuk dihindari karena pendekatan penanganan yang salah dan semena-mena. Setelah 16 tahun Amerika Serikat mendeklarasikan perang melawan teror, terorisme malah semakin meluas dari Timur Tengah ke Asia Tenggara (Kompas, 10/7/17) Sementara di Indonesia, terduga teror diperlakukan sebagai manusia yang pada dirinya melekat hak-hak yang dilindungi oleh undang-undang. Mereka yang dituduh melakukan teror, diadili melalui proses hukum dengan mengedepankan asas due process of law dalam koridor criminal justice system. Dengan pendekatan berbasis HAM, terorisme dapat dilokalisir sehingga tidak menyebar luas ke masyarakat. Pendekatan yang humanis menempatkan teroris para pelaku lapangan bukan hanya sebagai pelaku semata, namun juga korban. Mereka adalah korban dari indoktrinasi dan penyebaran pemahaman agama yang salah melalui berbagai media, di antaranya internet. Untuk itu, selepas dipenjara, mereka harus dirahabilitasi dan diberdayakan secara sosial dan ekonomi. Pendekatan HAM juga memberikan porsi yang besar kepada aktor-aktor nonnegara (organisasi kemasyarakatan, media, institusi pendidikan, LSM, dll) untuk berperan serta menanggulangi terorisme. Hal ini karena terorisme, sebagai faham dan gerakan, tidak bisa hanya diatasi oleh aparat negara yang jumlah dan kapasitasnya sangat terbatas, dibandingkan skala ancaman dan gerakan teror yang sangat luas dan mengglobal. Melalui pemeriksaan di pengadilan, aparat negara bisa memperoleh banyak data dan informasi tentang terorisme yang diperoleh dari tersangka/terdakwa, saksi, ahli, dan alat bukti lainnya. Keterangan ini berguna untuk menguak dan menelusuri jaringan teror yang ada untuk kepentingan pencegahan dan penindakan. Selain itu, proses penegakan hukum menjadi media edukasi bagi publik dan terduga teroris bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah dan melanggar hukum. Hal ini jauh berbeda dengan pendekatan ala AS, ketika pemberantasan terorisme sangat mengabaikan hukum dan partisipasi masyarakat sehingga tidak efektif. Perilaku teror direplikasi oleh warga AS sendiri sebagaimana terjadi pada banyak kejadian terakhir berupa penembakan massal di kampus ataupun tempat-tempat umum. Menurut organisasi think thank AS, New Amerika, pasca-911, jumlah warga AS yang terbunuh oleh organisasi teroris hanya sebanyak 9 orang. Sedangkan warga AS yang tertembak mati oleh sesama warga AS sebanyak 11.737 orang (2005-2014). Artinya, 82 persen aksi teror dilakukan oleh warga AS. Alhasil, pendekatan berbasis HAM dalam penanggulangan terorisme tidak melemahkan upaya menekan aksi teror, akan tetapi justru memperkuatnya melalui partisipasi luas masyarakat. Partisipasi masyarakat adalah modal sosial yang sangat penting supaya penanggulangan teror menjadi gerakan sosial kemasyarakatan, bukan hanya semata menjadi tugas dan tanggung jawab aparat negara yang dalam banyak hal mempunyai banyak keterbatasan. (Mimin Dwi Hartono, Staf Senior Ko Upaya menindak dan mencegah kejahatan terorisme seringkali menghadapi dilema antara penegakan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Di sisi lain tindak pidana terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang penanganannya memerlukan payung hukum yang kuat dan upaya hukum luar biasa. Namun penanganan terorisme kerap kali dikritik melanggar HAM.  Untuk meminimalisir kendala ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melakukan kerjasama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Hal itu dilakukan agar kinerja pemberantasan terorisme tetap berjalan dalam kerangka HAM. Kepala BNPT Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius mengatakan, pihaknya mengajak kerjasama Komnas HAM justru untuk memberikan kepastian kerja pemberantasan terorisme dilakukan sesuai kerangka HAM. "Komnas HAM kami ajak kerjasama sebagai penyeimbang dan untuk memastikan bahwa pemberantasan terorisme tetap dalam koridor HAM," kata Suhardi di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (3/8). Ia menjelaskan, terorisme telah menyebarkan paham radikalisme. Paham tersebut telah masuk melalui berbagai macam cara, termasuk melalui teknologi informasi yang semakin berkembang. Radikalisme juga sudah sampai pada kalangan remaja. Untuk itu ia mengajak semua pihak, termasuk Komnas HAM, untuk bekerjasama menanggulangi penyebaran paham radikalisme tersebut. Mantan Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) ini juga mengimbau masyarakat agar berperan aktif atau melapor ke pihak kepolisian bila menemukan ada pihak yang menyebarkan paham radikal dan ada potensi tindakan terorisme. Dalam kesempatan kerjasama itu BNPT telah menerima masukan dari Komnas HAM, terkait penindakan atau pencegahan.  "Kami juga akan ke lapangan secara langsung untuk mensosialisasikan bersama bahayanya paham radikalisme," jelasnya. Di tempat yang sama, Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan, pihaknya akan mendukung BNPT melakukan penanggulangan terorisme di Indonesia. "Kami sangat senang dengan kerjasama ini, agar penanggulangan terorisme tetap sesuai hak asasi manusia," kata Imdadun di kantor Komnas HAM, Jakarta. Ia mengakui terorisme adalah kejahatan luar biasa, dan juga kejahatan yang melawan nilai kemanusiaan. Tetapi dalam penanggulangan terorisme, BNPT diharapkan tetap mengedepankan hukum dan hak konstitusi para terduga teroris. akan mengedepankan isu-isu seperti ruang gerak organisasi, kewenangan ekstra, hingga metode kerja khusus. Sementara masyarakat sipil juga secara naluriah akan memunculkan kekhawatiran tentang kewenangan yang meluas, pemberangusan kebebasan sipil, hingga potensi munculnya lembaga represif rezim otoritarian."Dari sini saya melihat bahwa problem utama penanggulangan terorisme di Indonesia adalah rendahnya kepercayaan masyarakat pada iktikad baik penguasa dan aparaturnya," ujar Fahmi. Dia mengungkapkan, masyarakat khawatir bahwa pemberian kewenangan ekstra dapat saja disalahgunakan sebagai alat penguasa untuk membungkam lawan politik atau orang maupun kelompok yang dinilai kontra produktif. Bahkan, kata pengamat militer dan terorisme ini, kekhawatiran itu justru jauh lebih besar daripada ketakutan masyarakat terhadap ancaman teror itu sendiri."Terlebih lagi ada fakta bahwa penegakan hukum kita masih lemah dan diskriminatif di sana-sini," ujarnya. Ia pun mengaku aneh jika desakan penegakan hukum pidana terorisme agar tetap menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, dinilai  telah mempersulit upaya penanggulangan terorisme."Itu justru dapat dipandang sebagai bentuk ketidakmampuan atau kegagalan kepolisian melakukan pengungkapan dan mendapatkan alat bukti yang cukup," tegasnya. Fahmi menambahkan, kewenangan ekstra yang mengesampingkan kewajiban menjamin HAM memberi peluang adanya upaya hukum prematur yang hanya berdasarkan informasi dangkal dan sumir, yang sulit dibuktikan."Tentu saja ini mengkhawatirkan. Lagipula, upaya penanggulangan terorisme macam apa yang ingin dilakukan sehingga HAM menjadi penghambatnya?" tanyanya.Ketimbang merengek minta peluang mendapat kewenangan ekstra dan khusus. Kata Fahmi, mestinya penanggulangan terorisme lebih fokus pada upaya mendesain penguatan koordinasi dan kerjasama antar pemangku kepentingan pemberantasan terorisme. Termasuk menyangkut pembagian peran dan kerja masing-masing lembaga agar tidak tumpang tindih, melampaui kewenangannya dan melanggar hak-hak warga negara. Tak hanya itu, para pemangku kepentingan harus mampu menjawab pertanyaan seputar standar pemberantasan terorisme yang ideal. Sehingga dapat ditentukan patokan normatif apa yang bisa membatasi kerja pemberantasan terorisme, institusionalisasi pengaturan kerja, pertanggungjawaban. fungsi, hingga bagaimana negara menyediakan sarana reparasi mekanis atas dampak kelalaian kerja pemberantasan terorisme. Selain itu, kebutuhan operasional aparat untuk melakukan penindakan dini difasilitasi dengan pembentukan mekanisme koordinasi kerja yang lebih efektif. "Bukan dengan memberikan kewenangan ekstra yang berlebihan pada penegakan hukum," paparnya. Selain itu, kompetensi utama untuk mengembangkan sistem penindakan dini diperkuat dengan pemberian hak-hak khusus untuk melindungi organisasi, fasilitas, aparatur serta metode kerja lembaga terkait.Hak-hak khusus ini, menurutnya, diberikan oleh negara sehingga memungkinkan beberapa kegiatan penanggulangan terorisme dikeluarkan dari ruang publik. Ramuan kombinasi faktor-faktor itu secara komposisional harus dirumuskan secara tepat. Bagaimanapun, negara membutuhkan alat aksi yang efektif demi kepentingan keamanan nasional, sambil terus menjaga agar tetap akuntabel dalam kerangka demokrasi dan rule of law. Isu HAM sebenarnya harus dilihat sebagai upaya untuk kontrol dan pencegahan salah guna (malapraktik) aksi penanggulangan terorisme oleh rezim."Penting bagi Komnas HAM maupun kelompok-kelompok masyarakat sipil untuk terus menyuarakan demokrasi, kebebasan sipil, dan rule of law dalam penanggulangan terorisme," pungkasnya.

Tindak pidana terorisme merupakan kejahatan internasional yang membahayakan keamanan dan perdamaian dunia serta merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban, ketakutan masyarakat secara luas, dan kerugian harta benda sehingga berdampak luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional. Upaya pemberantasan tindak pidana terorisme selama ini dilakukan secara konvensional, yakni dengan menghukum para pelaku tindak pidana terorisme. Untuk dapat mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme secara maksimal, perlu diikuti upaya lain dengan menggunakan sistem dan mekanisme penelusuran aliran dana karena tindak pidana terorisme tidak mungkin dapat dilakukan tanpa didukung oleh tersedianya dana untuk kegiatan terorisme tersebut. Pendanaan terorisme bersifat lintas negara sehingga upaya pencegahan dan pemberantasan dilakukan dengan melibatkan Penyedia Jasa Keuangan, aparat penegak hukum, dan kerja sama internasional untuk mendeteksi adanya suatu aliran dana yang digunakan atau diduga digunakan untuk pendanaan kegiatan terorisme. Selama ini terdapat beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme, yaitu:Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang mengatur juga mengenai tindak pidana pendanaan terorisme masih terdapat kelemahan. Begitu pula, upaya memasukkan tindak pidana terorisme sebagai salah satu tindak pidana asal (predicate crime) dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang belum dapat diimplementasikan secara efektif dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme. Komitmen masyarakat internasional dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana pendanaan terorisme diwujudkan dengan disahkannya International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999). Indonesia telah melakukan ratifikasi konvensi tersebut dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999).

Dengan telah diratifikasi Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme dan perlunya penguatan terhadap pengaturan mengenai tindak pidana pendanaan terorisme, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Undang-Undang ini mengatur secara komprehensif mengenai kriminalisasi tindak pidana pendanaan terorisme dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme, penerapan prinsip mengenali pengguna jasa keuangan, pelaporan dan pengawasan kepatuhan, pengawasan kegiatan pengiriman uang melalui sistem transfer atau melalui sistem lainnya yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan, pengawasan pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia, mekanisme pemblokiran, pencantuman dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris, pengaturan mengenai penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, serta kerja sama, baik nasional maupun internasional, dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme. Lingkup pendanaan terorisme dalam Undang-Undang ini mencakup perbuatan yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung dalam rangka menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana kepada pihak lain yang diketahuinya akan digunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme. Selain itu, diatur pula mengenai organisasi teroris, yaitu kumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan telah melakukan tindak pidana terorisme atau yang berdasarkan penetapan pengadilan ditetapkan dalam daftar terduga organisasi teroris. Teroris adalah orang atau individu yang berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana terorisme atau yang berdasarkan penetapan pengadilan ditetapkan dalam daftar terduga teroris. Penyedia Jasa Keuangan dalam Undang-Undang ini, antara lain, bank, lembaga pembiayaan, perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi, dana pensiun lembaga keuangan, perusahaan efek, manajer investasi, kustodian, wali amanat, perposan sebagai penyedia jasa giro, pedagang valuta asing, penyelenggara alat

 

 DEWINTA MUTIA ANINDI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar