Minggu, 30 April 2017

Ana Rahmania Fitria (161310809 - 013) perbandingan konsep ketenagakerjaan

Perbandingan Konsep ketenagakerjaan antara Negara Indonesia dan Negara Malaysia 

A. Ketenagakerjaan Malaysia 

  Malaysia merupakan negara Federal dengan kostitusi tertulis yang kaku. Parlemen memperoleh kekuasaan dari konstitusi dan dibagi diantara negara federal denga negara-negara bagian. pada UU ketenagakerjaan Malaysia semua membahas tentang aturan yang berkaitan dengan perlindungan tenaga kerja dan majikannya, jaminan sosial, hak dan kewajiban serta ketentuan lain terkait dengan ketenagakerjaan. Perbedaan yang nampak dari sistem ketenagakerjaan Malaysia adalah negara tersebut tidak memiliki aturan tetap tentang tenaga kerja asing yang terpenting adalah adanya kontrak kerja yang sah antara pekerja asing dengan negara Malaysia.
Makamah di Malaysia banyak mengambil aturan-aturan common law bagi melaksanakan aspek undang-undang ketenagakerjaan di Malaysia, misalnya untuk menentukan ujian menentukan dibuat atau tidaknya "kontrak perkhidmatan" (perjanjian kesepakatan bersama), kewajiban antara majikan dan pekerja, dan sebagainya. 
Statute – satatuta ketenagakerjaan di Malaysia sebagai berikut : 
1. Akta pekerjaan 1955, dirubah 1989 
2. Akta Kesatuan Sekerja 1959, dirubah 1989 
3. Akta Perhubungan Perusahaan 1957, dirubah 1980, 1989 
4. Akta Keselamatan Sosial Pekerja 1969 
5. Akta pekerjaan Anak-Anak dan Orang Muda 1966 

Ketenagakerjaan di Malaysia berada di bawah Kementerian Pengurusan Sumber Manusia di Bawah Perdana Meneteri, sejajar dengan Kementerian lain, seperti Keimigrasian. Sebagai negara penerima Tenaga Kerja Indonesia, Malaysia tidak mengatur secara khusus perundang-undangan berkaitan tenaga Kerja Asing, di Malaysia semua pekerja baik domestic maupun dari luar negara yang bekerja di Malaysia melalui kontrak kerja yang sah antara pekerja dengan Malaysia terikat ketentuan dalam Akta Perkerjaan (undang-undang ketenagakerjaan), kecuali tenaga kerja informal, sama dengan Indonesia, malaysia tidak mempunyai perundangundangan khusus berkaitan dengan tenaga kerja informal, Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia sebagai tenaga kerja informal (buruh kasar/Pembantu Rumah Tangga) tidak tercover dalam perundang-undangan Malaysia, Tenaga kerja informan Indonesia terikat pada ketentuan aturan keimigrasian Malaysia sebagai warga negara asing yang berada di Malaysia untuk batas waktu tertentu. Perjanjian antara pekerja dan majikan melalui agen berkaitan dengan masa kerja, upah, serta hak dan kewajiban pekerja dan majikan, negara Indonesia dalam membuat perjanjian dengan negara Malaysia berupa perjanjian G to G (government to government) dengan bentuk MoU. Yang selama ini ketentuannya lebih berpihak kepada Majikan. MoU antara pemerintah merupakan legalisasi TKI untuk dapat bekerja di Malaysia sebagai dasar bagi perlindungan hak-hak dan kewajiban TKI.

B. Ketenagakerjaan Indonesia 

Indonesia adalah negara hukum dan menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Oleh sebab itu, segala sesuatu harus didasarkan pada hukum tertulis. Sumber hukum ketenagakerjaan saat ini terdiri dari peraturan perundang-undangan dan diluar peraturan perundang-undangan. Namun payung hukum utama bagi urusan ketenagakerjaan di Indonesia adalah Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan". Secara umum, Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 juga menjadi payung hukum utama. Berdasarkan pondasi tersebut, maka terbentuklah Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) yang menjadi dasar hukum utama dalam bidang ketenagakerjaan. Selain UUD 1945 dan UU Ketenagakerjaan, terdapat sumber hukum lain yang menjadi tonggak pengaturan bagi urusan ketenagakerjaan, baik sumber hukum formil maupun sumber hukum materiil.
Menurut Logemann, ruang lingkup suatu hukum perburuan ialah suatu keadaan dimana berlakunya hukum itu sendiri. Menurut teori yang dijelaskan beliau ada empat ruang lingkup yang dapat dijabarkan dibawah ini, meliputi :
1. Lingkup Laku Pribadi (Personengebied)
Dalam lingkup laku pribadi memiliki kaitannya dengan siapa atau dengan apa kaidah hukum tersebut berlaku. Siapa-siapa saja yang dibatasi oleh hukum tersebut, meliputi :
Buruh/ Pekerja
Pengusaha/ Majikan
Penguasa (Pemerintah)
2. Lingkup Laku Menurut Waktu (Tijdsgebied)
Disini ditunjukkan kapan sutu peristiwa tertentu diatur oleh suatu hukum yang berlaku.
3. Lingkup Laku Menurut Wilayah (Ruimtegebied)
Lingkup laku menurut wilayah berkaitan dengan terjadinya suatu peristiwa hukum yang di beri batas – batas / dibatasi oleh kaedah hukum.
4. Lingkup Waktu Menurut Hal Ikhwal
Lingkup Laku menurut Hal Ikwal di sini berkaitan dengan hal – hal apa saja yang menjadi objek pengaturan dari suatu kaedah.
Sumber Hukum Tenaga Kerja
Pada dasarnya sumber hukum terbagi atas sumber hukum formil dan sumber hukum materiil. Jika didasarkan pada teori sumber hukum, maka sumber hukum ketenagakerjaan secara umum adalah sebagai berikut:
a. Sumber Hukum materiil (tempat dari mana materi hukum itu diambil) 
Yang dimaksud dengan sumber hukum materiil atau lazim disebut sumber isi hukum (karena sumber yang menentukan isi hukum) ialah kesadaran hukum masyarakat yakni kesadaran hukum yang ada dalam masyarakat mengenai sesuatu yang seyogyanya atau seharusnya. Soedikno Mertokusumo menyatakan bahwa sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum. Sumber Hukum Materiil Hukum Ketenagakerjaan ialah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dimana setiap pembentukan peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan harus merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai Pancasila.
b. Sumber Hukum formil (tempat atau sumber dari mana suatu peraturan itu memperoleh kekuatan hukum).
Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber dimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Sumber formil hukum ketenagakerjaan yaitu :
1. Peraturan perundang-undangan,
2. Peraturan lainnya, seperti Instruksi Presiden; Keputusan Menteri; Peraturan Menteri; Surat Edaran Menteri; Keputusan Dirjen; dsb,
3. Kebiasaan,
4. Putusan,
5. Perjanjian, baik perjanjian kerja atau peraturan perusahaan

Dewi Sinta Hairyani(161310810-013) KONSEP KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA DAN DI BELANDA

KONSEP KETENAGAKERJAAN NEGARA INDONESIA DAN NEGARA BELANDA
Masalah ketenagakerjaan menjadi salah satu indikator pembangunan ekonomi yang juga sering disoroti oleh para peneliti dan pengambil kebijakan. Tak bisa dipungkiri memang, sampai dengan saat ini masalah ketenagakerjaan merupakan salah satu masalah pembangunan yang kompleks dan besar. Kompleks karena masalahnya mempengaruhi sekaligus dipengaruhi banyak faktor yang saling berinteraksi dengan pola yang tidak selalu mudah untuk dimengerti. Besar karena menyangkut jutaan jiwa. Sehingga masalah ketenagakerjaan menjadi salah satu poin penting yang menarik untuk dibahas dan diteliti.
Konsep Ketenagakerjaan Di Indonesia
Sebelum kita bahas lebih dalam tentang ketenagakerjaan di Indonesia, ada baiknya kita bahas terlebih dahulu tentang konsep dan definisi dalam masalah ketenagakerjaan. Dalam tulisan saya kali ini, saya akan tuliskan beberapa konsep dan definisi tentang ketenagakerjaan yang digunakan oleh BPS, antara lain sebagai berikut:
1).Penduduk, adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Republik Indonesia selama enam bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan untuk menetap.
2).Penduduk usia kerja, adalah mereka yang berdasarkan golongan umurnya sudah bisa diharapkan untuk mampu bekerja. Indonesia menggunakan batas bawah usia kerja (economically active population) 15 tahun (meskipun dalam survei dikumpulkan informasi mulai dari usia 10 tahun) dan tanpa batas atas usia kerja. Jadi penduduk usia kerja adalah penduduk yang berusia 15 tahun dan lebih.
3).Angkatan kerja, adalah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) yang bekerja, atau punya pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja dan yang mencari pekerjaan. Termasuk juga ke dalam angkatan kerja adalah mereka yang sedang mempersiapkan suatu usaha, sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja atau mereka yang tidak mencari pekerjaan dengan alasan tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. Konsep angkatan kerja merujuk pada kegiatan utama yang dilakukan oleh penduduk usia kerja selama periode tertentu. Golongan angkatan kerja ini disebut juga penduduk yang aktif secara ekonomi (economically active population).

4).Penduduk bukan angkatan kerja, adalah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) yang tidak termasuk angkatan kerja. Golongan ini secara ekonomi memang tidak aktif dan disebut noneconomically active population. Kegiatan mereka mencakup sekolah, mengurus rumah tangga atau melakukan kegiatan lainnya.
5).Bekerja, adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan paling sedikit 1 (satu) jam secara tidak terputus selama seminggu yang lalu. Kegiatan bekerja ini mencakup, baik yang sedang bekerja maupun yang punya pekerjaan tetapi dalam seminggu yang lalu sementara tidak bekerja, misalnya karena cuti, sakit dan sejenisnya.
6).Pengangguran terbuka, adalah mereka yang tidak mempunyai pekerjaan, bersedia untuk bekerja, dan sedang mencari pekerjaan. Definisi ini digunakan pada pelaksanaan Sakernas 1986 sampai dengan 2000, sedangkan sejak tahun 2001 definisi penganggur mengalami penyesuaian/perluasan menjadi mereka yang sedang mencari pekerjaan, atau mereka yang mempersiapkan usaha, atau mereka yang  tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (sebelumnya dikategorikan sebagai bukan angkatan kerja), dan mereka yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (sebelumnya dikategorikan sebagai bekerja), dan pada waktu yang bersamaan mereka tak bekerja (jobless).
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) adalah ukuran proporsi penduduk usia kerja yang terlibat aktif di pasar tenaga kerja, baik dengan bekerja atau mencari pekerjaan, yang memberikan indikasi ukuran relatif dari pasokan tenaga kerja yang tersedia untuk terlibat dalam produksi barang dan jasa. TPAK merupakan perbandingan antara jumlah angkatan kerja dengan jumlah seluruh penduduk usia kerja. TPAK bisanya diperkirakan masing-masing untuk jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) dan golongan umur. TPAK menunjukkan besaran relatif dari pasokan tenaga kerja (labor supply) yang tersedia untuk memproduksi barang dan jasa dalam suatu perekonomian.
Penduduk yang bekerja menurut status pekerjaan utama. Status pekerjaan adalah kedudukan seseorang dalam melakukan pekerjaan di suatu unit usaha/kegiatan.



Konsep ketenagakerjaan di belanda
1).Pertanian dan Perikanan
Pertanian Belanda biasanya kecil. Hanya sekitar 4 persen dari angkatan kerja yang bergerak di bidang pertanian. Tapi pertanian secara luas dibudidayakan dengan peralatan mekanis dan menghasilkan surplus untuk ekspor. Tanaman utama meliputi gandum, rami (digunakan untuk membuat linen), oat, kentang, gula bit, sayuran, dan buah-buahan. Bunga-bunga segar dan umbi-terutama bunga tulip, hyacinth, dan bakung juga ditanam dalam jumlah besar. Semuanya diekspor di seluruh dunia.
Namun, peternakan sapi perah adalah bagian paling penting dari ekonomi agrikultural. Sebagian besar lahan digunakan untuk tempat merumput sapi perah. Belanda terkenal dengan produk susu seperti keju, susu, dan mentega. Sapi dan ternak lainnya juga dipelihara untuk diambil dagingnya. Industri perikanan Belanda telah ada selama berabad-abad dan masih memberikan kontribusi untuk perekonomian. Hasil tangkapan utama adalah herring, makarel, cod, haddock, dan belut.
2).Perdagangan
Lokasi negara ini di Laut Utara telah membuatnya menjadi pusat perdagangan alami. Tidak hanya berdagang dengan banyak negara di seluruh dunia, namun kapal-kapal juga membawa barang pergi ke dan dari negara-negara di sepanjang Sungai Rhine. Mitra dagang yang paling penting adalah Belgia, Inggris, Jerman, Amerika Serikat, Prancis, dan Italia.
3).Transportasi
Belanda memiliki jalur kereta api sepanjang 2.808 kilometer yang menghubungkan semua kota besar. Negara ini juga memiliki jalan raya sepanjang 116.500 kilometer. Bandara internasional terletak di Amsterdam dan Rotterdam.Pedagang dan pelaut Belanda pernah membuat bangsa mereka menjadi kekuatan dunia terkemuka. Kota pelabuhan dan pelabuhan terletak di Amsterdam, Delfzijl, Dordrecht, Eemshaven, Groningen, Haarlem, IJmuiden, Maastricht, Rotterdam, Terneuzen, Utrecht, dan Vlissingen.

4).Komunikasi
Sekitar 60 stasiun radio dan 20 stasiun televisi disiarkan di Belanda. Penggunaan telepon seluler terus meningkat. Dan lebih dari 14 juta pengguna Internet dilayani oleh lebih dari 50 penyedia layanan Internet (ISP). Koran harian utama di negara itu, De Telegraaf, diterbitkan di Amsterdam.

Dinda artisa 161310825 kelas 13siang (Perbandingan ketenagakerjaan di negara Swedia dengan negara indonesia)

Pengertian Ketenagakerjaan

Di Indonesia, Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Pengertian tenaga kerja atau manpower  mulai sering diperdengarkan dan yang melakukan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga persoalan pokok tenaga ketenagakerjaan bersumber dari kurangnya daya saing tenaga kerja terhadap laju pertumbuhan angkatan kerja secara nasional,  persoalan ini sesungguhnya tidaklah berdiri sendiri tetapi merupakan mata rantai yang saling berhubungan dalam proses pembangunan nasional. 
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

     Perbandingan jam kerja di negara              Swedia dengan negara Indonesia

Swedia Terapkan 6 Jam Kerja Berdasarkan Bukti-Bukti Positif 

Belakangan ini negara Swedia menjadi perhatian dunia terkait dengan kebijakannya yang secara progresif menurunkan jam kerja dari 8 jam menjadi 6 jam kerja. Dalam berbagai penelitian yang dilakukan, pengurangan jam kerja justru akan menambah produktifitas dari para pekerja.
Pepatah setempat mengatakan bahwa "bekerja seharian dan tidak ada waktu santai membuat manusia menjadi boneka"  yang kemudian coba mereka buktikan. Beberapa ahli mencoba membuktikan bahwa mereka dapat membuat pekerja bekerja lebih baik dan kurang stress dengan jam kerja 6 jam.
Pada tahun 2002, pabrik Toyota di Gothenburg, Swedia, memimpin penelitian ini, mereka memulai shift kerja 6 jam dengan bayaran 8 jam. Ternyata hasilnya menunjukan meningkatnya produktivitas. Selain itu juga jumlah staf yang sakit menurun, dan mereka lebih fokus dengan tugas mereka.
Salah satu pekerja menyatakan bahwa karena waktu kerja yang pendek membuat mereka jarang beristirahat, biasanya mereka beristirahat 10 – 15 menit lalu kembali bekerja, karena mereka harus melihat lagi apa yg ditinggalkan sebelum istirahat. Dengan berkurangnya waktu kerja Toyota juga mengurangi waktu istirahat dan secara cepat hal tersebut meningkatkan produktivitas.
Pemerintah Swedia mau menemukan bahwa pendekatan ini benar-benar bermanfaat. Swedia selalu mengambil langkah berbeda mengenai bagaimana menjaga pekerja dan memiliki sistem penghargaan bagi pekerja yang loyal, berdedikasi dan memiliki tingkat pendidikan yang tinggi.
Beberapa ahli ekonomi menganggap bahwa percobaan ini sangat berbahaya, mereka memperingatkan pemerintah bahwa jam kerja yang pendek akan berdampak pada kondisi ekonomi yang tidak stabil, khususnya apabila pekerja menerima upah yang sama dengan jam kerja yang lebih pendek.
Swedia memiliki kesejahteraan yang tinggi untuk Negara dimana pekerja tidak bekerja dengan jam kerja yang lama. Di swedia, rata-rata pekerja hanya bekerja 1,621 jam pertahun.
Dalam hal produktivitas, tenaga kerja swedia memang bukan yang paling tinggi, pekerja Amerika dan Belanda memiliki produktivitas yang lebih tinggi. Namun, Gothenburg harus dihargai untuk percobaan mereka yang sangat berani. Dengan masa hidup yang meningkat, pekerja perlu untuk mulai memikirkan bagaimana menjaga loyalitas dan menurunkan turnover diantara pekerja yang memiliki skill tinggi.
Mats Pilhelm, konselir kota dari partai kiri di Gothenburg, menyatakan bahwa "Orang memiliki waktu kerja yang panjang, dan penting untuk memikirkan berbagai jalan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih humanis untuk mereka di tempat kerja," ujarnya.
Berkurangnya jam kerja membuat konflik antar pekerja menurun hal ini dikarenakan mereka lebih bahagia kareka memiliki lebih banyak waktu untuk bersantai atau dihabiskan bersama keluarga.
Di Toyota Service Center di Gothenburg selaku pelopor jam kerja 6 jam, telah melaksanakan lebih dari satu dekade. Mereka memangkas jam kerja menjadi 6 jam sehari 13 tahun yang lalu dan mereka tidak menyesal melakukan hal itu.
Menurut Martin Banck, Managing Director Toyota yang memiliki ide memangkas jam kerja mekanik dengan gaji yang sama, saat shift masih 8 jam, konsumen tidak senang karena mereka harus mengatri lama untuk pelayanan, dan pekerja sangat stress dan menyebabkan tingginya kesalahan dalam bekerja.
Sejak jam kerja dipangkas menjadi 6 jam tiap shift, 36 mekanik yang terlibat merasa lebih baik, tingkat pegawai yang mengundurkan diri juga lebih sedikit dan lebih mudah dalam rekrut orang bekerja. Mereka mendapatkan waktu yang lebih pendek untuk datang ke tempat kerja, dan efisiensi meningkat, biaya yang dikeluarkan lebih sedikit sehingga semua orang bahagia. Ditambah lagi dengan meningkatnya keuntungan sampai 25%.
warga Swedia juga telah menerapkan jam kerja yang pendek dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu 1.644 jam per tahun. Rendahnya jam kerja tak membuat Swedia kalah bersaing dengan negara lain, terlebih Swedia berada di ranking 6 di Global Competitiveness Index. Swedia memang terkenal sebagai negara yang mengutamakan kesejahteraan manusianya. Selain jam kerja yang pendek, setiap pekerja mendapat jatah cuti selama 25 hari per-tahun, dan cuti melahirkan selama 480 hari.
Saat ini para pekerja di Swedia bekerja 36 jam dalam seminggu, dengan rata-rata penghasilan tahunan sebesar U$$ 38 ribu. Di negara itu juga banyak terdapat pekerja paruh waktu, yang sebagian besarnya berjenis kelamin wanita. 

Mengenal Secara Singkat tentang Jam Kerja di Indonesia 

Masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui akan pentingnya peraturan jam kerja yang telah diatur oleh pemerintah dengan berbagai regulasinya. Pengetahuan tentang jam kerja menjadi satu hal yang sangat penting bagi buruh dan pengusaha. Yang artinya buruh sadar akan haknya, dan pengusaha memiliki kewajiban untuk melaksanakan aturan yang berlaku. 
Dalam dunia kerja saat ini, kelebihan jam kerja masih kerap dirasakan oleh buruh yang dikuras waktu dan tenaganya melebihi standar kelayakan dalam bekerja. Buruh memiliki hak atas waktu bekerja, istirahat, upah lembur, serta libur di hari nasional seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Jumlah Jam Kerja 
Sesuai dengan Pasal 77 ayat 1, UU No.13/2003, waktu kerja adalah 40 jam/minggu. Dengan begitu jika dalam seminggu bekerja 5 hari, maka waktu bekerja selama 1 hari adalah 8 jam. Atau jika dalam seminggu bekerja 6 hari, maka waktu bekerja selama 1 hari adalah 7 jam. 
Aturan itu berlaku pada jenis pekerjaan yang sifatnya dijalankan terus-menerus, sesuai Kepmenakertrans No. 233. Atau yang artinya adalah pekerjaan-pekerjaan yang apabila dihentikan akan mengganggu proses produksi, merusak bahan, dan termasuk pemeliharaan/perbaikan alat produksi.
Seperti diantaranya adalah pekerjaan di bidang pelayanan jasa kesehatan, transportasi, pariwisata, pos dan telekomunikasi, penyediaan tenaga listrik, jaringan pelayanan air bersih (PAM), dan penyediaan bahan bakar minyak dan gas bumi, usaha swalayan, pusat perbelanjaan dan sejenisnya, media masa, pengamanan, lembaga konservasi, dan lain-lain. 

Kerja Lembur 
Apabila buruh bekerja melebihi waktu yang telah di tetapkan, maka pengusaha wajib memberikan upah lembur. Waktu lembur pun sudah ditentukan, paling banyak 3 jam/hari dan 14 jam dalam 1 minggu, diluar istirahat mingguan atau hari libur resmi (Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri no.102/MEN/VI/2004). 
Adapun perhitungan upah lembur berdasarkan Kepmenakertrans No. 102/MEN/VI/2004, adalah dengan cara menghitung upah sejam adalah 1/173 upah sebulan.
Contoh: Jam kerja Budi adalah 8 jam sehari/40 jam seminggu. Ia harus melakukan kerja lembur selama 2 jam/hari selama 2 hari. Gaji yang didapat Budi adalah Rp. 3.000.000/bulan termasuk gaji pokok dan tunjangan tetap. Berapa upah lembur yang didapat Budi? 
Budi hanya melakukan kerja lembur total adalah 4 jam. Sesuai dengan rumus standar, maka upah lembur Budi :

4 jam x 1/173 x Rp. 3.000.000 = Rp. 69.364/jam
Jika pengusaha melanggar ketentuan pemberian upah lembur, maka akan di kenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 bulan, paling lama 12 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000 dan paling banyak Rp. 100.000.000 (Undang-Undang Tenaga Kerja Pasal 187 ayat 1).

Shift Kerja 
Perusahaan-perusahaan besar biasanya menerapkan sistem 3 shift kerja (pagi, siang, dan malam), untuk perempuan hamil dan pekerja perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun dilarang dipekerjakan pada shift malam (23.00 sampai 07.00), sesuai dengan pasal 76 Undang-Undang No. 13 tahun 2003.

Jam Istirahat 
Berdasarkan Undang -Undang no. 13 pasal 85 tahun 2003, pekerja tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi ataupun hari libur yang ditetapkan oleh perusahaan. Waktu istirahat yang berhak diterima buruh yaitu, minimal ½ jam setelah 4 jam bekerja terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja (Pasal 79 UU 13/2003). 

Penentuan jam istirahat ini menjadi kebijakan dari masing-masing perusahaan yang diatur dalam Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB), antara perusahaan dengan buruh/serikat buruh. 

Indonesia dan Swedia Sepakat Jajaki Kerjasama Bidang Ketenagakerjaan

Pemerintah Indonesia dan Swedia sepakat menjajaki kerjasama bilateral di sektor ketenagakerjaan, yakni berupa program pelatihan kerja di perusahaan-perusahaan Swedia di Tanah Air. 
Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri mengatakan kerjasama itu dapat ditransformasikan dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan maupun tenaga kerja asal Swedia yang berada di Indonesia, misalnya dalam bidang otomotif, listrik maupun elektronik.
"Kerjasama dengan Swedia ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pekerja di Indonesia melalui transfer knowledge dalam bentuk pelatihan di tempat kerja ataupun di lembaga pelatihan yang ada," katanya di Jakata, Kamis (28/7/2016). 
Upaya sinergi peningkatan kualitas pekerja tersebut sejalan dengan perintah Presiden Joko Widodo. Menurutnya saat ini Indonesia tidak bisa lagi hanya mengandalkan struktur dalam negeri tetapi harus bersinergi dengan pihak luar negeri. 
Saat bertemu Hanif, Plt Dubes Swedia Eddy Fonyodi mengungkapkan PM Swedia telah berkirim surat sekaligus mengundang Presien Jokowi untuk bergabung dalam kelompok utama (first core group) para pemimpin dari pemerintahan, pengusaha / bisnis, dan serikat pekerja / buruh, serta organisasi yang mendukung Global Deal Initiavive (GDI).

YULI NURAINI (161310850-013)

1. Sistem Hukum Ketenagakerjaan di Negara Malaysia dan Sistem Hukum Ketenagakerjaan Indonesia dalam Mewujudkan Penegakan Hak Asasi Buruh Migran.

a. Sistem Hukum Ketenagakerjaan Malaysia

Beberapa kewenangan dari Pemerintahan Federal adalah urusan luar negeri, pertahanan, keamanan nasional, polisi, hukum perdata dan pidana sekaligus prosedur dan administrasi keadilan, kewarganegaraan, keuangan, perdagangan, perniagaan dan industri, perkapalan, navigasi dan perikanan, komunikasi dan trasnsportasi, kinerja dan kekuasaan federal, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan keamanan social. Sistem pengadilan secara mendasar bersifat federal. Baik hukum federal maupun negara bagian dilaksanakan di pengadilan federal. Hanya pengadilan Syari'ah yang hanya terdapat pada negara bagian, yang menggunakan sistem Hukum Islam, bersama dengan pengadilan pribumi di Sabah dan Sarawak, yang berurusan dengan hukum adat. Selanjutnya juga terdapat Sessions Courts (pengadilan sessi) dan Magistrates' Courts (Pengadilan Magistrat). Pengadilan tinggi dan tingkat pengadilan di bawahnya memiliki yurisdiksi dan kewenangan yang diatur oleh hukum federal. Mereka juga tidak memiliki yurisdiksi dalam segala hal yang berkaitan dengan yurisdiksi pengadilan Syari'ah. Beberapa kewenangan negara bagian diantaranya adalah hal-hal yang berkaitan dengan praktek agama Islam dalam negara, hak kepmilikan tanah, kewajiban pengambilan tanah, izin pertambangan, pertanian dan eksploitasi hutan, pemerintahan kota, dan kerja publik demi kepentingan negara. Terdapat juga beberapa kekuasaan yang berlaku secara bersamaan diantaranya sanitasi, pengaliran dan irigasi, keselamatan dari kebakaran, kependudukan dan kebudayaan serta olah raga. Ketika hukum federal dan hukum negara bagian saling bertentangan maka hukum federallah yang dianggap berlaku. Menteri yang bertanggung jawab atas undang-undang hubungan industrial dapat mengajukan perselisihan antara para penyedia lapangan kerja dengan serikat perdagangan pada pengadilan industri, dan direktur jenderal buruh dapat dipanggil untuk mengatasi perselisihan mengenai gaji karyawan. Banyak undang-undang yang menyediakan arbitrase, selanjutnya undang-undang arbitrase tahun 1952 menyediakan peraturan untuk arbitrase domestik. Terdapat juga Pusat Regional untuk Arbitrase di Kuala Lumpur yang menyediakan fasilitas untuk dilaksanakan arbitrase atas transaksi komersial internasional. Prinsip-prinsip yang meliputi hubungan antara majikan dengan pekerja di Malaysia diperoleh dari 3 sumber utama :

 1. Common law

2. Undang-Undang Tertulis di Malaysia

3. Keputusan-Keputusan Mahkamah Perusahaan dan Mahkamah Civil Statute (undang-undang tertulis) ketenagakerjaan Malaysia banyak meniru dari Statuta Inggris dan India, namun begitu statute ketenagakerjaan di Malaysia tidaklah benar-benar serupa (in pari material) dengan undang-undang ketenagakerjaan kedua negara tersebut. Dalam satuta Malaysia terdapat beberapa peruntukan yang khusus untuk Malaysia. Statute-statuta buruh di Malaysia (undang-undang tertulis berkenaan dengan Ketenagakerjaan) terdiri dari Akta Pekerjaan, Akta Perhubungan Perusahaan, Akta Kesatuan Sekerja, Akta Keselamatan Sosial Pekerja, dan sebagainya. Menurut ketentuan 3 dan 5 Akta Undang-Undang Sivil, jika terdapat undang-undang tertulis di Malaysia, Common Law tidak digunakan, namun jika terdapat kekosongan dalam undang-undang tertulis tersebut prinsip common law masih dipakai untuk mengisi kekosongan itu. Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012 Makamah di Malaysia banyak mengambil aturan-aturan common law bagi melaksanakan aspek undang-undang ketenagakerjaan di Malaysia, misalnya untuk menentukan ujian menentukan dibuat atau tidaknya "kontrak perkhidmatan" (perjanjian kesepakatan bersama), kewajiban antara majikan dan pekerja, dan sebagainya. Statute – satatuta ketenagakerjaan di Malaysia sebagai berikut : 1. Akta pekerjaan 1955, dirubah 1989 2. Akta Kesatuan Sekerja 1959, dirubah 1989 3. Akta Perhubungan Perusahaan 1957, dirubah 1980, 1989 4. Akta Keselamatan Sosial Pekerja 1969 5. Akta pekerjaan Anak-Anak dan Orang Muda 1966 Seperti halnya undang-undang ketenagakerjaan di negara-negara pada umumnya, undang-undang ketenagakerjaan Malaysia mengatur ketentuan-ketentuan umum berkaitan perlindungan bagi pekerja dan majikan / perusahaan seperti perjanjian kerja, hak dan kewajiban buruh/pekerja dan majikan / pengusaha, jam kerja, upah, cuti / istirahat, cuti bersalin, ketentuan tentang lembur, jaminan social, hak beribadah, penghentian pekerjaan / PHK, serta pesangaon dan ketentuan-ketentuannya dan lainlain. Ketenagakerjaan di Malaysia berada di bawah Kementerian Pengurusan Sumber Manusia di Bawah Perdana Meneteri, sejajar dengan Kementerian lain, seperti Keimigrasian. Sebagai negara penerima Tenaga Kerja Indonesia, Malaysia tidak mengatur secara khusus perundang-undangan berkaitan tenaga Kerja Asing, di Malaysia semua pekerja baik domestic maupun dari luar negara yang bekerja di Malaysia melalui kontrak kerja yang sah antara pekerja dengan Malaysia terikat ketentuan dalam Akta Perkerjaan (undang-undang ketenagakerjaan), kecuali tenaga kerja informal, sama dengan Indonesia, malaysia tidak mempunyai perundangundangan khusus berkaitan dengan tenaga kerja informal, Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia sebagai tenaga kerja informal (buruh kasar/Pembantu Rumah Tangga) tidak tercover dalam perundang-undangan Malaysia, Tenaga kerja informan Indonesia terikat pada ketentuan aturan keimigrasian Malaysia sebagai warga negara asing yang berada di Malaysia untuk batas waktu tertentu. Perjanjian antara pekerja dan majikan melalui agen berkaitan dengan masa kerja, upah, serta hak dan kewajiban pekerja dan majikan, negara Indonesia dalam membuat perjanjian dengan negara Malaysia berupa perjanjian G to G (government to government) dengan bentuk MoU. Yang selama ini ketentuannya lebih berpihak kepada Majikan. MoU antara pemerintah merupakan legalisasi TKI untuk dapat bekerja di Malaysia sebagai dasar bagi perlindungan hak-hak dan kewajiban TKI.

b. Sistem Kelembagaan Ketenagakerjaan Indonesia Di Indonesia,

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah lembaga pemerintah utama untuk pengaturan pekerja migran di Indonesia. Rekrutmen dan penempatan tenaga kerja dilakukan oleh agen swasta, yang diberikan izin oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen juga mengawasi pelatihan keterampilan, pembekalan wajib prakeberangkatan dan menyediakan sejumlah kecil atase tenaga kerja di kedutaan besar Indonesia di luar negeri. Departemen-departemen pemerintah yang lain juga terlibat, sejalan dengan mandat mereka yang beragam. Misalnya, Departemen Luar Negeri menangani Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012 persoalan konsuler, Direktorat Jenderal Imigrasi (di dalam struktur Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) mengeluarkan paspor, dan Departemen Kesehatan bertanggungjawab atas pemeriksaan kesehatan pra-keberangkatan.

(septiana-161310910-kelas 013) tugas 2 studi banding konsep ketenagakerjaan

Perbandingan Konsep Ketenagakerjan Antara

Negara Indonesia dan Negara Prancis

 

    Menurut UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yaitu Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Dengan demikian, yang dimaksud dengan hukum ketenagakerjaan adalah seluruh peraturan-peraturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang, mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.

   Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor penting bagi setiap negara. tanpa adanya tenaga kerja,faktor produksi alam dan faktor produksi modal tidak dapat digunakan secara optimal. Pada dasarnya ketenagakerjaan dapat diklasifikasikan minimal menjadi tiga macam, yaitu :

a.       Tenaga kerja terdidik

      Adalah tenaga kerja yang pernah memperoleh pendidikan formal dalam bidang tertentu     tetapi mereka belum pernah dilatih dalam bidang tersebut.

b.      Tenaga kerja terlatih

     Adalah tenaga kerja yang telah bekerja dan pernah mengikuti latihan sesuai dengan bidangnya, misalnya seorang yang telah menamatkan studinya dalam bidang akuntansi, maka mereka dapat digolongkan sebagai tenaga kerja terlatih. Tenaga kerja terlatih ini dapat disamakan dengan tenaga kerja yang sudah berpengalaman.

c.       Tenaga kerja tidak terlatih

    Adalah tenaga kerja di luar tenaga kerja terdidik dan juga tenaga kerja terlaith. Tenaga kerja tidak terlatih ini merupakan bagian terbesar dari seluruh tenaga kerja yang ada.

 

Konsep Ketenagakerjaan Negara Indonesia

     Ketenagakerjaan di Indonesia adalah Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".Dalam ketenagakerjaan, penduduk dengan segala potensi yang dimilikinya dikategorikan menjadi dua, yaitu penduduk usia kerja dan penduduk di luar usia kerja. Di Indonesia, yang termasuk penduduk usia kerja adalah penduduk yang berusia 15 hingga 65 tahun. Pada usia tersebut mereka dapat melakukan pekerjan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja untuk menghasilkan barang atau jasa dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat.

Berdasarkan batasan tersebut berarti kamu termasuk penduduk usia kerja. Sebaliknya, penduduk di luar usia kerja adalah penduduk yang usianya diluar batasan tersebut. Jadi tenaga kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang siap melakukan pekerjaan, antara lain mereka yang sudah bekerja, mereka yang sedang mencari pekerjaan, mereka yang bersekolah, dan mereka yang mengurus rumah tangga. Menurut UU No.13 tahun 2003, tentang ketenagakerjaan, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat dan merupakan modal bagi bergeraknya perekonomian negara.

  

 

     Beberapa konsep dan definisi tentang ketenagakerjaan yang digunakan oleh BPS, antara lain sebagai berikut:

1.      Penduduk

     adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Republik Indonesia selama enam bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan untuk menetap.

 

2.      Penduduk usia kerja

    adalah mereka yang berdasarkan golongan umurnya sudah bisa diharapkan untuk mampu bekerja. Indonesia menggunakan batas bawah usia kerja (economicallyactive population) 15 tahun (meskipun dalam survei dikumpulkan informasi mulai dari usia 10 tahun) dan tanpa batas atas usia kerja. Jadi penduduk usia kerja adalah penduduk yang berusia 15 tahun dan lebih.

 

3.      Angkatan kerja

     adalah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) yang bekerja, atau punya pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja dan yang mencari pekerjaan.

 

4.      Penduduk bukan angkatan kerja

    adalah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) yang tidak termasuk angkatan kerja. Golongan ini secara ekonomi memang tidak aktif dan disebutnoneconomically active population. Kegiatan mereka mencakup sekolah, mengurus rumah tangga atau melakukan kegiatan lainnya.

 

5.      Bekerja

    adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan paling sedikit 1 (satu) jam secara tidak terputus selama seminggu yang lalu. Kegiatan bekerja ini mencakup, baik yang sedang bekerja maupun yang punya pekerjaan tetapi dalam seminggu yang lalu sementara tidak bekerja, misalnya karena cuti, sakit dan sejenisnya.

 

6.      Pengangguran terbuka

    adalah mereka yang tidak mempunyai pekerjaan, bersedia untuk bekerja, dan sedang mencari pekerjaan.

 

7.      Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)

    adalah ukuran proporsi penduduk usia kerja yang terlibat aktif di pasar tenaga kerja, baik dengan bekerja atau mencari pekerjaan, yang memberikan indikasi ukuran relatif dari pasokan tenaga kerja yang tersedia untuk terlibat dalam produksi barang dan jasa. TPAK merupakan perbandingan antara jumlah angkatan kerja dengan jumlah seluruh penduduk usia kerja. TPAK bisanya diperkirakan masing-masing untuk jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) dan golongan umur. TPAK menunjukkan besaran relatif dari pasokan tenaga kerja (labor supply) yang tersedia untuk memproduksi barang dan jasa dalam suatu perekonomian.

 

8.      Penduduk yang bekerja menurut status pekerjaan utama

    Status pekerjaan adalah kedudukan seseorang dalam melakukan pekerjaan di suatu unit usaha/kegiatan.

 

   Di dalam pemahaman hukum ketenagakerjaan yang ada dapat diketahui adanya unsur-unsur hukum ketenagakerjaan, meliputi :

a.       Serangkaian aturan yang berkembang kedalam bentuk lisan mauun tulisan

b.      Mengatur hubungan antara pekerja dan pemilik perusahaan.

c.       Adanya tingkatan pekerjaan, yang pada akhirnya akan diperolah balas jasa.

d.      Mengatur perlindungan pekerja/ buruh, meliputi masalah keadaan sakit, haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi pekerja/ buruh dsb.

Konsep Ketenagakerjaan Negara Prancis

    Prancis adalah sebuag republik kesatuan semi-presidensial yang tidak punya presiden. Ideologi utama dicantumkan dalam deklarasi hak asasi manusia dan warga negara. Perancis adalah negara maju,dengan ekonomi terbesar keenam atau kedelapan di dunia. Prancis memiliki asset yang sangat beragam, seperti : bidang pertanian,bidang kehutanan, transportasi, telekomunikasi, agro industri, obat-obatan,sektor perbankkan,asuransi, pariwisata, dan tentunya produk-produk mewah ( kerajinan kulit,busana siap pakai,parfum,minuman dan lain-lain).                               

  Pemerintah Perancis tetap kokoh memberlakukan Undang-Undang Tenaga Kerja baru, upaya untuk mengurangi tingkat pengangguran di kalangan generasi muda, yang berdasarkan udang-undang baru, pihak majikan berhak memecat pekerja berusia di bawah 26 tahun, tanpa alasan apapun selama 2 tahun masa percobaan. Angka pengangguran nasional di Perancis saat ini tercatat 9,6% dan lebih dari 20% dari lingkungan generasi muda.

    Berdasarkan aturan uni eropa, peketja dari luar negeri dapat dipekerjakan di kawasan uni eropa salama dua tahun untuk satu proyek tertentu. Kontrak mereka, berdasarkan aturan dari uni eropa, tetap harus menghormati aturan negara tuan rumah. Bedanya, jaminan sosial untuk pekerja asing tetap mengacu pada aturan dari negara asal mereka. Bagi pekerja asing, bekerja di prancis berarti mereka akan mendapatkan upah kotor Rp 21.000.000 per bulan. Ini merupakan upah untuk 35 jam kerja selama sepekan, dengan lima pekan libur tahunan, sesuai standar kerja prancis.

   Perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja asing diuntungkan dengan lebih murahnya jaminan sosial dan pajak penghasilan pekerja yang harus mereka tanggung. Jaminan sosial yang harus dibayar perusahaan untuk pekerja ini bisa dua, tiga, atau bahkan empat kali lebih murah dari pada potongna jaminansosial menurut hukum prancis. Perusahaan pun terbatas dari potongan penghasilan menurut  aturan prancis yang memang paling tinggi di Eropa (Prancis).

   

 

Pika yuliastuti kelas 013 . KONSEP PERBANDINGAN KETERNAGAKERJAAN NEGARA MALASYA DAN INDONESIA

KONSEP PERBANDINGAN KETENAGAKERJAAN NEGARA MALASYA DAN INDONESIA

 

Sebenarnya masalah penempatan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri tidak selamanya membawa dampak negatif, dampak positif yang bisa diambil ialah peningkatan penerimaan bagi negara melalui devisa begitu juga dengan para Tenaga Kerja Indonesia yang bisa mendapatkan pekerjaan. Menurut penulis tidak hanya devisa yang bisa menjadi dampak positif bagi Negara Indonesia tetapi juga program ketenagakerjaan seperti ini dapat menekan jumlah pengangguran yang ada di dalam negeri. Hal-hal positif yang menurut penulis selayaknya perlu diperhatikan atau ditingkatkan bukan untuk dikurangi. Namun, justru hal yang sering mencuat di dalam hubungan luar negeri kita dengan negara lain dalam hal ketenagakerjaan adalah hal-hal negatif.

 

Di dalam penempatan kerja Tenaga Kerja Indonesia ada beberapa pihak yang mendapatkan wewenang untuk penempatan Tenaga Kerja Indonesia, antara lain :

 

1.      Penempatan untuk kepentingan perusahaan sendiri

 

Selain oleh pemerintah dan PPTKIS, sebuah perusahaan mempunyai wewenang untuk menempatkan Tenaga Kerja ke luar negeri, atas izin tertulis dari menteri. TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri harus memenuhi beberapa persyaratan :

 

a)      Perusahaan yang bersangkutan berbadan hukum Indonesia, TKI yang ditempatkan merupakan pekerja perusahaan itu sendiri.

b)      Perusahaan memiliki bukti hubungan kerja yang diketahui oleh perwakilan Republik Indonesia.

c)      TKI telah memiliki perjanjian kerja

d)     TKI telah diikut sertakan dalam program jaminan sosial tenaga kerja dan memiliki polis asuransi

e)      TKI yang ditempatkan memiliki KTKLN (Pasal 26 Undang-Undang no. 39 Tahun 2004)

 

2.      Penempatan oleh Calon TKI sendiri

Sebagai jaminan bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, seorang calon TKI dapat mencari lowongan pekerjaan di luar negeri. Bagi TKI yang akan bekerja di luar negeri, mereka wajib melapor kepada instansi ketenagakerjaan Republik Indonesia. Walaupun perseorangan, TKI yang bekerja di luar negeri tetap mendapatkan perlindungan dari negara.

 

3.      Penempatan oleh Impresariat

 

Usaha jasa Impresariat merupakan usaha di bidang penyelenggaraan hiburan, baik yang mendatangkan, mengirimkan, mengembalikan serta menempatkan waktu dan jenis hiburan, yang meliputi bidang seni dan oleh raga. Lingkup kegiatan jasa impresariat berkaitan dengan penempatan TKI ke luar negeri untuk membantu pengurusan keberangkatan dan kepulangan artis, seniman atau olahragawan. Kegiatan Impresariat erat hubungannya dengan bidang kepariwisataan.

 

4.      Penempatan oleh Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja

 

Penempatan dapat melalui jasa yang dilakukan oleh penyedia jasa pekerja, PPJP adalah perusahaan yang berbadan hukum yang dalam kegiatan usahanya menyediakan jasa pekerja untuk dipekerjakan di perusahaan pemberi kerja. PPJP harus memiliki izin operasional dari instansi ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat. Syarat-syarat izin operasional yang harus dimiliki oleh PPJP, ialah :

 

a)      Pengesahan sebagai PT atau Koperasi

b)      Anggaran dasar yang memuat kegaiatan usaha penyediaan jasa pekerja

c)      SIUP ( Surat Ijin Usaha Penerbitan)

d)     Wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku. Dalam hal ini PPJP mendapat pekerjaan dari pemberi kerja, kedua belah pihak berhak atau wajib membuat perjanjian tertulis sekurang-kurangnya memuat:

 

 

Hak Tenaga Kerja & Kewajiban PPTKIS Indonesia sebelum keberangkatan atau penempatan

 

Sebelum keberangkatan para TKI ke luar negeri, Tenaga Kerja Indonesia ditampung terlebih dahulu di sebuah penampungan yang disediakan oleh PPTKIS. Dalam kewajibannya sebagai penampung Tenaga Kerja Indonesia sebelum keberangkatan, mereka harus memiliki persyaratan untuk menyediakan fasilitas-fasilitas yang akan digunakan oleh para calon Tenaga Kerja.  Sedangkan, untuk hak-hak yang harus dipenuhi oleh para calon Tenaga Kerja Indonesia adalah sebagai berikut :

 

a)      Pemeriksaan Kesehatan

b)      Pelatihan Uji Kompetensi

c)      Pengurusan dokumen perjalanan  (paspor, visa, tiket)

d)     Pembekalan akhir pemberangkatan  (PAP)

e)      Penandatanganan Perjanjian Kerja

f)       Pembuatan rekomendasi bebas fiskal (pengenaan pajak) luar negeri

g)      Menunggu jadwal keberangkatan

 

 

PROSES YANG TERTUNDA DENGAN MALAYSIA

 

Jika di negeri minyak mentah nota kesepahaman antara Indonesia dengan Arab Saudi tercapai dengan kata sepakat, lain halnya dengan proses Joint Task Force dengan negeri jiran Malaysia. Kata sepakat untuk penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) untuk perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia masih jauh dari harapan dengan kata lain belum tercapai. Menurut sumber yang penulis lihat bahwa pemerintah Indonesia ingin menerapkan sistem "G to G" (Government to Government). Pemerintah mengajukan hal tersebut agar pemerintah melalui Kementrian Ketenagakerjaan dan Kementrian Luar Negeri dapat lebih berperan dalam mengawasi dan menyalurkan Tenaga Kerja Indonesia, sedangkan pihak swasta hanya berperan melalui proses rekrutmennya saja.

 

Namun karena sampai saat ini proses MoU (Nota Kesepahaman) itu belum tercapai kata mufakat, maka pemerintah mengambil jalan lain di dalam proses Hukum Internasional yaitu Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perlindungan terhadap TKI dan anggota keluarganya dan juga langkah moratorium sementara penyaluran Tenaga Kerja Indonesia ke Malaysia. Proses yang berlarut-larut di dalam kesepahaman kerja antara Malaysia dan Indonesia maka pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan penundaan pengiriman Tenaga kerja Indonesia ke Malaysia. Menurut penulis langkah tersebut sangat tepat yang diambil oleh pemerintah oleh karena secara hukum, pemerintah Malaysia belum mampu melaksanakan hukum atau perundang-undangan yang sebelumnya telah dicoba untuk dirundingkan. Kiranya kedepannya pihak pemerintah Malaysia dapat menerima kesepakatan yang diajukan oleh pemerintah Indonesia. Karena moratorium tersebut hanyalah bersifat sementara atau temporary.

Tenaga Kerja Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Rencana ini dibuat melalui Kementrian Pendidikan Nasional untuk menciptakan program-program yang pelatihan bagi para Tenaga Kerja Indonesia. Program ini ditujukan kepada 38 kabupaten kota yang mayoritas pemasok para Tenaga Kerja non-informal Indonesia berasal dari 3 provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur.

 

Sedangkan menurut, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Malaysia seharusnya kumpulan para pelajar Indonesia yang ada di Malaysia mampu membagikan ilmunya kepada para TKI. Menurut Kuasa Usaha Ad Interim KBRI Kuala Lumpur, Mulya Wirana, para pelajar Indonesia yang belajar di negeri jiran termasuk hebat dan beruntung bisa mengenyam pendidikan S1 bahkan sampai S3. Sedangkan saudara kita yang bekerja di sektor informal di Malaysia untuk menjangkau pendidikan dasar saja sulit.

 

KESIMPULAN

Dari segi hukum peratifikasian Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perlindungan terhadap para Tenaga Kerja yang dilakukan oleh DPR adalah hal yang baik. Namun alangkah lebih baik lagi jika pemerintah melihat dari aspek pelaksanaan hukum yang konsisten dan terus-menerus agar hal tersebut tidak hanya menjadi sebuah jargon saja. Pemerintah harus menindak para calo yang tidak bertanggung jawab, yang memungut biaya terhadap para tenaga kerja dengan sangat tinggi. Begitu juga dengan pengiriman tenaga kerja yang ilegal, yang juga harus digugat secara hukum.

Sabtu, 29 April 2017

(161310898-013siang)

Konsep Ketenagakerjaan Negara Meksiko dan Negara Indonesia. 

Pembangunan ekonomi yang dimaknai sebagai upaya suatu negara untuk mengembangkan aktivitas ekonomi adalah fokus utama dari setiap pengambil kebijakan di semua negara. Pembangunan ekonomi yang oleh Meier (1995) didefinisikan sebagai proses mendorong peningkatan pendapatan per kapita suatu negara dalam jangka panjang menjadi penting karena sedikitnya memiliki tiga tujuan pokok yang harus dicapai. Tujuan pertama, peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok. Tujuan kedua, peningkatan standar hidup. Dan, tujuan ketiga, perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial, baik bagi individu maupun masyarakat (Todaro, 2000).

Dalam operasionalnya, salah satu pendekatan yang diambil para pemutus kebijakan untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi adalah dengan mengadakan kebijakan transformasi struktural. Kebijakan transformasi struktural mengupayakan terjadinya realokasi sumberdaya (resources) di antara sektor dalam perekonomian (Herrendorf, et.al, 2013). Umumnya, kebijakan transformasi struktural memanfaatkan surplus sumberdaya – seperti, kapital dan tenaga kerja – yang terdapat pada sektor primer – atau sektor tradisional – untuk diarahkan pada sektor yang lebih produktif, yakni sektor sekunder dan tersier – atau sektor modern. Pada pelaksanaannya, proses transformasi struktural dicirikan dari tiga hal, yakni pertama, transformasi struktural menciptakan adanya perubahan pada struktur ketenagakerjaan. Dalam hal ini, berlangsungnya proses transformasi struktural akan menyebabkan terjadinya migrasi tenaga kerja dari sektor primer – sektor pertanian – ke sektor manufaktur dan jasa. Kedua, adanya perubahan dalam struktur permintaan, dari yang sebelumnya lebih dominan pada komoditas pertanian, perlahan mengarah ke hasil produksi manufaktur dan jasa. Hal ini menyebabkan proporsi anggaran untuk belanja komoditas pertanian rumah tangga relatif menurun sepanjang waktu. Ketiga, adanya perubahan dalam struktur produksi. Perubahan dalam struktur produksi, sebagai akibat dari proses transformasi struktural, sebenarnya merupakan konsekuensi dari adanya perpindahan – atau realokasi – sumberdaya, dan perubahan dalam struktur pemintaan masyarakat. Perubahan struktur produksi ditandai dengan lebih dominannya barang-barang yang bersifat industrial dalam suatu perekonomian (Rahardjo, 1990).

Kebijakan transformasi sektoral mengandaikan bahwa sektor modern lebih produktif, sehingga lebih relevan untuk ditumbuhkembangkan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini karena pada sektor modern akan dihasilkan nilai tambah (value added) yang lebih besar dibandingkan sektor tradisional, dan oleh karena itu, surplus sumberdaya harus sepenuhnya dialokasikan ke sektor modern. Dalam kebanyakan model teoretikal dinyatakan bahwa sektor tradisional akan terserap – atau menghilang – dalam jangka panjang (Agrawal, et.al, 2013). Dalam empirisnya, langkah transformasi struktural yang mengarah pada penumbuhkembangan sektor modern telah terbukti berhasil meningkatkan standar hidup di negara-negara dunia pertama – berdasarkan fakta historis, negara maju lebih dulu melakukan realokasi sumberdaya ke sektor modern, dan ini menjadi salah satu faktor yang mendorong kemajuan mereka. Pengaruh keberhasilan penerapan kebijakan transformasi struktural di negara-negara maju inilah yang kemudian membuat pengambil kebijakan di negara-negara dunia ketiga – yakni, kelompok negara-negara berkembang, termasuk dalam hal ini, Meksiko dan Indonesia– memilih jalur kebijakan yang sama dalam rangka memba-ngun perekonomiannya.

Upaya modernisasi perekonomian Meksiko, seperti yang ditunjukkan dalam artikel "Despite Decades of Reform, Most Mexicans Are Still a Long Way From Wealth and Modernity", dilakukan dalam kerangka transformasi struktural di atas. Modernisasi diarahkan untuk menciptakan perubahan struktur dalam perekonomian Meksiko melalui pengembangan sektor industri – atau kebijakan industrialisasi. Hal ini terlihat dari geliat industri yang tumbuh dengan cepat di daerah-daerah di Meksiko – yang sebelumnya relatif terbelakang, seperti San Jose Chiapa. Sebagai contoh, Audi, salah satu perusahaan otomotif dunia, berencana untuk memindahkan lokasi produksi mobil Q5 dari Jerman ke Meksiko – menariknya, lokasi produksi baru yang dipilih Audi adalah daerah pinggiran Meksiko, yakni San Jose Chiapa, Negara Bagian Puebla. Kegiatan industrialisasi yang menggeliat di daerah pinggiran Meksiko – selain Audi, Volkswagen telah lebih dahulu melakukan relokasi pabrikasinya ke Puebla- membawa dampak positif, yakni tingginya penyerapan tenaga kerja di daerah periferi atau pinggiran Meksiko.

Sungguhpun begitu, upaya transformasi sektoral di Meksiko – sebagaimana tertulis jelas di dalam artikel – didapati menyisakan banyak persoalan. Persoalan pertama menyangkut aspek budaya. Penduduk Meksiko, khususnya yang hidup di daerah pinggiran dan yang merupakan penduduk asli – disebut dengan mexico profundo –memiliki persistensi budaya yang kuat terhadap proses transformasi yang tengah berlangsung.  Dalam konteks Audi, misalnya, penduduk San Jose Chiapa merasa dengan pindahnya lokasi produksi mobil Audi ke kota mereka akan berdampak terhadap tingkat kriminalitas, keamanan, ataupun kesehatan lingkungan tempat tinggalnya.  Selain itu, persoalan lain yang tak kalah pentingnya, adalah terjadinya mismatch antara jenis industri yang berkembang dengan kondisi pasar tenaga kerja yang ada di Meksiko. Klaster industri yang berkembang di Meksiko di antaranya adalah industri mobil, pesawat, barang-barang elektronik, dan perlengkapan elektronik lainnya. Industri-industri ini berkontribusi terhadap 70 persen nilai ekspor, atau setara dengan 18 persen GDP Meksiko. Jika dilihat jenis-jenis industri di atas lebih bersifat capital intesif, atau lebih dominan penggunaan kapitalnya daripada tenaga kerja. Kalaupun membutuhkan tenaga kerja, maka tenaga kerja yang dibutuhkan adalah yang terdidik. Kedua hal ini, yakni capital intensif dan kebutuhan tenaga kerja terdidik, menjadi persoalan tersendiri bagi pasar tenaga kerja Meksiko yang besar dan belum "semuanya terdidik" – apalagi tenaga kerja yang ada di daerah pinggiran tempat kegiatan industri mulai menggeliat, seperti Chiapa. Kondisi mismatch ini berdampak pada kurang optimalnya penyerapan tenaga kerja oleh sektor modern, atau dalam hal ini, sektor industri. Hal ini terekam dari angka pelamar pekerjaan pada Audi yang mencapai 100 ribu orang, padahal posisi yang diperebutkan hanya 3.800 lowongan.

Persoalan lain adalah kebijakan integrasi ekonomi intrakawasan dibawah pandu NAFTA tidak cukup membawa kontribusi positif terhadap perkembangan ekonomi domestik Meksiko. Meski salah satu landasan pembentukannya adalah pengentasan kemiskinan, tapi pada faktanya tujuan ini belum dapat diwujudnyatakan secara optimal. Sebab, sebagaimana terungkap pada artikel, hampir setengah dari penduduk Meksiko hidup miskin – khususnya yang hidup di daerah-daerah yang relatif terbelakang, seperti Meksiko bagian selatan. Di satu sisi, bergabungnya Meksiko ke dalam NAFTA mendorong aliran modal masuk dalam bentuk Foreign Direct Investment – salah satu pendorong Audi memilih Meksiko adalah potensi dari perjanjian NAFTA.

Lebih lanjut, proses transformasi struktural yang berlangsung di Meksiko –yang ditandai dengan adanya program industrialisasi– menyebabkan terjadinya ketimpangan kesejahteraan, baik pada level antarwilayah maupun pada interwilayahnya. Seperti yang dijelaskan di dalam artikel, bahwa aktivitas industri di Meksiko – yang terdiri dari industri otomotif, pesawat, barang-barang elektronik dan produk elektronik lainnya – lebih terfokus di wilayah bagian utara dan tengah yang ditinggali oleh hampir 70 persen penduduk Meksiko. Nuevo Leon, daerah yang berada dekat dengan perbatasan Amerika dan menjadi daerah pusat industri Meksiko, memiliki produktivitas ekonomi yang setara dengan Korea Selatan. Sementara itu, wilayah bagian selatan Meksiko yang kondisinya relatif tertinggal, memiliki tingkat produktivitas ekonomi yang sama dengan Honduras. Hal ini menunjukkan lebarnya kesenjangan antara wilayah bagian utara dan selatan Meksiko. Kesenjangan, pada kenyataannya, juga terjadi pada level interwilayah. Program industrialisasi yang mulai mengarah ke daerah periferi Meksiko pada faktanya lebih dinikmati oleh kelompok yang disebut dengan elite lokal. Kelompok elite lokal inilah – karena lebih adaptif – didapati lebih mampu menyesuaikan diri dengan ritme industrialisasi yang tengah berkembang, sehingga mereka bisa lebih maju, terutama dari aspek pola pikirnya, dibanding golongan lain – golongan bukan elite lokal – yang jumlahnya jauh lebih besar. Secara umum, selain persoalan spasial di atas, perbedaan antara wilayah utara dan selatan Meksiko, dalam kerangka analisis oposisi biner, dapat dinyatakan sebagai perbedaan antara yang formal dan informal; antara rule of law dan ketiadaan institusi.

Meskipun relatif tertinggal, tapi bukan berarti kegiatan industrialisasi di daerah bagian selatan Meksiko –sebagai upaya transformasi sosial– tidak ada sama sekali. Penduduk yang tinggal di bagian selatan Meksiko –yang dicirikan dengan tingkat produktivitas ekonomi yang lebih rendah dari Utara– sejatinya juga menjalankan kegiatan industri, hanya dengan skala usaha yang kecil. Hanya saja sangat disayangkan, perkembangan industri di bagian selatan Meksiko, pada prakteknya, terganggu oleh ketiadaan infrastruktur yang memadai, sedikitnya tenaga kerja berkeahlian (skilled labour), akses keuangan yang relatif terbatas, dan persoalan rendahnya kepercayaan terhadap pelaku usaha. Konfigurasi negatif yang menghambat pengembangan usaha di wilayah selatan Meksiko, memaksa pelaku usaha –khususnya yang berada di desa– untuk bermigrasi ke pusat kota.

Jika diperhatikan kondisi yang terjadi di Meksiko – dalam upaya mendorong terjadinya transformasi struktural melalui program industrialisasi– memiliki relevansi yang erat dengan kasus Indonesia. Sejak Orba –yakni, rezim yang mengedepankan tiga aspirasi, yang meliputi pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan pemerataan hasil-hasil pembangunan– berkuasa, program industrialisasi dikedepankan dalam rangka mempercepat proses transformasi struktural untuk menuju tahap lepas landas. Program industrialisasi yang dilaksanakan menghasilkan efek yang sangat positif dimana ekonomi Indonesia rata-rata bertumbuh 6.7 persen per tahun selama 1967-1996. Perkembangan yang monumental, dalam kerangka transformasi struktural, terjadi pada 1990-2000. Pada 1990, share Indonesia atas ekspor produk manufaktur dunia mencapai 0.4 persen. Pada 2000, share Indonesia atas ekspor produk manufaktur dunia meningkat menjadi 0.8 persen. Relatif terhadap negara-negara berpendapatan menengah, share Indonesia atas ekspor produk manufaktur meningkat dari 7 persen pada 1990 menjadi 24 persen pada 2000. Hal ini paralel dengan share sektor manufaktur dalam perekonomian Indonesia yang meni-ngkat secara konsisten. Tren dari 1985 – 2000 menunjukkan kenaikan share sektor manufaktur relatif terhadap PDB, dari 16 persen pada 1985 menjadi 27.7 persen pada 2000. Dan, ini berdampak dominannya share ekspor produk manufaktur Indonesia relatif terhadap total ekspornya, dari 13 persen pada 1985 menjadi 57.7 persen pada 2000. Meski kemudian ditemui adanya kecenderungan deindustrialisasi, terutama pada rezim reformasi saat ini – dimana share manufaktur mengalami penurunan dari 27.7 persen pada 1990 menjadi 25 persen pada 2013 terhadap PDB– tetap sektor manufaktur masih tercatat sebagai salah satu sektor yang dominan. Selain perubahan struktur produksi, kebijakan transformasi struktural di Indonesia juga memunculkan terjadinya perubahan dalam struktur ketenagakerjaan, dimana share tenaga kerja yang bekerja di sektor modern, yakni manufaktur dan jasa, secara gradual terus meningkat. Di sisi yang lain, share tenaga kerja yang bekerja di sektor agrikultur terus menurun. Hal Ini mengindikasikan bahwa terjadi migrasi tenaga kerja dari sektor tradisional agrikultur ke sektor modern, yakni sektor manufaktur dan jasa.

Sungguhpun demikian, seperti halnya yang terjadi di Meksiko, kebijakan transformasi struktural yang diakselerasi dengan pelaksanaan program industrialisasi menyisakan ekses negatif, terutama yang menyangkut dengan masalah ketimpangan. Jika di Meksiko ketimpangan terjadi antara wilayah bagian utara dan selatan, di Indonesia ketimpangan terjadi antara wilayah Jawa dan Non Jawa. Aset masih tetap terkonsentrasi di Pulau Jawa. Meski luasnya hanya sekitar 7 persen dari total wilayah Indonesia, Jawa menyumbang 57 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Di tingkat provinsi, empat provinsi penyumbang PDB nasional terbesar juga terdapat di Jawa, yakni DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dengan sumbangan kumulatif PDB nasional lebih dari 50 persen, peran penting Jawa dalam pembangunan dilihat dari serapan tenaga kerja sangatlah dominan. Jawa menyerap lebih dari 80 persen tenaga kerja Indonesia periode 1976-2001. Dominasi penyerapan tenaga kerja disebabkan karena sebagian besar aktivitas Industri Besar dan Sedang (IBS) terkonsentrasi di Jawa. Bersama Sumatera, keduanya adalah dua wilayah yang sangat dominan dengan sumbangan mencapai 80 persen terhadap PDB nasional. Ketimpangan antarwilayah di Indonesia sulit diurai dan tampak akan tetap berlangsung dalam waktu yang lama. Sebabnya, insentif fiskal lebih banyak diberikan ke Pulau Jawa. Pembiayaan fiskal, seperti pembangunan infrastruktur, sebagian juga bias Jawa. Pengarahan sumber daya ke Jawa membuatnya memiliki kesiapan infrastruktur yang lebih baik ketimbang wilayah lainnya di Indonesia.

Sementara itu, dari unit analisis yang lebih mikro –yakni, individu– ketimpangan juga melebar. Setelah sempat terkontraksi cukup dalam pada saat krisis, Indonesia berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang positif rata-rata sekitar 5 persen dalam 10 tahun terakhir. Tapi tidak berarti pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini terdistribusi dan dirasakan oleh segenap masyarakat Indonesia. Kenyataannya, sedikit sekali porsi dari pertumbuhan ini yang dinikmati oleh kelompok mayoritas, yakni kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang jumlahnya mencapai 40 persen dari total populasi. Trennya bahkan terus saja menurun. Pada 2002, kelompok 40% penduduk berpendapatan rendah telah menerima 20.92% bagian pertumbuhan nasional. Pada 2011 porsinya turun hingga hanya mencapai 16.85%. Ironisnya, di sisi lain, penurunan distribusi pendapatan di 40% kelompok penduduk berpendapatan rendah ini justru diikuti oleh kenaikan porsi pertumbuhan nasional yang dirasakan oleh 20% kelompok terkaya di negeri ini. Pada 2002 kelompok ini memperoleh porsi sebesar 42.2% dari pertumbuhan nasional, nilainya meningkat menjadi 48.4% pada 2011. Ketimpangan ekonomi antarkelompok masyarakat terus melebar. Hal ini tergambar dari naiknya indeks Gini, yang merupakan indikator ketimpangan, dimana angkanya meningkat dari 0.33 pada 2002 menjadi 0.41 pada 2011. Ketimpangan pada level individu mengkristal, salah satunya, disebabkan oleh faktor industrialisasi yang tidak inklusif. Hambatan mismatch dalam program industrialisasi terjadi karena sektor manufaktur yang dibangun lebih bersifat capital intensif, dan tidak didukung oleh keberadaan sumberdaya domestik.

Untuk mengurangi ekses negatif yang berwujud ketimpangan ini, salah satunya, adalah dengan membangun infrastruktur yang memadai di seluruh wilayah di Indonesia. Hal ini penting karena infrastruktur adalah urat nadi bagi perekonomian. Salah satu alasan kenapa Jawa dipilih oleh IBS adalah karena ketersediaan infrastrukturnya yang mantap. Dengan adanya pembenahan infrastruktur di luar Jawa, maka pusat pembangunan ekonomi dapat disebar ke seluruh wilayah Indonesia. Beberapa agenda pemerintah, seperti program transmigrasi, percepatan pembangunan daerah tertinggal, pengembangan kawasan ekonomi khusus, pembentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, kawasan pengembangan ekonomi terpadu, dan Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) perlu untuk diselenggarakan dengan lebih sistematis. Penyelenggaraan sejumlah rencana kerja di atas, adalah bagian dari upaya mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan baru di daerah, dengan cara meningkatkan integrasi dan interkonektivitas seluruh wilayah di Indonesia yang pada gilirannya akan bermuara pada pemerataan pembangunan. Penumbuhkembangan sektor industri diluar Jawa juga perlu diperkuat dengan kebijakan fiskal, baik lewat kebijakan penerimaan ataupun belanja negara. Kebijakan insentif melalui kebijakan penerimaan negara dapat berupa pembebasan bea masuk; bea keluar; PPN tidak dipungut/dibebaskan; dan fasilitas PPh Badan. Kebijakan insentif dari sisi belanja negara dapat berupa subsidi sektor tertentu dan pajak ditanggung pemerintah.

Pada sisi lain, proses transformasi struktrural perlu dipercepat guna mendorong tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor manufaktur dan jasa. Kebijakan ini harus ditempuh karena kontribusi sektor pertanian sudah menyusut sangat besar terhadap perekonomian. Padahal, meski secara relatif sudah menurun, proporsi tenaga kerja yang berada di sektor pertanian Indonesia masih mencapai 38% pada 2013. Kondisi ini berakibat pada tingginya angka kemiskinan di sektor pertanian. Upaya untuk mendorong tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor manufaktur dan jasa bukanlah hal yang mudah. Sebab sektor industri memerlukan tenaga kerja berketrampilan dan berpendidikan, sementara 65% tenaga kerja hanya tamat SMP ke bawah –faktor rendahnya kualitas pendidikan ini menjadi determinan atas masih rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia. Ada mismatch antara kebutuhan industri dan pasar tenaga kerja yang ada. Dalam situasi ini, upaya gradual yang dapat dilakukan pemerintah guna mendorong penyerapan tenaga kerja oleh sektor industri adalah, pertama, membangun sektor industri dan jasa yang mengolah sektor pertanian dengan teknologi sedang, sehingga lompatan keterampilan yang dibutuhkan tidak terlalu tinggi. Kedua, perlu akselerasi yang masif untuk meningkatkan pendidikan masyarakat agar tercapai 50-60% porsi penduduk yang berpendidikan minimal SMA. Faktor ini sangat penting, karena dari kasus di banyak negara maju, diketahui bahwa keberhasilan proyek industrialisasi sangat ditentukan oleh ketersediaan tenaga kerja yang berketrampilan dan berpendidikan (Dijk, et.al, 2006). Dengan kualitas pendidikan yang lebih baik, upaya modernisasi perekonomian Indonesia –dengan cara mendorong terjadinya transformasi struktural– akan dapat dirasakan efek positifnya oleh seluruh masyarakat. Sehingga, sifat dari pembangunan ekonomi yang dicapai lebih inklusif.

Aspek strategis lain yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mengurangi coordination failures. Ini dapat dilakukan dengan meningkatkan sinergitas kebijakan antarkementerian dan antarlembaga terkait. Selama ini relatif banyak kebijakan antarkementerian dan antarlembaga yang tumpang tindih. Konfigurasi seperti ini menyulitkan perkembangan sektor industri dan upaya transformasi struktural di Indonesia. Pada prakteknya, peraturan yang tumpang tindih menjadi salah satu halangan dalam mendo-rong efektivitas penerapan kebijakan industrialisasi nasional karena lebih mendorong terjadinya perilaku rent-seeking dan moral hazard dalam birokrasi sehingga menciptakan kondisi ekonomi biaya tinggi. Oleh karena itu, seluruh kebijakan yang sifatnya tumpang tindih harus dipangkas. Sinergitas kebijakan antarlembaga perlu diupayakan agar tercipta kepastian hukum.