Senin, 21 Mei 2018

Nama : Dimas Maulana Triadi Nim : 171710614 Kelas : 204

Penegakan Hukum dan HAM dalam Menanggulangi Terorisme di Indonesia

 

Pendahuluan

Rangkaian peristiwa ledakan bom yang terjadi di Indonesia telah memberikan efek ketakutan yang luar biasa di tengah masyarakat. Pasca peristiwa tersebut, pemerintah Indonesia langsung mengeluarkan peraturan hukum dan perundang-undangan mengenai terorisme. Hal ini dilakukan sebagai upaya penanggulangan masalah terorisme di Indonesia.

Tulisan ini akan membahas dan merespon mengenai kebijakan konta terorisme ditinjau dari perspektif penegakan hukumnya dan merespon beberapa tulisan yang terkait. Pertama, tulisan Dr. Petrus Reinhard Golose yang berjudul strategi penguatan hukum dan deradikalisasi dalam mengeliminasi tindakan pidana terorisme secara garis besar membahas mengenai kebijakan serta wewenang aparat dalam upaya penanggulangan terorisme. Kedua, tulisan Usman Hamid mengenai pengembangan pemikiran dan solusi strategis penanggulangan aksi terorisme dalam perspektif hukum dan HAM secara garis besar membahas mengenai penegahak HAM dalam upaya pemberantasan terorisme. Dan ketiga, tulisan T. Nasrullah mengenai tinjauan yuridis aspek hukum materil maupun formil terhadap UU No. 15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang secara garis besar membahas mengenai kritis atas UU terorisme yang berlaku di Indonesia.

Kewenangan Terhadap Penanggulangan Terorisme dan Penegakan Hukum di Indonesia

Dalam upaya penanggulangan terorisme, terdapat perbedaan mengenai tugas dan wewenang dalam melakukan upaya penanggulangan terorisme. Dalam tulisan Dr. Petrus Reinhard Golose mengenai strategi penguatan hukum dan deradikalisasi dalam mengeliminasi tindakan pidana terorisme, menyebutkan mengenai permasalahan terorisme di Indonesia pada saat ini masih merupakan tindak pidana yang mengancam keamanan, belum mengancam pertahanan dan eksistensi negara. Oleh karena itu, institusi yang memiliki wewenang dalam penegakan hukum bagi tindak pidana terorisme adalah kepolisian bersama instansi penegakan hukum lainnya.[1] Militer tidak dapat terlibat dalam penegakan hukum. Keterlibatan militer hanya dapat dilakukan apabila terjadi keadaan darurat seperti adanya serangan nuklir dan senjata kimia. Apabila militer diminta membantu proses penegakan hukum, terbatas hanya pada membagi informasi, penyediaan perlengkapan, peralatan, jasa, dan keahlian.

Di Indonesia, dalam hal ini TNI dan Polri mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda. Hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang dan peratuan mengenai keduanya, yaitu dalam TAP MPR-RI No.VII/MPR-RI/2000, UUD 1945 BAB XII Pertahanan dan Keamanan Negara Pasal 30, UU No. 34 Tahun 2004 dan UU No. 2 Tahun 2002, dan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Teroris sendiri merupakan ancaman keamanan nasional sehingga jelas bahwa terorisme di Indonesia merupakan tindak pidana yang mengancam keamanana nasional, maka kewenangan penegakan hukum tindak pidana terorisme berada di tangan Polri.

Penanggulangan Terorisme dalam Perspektif HAM

Dalam tulisannya, Usman Hamid membahas mengenai konsep keamanan nasional dengan melindungi kedaulatan negara. Selain itu, konsep keamanan nasional juga tidak lepas dari keamanan insani serta melindungi hak-hak setiap warga negaranya. Begitu pula dalam menangani masalah terorisme, sebagai negara demokrasi tentunya mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Mengapa hak asasi manusia amat penting?. Hal ini dikarenakan bahwa hak asasi manusia adalah suatu hal yang mengikat secara universal, bersifat absolut, pada diri manusia, melekat dalam diri masing-masing individu sebagai suatu nilai yang tidak bisa dikurangi, menjadi jaminan legal untuk melindungi individu dan kelompok dari tindakan-tindakan yang bisa mengancam hak dasar tersebut.

Terkait penanganan terorisme di dunia, setiap negara yang di bawah PBB mempunyai kewajiban untuk turut andil dalam memerangi terorisme yang sekaligus sebagai upaya untuk menjaga perdamaian dunia. Dalam upaya-upaya memerangi terorisme tersebut perlu diperhatikan prinsip-prinsip HAM dan tidak melakukan tindakan yang pragmatis.

MK memberi istilah terhadap aksi terorisme sebagai kejahatan biasa yang sangat kejam. Terorisme tidak sama dengan kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. MK sendiri mengakui bahwa putusan itu diambil karena belum ada landasan yuridis bahwa kejahatan terorisme juga tersangkut paut dengan kejahatan luar biasa.

Dalam upaya menanggulangi aksi-aksi terorisme diperlukan suatu penguatan terhadap peran penegak hukum khususnya di Indonesia dengan menitikberatkan pada institusi keamanan, dalam hal ini kepolisian sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam menghadapi aksi serangan maupun ancaman terorisme. Pemerintah Indonesia disponsori oleh Australia oleh beberapa pemerintah asing khususnya pemerintah Australia dan Amerika Serikat membentuk Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri sebagai lini terdepan dalam pemberantasan terroisme. Tugas pokoknya lebih banyak menitikberatkan untuk segera membongkar kasus pemboman, menangkap pelaku, dan membongkar jaringan teroris yang berada di belakang aksi teror.

Polisi memiliki kewenangan dalam penanggulangan terorisme, namun juga ada batasan-batasan nyata yang mengatur aspek dari kepolisian itu sendiri. Kekuatan diskresi yang melekat dalam mandat tugas mereka juga harus diikuti dengan proses pemahaman untuk menghormati berbagai ketetapan yang telah disepakati dalam standar HAM yang telah diakui dunia internasional. Sudah seharusnya tantangan-tantangan yang akan dan telah dihadapi oleh polisi dijalankan dalam koridor hukum dan standar HAM internasional.

Tinjauan Yuridis Aspek Hukum Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

             Dalam tulisannya, T. Nasrulla membahas mengenai Peraturan Pemerintah PengganiUndang-Undang (Perppu) No.1 dan 2 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang No.15 tahun 2003. UU itu menyebutkan bahwa tindak pidana terorisme dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinarycrime. Pendapat tersebut berbeda dengan tulisan sebelumnya yang menyebutkan bahwa aksi terorisme merupakan aksi terorisme sebagai kejahatan biasa yang sangat kejam. Namun terlepas dari perbedaan mengenai kategori dari terorisme, perlu adanya suatu kebijakan yang tepat dalam penanganannya.

UU terorisme memberikan justifikasi terhadap sejumlah pelanggaran hak asasi manusia. Hak tersebut adalah hak-hak non derogablerights atau yang tidak boleh dikesampingkan. seperti hak hidup, hak bebas atas penyiksaan dan hak persamaan di dalam hukum. Sikap yang tegas dalam menghadapi terorisme sangat di perlukan, namun perlu diperhatikan bahwa dalam menangani sebuah aksi terorisme yang dapat dikategorikan sebagai kondisi darurat, sikap yang over responsif dapat mempengaruhi negatif terhadap perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan hak asasi manusia.

Kebijakan Dalam Rangka Penanganan Terorisme Melalui Penegakan Hukum dan HAM di Indonesia

Tindakan pencegahan terorisme dapat diartikan sebagai tindakan yang efektif melalui kebijakan dan berbagai program strategi untuk mencegah terjadinya aksi terorisme di Indonesia. Menghadapi ancaman terroisme yang akhirnya menimbulkan ketakutan serta penderitaan terhadap manusia, pemerintah demokratis harus dihadapkan pada pilihan yang sulit dalam menentukan kebijakan dan keputusan akan hal ini. Di satu sisi, mereka harus menjunjung tinggi nilai-nilai dasar demokratis yaitu berdasarkan proses hukum dan hak asasi manusia. Di sisi lain, mereka harus memfokuskan pada dampak serta kerusakan yang disebabkan oleh terorisme itu sendiri.

Dalam rangka menanggulangi terorisme, negara dituntut untuk tegas dalam penanganannya karena ini menyangkut mengenai prinsip keamanan negara. Dalam rangka penegakan hukum, terdapat dua pendekatan yang digunakan yaitu softapproach dan hardapproach, namun selama ini negara dominan menggunakan hardapproachHard approachsendiri terdiri dari hukum, militer, dan intelijen.

Jika cara-cara militer diterapkan untuk mengatasi atau menanggulangi terorisme, ini merupakan keamanan militer (meskipun ini terkait juga dengan keamanan politik). Sesuai pengertian politik menurut Barry Buzan adalah pembentukan tingkah laku manusia dengan tujuan untuk mengatur sekelompok orang dalam jumlah yang besar. Jadi ancaman politik merupakan sub-bagian dari ancaman nasional yang tidak memakai cara-cara militer dalam skala besar. Keterlibatan militer tidak cocok dalam penanganan terorisme karena terorisme merupakan kejahatan melanggar hukum sehingga jika militer terlibat berarti militer termasuk pada penegakan hukum. Militer dalam konteks ini hanya membantu polisi apabila polisi tidak mampu mengatasi gangguan yang terjadi dan membutuhkan tambahan kekuatan.

Selain upaya dalam menjelaskan wewenang dan tugas dalam penanggulangan terorisme oleh militer dan polisi, terdapat upaya kerjasama antara polisi dan lembaga intelijen. Semangat dan kinerja berlimpah yang dilakukan oleh aparat keamanan untuk melakukan penumpasan terorisme diharapkan dapat dibarengi dengan kegiatan menyimpulkan dan mengolah data yang diberikan oleh intelijen yang memadai. Intelijen harus difungsikan secara profesional dan efektif menjadi mata, telinga, rasa, dan pikiran untuk memberikan pencegahan sehingga mampu mengidentifikasi jaringan, kelompok, serta dapat mengantisipasi segala bentuk penyebaran bahaya terorisme

Dari hardapproach, kemudian muncul pemikiran anti mainstream yang mengatakan bahwa dalam penanganan terorisme harus melibatkan serta memperhatikan tiga hal, yaitu (a) ruleoflaw, (b) hak asasi manusia, dan (c) partisipasi pemerintah. Penegakan hukum sendiri merupakan hal yang esensial dalam strategi pemberantasan terorisme karena terorisme sendiri harus ditindak oleh hukum yang tegas dan negara harus turun tangan pada penegakan hukum tersebut.

(a) Ruleof Law

Pada dasarnya Indonesia telah memiliki aturan hukum sebagai langkah berpartisipasi dalam rangka pemberantasan terorisme. Namun dalam aturan hukum tersebut yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenai terorisme saat ini dirasa masih belum cukup untuk memberantas tindak terorisme.

Dalam rangka melakukan proses hukum terhadap terorisme tersebut, terdapat empat poin penting, diantaranya :

Inkapasitatif (dihilangkan kapasitasnya),

Retributif (membalas sesuai atau setimpal dengan perbuatan),

Rehabilitatif (menyembuhkan teroris yang salah jalan dalam proses pidana),

Restoratif (hubungan pelaku dan korban dibuat damai kembali ketika pelaku sudah selesai menjalankan masa hukumannya).

Dalam proses ini hanya inkapasitatif dan retributif yang tidak memiliki nuansa hak asasi manusianya hanya semata-mata pembalasan. Sehingga hal yang harus dikedepankan dalam upaya penanggulangan terorisme adalah mengendepankan hak asasi manusia dan bukan semata-mata tindakan pembalasan

Masih terdapat beberapa kelemahan substantif dalam Undang-Undang dan peraturan hukum mengenai terorisme. Kelemahan tersebut justru akan memunculkan polemik baru khususnya mengenai klasifikasi teror atau dalam konteks teror mengenai motif politik yang tidak dapat dicari dan yang tidak dibahas dalam KUHP, serta peluang pelanggaran hak asasi manusia dalam proses hukumnya. Sehingga hal tersebut dapat segera diubah dan dilengkapi mengenai kekurangan-kekurangannya.

Pendekatan kontraterorisme yang banyak dilakukan oleh negara di dunia adalah pendekatah hukum. Sehingga diperlukan peraturan hukum yang jelas dan tepat, selain itu jangan sampai ada kekosongan hukum untuk antisipasi terhadap hukum terorisme. Upaya penegakan hukum dalam memerangi terorisme dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (selalu berada dalam koridor hukum).

(b) Hak Asasi Manusia

Apa yang tengah menjadi masalah mengenai terorisme adalah lebih dari perlindungan hak asasi manusia dan pada dasarnya penting karena merupakan masalah prinsip. Ada dimensi praktis yang harus menjadi pertimbangan dengan baik. Misalnya tindakan penembakan yang disengaja terhadap orang yang tidak bersalah dalam operasi terorisme, biaya yang mahal dan cenderung tidak efisien yang memberikan kesan bahwa biaya jangka panjang mungkin lebih besar daripada manfaat jangka pendek.

Indonesia merupakan demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Namun, selama ini Indonesia masih menggunakan pendekatan kekerasan dalam menangani terorisme misalnya dengan penyergapan, pengejaran, pembunuhan, penangkapan oleh aparat keamanan. Keinginan yang besar dalam gerakan kontra terorisme seringkali mengabaikan nilai-nilai HAM di dalamnya. Terdapat beberapa dugaan pelanggaran hukum dan ham yang kerap dilakukan oleh polisi dan Densus 88, dimana bentuk pelanggaran yang dilakukan secara umum berupa penggunaan kekuatan berlebihan (excessive Use ofForce) yang mengakibatkan tewasnya si tertuduh, kemudian pelanggaran hak atas rasa aman serta ketenangan dari masyarakat, penembakan salah sasaran (shootinginnocentcivilians), penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya, penangkapan dan penahanan paksa serta salah tangkap. Aksi terorisme memang merupakan suatu aksi yang melanggar HAM namun cara-cara untuk memperlakukan para pelaku terorisme perlu untuk mengedepankan aspek HAM karena isu HAM berpengaruh terhadap upaya penanggulangan terorisme

Hak asasi manusia memiliki peran sentral dalam pemenuhan semua aspek dari strategi kontra terorisme. Beberapa negara telah terlibat dalam penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya dalam melawan terorisme, sedangkan perlindungan hukum untuk mencegah penyiksaan sering diabaikan. Sekjen PBB Kofi Anan menekankan bahwa tindakan kontra terorisme yang efektif tetap memperhatikan aspek perlindungan hak asasi manusia yang tidak bertentangan dengan tujuan, namun saling melengkapi dan saling memperkuat.

(c) Partisipasi Pemerintah

Partisipasi pemerintah berbicara mengenai tata kelola dalam menangani masalah terorisme. Dalam prosesnya, pemerintah melalui aparat keamanan menangkap pelaku teror tidak kemudian mengabaikan aspek-aspek pelanggaran lain yang menyertainya. Pemerintah harus melakukan proses perencanaan, harus ada efisiensi, anti kekerasan, anti korupsi, dan hal-hal tersebut tidak boleh diabaikan dalam proses penangkapan pelaku teroris. Hal ini dilakukan mengingat alasan efisiensi dan tidak memunculkan kesan berlebihan dalam penanganan terorisme. Selain itu, pemerintah sendiri juga diharapkan tidak melakukan pelanggaran hukum dalam proses pemberantasan terorisme karena pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah tidak kalah buruknya dengan pelanggara yang dilakukan oleh kelompok terorisme.

(Hukum 02 - 171710652) Tanpa HAM tidak ada legitimasi melawan terorisme di Indonesia

Rentetan peristiwa terorisme belakangan membuka kembali perbincangan yang sama sekali tidak baru. Namun, ini kerap muncul ketika peristiwa terorisme meluap. Dengan nada "marah", banyak kalangan menuding hak asasi manusia (HAM) tak relevan diperbincangkan pada kasus terorisme.

Tidak hanya isu soal agama dan komunisme, isu HAM pun kerapkali kesannya menjadi komoditas politik.

Kita dapat mengunjungi kembali apa yang terjadi pada kontestasi pemilihan umum (pemilu) 2014. Kala itu, salah satu narasi dominan yang dibangun oleh pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah perlindungan hak asasi manusia. Narasi ini yang kemudian mereka tuangkan dalam prioritas visi-misi: Nawacita.

Joko Widodo mengangkat isu HAM sebagai salah satu platform kampanye pemilihan presiden pada 2014. Bagus Indahono/EPA

Narasi hak asasi manusia juga dipakai untuk "menyerang" pasangan calon lain. Frasa pelanggar HAM melekat dan sedikit banyak berpengaruh pada elektabilitas pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Bahkan secara langsung dan terbuka, pertanyaan soal pelanggaran HAM diangkat pada debat calon presiden-wakil presiden.

Selang dua bulan setelah menang pemilu, Tim Transisi Presiden melalui Sekretaris Kabinet saat itu, Andi Widjojanto, menyatakan tidak ada HAM dalam agenda prioritas Presiden. Pernyataan itu mengejutkan bukan hanya karena disampaikan dalam waktu sangat dekat dengan terpilihnya Presiden Joko Widodo, tetapi juga karena drastisnya perubahan sikap pemerintah.

Minggu ini, hampir empat tahun kemudian, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, menyampaikan secara publik untuk menyingkirkan HAM dan mengutamakan keamanan dan stabilitas. Ia mengeluarkan pernyataan ini dalam rangka mendukung percepatan pembahasan RUU Terorisme di DPR.

Pernyataan Tjahjo keluar hampir bersamaan dengan keterangan pers yang diedarkan oleh Ketua DPR Bambang Soesatyo. Politikus asal Partai Golkar (partai pendukung pemerintah) itu menyatakan bahwa penyelamatan bangsa dan negara harus diutamakan. "Kepolisian tidak perlu takut melanggar HAM karena HAM nanti bisa dibahas belakangan", kata Bambang dalam keterangan persnya.

Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara dan bagian dari elite politik yang mendukung pemerintah Joko Widodo, sebelumnya juga menyampaikan pernyataan dengan muatan sama. Dengan nada yang lebih keras, ia bahkan menyerukan untuk "menyingkirkan semua bualan soal HAM teroris."

Selain elite politik yang menyampaikan soal pengesampingan (kalau tidak ingin disebut penyingkiran) HAM, gagas pikir demikian juga merambat di beberapa pegiat sosial—baik disampaikan secara diam-diam maupun terbuka di ruang publik maupun grup-grup percakapan virtual.

Di tengah arus pendapat demikian, muncul pertanyaan mendasar: apakah kita mengerti soal HAM?

Apa itu HAM?

Hak asasi manusia adalah sejumlah hak yang melekat, penuh, dan tidak bisa direnggut dari seorang manusia karena ia dihargai sebagai manusia. Hak-hak ini dijamin dalam hukum internasional dan hukum Indonesia sebagai tameng pelindung dari segala bentuk kesewenang-wenangan—baik kesewenang-wenangan dari otoritas negara maupun individu, kelompok, atau korporasi. Maka, negara, dengan berbagai aparaturnya, wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia warga negara.

Namun, dalam konteks pembicaraan HAM pada kasus terorisme saat ini, HAM tampaknya direferensikan bukan sebagai jaminan perlindungan. Secara sangat sempit, HAM bahkan dikerdilkan menjadi sebatas soal apakah teroris dapat ditembak mati atau tidak. HAM yang harusnya dimaknai sebagai perlindungan bagi warga negara seakan-akan berubah menjadi penghalang dalam pemenuhan perlindungan itu sendiri.

Pahadal, melekatnya HAM pada manusia bermakna HAM tak bisa dilepaskan bahkan dalam konteks kasus terorisme. Dalam kasus-kasus terorisme, hak asasi manusia dibunuh dan gugur berkali-kali. HAM direnggut ketika teroris mencabut hak hidup korban secara sewenang-wenang. Sama halnya dengan hak hidup pelaku yang juga tercerabut dalam kondisi ia ditembak mati oleh aparat. Hak hidup sebagai bagian paling fundamental dari HAM sama-sama dalam posisi terenggut. Pada akhirnya, baik HAM pelaku, HAM korban, maupun HAM orang lain (hak atas rasa aman) menjadi hilang.

HAM juga dilanggar ketika rasa aman (keselamatan) publik terganggu. Hak atas rasa aman adalah bagian dari HAM. Oleh karena itu, upaya untuk membenturkan keselamatan publik dengan HAM adalah posisi yang ambivalen.

Apabila kita menepis HAM dalam konteks terorisme, maka apa dasar pemenuhan hak kepada korban? Hak atas remedi berupa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi merupakan HAM. Wacana pengesampingan HAM dalam kasus terorisme pada akhirnya dapat mencabut pemenuhan terhadap hak orang yang lain.

Mengesampingkan HAM berarti kita memposisikan negara untuk melawan terorisme tanpa adanya legitimasi HAM berupa jaminan perlindungan warga negara akan tetap dihormati. Jadi, apakah benar kita ingin fatalis dan menyingkirkan HAM dalam kasus terorisme?

Bandul keseimbangan

Menghargai hak seorang manusia dan menyandingkannya dengan perlindungan hak orang lain tidaklah sederhana.

Secara global, wacana pengesampingan HAM ini pernah muncul pasca serangan 9/11 yang mengejutkan. Presiden Amerika Serikat kala itu, George W. Bush, dalam pernyatannya pada 16 September 2001, menyatakan perang terhadap teror. Penggunaan istilah war on terror ini kemudian menjadi slogan kampanye dan program militer secara global untuk memberantas terorisme dengan pendekatan perang.

George W. Bush ketika menjabat Presiden AS. EPA/Shawn Thew

Presiden George W. Bush pada saat itu kemudian membingkai kampanye dengan dikotomi "with us or against us". Ia memposisikan pihak yang tidak setuju dengan pendekatan perang terhadap teror artinya melawan atau tidak setuju dengan upaya pemberantasan terorisme.

Padahal posisinya tidak selalu dikotomis seperti itu. Menolak pendekatan perang dan keterlibatan militer dalam pemberantasan terorisme tidak sama dengan setuju dengan terorisme. Sebaliknya yang dituntut adalah mekanisme akuntabilitas terhadap penggunaan kekuasaan negara atas nama publik.

Pendekatan perang yang dilakukan Amerika Serikat ini berujung pada ditenggarainya praktik penyiksaanpenangkapan tidak sahtindakan mematai-matai publik secara tidak wajar, dan hingga jatuhnya korban yang tidak bersalah.

Praktik ini berujung ketidakpercayaan terus-menerus karena pendekatan perang itu tidak membuka jalan bagi mekanisme akuntabilitas.

Ketidakpercayaan ini yang memaksa Presiden Amerika Serikat berikutnya Barack Obama, menutup program War on Terror pada 23 Mei 2013. Namun, penutupan masih menyisakan persoalan dan ketidakpercayaan dengan wacana penolakan Gina Haspel sebagai Direktur CIA belakangan ini. Ia dituduh terlibat dan mendalangi penyiksaan terhadap Abu Zubaydah dan Abd al-Rahim al-Nashiri pada medio 2002.

Dari sisi efektivitas, pendekatan perang ini juga tidak menutup serangan terorisme yang dilakukan secara terbuka. Bahkan ditengarai jaringan terorisme berubah menjadi jaringan klandestin (bawah tanah) yang bisa meledak sewaktu-waktu karena salah satunya faktor kemarahan terhadap pendekatan perang yang dilakukan rezim Bush di masa lalu.

Bahkan yang mencengangkan adalah apa yang terjadi di Filipina. Pendekatan perang yang dilakukan terhadap terorisme justru menunjukkan intensitas serangan terorisme berada pada angka yang cukup tinggi. Presiden Rodrigo Duterte yang melanjutkan pendekatan militer dari terdahulunya, memulai perang "Battle of Marawi" pada 2017 dengan dasar penumpasan teroris yang menyerang Kota Davao setahun sebelumnya. Tidak luput, Presiden Duterte juga menambahkan dua organisasi yaitu Communist Party dan New People's Army dalam daftar organisasi teroris.

Pada 2016, ada 633 serangan teroris di Filipina. Pada 2017, serangan terorisme di Filipina tidak menunjukkan penurunan signifikan apalagi terselesaikan. Bahkan Global Index pada 2017 menempatkan Filipina dalam peringkat 12 negara paling terdampak dengan terorisme.

Contoh di AS dan Filipina menunjukkan bahwa selain tidak efektif, ada salah satu hak asasi manusia yang diabaikan, yaitu hak atas rasa aman publik.

Penegakan hukum yang efektif

Di Indonesia, terorisme dikategorikan sebagai tindak pidana, maka respons terhadap terorisme harus melalui sistem peradilan pidana. Aktor penindaknya adalah penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, dan hakim. TNI (militer) bukanlah institusi penegak hukum dalam sistem peradilan pidana.

Kunci bandul keseimbangan antara penegakan hukum yang efektif dengan perlindungan HAM berada pada mekanisme akuntabilitas penegakan hukum. Perlunya akuntabilitas dalam penegakan hukum disandarkan pada dua hal mendasar.

Pertama, legitimasi penegakan hukum untuk melindungi publik dari ancaman terorisme diperoleh dari prinsip-prinsip HAM.

Kedua, institusi yang bertugas mengatasi kejahatan terorisme juga menjalankan tugas penegakan hukum dalam kehidupan sehari-hari. Kepolisian, misalnya, tidak hanya bertugas menangani terorisme tetapi juga tindak pidana pencurian bahkan sampai pelanggaran lalu lintas.

Apabila HAM disingkirkan, apa legitimasi penegakan hukum kepolisian dan apa jaminan perlindungan publik dari tindakan sewenang-wenang?

Oleh karena itu, dorongan melindungi HAM dalam kasus terorisme bukan berarti mencegah agar terorisme ditindak. Urgensi wacana HAM diarusutamakan dalam pemberantasan terorisme adalah sebagai wujud untuk penikmatan HAM.

 

Penulis :  Gusti Harpan Tri Saputra

NAMA:NOVAL ILHAM AKBAR NIM:171710569 KELAS:2(B)

HAM TERHADAP TERORISME DI  INDONESIA

Rentetan peristiwa terorisme belakangan membuka kembali perbincangan yang sama sekali tidak baru. Namun, ini kerap muncul ketika peristiwa terorisme meluap. Dengan nada "marah", banyak kalangan menuding hak asasi manusia (HAM) tak relevan diperbincangkan pada kasus terorisme.

Tidak hanya isu soal agama dan komunisme, isu HAM pun kerapkali kesannya menjadi komoditas politik.tindak pidana terorisme adalah kejahatan yang serius dan berdampak pada guncangan nurani umat manusia. Karena sifat kejamnya, besarnya jumlah korban, dan sifat tidak memilah-milihnya.

HAM adalah hak yang melekat pada setiap orang yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai sebuah anugerah, maka HAM melekat erat pada setiap manusia, siapapun dia tanpa terkecuali. tidak ada seorang atau pihak manapun bisa mencabut HAM seseorang secara sewenang-wenang, termasuk pemerintah. Apakah seorang teroris mempunyai HAM? Ya, sudah pasti. Tidak ada ketentuan di dalam instrumen HAM nasional dan internasional yang menyebutkan bahwa seorang penjahat, misalnya teroris, tidak punya HAM. Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana aspek HAM bagi teroris yang telah membunuh orang dan merugikan kepentingan umum? Ada yang berpendapat, oleh karena aksi mereka telah merenggut hak hidup dan hak atas rasa aman bagi masyarakat secara luas, tidak pantas bagi teroris untuk dijamin dan dilindungi HAM-nya. Di sinilah perbedaan antara pendekatan pemberantasan terorisme berbasis HAM dan yang tidak berbasis HAM.teror diperlakukan sebagai manusia yang pada dirinya melekat hak-hak yang dilindungi oleh undang-undang. Mereka yang dituduh melakukan teror, diadili melalui proses hukum dengan mengedepankan asas due process of law dalam koridor criminal justice system. Dengan pendekatan berbasis HAM, terorisme dapat dilokalisir sehingga tidak menyebar luas ke masyarakat. Pendekatan yang humanis menempatkan teroris para pelaku lapangan bukan hanya sebagai pelaku semata, namun juga korban. Mereka adalah korban dari indoktrinasi dan penyebaran pemahaman agama yang salah melalui berbagai media, di antaranya internet. Untuk itu, selepas dipenjara, mereka harus dirahabilitasi dan diberdayakan secara sosial dan ekonomi. Pendekatan HAM juga memberikan porsi yang besar kepada aktor-aktor nonnegara (organisasi kemasyarakatan, media, institusi pendidikan, LSM, dll) untuk berperan serta menanggulangi terorisme. Hal ini karena terorisme, sebagai faham dan gerakan, tidak bisa hanya diatasi oleh aparat negara yang jumlah dan kapasitasnya sangat terbatas, dibandingkan skala ancaman dan gerakan teror yang sangat luas dan mengglobal. Melalui pemeriksaan di pengadilan, aparat negara bisa memperoleh banyak data dan informasi tentang terorisme yang diperoleh dari tersangka/terdakwa, saksi, ahli, dan alat bukti lainnya. Keterangan ini berguna untuk menguak dan menelusuri jaringan teror yang ada untuk kepentingan pencegahan dan penindakan. Selain itu, proses penegakan hukum menjadi media edukasi bagi publik dan terduga teroris bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah dan melanggar hukum.
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakanwarga sipil.

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serangan-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.

 Kemudian, tindak pidana terorisme juga mengakibatkan terlanggarnya hak bagi korban atau masyarakat untuk hidup dan hak mendapatkan rasa aman. Hak tersebut merupakan yang tidak bisa dikurangi oleh siapapun. "Oleh karena itu, saya harap pemerintah bisa melaksanakan pemberantasan tindak pidana terorisme secara komprehensif. Terlebih, saat ini sedang dibahas terkait RUU Anti Terorisme

Saat ini, rencana revisi UU terorisme itu masih menimbulkan pro dan kontra, ada yang mendukung namun tak sedikit menolak. Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution mengingatkan agar Pemerintah berhati-hati sebelum memutuskan untuk merevisi UU Terorisme. 
"Revisi UU bukan untuk memberikan kewenangan bagi intelijen melakukan penangkapan. Bukan berarti intelijen memiliki kekuatan menjadi penegak hukum. Karena penegak hukum tetap dalam koordinasi Polri

 

Pemerintah, kata Maneger, harus menyediakan cukup ruang dan waktu untuk menyerap serta mendengar aspirasi publik. Ada beberapa prinsip pokok sekiranya dilakukan revisi UU nomor 15 tahun 2003 agar pemberantasan tindak pidana terorisme tidak menjadi

kontraproduktif. 
Maneger memberikan beberapa masukan yang perlu diatur secara lebih detail dalam Revisi UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Pertama, aparat kemanan atau penegak hukum diberikan keleluasaan terukur untuk melakukan tindakan penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme sehingga operasi di lapangan betul-betul terukur dan publik pun diberi ruang untuk bisa menilai independensi dan profesionalitas aparat kepolisian.

Kedua, ketika aparat penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme melakukan salah sasaran penindakan, maka diperlukan rehabilitasi. Aparat penegak hukum berkewajiban meminta maaf kepada keluarga korban salah sasaran penindakan dan kepada publik serta dibarengi dengan melakukan rehabilitasi secara terbuka. Caranya, negara memberikan ganti untung yang laik terhadap korban salah sasaran penindakan penegak hukum.

Ketiga, memberikan kewenangan terukur terhadap pihak kepolisian untuk dapat menangkap atau menahan terhadap terduga teroris atau kombatan yang berasal dari sejumlah daerah konflik. Indikasinya, untuk kombatan luar negeri misalnya, bisa dilihat dari rekam jejak perjalanan orang tersebut di Kementerian Luar Negeri. Orang tersebut bisa dimintai keterangan terlebih dahulu. Jika dianggap sudah clear baru bisa dilepas. Langkah ini dipandang sebagai upaya pencegahan adanya penyebaran ideologi radikal dan kemungkinan perekrutan anggota baru. Langkah ini sudah diterapkan di sejumlah negara-negara maju

Keempat, penegasan terkait kerja dan wewenang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Selama ini, kerja BNPT dinilai campur aduk antara pengambil kebijakan, supervisi, dan operasional. Kendati begitu, pemerintah harus menegaskan klasifikasi ancaman keamanan nasional dan pihak-pihak yang melakukan tindakan atas ancaman tersebut. Harus ditegaskan mana-mana yang masuk dalam kategori ancaman yang mengganggu keamanan nasional, sehingga nanti bisa ditentukan pihak mana yang melakukan penindakan. Namun, semangat dari revisi UU ini harus tetap mengedepakan upaya law enforcement dan penghormatan terhadap HAM. Artinya leading sector-nya adalah pihak kepolisian.

Kelima, pengaturan anggaran melalui APBN. Artinya pembiayaan personil dan operasi penanganan terorisme oleh BNPT dan Polri-Densus 88 hanya oleh APBN. Sehingga rakyat melalui DPR dan lembaga negara pengawas lainnya memiliki ruang untuk mengawasi independensi dan profesionalitas BNPT dan Polri-Densus 88 dalam penanganan terorisme. Dengan demikian kinerja BNPT dan Polri-Densus 88 itu terkontrol. Ini untuk kepentingan kedaulatan hukum Indonesia.

Apa yang tengah menjadi masalah mengenai terorisme adalah lebih dari perlindungan hak asasi manusia dan pada dasarnya penting karena merupakan masalah prinsip. Ada dimensi praktis yang harus menjadi pertimbangan dengan baik. Misalnya tindakan penembakan yang disengaja terhadap orang yang tidak bersalah dalam operasi terorisme, biaya yang mahal dan cenderung tidak efisien yang memberikan kesan bahwa biaya jangka panjang mungkin lebih besar daripada manfaat jangka pendek. Indonesia merupakan demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Namun, selama ini Indonesia masih menggunakan pendekatan kekerasan dalam menangani terorisme misalnya dengan penyergapan, pengejaran, pembunuhan, penangkapan oleh aparat keamanan. Keinginan yang besar dalam gerakan kontra terorisme seringkali mengabaikan nilai-nilai HAM di dalamnya. Terdapat beberapa dugaan pelanggaran hukum dan ham yang kerap dilakukan oleh polisi dan Densus 88, dimana bentuk pelanggaran yang dilakukan secara umum berupa penggunaan kekuatan berlebihan (excessive Use of Force) yang mengakibatkan tewasnya si tertuduh, kemudian pelanggaran hak atas rasa aman serta ketenangan dari masyarakat, penembakan salah sasaran (shooting innocent civilians), penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya, penangkapan dan penahanan paksa serta salah tangkap.Aksi terorisme memang merupakan suatu aksi yang melanggar HAM namun cara-cara untuk memperlakukan para pelaku terorisme perlu untuk mengedepankan aspek HAM karena isu HAM berpengaruh terhadap upaya penanggulangan terorisme. Hak asasi manusia memiliki peran sentral dalam pemenuhan semua aspek dari strategi kontra terorisme. Beberapa negara telah terlibat dalam penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya dalam melawan terorisme, sedangkan perlindungan hukum untuk mencegah penyiksaan sering diabaikan. Sekjen PBB Kofi Anan menekankan bahwa tindakan kontra terorisme yang efektif tetap memperhatikan aspek perlindungan hak asasi manusia yang tidak bertentangan dengan tujuan, namun saling melengkapi dan saling memperkuat.

Partisipasi pemerintah berbicara mengenai tata kelola dalam menangani masalah terorisme. Dalam prosesnya, pemerintah melalui aparat keamanan menangkap pelaku teror tidak kemudian mengabaikan aspek-aspek pelanggaran lain yang menyertainya. Pemerintah harus melakukan proses perencanaan, harus ada efisiensi, anti kekerasan, anti korupsi, dan hal-hal tersebut tidak boleh diabaikan dalam proses penangkapan pelaku teroris. Hal ini dilakukan mengingat alasan efisiensi dan tidak memunculkan kesan berlebihan dalam penanganan terorisme. Selain itu, pemerintah sendiri juga diharapkan tidak melakukan pelanggaran hukum dalam proses pemberantasan terorisme karena pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah tidak kalah buruknya dengan pelanggara yang dilakukan oleh kelompok terorisme. Peran Pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi terorisme sudah menunjukan keberhasilan yang cukup berarti, tetapi masih banyak yang perlu dihadapi untuk menciptakan perasaan aman di masyarakat dari aksi-aksi terorisme. Tragedi ledakan bom belum lama ini menunjukan bahwa aksi terorisme harus terus diwaspadai, dimana bentuk gerakan dan perkembangan jaringannya terus berubah sehingga sukar untuk dilacak. Sulitnya penyelesaian permasalahan terorisme ini terjadi karena masih banyak faktor yang menyebabkan terorisme dapat terus berkembang. Dari faktor perbedaan ideologis dan pemahaman tentang agama yang berbeda-beda sampai kesenjangan sosial dan pendidikan yang membuat masyarakat lebih mudah untuk disusupi oleh jaringan-jaringan teroris.

Kami rasa aksi ini bukan yang terakhir kalinya, kami barusan tersadar, aksi pengeboman ini selau dilakukan dengan jeda-jeda yang cukup untuk membuat kita lengah, lupa dengan adanya terorisme di sini, kita tidak tahu apakah pelakunya selalu sama, tetapi setidaknya, kita bisa menduga, bahwa mereka selalu jeli dalam mengambil jeda waktu yang tepat. Ruang lingkup terorisme jaman sekarang sudah lebih luas dan mengarah kepada golongan masyarakat yang memiliki pondasi pemikiran yang lemah dan mudah digoyahkan seperti pelajar dan mahasiswa. Pada hakekatnya mereka (teroris) punya keyakinan bahwa apa yang mereka lakukan itu benar. Mereka mengatas-namakan agama sebagai kedok kejahatan mereka. Padahal jika kita cermati, hal demikianlah yang bisa mengadu domba satu agama dengan agama yang lain, yang tentunya juga akan merusak citra ISLAM yang indah dan damai. Tentu hal demikian bukan hanya menjadi musuh bangsa, tetapi menjadi musuh kita semua sebagai kaum muslim.

 


(HUKUM02-171710810-HAM DAN TERORISME)

Tema: HAM DAN TERORISME

Hak Asasi Manusia(HAM) adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma, yang menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional.

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil

Teror yang melanda Indonesia belakangan ini bermula dari kerusuhan narapidana terorisme di Rumah Tahanan Markas Komando Brigade Mobil Kepolisian RI di Depok pada 9-10 Mei 2018. Setelah itu, diduga sel-sel teroris mulai bergerak untuk menciptakan teror, khususnya dengan menyerang aparat kepolisian sebagai simbol penegakan hukum. Serangkaian bom bunuh diri meledak di Jawa Timur dan mengakibatkan 28 orang tewas dan 57 orang luka-luka. Markas Kepolisian Daerah Riau di Pekanbaru juga diserang dan mengakibatkan seorang polisi tewas dan dua lainnya terluka. Para pelaku diduga adalah anggota Jamaah Ansharud Daulah, bagian dari kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Fenomena yang baru pertama kali terjadi di Indonesia dalam teror di Jawa Timur adalah pelibatan perempuan dan anak-anak sebagai pelaku bom bunuh diri. Hal ini menyisakan pertanyaan, apa yang sebenarnya terjadi, apa motif dan penyebabnya?

Dalam konteks ini, pendekatan hak asasi manusia (HAM) sangat berperan untuk mengidentifikasi akar masalah yang memicu aksi terorisme, dari faktor sosial, ekonomi, budaya, maupun politik. Dengan demikian, kebijakan penanggulangan terorisme melalui pencegahan, mitigasi, dan deradikalisasi dapat berjalan efektif dan tepat sasaran.

Penanggulangan terorisme, meskipun sudah dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, masih belum maksimal. Menurut Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian, salah satu penyebabnya adalah keterbatasan regulasi tentang terorisme, yang hanya bersifat reaktif dan responsif. Menurut Tito, hal yang dibutuhkan saat ini adalah regulasi yang proaktif, sehingga aparat bisa dengan cepat bertindak mengungkap dan mencegah teror dari pihak-pihak yang sudah menjadi target sasaran aparat.

Harus diakui bahwa masih belum optimalnya penanggulangan terorisme karena lemahnya identifikasi akar masalah terorisme dan belum dibangunnya mekanisme pencegahan teror secara komprehensif. Teror yang masih terjadi merupakan bukti belum optimalnya kewajiban negara dalam melindungi dan memenuhi hak atas rasa aman dan hak hidup masyarakat.

Negara juga harus mulai secara serius memperhatikan dan mencegah pelibatan anak-anak dalam tindak pidana terorisme karena akan menimbulkan efek psikologis yang sangat buruk bagi anak-anak dalam memandang anak-anak pelaku teror. Sebagaimana diatur di dalam Pasal 63 Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, setiap anak tidak boleh dilibatkan di dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan. Pasal 53 ayat (1) menyatakan setiap anak berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.

Teror yang melibatkan anak-anak tersebut jelas menampar kemanusiaan kita dan kredibilitas negara secara keseluruhan. Mengapa hal ini tidak teridentifikasi sejak awal?

Teror adalah musuh bersama bagi umat manusia, sehingga menjadi kepentingan dan tugas kita bersama untuk memeranginya. Pendekatan terintegrasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan aktor-aktor non-negara sangat dibutuhkan karena teror tidak akan selesai melalui langkah penindakan hukum semata, misalnya hanya melalui Polri yang dibantu oleh TNI.Teror telah merampas hak asasi manusia para korban dan masyarakat secara umum, khususnya hak untuk hidup, hak atas rasa aman, dan kemerdekaan dari rasa takut. Teror juga menyebabkan instabilitas suatu wilayah dan bangsa, membahayakan masyarakat, serta menjadi ancaman bagi perdamaian dan pembangunan. Negara wajib melindungi setiap orang, di antaranya dengan mengambil tindakan semaksimal mungkin untuk mengadili para teroris dengan mengedepankan due process of law.

 Penanganan terorisme dengan cara dan pendekatan yang benar dan tepat, berbasis pada penghormatan serta perlindungan HAM, harus menjadi bagian penting dalam kebijakan dan program memerangi kejahatan terorisme. Pendekatan berbasis HAM harus ada pada setiap tahap penanganan terorisme, termasuk ketika terduga teroris menghadapi proses hukum di pengadilan. Pendekatan HAM menekankan bahwa penanganan atas kejahatan terorisme harus akuntabel. Mekanisme untuk menjamin adanya kontrol dan pengawasan publik harus dibangun dan dijalankan atas wewenang yang diberikan kepada negara dalam kebijakannya memerangi terorisme.

Tindakan terorisme berdampak langsung pada martabat dan keamanan manusia, menciptakan situasi penuh rasa takut, dan menghancurkan hak asasi manusia itu sendiri. Kehadiran terorisme juga berhadapan langsung dengan integritas pemerintahan yang sah. Untuk memenuhi kewajiban melindungi individu dari terorisme, Negara memiliki hak dan kewajiban untuk mengambil langkah-langkah kontra-terorisme yang efektif, mencegah serangan teroris di masa depan dan mengadili mereka yang bertanggung jawab.

Namun dalam praktiknya, disaat yang sama perlawanan terorisme menimbulkan tantangan berat terhadap perlindungan dan promosi hak asasi manusia. David J. Whittaker dalam buku Counter-Terrorism and Human Rights menjelaskan bahwa permasalahan hak asasi manusia dalam kontra-terorisme kerap ditemui dalam berbagai bentuk.

Termasuk dalam pengawasan (surveillance), penahanan yang disengketakan (disputed detention), penangkapan (arrest), prosedur penahanan tak terduga (the vagaries of charging procedure), ekstradisi dini (premature extradition), proses transfer tersangka (the transfer and trasport of suspects), perlakuan saat interogasi (the treatment on interrogation) dan pemenjaraan semena-mena (incarefully imprisonment). Peristiwa kematian Siyono dalam penangkapan dan penahanan Densus 88 Anti Teror pada 8 Maret 2016 di Brengkungan, Klaten dapat bersama kita jadikan pelajaran.

Merespon tantangan tersebut, lembar fakta PBB tentang HAM, Terorisme dan Kontra-Terorisme (Factsheet No. 32) menjelaskan bahwa hukum hak asasi manusia mengenal asas fleksibilitas yang meliputi pembatasan (limitations) dan pengurangan (derogations). Negara dapat secara sah membatasi pelaksanaan hak-hak tertentu, seperti membatasi hak seseorang untuk mengekspresikan diri jika terbukti secara hukum melakukan ajakan untuk terlibat dalam aksi terorisme.

Selain membatasi, rezim hak asasi manusia, dalam keadaan tertentu, seperti keadaan darurat publik (state of public emergency) yang mengancam kehidupan bangsa, mengizinkan Negara mengurangi hak asasi manusia tertentu. Keadaan darurat ini harus dipahami sebagai tindakan sementara yang benar-benar luar biasa, yang hanya dapat dilakukan jika ada ancaman nyata. Dilema ini ditemukan dalam situasi "shoot-to-kill" yang terjadi dalam bentrok di Mako Brimob. Dalam situasi ini, hukum hak asasi manusia memperbolehkan penggunaan lethal force atas alasan melindungi nyawa manusia. Namun batasan-batasan ini tetap harus benar-benar mematuhi prinsip-prinsip kebutuhan dan proporsionalitas, demi terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan.

Implikasi nyata dari salah kaprahnya persoalan pemikiran hak asasi manusia ini, berkembang dengan maraknya pendekatan "extraordinary measures" yang banyak dianut negara-negara demokrasi, termasuk Indonesia. Akibatnya, tak jarang diskursus hak asasi manusia harus dibayar mahal atas nama kepentingan keamanan nasional.

Mengatur perlawanan terorisme secara ketat dan menghormati hak asasi manusia menjadi penting karena sebanyak 93% dari serangan teroris antara 1989 dan 2014, terjadi di negara-negara dengan tingkat kematian ekstrajudisial (extrajudicial killing), penyiksaan dan pemenjaraan tanpa pengadilan yang tinggi (Global Terrorism Index, 2015). Pendekatan ini sering digunakan untuk menekan protes damai dan gerakan oposisi yang sah, menutup perdebatan, menahan pembela hak asasi manusia dan menstigmatisasi minoritas (Dhillon & Mama-Rudd, 2016).

Pada titik ini, ketika wewenang eksekutif diperluas, tidak jarang justru berujung pada kelaliman eksekutif (executive despotism). Di Singapura, atas dasar keamanan nasional dan tanpa otoritas yuridis, mereka yang dicurigai melakukan tindak pidana terorisme (bahkan sebelum terjadi) dapat ditahan selama dua tahun tanpa proses (detention without trial). Camp Guantanamo Bay, Cuba yang kerap dikritik karena diduga melanggar due process of law lahir dari "Patriot Act" milik Amerika Serikat.

Sementara di Prancis baru-baru ini, Macron menawarkan rancangan UU terorisme yang memberikan polisi hak menempatkan individu di bawah tahanan rumah tanpa pengadilan, menyerang rumah dan tempat pertemuan tanpa berkonsultasi dengan hakim, dan melarang pertemuan publik (The Conversation, 2018).

Indonesia sendiri saat ini tengah merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Perlu diingat bahwa kebijakan pemberantasan terorisme Indonesia saat ini adalah produk dari sistem politik yang beralih dari otoritarianisme ke demokrasi, sehingga secara umum masih didominasi langkah-langkah keras dalam memerangi terorisme, sehingga belum banyak mencerminkan prinsip HAM dan due process of law.

Dilema domokrasi ini dihadapi setiap negara demokrasi yang dihadapkan pada terorisme. Di satu sisi, ia harus melindungi integritas teritorial, kedaulatan dan keamanan rakyatnya dari kekerasan sewenang-wenang teroris. Di sisi lain, Negara sangat mungkin kehilangan legitimasi dan tergelincir ke dalam penindasan dan otoritarianisme dalam proses memerangi terorisme.


Fekon08 - 151310011 Teror Bom Yang Terjadi Di Indonesia

KASUS TEROR BOM YANG TERJADI DI SURABAYA

Pengeboman di Kota Surabaya 2018 adalah rangkaian peristiwa meledaknya bom di berbagai tempat di Kota Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur pada 13–14 Mei 2018.Tiga tempat di antaranya tempat ibadah di Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Sawahan.Dua tempat lainnya masing-masing kompleks Rumah Susun Wonocolo di Taman, Sidoarjo dan Markas Polrestabes Surabaya.

A.  Latar Belakang

Diperkirakan pada tahun 2017 lalu sekitar seratus warga negara Indonesia pergi ke Suriah atau Irak untuk bergabung dengan pasukan Negara Islam Irak dan Syam sebelum mereka kembali. Masing-masing dari mereka kembali ke Indonesia melalui proses deradikalisasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, termasuk memantau proses deradikalisasi setiap individu saat dilepas ke masyarakat. Beberapa serangan terorisme, seperti serangan Thamrin, dikendalikan oleh orang-orang yang kembali atau ekstremis lokal yang bersumpah untuk NIIS. Pada tahun 2016, Presiden Joko Widodo meminta perpepatan revisi kembali Undang-Undang Antiterorisme yang diteribitkan tahun 2003 dan direvisi pertama tahun 2013 lalu. Jokowi mempertanyakan efektivitas peraturan yang menyebabkan pemerintah secara hukum tidak dapat menangkap pelaku serangan Thamrin secara dini. Revisi yang dihadapi perlawanan, dengan kritik yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut akan mengizinkan penangkapan sewenang-wenang. Kemudian, kelompok kontra muncul dari kelompok-kelompok hak asasi manusia yang berargumen bahwa keterlibatan Tentara Nasional Indonesia dalam RUU akan menempatkan angkatan bersenjata dalam peran penegakan hukum. Tanpa menghiraukan kelompk kontra tersebut, RUU itu terus berlanjut meskipun ditunda pada akhir Februari karena masalah keterlibatan militer dalam penanggulangan terorisme dan perdebatan definisi hukum terorisme.Pada 8 hingga 10 Mei 2018, sebuah peristiwa kerusuhan terjadi di Markas Korps Brigade Mobil di Depok, Jawa Barat, dan menyebabkan 5 polisi gugur dalam bertugas.Saat itu, sebanyak 155 narapidana terorisme menyandera polisi yang bertugas pada sel khusus teroris.Setelah peristiwa tersebut, polisi menembak mati empat orang yang diduga teroris yang kabur "untuk membantu para tahanan kerusuhan".NIIS mengaku bertanggung jawab akibat kejadian tersebut.

 

B.  Kronologi KejadianTeror Bom

1.    Gereja Katolik Santa Maria Tak BercelaSunting

Berdasarkan dari rekaman CCTV, ledakan terjadi saat sepeda motor yang ditumpangi oleh 2 orang kakak beradik memasuki kompleks gereja dan nyaris menabrak seorang jemaat sebelum akhirnya meledak persis di antara para jemaat yang sedang berjalan kaki.

2.    GKI Diponegoro Sunting

Dari rekamana CCTV yang beredar saya melihat sebelum terjadinya pengeboman ada tiga orang perempuan bercadar, satu orang dewasa, satu anak kecil, dan satu lagi anak remaja, masuk ke area parkiran GKI Surabaya. Dan kemudian ada seorang laki-laki yang mengejar tiga perempuan tersebut dan seketika bom pun meledak.

3.    GPPS Jemaat SawahanSunting

Menurut Kepala Rumah Tangga Gereja Pantekosta Pusat Surabaya, Suhendro, peristiwa terjadi saat suatu mobil merangsek masuk ke halaman gereja dan kemudian melemparkan sebuah bom.Dalam keterangan yang berbeda, Kepala Kepolisian Resor Kota Besar (Kapolrestabes) Surabaya, Kombes Pol Rudi Setiawan menyebutkan bahwa bom di GPPS Jemaat Sawahan merupakan bom mobil.Diketahui bahwa bom dibawa menggunakan mobil Avanza menerobos masuk dengan kecepatan tinggi, menabrak pintu, merangsek ke teras dan lobi gereja kemudian meledak dan membakar gereja.

4.    Rusunawa Wonocolo, SidoarjoSunting

Dari media internet yang saya lihat pada malam di hari yang sama pada pukul 20:00 WIB, terjadi ledakan di sebuah Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Wonocolo, kawasan Sepanjang, Sidoarjo, Jawa Timur. Ledakan tersebut terjadi pada Blok B di lantai 5 dan terdengar hingga lima kali dan dikonfirmasi merupakan sebuah ledakan bom rakitan yang dibuat oleh penghuni rusunawa. Setelah ledakan pertama, polisi langsung mendatangi tempat kejadian dan menemukan Anton Febrianto sedang memegang alat pemicu bom. Dalam insiden ini setidaknya tiga orang tewas, dua di antaranya tewas akibat ledakan bom, yakni istri Anton, Puspitasari, beserta anak tertuanya, Hilta Aulia Rahman, serta Anton yang tewas tertembak polisi akibat perlawanan. Tiga anak lainnya terluka dibawa ke Rumah Sakit Siti Kodijah.Kapolri Tito Karnavian telah menkonfirmasi kepada salah seorang anak pelaku yang selamat bahwa ledakan yang terjadi di Rusunawa Wonocolo adalah sebuah kecelakaan saat perakitan bom.

5.    Polrestabes SurabayaSunting

Berdasarkan dari rekaman CCTV yang saya lihat bahwa pada Senin, 14 Mei 2018 pukul 08:50 WIB, sebuah ledakan terjadi di depan Polrestabes Surabaya ketika sebuah mobil mini-bus dan dua buah sepeda motor akan diperiksa petugas. Ledakan berasal dari sepeda motor bernomor polisi L 6629 NN dan L 3559 G yang setidaknya membuat empat pelaku tewas dan sepuluh warga dan polisi terluka. Petugas polisi juga menyelamatkan seorang anak perempuan pelaku dari lokasi kejadian.

 

C.  Insiden Terkait

Serangan kelompok terduga teroris terjadi di Markas Polisi Daerah (Mapolda) Riau pada Rabu, 16 Mei 2018 sekitar pukul 09:00 WIB ketika Kapolda Riau berencana melalukan konferensi pers mengenai pengungkapan kasus dan pemusnahan barang bukti narkoba. Penyerangan dilakukan menggunakan mobil Avanza berwarna putih yang menerobos masuk melalui gerbang utara Mapolda Riau.Setelah merangsek masuk, empat pengemudi dan penumpang Avanza keluar dengan mengenakan topeng, menghunuskan senjata tajam berupa katana dan menyerang polisi yang berjaga.Setidaknya seorang anggota Polda Riau serta dua wartawan terluka akibat ditabrak.  Empat pelaku tewas di tempat setelah dilumpuhkan dan seorang sisanya menderita luka.

 

D.  Pelaku Pengeboman

Seluruh pelaku dari rentetan serangan bom di Surabaya dilakukan oleh satu keluarga beranggotakan enam orang, di antaranya Dita Upriyanto (48), istrinya Puji Kuswati (43) dan mengajak empat anaknya bernama Yusuf Fadil (18), Firman Halim (16), Fadilah Sari (12), dan Pamela Rizkita (9). Kapolri Tito Karnavian dalam konferensi persnya menyatakan bahwa keluarga ini baru saja datang dari Suriah dan merupakan simpatisan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) dan merupakan jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).Dalam pembagian tugasnya, Dita Upriyanto adalah pengemudi mobil Avanza yang menabrak GPPS Jemaat Sawahan.Sebelum melakukan kejahatan, Dita menurunkan istrinya Puji Kuswati dan dua anak perempuannya, FS (12) dan PR (9), di GKI Diponegoro.Ketiga orang ini telah dipasangkan tiga buah bom yang dililitkan dipinggang.Dalam keterangan polisi, jenazah istri dan kedua anaknya rusak di bagian perut.Sedangkan pelaku di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela diduga merupakan anak laki-laki Dita, yakni Yusuf Fadil (18) dan FH (16). Mereka mengendarai sepeda motor dan memangku bom yang akan diledakkan. Negara Islam Irak dan Syam melalui kantor beritanya, Amaq News Agency, menyatakan bahwa mereka bertanggung jawab atas serangan ini.

 

E.   Reaksi Keamanan dan Akibat Tidak Langsung

Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, membatalkan acara tahunan Festival Rujak Uleg di Jalan Kembang Jepun dalam rangka Hari Ulang Tahun Kota Surabaya yang rencananya digelar pada 13 Mei siang hari. Pembatalan ini merupakan atas pertimbangan keamanan dari pihak kepolisian. Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Irjen Idham Azis, menerbitkan sebuah telegram rahasia (TR) mengenai kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) pasca insiden bom Surabaya pada hari yang sama. Dalam telegram rahasia tersebut menyatakan bahwa 13 Mei 2018 pukul 08.00 WIB status kesiagaan seluruh jajaran Polda Metro Jaya dinyatakan dalam status Siaga 1 hingga batas waktu yang belum ditentukan.Polda Bali dan jajarannya menyatakan memperketat keamanan di Bali terutama memperketat penjagaan di gereja-gereja yang melaksanakan kebaktian, meski telah mengadakan status siaga satu sejak.Jumat, 11 Mei 2018, pasca insiden di Mako Brimob.Polda Bali melakukan penambahan personel dari Ditsabhara dan Brimob serta jadwal patroli. Amerika Serikat, Inggris, Australia, Singapura, dan Hong Kong menerbitkan peringatan perjalanan ke Indonesia atas teror yang terjadi. Kelima negara tersebut memperingatkan warganya di Indonesia untuk tetap memperbaharui informasi melalui media lokal dan tetap mencari tempat aman untuk berlindung.Kementerian Luar Negeri Australia juga memperingatkan serangan susulan selama bulan Ramadan.Belanda dan Belgia juga menerbitkan peringatan perjalanan bagi warga negaranya yang ingin atau tengah berkunjung di Indonesia.

 

F.   Tanggapan dan Kecaman

1.    Pejabat Tinggi Negara

Presiden Joko Widodo membatalkan agendanya di Jakarta dan langsung berangkat ke Surabaya untuk meninjau lokasi kejadian dan menjenguk korban. Presiden mengatakan bahwa tindakan ini merupakan tindakan yang biadab dan di luar batas kemanusiaan dan menyatakan bahwa terorisme merupakan kejahatan kemanusiaan yang tidak ada kaitannya dengan agama apa pun. Ia menegaskan bahwa semua ajaran agama menolak ajaran terorisme apa pun alasannya.

2.    Pemuka dan Organisasi Agama

Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Golmar Gultom, berharap seluruh elite politik untuk tidak menggunakan insiden ini sebagai alat politik sesaat dan masyarakat untuk menghentikan komentar yang justru memperkeruh keadaan. Ia mengatakan bahwa kekerasan tidak akan mampu menyelesaikan masalah dan hanya akan melahirkan lingkaran kekerasan yang berakhir pada kehancuran dan meyakini bahwa tidak ada agama yang mengajarkan ajaran kekerasan maupun pembunuhan. Pemimpin gereja Katolik Roma sedunia, Paus Fransiskus, turut pula menyampaikan duka atas terjadinya tragedi bom bunuh diri di Surabaya.Ia mengucapkan bela sungkawanya pada saat menjelang doa Regina Caeli atau Ratu Surga di Lapangan Santo Petrus, Vatikan. Paus Fransiskus mendoakan para korban dan orang-orang yang mereka cintai di hadapan ribuan umat yang berkumpul.Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis menyatakan bahwa Islam melarang aksi bom membunuh orang yang tak berdosa dan tidak membenarkan aksi pengeboman.Terorisme juga dikatakan sebagai produk dari kebencian, kesesatan berpikir dan berkeyakitan serta pelampiasan dari kecongkakan orang sombong.Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) mengecam dan mengutuk keras ledakan bom di tiga gereja di Surabaya. Dalam pernyataannya PBNU menyatakan bahwa segala macam tindakan yang menggunakan kekerasan yang mengatasnamakan agama dengan cara menebarkan teror, kebencian dan kekerasan bukanlah ciri ajaran Islam. PBNU juga menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban dan mendukung penuh langkah aparat keamanan mengusut insiden ini. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengutuk, mengecam, dan menyesalkan atas terjadinya aksi bom bunuh diri di gereja Surabaya.

3.    Partai dan Tokoh Politik

Dalam siaran persnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengucapkan dukacita yang mendalam atas korban terorisme yang terjadi di Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) dan Bom Surabaya.PDI-P mengatakan bahwa negara berkewajiban melindungi rakyat dan berhak menggunakan seluruh instrumen negara untuk melawan terorisme.Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra) melalui akun twitter-nya mengutuk aksi Bom Gereja di Surabaya dan semua bentuk teror yang terjadi di manapun.Partai Gerindra meminta aparat keamanan dan kepolisian untuk mengusut tuntas aksi teror dan kekerasan yang terjadi sehingga kejadian seperti ini dapat dicegah dan tidak terjadi lagi. Wakil Sekjen Partai Demokrat, Andi Arief, melalui rilis resminya mengecam keras terhadap kebiadaban pemboman yang terjadi di gereja-gereja Surabaya dan mengucapkan duka mendalam, ikut bersedih atas timbulnya korban tak berdosa. Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR RI, Reni Marlinawati, mengatakan bahwa evakuasi dan penyelamatan terhadap para korban menjadi prioritas utama aparat dan keselamatan masyarakat adalah prioritas utama.

4.    Tanggapan Internasional

Kedutaan Besar dan Konsulat Amerika Serikat di Indonesia melalui pernyataan di situs resminya mengutuk keras serangan terhadap tiga gereja di Surabaya dan menganggap insiden tersebut telah mencederai toleransi dan keberagaman yang dijunjung oleh rakyat Indonesia.Kedutaan Besar Belanda di Indonesia mengucapkan belasungkawa terdalam bagi para korban dan mengutuk kejadian terorisme di seluruh dunia. Duta Besar Britania Raya untuk Indonesia, Timor Leste, dan ASEAN, Moazzam Malik,‏ menyatakan duka cita terhadap korban dan mengutuk terorisme di manapun. Ia menyatakan serangan tersebut tidak dapat dibenarkan. Lars Løkke Rasmussen, Perdana Menteri Denmark mengucapkan rasa duka citanya terhadap insiden terorisme di Perancis dan Surabaya dan berduka atas hilangnya nyawa masyarakat sipil atas kejadian ini. Ia menyatakan bahwa Denmark turut berduka atas insiden ini.

 

G.  Motif Pelaku Bom Bunuh Diri

Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengungkap motif penyerangan sel JAD di Surabaya dan Sidoarjo.Apa motif sebenarnya? Kapolri memulai dengan menjelaskan investigasi yang dilakukan Polda Jatim di-backup oleh Mabes Polri terkait tiga bom gereja di tiga lokasi di Surabaya. "Dalam waktu singkat, kita sudah bisa mengungkap pelakunya satu keluarga atas nama Saudara Dita, berikut istri dan dua anak laki-laki dan dua anak perempuan yang terlibat dalam serangan itu. Kita sudah mengidentifikasi kelompoknya, yaitu JAD dari sel Surabaya dan kemarin saya sampaikan juga motifnya yang terkait dengan serangan ini karena adanya instruksi dari ISIS sentral karena mereka terdesak kemudian memerintahkan sel lainnya untuk bergerak," ungkap Kapolri dalam konferensi pers di Mapolda Jatim di Surabaya."Kita tahu, selain serangan di Surabaya, juga ada serangan di Paris di hari Minggu yang lalu, pelakunya ditembak mati oleh polisi. Di tingkat lokal, saya menyampaikan diduga pembalasan dari kelompok JAD karena pemimpinnya, Aman Abdurrahman, yang ditahan dalam kasus pendanaan dan pelatihan paramiliter bersenjata di Aceh, kemudian yang bersangkutan divonis dan harusnya keluar bulan Agustus lalu kemudian ditangkap kembali karena diduga keras terkait dengan perencanaan, pendanaan, kasus bom Thamrin di Jakarta awal tahun 2016," imbuh Kapolri. Kepemimpinan Aman kemudian dialihkan kepada tokoh pimpinan JAD Jawa Timur yang bernama Zaenal Anshori.Zaenal beberapa minggu kemudian ditangkap oleh Mabes Polri dalam kaitan dengan pendanaan untuk memasukkan senjata api dari Filipina selatan ke Indonesia."Otomatis proses hukum yang bersangkutan dan itu membuat kelompok-kelompok jaringan JAD yang ada di Jawa Timur, termasuk yang ada di Surabaya ini, memanas dan ingin melakukan pembalasan," terang Kapolri. "Sehingga kembali saya tegaskan kerusuhan di Mako Brimob itu tidak sekadar masalah makanan yang tidak boleh masuk dari keluarga kepada para tahanan, tapi juga karena ada dinamika internasional tadi serta upaya untuk melakukan kekerasan pembalasan atas ditangkapnya pimpinan mereka," lanjut Kapolri.

Dita bersama istri dan empat anaknya yang beraksi mengebom tiga gereja di Surabaya pada Minggu 13 Mei 2018 kemarin adalah pimpinan JAD Surabaya. Bom yang digunakan merupakan jenis TATP high explosive, peledak yang sama yang digunakan pelaku bom di Mapolresta Surabaya pada Senin 14 Mei 2018 pagi ini dan meledak di Rusunawa Wonocolo di hunian milik Anton dan keluarga di Sidoarjo. "Pelaku Anton ini merupakan teman dekat Saudara Dita, pelaku bom bunuh diri di Gereja di Jl Arjuna.Mereka aktif berhubungan dan pernah berkunjung ke lapas napi terorisme tahun 2016," kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam konferensi pers di Mapolda Jatim, Senin 14 Mei 2018. Pada Senin pagi ini, terjadi lagi ledakan di Mapolresta Surabaya. Dua motor yang membawa lima orang dalam satu keluarga diledakkan di halaman Mapolresta Surabaya. Akibat kejadian ini, ayah, ibu, dan dua anak meninggal.Sedangkan satu anak lagi yang masih kecil selamat karena terlempar.Akibat aksi teror ini, empat polisi dan enam warga jadi korban luka-luka. Kapolri mengungkap aksi ini dilakukan kelompok yang sama. Kapolri pun kemudian mengungkap alasan JAD sel Jawa Timur tersebut menyerang Surabaya dan Sidoarjo."Yang nanya kenapa aksinya di Surabaya, ya karena mereka menguasai daerah ini.Kenapa mereka melakukan ini, karena pimpinan mereka di Jawa Timur ditangkap, selain Aman Abdurrahman ditahan di Mako Brimob, juga karena instruksi dari ISIS sentral yang terdesak," pungkasnya.