Jalur Sesat meretas jaringan teroris -Oleh Irfan S Awwas
Arrahmah.Com-PERANG membasmi terorisme yang dilancarkan mantan presiden AS George W Bush di bawah bendera the war against terorisme, bukan saja gagal menjinakkan perlawanan umat Islam di Irak dan Afghanistan. Sebaliknya, justru kian menyuburkan tindakan teror, baik yang dilakukan secara individu, gerakan maupun Negara.Kini, Amerika di bawah pemerintahan presiden Barack Hussein Obama, berusaha menghapus kesan angkaramurka George W Bush. Dalam pidato retoris yang disampaikan di Universitas Kairo, Mesir, 4 Juni 2009, Barack Obama menyatakan,
" pemerinrah AS tidak akan intervensi pada Negara manapun, tetapi akan mendukung setiap Negara yang melawan terorisme dan menegakkan demokrasi."
Dalam konteks politik global, statemen Obama ini secara politis, mengindikasikan duahal. Pertama, Obama mencoba merobah strategi politik luar negeri dengan meninggalkan sikap paranoid yang menghantui Bush; dan menempuh jalan baru menghadapi kekuatan global Islam. Kedua, betapapun juga watak imprialis AS tidak bisa hilang. Obama tetap ingin mendominasi dan mengendalikan negeri-negeri Muslim tanpa harus campur tangan secara militer
Untuk menjalankan agenda politik ini, dengan tujuan yang lebih efektif dan strategis, Amerika melimpahkannya kepada penguasa-penguasa Muslim di negara masing-masing sesuai dengan kondisi riel domistiknya. Efektifitas strategi Obama ini akan segeraterlihat di sejumlah negeri Muslim. Di Pakistan, sejak Presiden Asif Ali Zardari berkuasa, 9 September 2008, suami mantan PM Benazir Butho yang terbunuh dalam sebuah kampanye Pemilu itu, perburuan terhadap gerakan Islam gencar dilakukan. Belum genap setahun berkuasa, di bawah
kontrol pemerintah Amerika, rezim Ali Zardari dari PPP (Pakistan People‟s Party) ini
memburu Mujahidin Taliban, sementara aparat kemanan Pakistan menyerbu masyarakat Islam di lembah Swat, karena menuntut berlakunya syari‟at Islam.
Sekalipun telah berjanji akan menarik tentaranya di Irak secara bertahap, Obama malah mengirimkan lebih banyak lagi tentara ke Afghanistan untuk mengepung pasukan rakyat Taliban di bawah bendera NATO. Sementara, terhadap keganasan Israel yang setiap hari membunuh rakyat Palestina di Gaza, termasuk pembunuhan serta pengusiranumat Islam Uigur di China, pemerintahan Obama hanya bungkam
Diskriminasi politik gaya Paman Sam ini, terutma dalam kaitan pemberantasan terorisme pasca ledakan Bom JW Marriot II dan Riszt Carlton, Juli 2009, kian mendapat pembenaran ketika intelijen Amerika CIA berusaha menggiring Indonesia dan Negara-negara ASEAN lainnya untuk membentuk jaringan pertahanan dan keamanan bersama. Gagasan ini mengingatkan kita pada model kerjasama keamanan SEATO (South East Asia Collective Defense Treaty). SEATO adalah pakta pertahanan bersama Asia Tenggara, dibentuk pada tahun 1954, yang ditanda tangani Australia, Inggris, Prancis, Selandia Baru, Pakistan, Filipina, Thaeland, dan Amerika Serikat di Manila. Tujuannya, menangkal setiap agresi dan subversi internal di Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya. Sejak semula pakta inidicurigai membawa misi imprialisme Amerika, karena itu ditentang habis-habisan oleh Bung Karno. Salah satu produk SEATO adalah berkobarnya perang Veitman, 1960, yang dipicu oleh ambisi presiden AS Jhon F Kennedy; termasuk pemisahan diri Singapura dari Malaysia. Oleh karena itu rencana kerjasama ASEAN memerangi terorisme internasional harus diwaspadai, karena akan berimplikasi negative bagi Indonesia, mengingat kerjasama semacam itu menyalahi prinsip-prinsip politik luarnegeri yang bebas aktif
Sejauh ini presiden Susilo Bambang Yudoyono mencoba menemukan formula yang tepat dalam melayani politik global Amerika. Presiden RI ke 6 ini berusaha keras mencurahkan segenap kecerdasan dan kecerdikannya untuk mengelola berbagai masalah di dalam negeri agar tidak merugikan kepentingan Amerika.
Memberantas Terorisme
Mencermati pengumuman resmi
Polri, 12 Agustus 2009, yang menyatakan, „
terorisyang tewas dalam penggerebegan di Jati Asih Bekasi adalah Air (Ari?) Setyawan dan Eko. Sedangkan korban yang tewas di rumah Muzahri di desa Beji Temanggung, Jawa Tengah, bukan Noordin M. Top, melainkan si peƱata bunga Ibrohim
Lalu, siapa pelaku bom di Hotel JW Marriott dan Ristz Carlton, 17 Juli 2009, yang menewaskan 9 orang, dan 41 orang luka-luka itu? Sampai sekarang, tidak seorang pun tahu, tidak ada pula yang dapat memberi klarifikasi. Ibrahim yang dicurigai sebagai arsitek bomber dalam ledakan di JW Marriot, adalah salah seorang korban salah bunuh pada 8/8/09, persis angka Densus 88 antiteror. Sedangkan Noordin M. Top belum tertangkap, menghilang bagai ditelan bumi. Sejak perburuan teroris dilakukan polisi, sudah banyak anggota masyarakat yang menjadi korban salah tangkap, salah tembak, dan salah bunuh, hanya karena dicurigai menjadi bagian dari jaringan teroris
. Bagi polisi, „
Teroris itu orang jahat, maka tidak bersalah membunuh mereka kapan saja dan dimana saja‟. Hal ini, tentu saja
mengundang keprihatinan dan menimbulkan ketakutan di tengah-tengah masyarakat. Padahal, mereka yang dibunuh itu, hampir pasti belum terbukti berbuat teror. Baru
„diduga‟ sebagai jaringan
teroris.Bahwa terorisme harus dibasmi, iya. Tetapi tindakan pembunuhan tanpa melalui proses
pengadilan, jelas melanggar hukum. Ada pihak yang mengatakan, „bila tidak didahului
maka teroris
akan mendahului membunuh polisi.‟ Jika logika ini digunakan, lalu apa
bedanya polisi dengan teroris?Lebih berbahaya lagi, adanya stigma merusak citra Islam dengan memetakan jaringan terorisme berdasarkan wilayah, keluarga, pertemanan, lembaga pendidikan. Sehingga melahirkan stigma wilayah teroris, keluarga teroris, pesantren teroris, organisasi teroris.Hal ini, bisa menyebabkan konflik baru yang konsekuensi politisnya sulit diprediksi.Yang lebih berbahaya, adalah memosisikan teroris sebagai mujahid Islam dan sebaliknya menganggap mujahid sebagai teroris. Dalam pidato kenegaraan menyambut delapan windu (64 tahun) kemerdekaan RI, 16 Agustus 2009, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyatakan, bahwa sumber terorisme adalah keterbelakangan, ketidakadilan, dan kemiskinan. Presiden SBY samasekali tidak menyinggung keterlibatan kelompok agama tertentu, atau ajaran agamatertentu sebagai pemicu terorisme di Indonesia
sekalipun terkesan menghindar dan berhati-hati, untuk tidak mengaitkan agama denganterorisme, tapi kita dapat memahami arah pidato SBY. Yaitu, adanya keinginan pemerintahan SBY lima tahun ke depan, untuk menjalankan politik yang lebih bersahabat dengan seluruh komunitas agama di Indonesia, sekalipun terhadap komunitas agama yang dinilai fundamentalis. Namun, berbeda dengan SBY, adalah komentar aparat intelijen, termasuk komentartokoh-tokoh Islam ambivalen. Munculnya para jawara intelijen akhir-akhir ini, seperti Amsyad Mbai, Hendropriyono, dan Suryadarma, yang menuding pemahaman keagamaan sebagai , ideologi terorisme, bukannya membantu menyelesaikan masalah terorisme. Sebaliknya, patut dicurigai mereka sedang menjalankan agenda globalsebagai kaki tangan imprialisme asing.Bukan mustahil, dengan menggunakan momentum pemberantasan terorisme mereka
berupaya menutupi „aib masa lalunya‟ yang kejam terhadap gerakan Islam dengan cara
menyisipkan fitnah. Akibatnya, apa yang selama ini dianggap bahaya jalan sesat para teroris karena menggunakan ajaran agama sebagai justifikasi tindakannya, justru aparatkeamanan melakukan kesesatan yang sama
Fitnah Agama
Mengaitkan terorisme dengan kekuatan penegakan syariat Islam di Indonesia, lalu menganggap mujahid Islam sebagai teroris atau sebaliknya memosisikan teroris sebagai mujahid, merupakan pemikiran produk rezim Soekarno (1959-1066) yang kentaldengan agenda komunisme. Kebencian PKI (Partai Komunis Indonesia) terhadapMasyumi, mendorong mereka terus menerus memberikan citra buruk tentang Islammelalui opini Soekarno. Rezim Soekarno dengan Nasakomnya adalah contoh klasik yang mengorbankan umat Islam untuk kepentingan komunis global di zamannya. Sehingga menyebabkan ulama dan tokoh Islam banyak yang dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan.Kemudian rezim berganti. Suharto naik tampuk kekuasaan, yang membantai umat Islamseperti kasus Priok, Lampung berdarah, dan DOM di Aceh. Baik rezim Soekarno
Maupun Soeharto selalu megusung slogan kepentingan nasional dan pengukuhan NKRIyang tidak dapat di tawar-tawar. Logika Sokaerno dan Soeharto dengan sedikit polesangincu tetap berjalan di masa orde reformasi ini. Sebelum pengepungan rumah reot di Desa Beji Temanggung, Jawa Tengah, yang diduga tempat persembunyian Noordin M. Top, tapi ternyata „salah bunuh‟, badan
intelijen Amerika (CIA) mensuplai peta imajiner jaringan terorisme di Indonesia. Petaimajiner ini harus mendapatkan pembenaran empiriknya, yang kemudian memperlihatkan heroisme kepolisian saat pengepungan di Temanggung, dan tembakmati tersangka teroris di Jati Asih, Jawa Barat. Tindakan Densus 88 yang membunuh para tersangka teroris tanpa proses peradilan dengan alasan, persis pasukan blackwater, tentara bayaran yang dikirim oleh George Bush untuk membantai rakyat Irak. Sejak 2005, seperti dinyatakan Direktur Blackwater,Erik Prince, sekiatr 80% peristiwa penembakan dilancarkan oleh blackwater dari kendaraan yang sedang melaju, tanpa mempedulikan apakah yang terbunuh rakyat sipil, orang tua, maupun anak-anak. „Bahwa ada rakyat tak bersalah yang kehilangan nyawa, maka itu sangat saya sesalkan," ujar Eric.
Akan lebih baik, bila penyelesaian terorisme tanpa distorsi agama, melainkan dengancara meningkatkan kesejahteraan rakyat, memajukan pendidikan, dan menegakkan keadilan hukum seperti dijanjikan presiden SBY.
Komentar
: Menurut saya Negara adidaya seperti Amerika lah yangseharusnya mengerti mengapa terorisme muncul begitu pesat dinegara tersebut dan berkembang kenegara-negara lainya. apabila Amerika khususnya tidak mendeskripsikan bahwa warga muslim lah yang bertanggung jawab atas terjadinya pengeboman WTC. Dan tidak memulai perperangan yang terjadi di irak. maka tidak akan muncul hal-hal seperti ini yang menambah parah kondisi global.
Nama: Tory Hanwari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar