Senin, 21 Mei 2018

(fekon08-171310601)Terorisme

Jalur Sesat meretas jaringan teroris -Oleh Irfan S Awwas 

Arrahmah.Com-PERANG membasmi  terorisme yang  dilancarkan mantan  presiden AS George W  Bush di bawah bendera  the war against  terorisme, bukan saja gagal menjinakkan  perlawanan umat Islam  di Irak dan Afghanistan. Sebaliknya, justru kian menyuburkan tindakan teror, baik yang  dilakukan secara individu, gerakan maupun Negara.Kini, Amerika di bawah  pemerintahan presiden  Barack Hussein Obama,  berusaha menghapus kesan  angkaramurka George W Bush. Dalam pidato  retoris yang disampaikan di  Universitas Kairo, Mesir, 4 Juni 2009, Barack Obama menyatakan,

" pemerinrah AS tidak  akan intervensi pada  Negara manapun, tetapi akan mendukung setiap Negara yang  melawan terorisme dan menegakkan demokrasi."

 Dalam konteks politik  global, statemen Obama  ini secara politis,  mengindikasikan duahal. Pertama, Obama  mencoba merobah  strategi politik luar negeri dengan meninggalkan sikap  paranoid yang  menghantui Bush; dan  menempuh jalan baru menghadapi kekuatan  global Islam. Kedua,  betapapun juga watak  imprialis AS tidak bisa  hilang. Obama tetap ingin mendominasi dan  mengendalikan negeri-negeri Muslim tanpa harus campur  tangan secara militer

Untuk menjalankan agenda  politik ini, dengan tujuan yang lebih efektif dan  strategis, Amerika  melimpahkannya kepada penguasa-penguasa Muslim di  negara masing-masing sesuai dengan kondisi  riel domistiknya.  Efektifitas strategi  Obama ini akan segeraterlihat di sejumlah negeri  Muslim. Di Pakistan, sejak  Presiden Asif Ali Zardari berkuasa, 9 September  2008, suami mantan PM Benazir Butho yang  terbunuh dalam sebuah  kampanye Pemilu itu,  perburuan terhadap gerakan Islam  gencar dilakukan. Belum genap setahun berkuasa, di bawah

kontrol pemerintah  Amerika, rezim Ali Zardari dari PPP (Pakistan  People‟s Party) ini

memburu Mujahidin  Taliban, sementara  aparat kemanan Pakistan menyerbu masyarakat Islam di lembah Swat, karena menuntut berlakunya  syari‟at Islam.

 Sekalipun telah berjanji  akan menarik tentaranya di Irak secara bertahap, Obama malah mengirimkan lebih  banyak lagi tentara ke  Afghanistan untuk  mengepung  pasukan rakyat Taliban di bawah  bendera NATO.  Sementara, terhadap  keganasan Israel yang setiap hari membunuh  rakyat Palestina di Gaza, termasuk pembunuhan  serta pengusiranumat  Islam Uigur di China,  pemerintahan Obama  hanya bungkam

Diskriminasi politik gaya Paman  Sam  ini, terutma dalam  kaitan pemberantasan terorisme pasca ledakan Bom JW Marriot II dan  Riszt Carlton, Juli 2009,  kian mendapat  pembenaran ketika  intelijen Amerika CIA  berusaha menggiring  Indonesia dan Negara-negara ASEAN lainnya  untuk membentuk  jaringan pertahanan dan  keamanan bersama. Gagasan ini  mengingatkan kita pada  model kerjasama  keamanan SEATO (South East Asia Collective  Defense Treaty). SEATO adalah pakta  pertahanan  bersama Asia Tenggara, dibentuk pada tahun  1954, yang ditanda tangani  Australia, Inggris,  Prancis, Selandia Baru,  Pakistan, Filipina, Thaeland, dan Amerika  Serikat di Manila.  Tujuannya, menangkal  setiap agresi dan subversi internal di Asia  Tenggara dan Pasifik  Barat Daya. Sejak semula pakta inidicurigai  membawa misi  imprialisme Amerika,  karena itu ditentang  habis-habisan oleh Bung Karno. Salah satu  produk SEATO adalah  berkobarnya perang  Veitman, 1960, yang dipicu oleh ambisi  presiden AS Jhon F  Kennedy; termasuk  pemisahan diri Singapura dari Malaysia. Oleh karena itu rencana  kerjasama ASEAN  memerangi terorisme internasional  harus diwaspadai, karena akan berimplikasi  negative bagi Indonesia, mengingat  kerjasama semacam itu menyalahi prinsip-prinsip politik luarnegeri  yang bebas aktif

Sejauh ini presiden Susilo  Bambang Yudoyono  mencoba menemukan  formula yang tepat dalam melayani  politik global Amerika.  Presiden RI ke 6 ini  berusaha keras mencurahkan segenap  kecerdasan dan  kecerdikannya untuk  mengelola berbagai masalah di dalam negeri agar tidak merugikan  kepentingan Amerika.

Memberantas Terorisme

 Mencermati  pengumuman resmi

Polri, 12 Agustus 2009,  yang menyatakan, „

terorisyang tewas dalam penggerebegan di Jati  Asih Bekasi adalah Air  (Ari?) Setyawan dan Eko. Sedangkan korban  yang tewas di rumah  Muzahri di desa Beji  Temanggung, Jawa Tengah, bukan Noordin  M. Top, melainkan si  peƱata bunga Ibrohim

Lalu,  siapa pelaku bom di  Hotel JW Marriott dan  Ristz Carlton, 17 Juli  2009, yang menewaskan 9 orang,  dan 41 orang luka-luka itu? Sampai  sekarang, tidak seorang  pun tahu, tidak ada pula yang dapat memberi  klarifikasi. Ibrahim yang  dicurigai sebagai arsitek bomber dalam  ledakan di JW Marriot,  adalah salah seorang  korban salah bunuh pada 8/8/09, persis angka  Densus 88 antiteror.  Sedangkan Noordin M.  Top belum tertangkap,  menghilang bagai  ditelan bumi. Sejak perburuan teroris dilakukan polisi, sudah  banyak anggota  masyarakat yang menjadi korban salah  tangkap, salah tembak,  dan salah bunuh, hanya  karena dicurigai menjadi bagian dari  jaringan teroris

. Bagi polisi, „

Teroris itu orang jahat,  maka tidak bersalah  membunuh mereka  kapan saja dan dimana  saja‟. Hal ini, tentu saja

mengundang  keprihatinan dan  menimbulkan ketakutan di tengah-tengah masyarakat. Padahal, mereka yang  dibunuh itu, hampir pasti belum terbukti berbuat  teror. Baru

„diduga‟ sebagai jaringan

teroris.Bahwa terorisme harus dibasmi, iya. Tetapi tindakan pembunuhan  tanpa melalui proses

 pengadilan, jelas  melanggar hukum. Ada  pihak yang mengatakan, „bila tidak didahului

maka teroris

akan mendahului  membunuh polisi.‟ Jika  logika ini digunakan, lalu apa

 bedanya polisi dengan  teroris?Lebih berbahaya lagi,  adanya stigma merusak  citra Islam dengan  memetakan jaringan terorisme berdasarkan  wilayah, keluarga,  pertemanan, lembaga  pendidikan. Sehingga melahirkan stigma  wilayah teroris, keluarga  teroris, pesantren teroris, organisasi teroris.Hal ini, bisa menyebabkan  konflik baru yang  konsekuensi politisnya  sulit diprediksi.Yang lebih berbahaya, adalah  memosisikan teroris  sebagai mujahid Islam  dan sebaliknya menganggap mujahid sebagai teroris. Dalam pidato kenegaraan menyambut delapan  windu (64 tahun)  kemerdekaan RI, 16 Agustus 2009, Presiden  Susilo Bambang  Yudoyono menyatakan,  bahwa sumber terorisme  adalah keterbelakangan, ketidakadilan, dan  kemiskinan. Presiden  SBY samasekali tidak  menyinggung  keterlibatan kelompok  agama tertentu, atau  ajaran agamatertentu  sebagai pemicu  terorisme di Indonesia

sekalipun terkesan menghindar dan berhati-hati, untuk tidak  mengaitkan agama  denganterorisme, tapi  kita dapat memahami  arah pidato SBY. Yaitu,  adanya keinginan  pemerintahan SBY lima  tahun ke depan, untuk  menjalankan politik yang lebih bersahabat dengan seluruh komunitas  agama di Indonesia,  sekalipun terhadap komunitas agama yang  dinilai fundamentalis.  Namun, berbeda dengan SBY, adalah komentar  aparat intelijen, termasuk komentartokoh-tokoh Islam ambivalen.  Munculnya para jawara  intelijen akhir-akhir ini, seperti Amsyad Mbai,  Hendropriyono, dan  Suryadarma, yang  menuding pemahaman keagamaan sebagai ,  ideologi terorisme,  bukannya membantu  menyelesaikan masalah terorisme. Sebaliknya,  patut dicurigai mereka  sedang menjalankan  agenda globalsebagai  kaki tangan imprialisme  asing.Bukan mustahil,  dengan menggunakan  momentum  pemberantasan  terorisme mereka

 berupaya menutupi „aib masa lalunya‟ yang  kejam terhadap gerakan Islam dengan cara

menyisipkan fitnah.  Akibatnya, apa yang  selama ini dianggap  bahaya jalan sesat para teroris karena  menggunakan ajaran  agama sebagai justifikasi tindakannya, justru  aparatkeamanan  melakukan kesesatan  yang sama

Fitnah Agama

 Mengaitkan terorisme  dengan kekuatan  penegakan syariat Islam di Indonesia, lalu menganggap mujahid  Islam sebagai teroris  atau sebaliknya memosisikan teroris sebagai mujahid, merupakan  pemikiran produk rezim  Soekarno (1959-1066)  yang kentaldengan  agenda komunisme.  Kebencian PKI (Partai  Komunis Indonesia)  terhadapMasyumi,  mendorong mereka terus menerus memberikan  citra buruk tentang Islammelalui opini Soekarno. Rezim Soekarno dengan Nasakomnya adalah  contoh klasik yang  mengorbankan umat Islam untuk kepentingan komunis global di zamannya. Sehingga  menyebabkan ulama dan tokoh Islam banyak  yang dijebloskan ke  penjara tanpa proses  pengadilan.Kemudian  rezim berganti. Suharto naik tampuk kekuasaan,  yang membantai umat  Islamseperti kasus Priok, Lampung berdarah, dan  DOM di Aceh. Baik rezim  Soekarno

Maupun Soeharto selalu  megusung slogan  kepentingan nasional  dan pengukuhan  NKRIyang tidak dapat di  tawar-tawar. Logika Sokaerno  dan Soeharto dengan  sedikit polesangincu  tetap berjalan di masa  orde reformasi ini. Sebelum pengepungan  rumah reot di Desa Beji  Temanggung, Jawa  Tengah, yang diduga tempat  persembunyian Noordin M. Top, tapi ternyata „salah bunuh‟, badan

intelijen Amerika (CIA)  mensuplai peta imajiner  jaringan terorisme di  Indonesia. Petaimajiner  ini harus mendapatkan  pembenaran empiriknya, yang kemudian memperlihatkan  heroisme kepolisian saat pengepungan di Temanggung, dan tembakmati  tersangka teroris di Jati Asih, Jawa Barat. Tindakan Densus 88 yang membunuh para  tersangka teroris tanpa  proses peradilan dengan alasan, persis  pasukan blackwater,  tentara bayaran yang  dikirim oleh George Bush untuk membantai  rakyat Irak. Sejak 2005,  seperti dinyatakan  Direktur Blackwater,Erik  Prince, sekiatr 80%  peristiwa  penembakan dilancarkan  oleh blackwater dari kendaraan yang sedang melaju, tanpa mempedulikan apakah yang  terbunuh rakyat sipil, orang tua,  maupun  anak-anak. „Bahwa ada rakyat tak bersalah yang  kehilangan nyawa, maka itu  sangat saya sesalkan,"  ujar  Eric.

 Akan lebih baik, bila  penyelesaian terorisme tanpa distorsi agama,  melainkan dengancara  meningkatkan  kesejahteraan rakyat,  memajukan pendidikan,  dan menegakkan keadilan hukum seperti dijanjikan presiden SBY.

 Komentar 

 : Menurut saya Negara  adidaya seperti Amerika  lah yangseharusnya  mengerti mengapa  terorisme  muncul begitu pesat  dinegara tersebut dan  berkembang kenegara-negara lainya. apabila  Amerika khususnya tidak  mendeskripsikan bahwa  warga muslim lah yang  bertanggung jawab atas terjadinya  pengeboman WTC. Dan tidak memulai  perperangan yang terjadi di irak. maka tidak akan muncul  hal-hal seperti ini yang  menambah parah kondisi global.

Nama: Tory Hanwari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar