Tema: HAM DAN TERORISME
Hak Asasi Manusia(HAM) adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma, yang menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional.
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil
Teror yang melanda Indonesia belakangan ini bermula dari kerusuhan narapidana terorisme di Rumah Tahanan Markas Komando Brigade Mobil Kepolisian RI di Depok pada 9-10 Mei 2018. Setelah itu, diduga sel-sel teroris mulai bergerak untuk menciptakan teror, khususnya dengan menyerang aparat kepolisian sebagai simbol penegakan hukum. Serangkaian bom bunuh diri meledak di Jawa Timur dan mengakibatkan 28 orang tewas dan 57 orang luka-luka. Markas Kepolisian Daerah Riau di Pekanbaru juga diserang dan mengakibatkan seorang polisi tewas dan dua lainnya terluka. Para pelaku diduga adalah anggota Jamaah Ansharud Daulah, bagian dari kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Fenomena yang baru pertama kali terjadi di Indonesia dalam teror di Jawa Timur adalah pelibatan perempuan dan anak-anak sebagai pelaku bom bunuh diri. Hal ini menyisakan pertanyaan, apa yang sebenarnya terjadi, apa motif dan penyebabnya?
Dalam konteks ini, pendekatan hak asasi manusia (HAM) sangat berperan untuk mengidentifikasi akar masalah yang memicu aksi terorisme, dari faktor sosial, ekonomi, budaya, maupun politik. Dengan demikian, kebijakan penanggulangan terorisme melalui pencegahan, mitigasi, dan deradikalisasi dapat berjalan efektif dan tepat sasaran.
Penanggulangan terorisme, meskipun sudah dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, masih belum maksimal. Menurut Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian, salah satu penyebabnya adalah keterbatasan regulasi tentang terorisme, yang hanya bersifat reaktif dan responsif. Menurut Tito, hal yang dibutuhkan saat ini adalah regulasi yang proaktif, sehingga aparat bisa dengan cepat bertindak mengungkap dan mencegah teror dari pihak-pihak yang sudah menjadi target sasaran aparat.
Harus diakui bahwa masih belum optimalnya penanggulangan terorisme karena lemahnya identifikasi akar masalah terorisme dan belum dibangunnya mekanisme pencegahan teror secara komprehensif. Teror yang masih terjadi merupakan bukti belum optimalnya kewajiban negara dalam melindungi dan memenuhi hak atas rasa aman dan hak hidup masyarakat.
Negara juga harus mulai secara serius memperhatikan dan mencegah pelibatan anak-anak dalam tindak pidana terorisme karena akan menimbulkan efek psikologis yang sangat buruk bagi anak-anak dalam memandang anak-anak pelaku teror. Sebagaimana diatur di dalam Pasal 63 Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, setiap anak tidak boleh dilibatkan di dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan. Pasal 53 ayat (1) menyatakan setiap anak berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.
Teror yang melibatkan anak-anak tersebut jelas menampar kemanusiaan kita dan kredibilitas negara secara keseluruhan. Mengapa hal ini tidak teridentifikasi sejak awal?
Teror adalah musuh bersama bagi umat manusia, sehingga menjadi kepentingan dan tugas kita bersama untuk memeranginya. Pendekatan terintegrasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan aktor-aktor non-negara sangat dibutuhkan karena teror tidak akan selesai melalui langkah penindakan hukum semata, misalnya hanya melalui Polri yang dibantu oleh TNI.Teror telah merampas hak asasi manusia para korban dan masyarakat secara umum, khususnya hak untuk hidup, hak atas rasa aman, dan kemerdekaan dari rasa takut. Teror juga menyebabkan instabilitas suatu wilayah dan bangsa, membahayakan masyarakat, serta menjadi ancaman bagi perdamaian dan pembangunan. Negara wajib melindungi setiap orang, di antaranya dengan mengambil tindakan semaksimal mungkin untuk mengadili para teroris dengan mengedepankan due process of law.
Penanganan terorisme dengan cara dan pendekatan yang benar dan tepat, berbasis pada penghormatan serta perlindungan HAM, harus menjadi bagian penting dalam kebijakan dan program memerangi kejahatan terorisme. Pendekatan berbasis HAM harus ada pada setiap tahap penanganan terorisme, termasuk ketika terduga teroris menghadapi proses hukum di pengadilan. Pendekatan HAM menekankan bahwa penanganan atas kejahatan terorisme harus akuntabel. Mekanisme untuk menjamin adanya kontrol dan pengawasan publik harus dibangun dan dijalankan atas wewenang yang diberikan kepada negara dalam kebijakannya memerangi terorisme.
Tindakan terorisme berdampak langsung pada martabat dan keamanan manusia, menciptakan situasi penuh rasa takut, dan menghancurkan hak asasi manusia itu sendiri. Kehadiran terorisme juga berhadapan langsung dengan integritas pemerintahan yang sah. Untuk memenuhi kewajiban melindungi individu dari terorisme, Negara memiliki hak dan kewajiban untuk mengambil langkah-langkah kontra-terorisme yang efektif, mencegah serangan teroris di masa depan dan mengadili mereka yang bertanggung jawab.
Namun dalam praktiknya, disaat yang sama perlawanan terorisme menimbulkan tantangan berat terhadap perlindungan dan promosi hak asasi manusia. David J. Whittaker dalam buku Counter-Terrorism and Human Rights menjelaskan bahwa permasalahan hak asasi manusia dalam kontra-terorisme kerap ditemui dalam berbagai bentuk.
Termasuk dalam pengawasan (surveillance), penahanan yang disengketakan (disputed detention), penangkapan (arrest), prosedur penahanan tak terduga (the vagaries of charging procedure), ekstradisi dini (premature extradition), proses transfer tersangka (the transfer and trasport of suspects), perlakuan saat interogasi (the treatment on interrogation) dan pemenjaraan semena-mena (incarefully imprisonment). Peristiwa kematian Siyono dalam penangkapan dan penahanan Densus 88 Anti Teror pada 8 Maret 2016 di Brengkungan, Klaten dapat bersama kita jadikan pelajaran.
Merespon tantangan tersebut, lembar fakta PBB tentang HAM, Terorisme dan Kontra-Terorisme (Factsheet No. 32) menjelaskan bahwa hukum hak asasi manusia mengenal asas fleksibilitas yang meliputi pembatasan (limitations) dan pengurangan (derogations). Negara dapat secara sah membatasi pelaksanaan hak-hak tertentu, seperti membatasi hak seseorang untuk mengekspresikan diri jika terbukti secara hukum melakukan ajakan untuk terlibat dalam aksi terorisme.
Selain membatasi, rezim hak asasi manusia, dalam keadaan tertentu, seperti keadaan darurat publik (state of public emergency) yang mengancam kehidupan bangsa, mengizinkan Negara mengurangi hak asasi manusia tertentu. Keadaan darurat ini harus dipahami sebagai tindakan sementara yang benar-benar luar biasa, yang hanya dapat dilakukan jika ada ancaman nyata. Dilema ini ditemukan dalam situasi "shoot-to-kill" yang terjadi dalam bentrok di Mako Brimob. Dalam situasi ini, hukum hak asasi manusia memperbolehkan penggunaan lethal force atas alasan melindungi nyawa manusia. Namun batasan-batasan ini tetap harus benar-benar mematuhi prinsip-prinsip kebutuhan dan proporsionalitas, demi terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan.
Implikasi nyata dari salah kaprahnya persoalan pemikiran hak asasi manusia ini, berkembang dengan maraknya pendekatan "extraordinary measures" yang banyak dianut negara-negara demokrasi, termasuk Indonesia. Akibatnya, tak jarang diskursus hak asasi manusia harus dibayar mahal atas nama kepentingan keamanan nasional.
Mengatur perlawanan terorisme secara ketat dan menghormati hak asasi manusia menjadi penting karena sebanyak 93% dari serangan teroris antara 1989 dan 2014, terjadi di negara-negara dengan tingkat kematian ekstrajudisial (extrajudicial killing), penyiksaan dan pemenjaraan tanpa pengadilan yang tinggi (Global Terrorism Index, 2015). Pendekatan ini sering digunakan untuk menekan protes damai dan gerakan oposisi yang sah, menutup perdebatan, menahan pembela hak asasi manusia dan menstigmatisasi minoritas (Dhillon & Mama-Rudd, 2016).
Pada titik ini, ketika wewenang eksekutif diperluas, tidak jarang justru berujung pada kelaliman eksekutif (executive despotism). Di Singapura, atas dasar keamanan nasional dan tanpa otoritas yuridis, mereka yang dicurigai melakukan tindak pidana terorisme (bahkan sebelum terjadi) dapat ditahan selama dua tahun tanpa proses (detention without trial). Camp Guantanamo Bay, Cuba yang kerap dikritik karena diduga melanggar due process of law lahir dari "Patriot Act" milik Amerika Serikat.
Sementara di Prancis baru-baru ini, Macron menawarkan rancangan UU terorisme yang memberikan polisi hak menempatkan individu di bawah tahanan rumah tanpa pengadilan, menyerang rumah dan tempat pertemuan tanpa berkonsultasi dengan hakim, dan melarang pertemuan publik (The Conversation, 2018).
Indonesia sendiri saat ini tengah merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Perlu diingat bahwa kebijakan pemberantasan terorisme Indonesia saat ini adalah produk dari sistem politik yang beralih dari otoritarianisme ke demokrasi, sehingga secara umum masih didominasi langkah-langkah keras dalam memerangi terorisme, sehingga belum banyak mencerminkan prinsip HAM dan due process of law.
Dilema domokrasi ini dihadapi setiap negara demokrasi yang dihadapkan pada terorisme. Di satu sisi, ia harus melindungi integritas teritorial, kedaulatan dan keamanan rakyatnya dari kekerasan sewenang-wenang teroris. Di sisi lain, Negara sangat mungkin kehilangan legitimasi dan tergelincir ke dalam penindasan dan otoritarianisme dalam proses memerangi terorisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar