HAM TERHADAP TERORISME DI INDONESIA
Rentetan peristiwa terorisme belakangan membuka kembali perbincangan yang sama sekali tidak baru. Namun, ini kerap muncul ketika peristiwa terorisme meluap. Dengan nada "marah", banyak kalangan menuding hak asasi manusia (HAM) tak relevan diperbincangkan pada kasus terorisme.
Tidak hanya isu soal agama dan komunisme, isu HAM pun kerapkali kesannya menjadi komoditas politik.tindak pidana terorisme adalah kejahatan yang serius dan berdampak pada guncangan nurani umat manusia. Karena sifat kejamnya, besarnya jumlah korban, dan sifat tidak memilah-milihnya.
HAM adalah hak yang melekat pada setiap orang yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai sebuah anugerah, maka HAM melekat erat pada setiap manusia, siapapun dia tanpa terkecuali. tidak ada seorang atau pihak manapun bisa mencabut HAM seseorang secara sewenang-wenang, termasuk pemerintah. Apakah seorang teroris mempunyai HAM? Ya, sudah pasti. Tidak ada ketentuan di dalam instrumen HAM nasional dan internasional yang menyebutkan bahwa seorang penjahat, misalnya teroris, tidak punya HAM. Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana aspek HAM bagi teroris yang telah membunuh orang dan merugikan kepentingan umum? Ada yang berpendapat, oleh karena aksi mereka telah merenggut hak hidup dan hak atas rasa aman bagi masyarakat secara luas, tidak pantas bagi teroris untuk dijamin dan dilindungi HAM-nya. Di sinilah perbedaan antara pendekatan pemberantasan terorisme berbasis HAM dan yang tidak berbasis HAM.teror diperlakukan sebagai manusia yang pada dirinya melekat hak-hak yang dilindungi oleh undang-undang. Mereka yang dituduh melakukan teror, diadili melalui proses hukum dengan mengedepankan asas due process of law dalam koridor criminal justice system. Dengan pendekatan berbasis HAM, terorisme dapat dilokalisir sehingga tidak menyebar luas ke masyarakat. Pendekatan yang humanis menempatkan teroris para pelaku lapangan bukan hanya sebagai pelaku semata, namun juga korban. Mereka adalah korban dari indoktrinasi dan penyebaran pemahaman agama yang salah melalui berbagai media, di antaranya internet. Untuk itu, selepas dipenjara, mereka harus dirahabilitasi dan diberdayakan secara sosial dan ekonomi. Pendekatan HAM juga memberikan porsi yang besar kepada aktor-aktor nonnegara (organisasi kemasyarakatan, media, institusi pendidikan, LSM, dll) untuk berperan serta menanggulangi terorisme. Hal ini karena terorisme, sebagai faham dan gerakan, tidak bisa hanya diatasi oleh aparat negara yang jumlah dan kapasitasnya sangat terbatas, dibandingkan skala ancaman dan gerakan teror yang sangat luas dan mengglobal. Melalui pemeriksaan di pengadilan, aparat negara bisa memperoleh banyak data dan informasi tentang terorisme yang diperoleh dari tersangka/terdakwa, saksi, ahli, dan alat bukti lainnya. Keterangan ini berguna untuk menguak dan menelusuri jaringan teror yang ada untuk kepentingan pencegahan dan penindakan. Selain itu, proses penegakan hukum menjadi media edukasi bagi publik dan terduga teroris bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah dan melanggar hukum.
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakanwarga sipil.
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serangan-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Kemudian, tindak pidana terorisme juga mengakibatkan terlanggarnya hak bagi korban atau masyarakat untuk hidup dan hak mendapatkan rasa aman. Hak tersebut merupakan yang tidak bisa dikurangi oleh siapapun. "Oleh karena itu, saya harap pemerintah bisa melaksanakan pemberantasan tindak pidana terorisme secara komprehensif. Terlebih, saat ini sedang dibahas terkait RUU Anti Terorisme
Saat ini, rencana revisi UU terorisme itu masih menimbulkan pro dan kontra, ada yang mendukung namun tak sedikit menolak. Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution mengingatkan agar Pemerintah berhati-hati sebelum memutuskan untuk merevisi UU Terorisme.
"Revisi UU bukan untuk memberikan kewenangan bagi intelijen melakukan penangkapan. Bukan berarti intelijen memiliki kekuatan menjadi penegak hukum. Karena penegak hukum tetap dalam koordinasi Polri
Pemerintah, kata Maneger, harus menyediakan cukup ruang dan waktu untuk menyerap serta mendengar aspirasi publik. Ada beberapa prinsip pokok sekiranya dilakukan revisi UU nomor 15 tahun 2003 agar pemberantasan tindak pidana terorisme tidak menjadi
kontraproduktif.
Maneger memberikan beberapa masukan yang perlu diatur secara lebih detail dalam Revisi UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Pertama, aparat kemanan atau penegak hukum diberikan keleluasaan terukur untuk melakukan tindakan penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme sehingga operasi di lapangan betul-betul terukur dan publik pun diberi ruang untuk bisa menilai independensi dan profesionalitas aparat kepolisian.
Kedua, ketika aparat penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme melakukan salah sasaran penindakan, maka diperlukan rehabilitasi. Aparat penegak hukum berkewajiban meminta maaf kepada keluarga korban salah sasaran penindakan dan kepada publik serta dibarengi dengan melakukan rehabilitasi secara terbuka. Caranya, negara memberikan ganti untung yang laik terhadap korban salah sasaran penindakan penegak hukum.
Ketiga, memberikan kewenangan terukur terhadap pihak kepolisian untuk dapat menangkap atau menahan terhadap terduga teroris atau kombatan yang berasal dari sejumlah daerah konflik. Indikasinya, untuk kombatan luar negeri misalnya, bisa dilihat dari rekam jejak perjalanan orang tersebut di Kementerian Luar Negeri. Orang tersebut bisa dimintai keterangan terlebih dahulu. Jika dianggap sudah clear baru bisa dilepas. Langkah ini dipandang sebagai upaya pencegahan adanya penyebaran ideologi radikal dan kemungkinan perekrutan anggota baru. Langkah ini sudah diterapkan di sejumlah negara-negara maju
Keempat, penegasan terkait kerja dan wewenang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Selama ini, kerja BNPT dinilai campur aduk antara pengambil kebijakan, supervisi, dan operasional. Kendati begitu, pemerintah harus menegaskan klasifikasi ancaman keamanan nasional dan pihak-pihak yang melakukan tindakan atas ancaman tersebut. Harus ditegaskan mana-mana yang masuk dalam kategori ancaman yang mengganggu keamanan nasional, sehingga nanti bisa ditentukan pihak mana yang melakukan penindakan. Namun, semangat dari revisi UU ini harus tetap mengedepakan upaya law enforcement dan penghormatan terhadap HAM. Artinya leading sector-nya adalah pihak kepolisian.
Kelima, pengaturan anggaran melalui APBN. Artinya pembiayaan personil dan operasi penanganan terorisme oleh BNPT dan Polri-Densus 88 hanya oleh APBN. Sehingga rakyat melalui DPR dan lembaga negara pengawas lainnya memiliki ruang untuk mengawasi independensi dan profesionalitas BNPT dan Polri-Densus 88 dalam penanganan terorisme. Dengan demikian kinerja BNPT dan Polri-Densus 88 itu terkontrol. Ini untuk kepentingan kedaulatan hukum Indonesia.
Apa yang tengah menjadi masalah mengenai terorisme adalah lebih dari perlindungan hak asasi manusia dan pada dasarnya penting karena merupakan masalah prinsip. Ada dimensi praktis yang harus menjadi pertimbangan dengan baik. Misalnya tindakan penembakan yang disengaja terhadap orang yang tidak bersalah dalam operasi terorisme, biaya yang mahal dan cenderung tidak efisien yang memberikan kesan bahwa biaya jangka panjang mungkin lebih besar daripada manfaat jangka pendek. Indonesia merupakan demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Namun, selama ini Indonesia masih menggunakan pendekatan kekerasan dalam menangani terorisme misalnya dengan penyergapan, pengejaran, pembunuhan, penangkapan oleh aparat keamanan. Keinginan yang besar dalam gerakan kontra terorisme seringkali mengabaikan nilai-nilai HAM di dalamnya. Terdapat beberapa dugaan pelanggaran hukum dan ham yang kerap dilakukan oleh polisi dan Densus 88, dimana bentuk pelanggaran yang dilakukan secara umum berupa penggunaan kekuatan berlebihan (excessive Use of Force) yang mengakibatkan tewasnya si tertuduh, kemudian pelanggaran hak atas rasa aman serta ketenangan dari masyarakat, penembakan salah sasaran (shooting innocent civilians), penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya, penangkapan dan penahanan paksa serta salah tangkap.Aksi terorisme memang merupakan suatu aksi yang melanggar HAM namun cara-cara untuk memperlakukan para pelaku terorisme perlu untuk mengedepankan aspek HAM karena isu HAM berpengaruh terhadap upaya penanggulangan terorisme. Hak asasi manusia memiliki peran sentral dalam pemenuhan semua aspek dari strategi kontra terorisme. Beberapa negara telah terlibat dalam penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya dalam melawan terorisme, sedangkan perlindungan hukum untuk mencegah penyiksaan sering diabaikan. Sekjen PBB Kofi Anan menekankan bahwa tindakan kontra terorisme yang efektif tetap memperhatikan aspek perlindungan hak asasi manusia yang tidak bertentangan dengan tujuan, namun saling melengkapi dan saling memperkuat.
Partisipasi pemerintah berbicara mengenai tata kelola dalam menangani masalah terorisme. Dalam prosesnya, pemerintah melalui aparat keamanan menangkap pelaku teror tidak kemudian mengabaikan aspek-aspek pelanggaran lain yang menyertainya. Pemerintah harus melakukan proses perencanaan, harus ada efisiensi, anti kekerasan, anti korupsi, dan hal-hal tersebut tidak boleh diabaikan dalam proses penangkapan pelaku teroris. Hal ini dilakukan mengingat alasan efisiensi dan tidak memunculkan kesan berlebihan dalam penanganan terorisme. Selain itu, pemerintah sendiri juga diharapkan tidak melakukan pelanggaran hukum dalam proses pemberantasan terorisme karena pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah tidak kalah buruknya dengan pelanggara yang dilakukan oleh kelompok terorisme. Peran Pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi terorisme sudah menunjukan keberhasilan yang cukup berarti, tetapi masih banyak yang perlu dihadapi untuk menciptakan perasaan aman di masyarakat dari aksi-aksi terorisme. Tragedi ledakan bom belum lama ini menunjukan bahwa aksi terorisme harus terus diwaspadai, dimana bentuk gerakan dan perkembangan jaringannya terus berubah sehingga sukar untuk dilacak. Sulitnya penyelesaian permasalahan terorisme ini terjadi karena masih banyak faktor yang menyebabkan terorisme dapat terus berkembang. Dari faktor perbedaan ideologis dan pemahaman tentang agama yang berbeda-beda sampai kesenjangan sosial dan pendidikan yang membuat masyarakat lebih mudah untuk disusupi oleh jaringan-jaringan teroris.
Kami rasa aksi ini bukan yang terakhir kalinya, kami barusan tersadar, aksi pengeboman ini selau dilakukan dengan jeda-jeda yang cukup untuk membuat kita lengah, lupa dengan adanya terorisme di sini, kita tidak tahu apakah pelakunya selalu sama, tetapi setidaknya, kita bisa menduga, bahwa mereka selalu jeli dalam mengambil jeda waktu yang tepat. Ruang lingkup terorisme jaman sekarang sudah lebih luas dan mengarah kepada golongan masyarakat yang memiliki pondasi pemikiran yang lemah dan mudah digoyahkan seperti pelajar dan mahasiswa. Pada hakekatnya mereka (teroris) punya keyakinan bahwa apa yang mereka lakukan itu benar. Mereka mengatas-namakan agama sebagai kedok kejahatan mereka. Padahal jika kita cermati, hal demikianlah yang bisa mengadu domba satu agama dengan agama yang lain, yang tentunya juga akan merusak citra ISLAM yang indah dan damai. Tentu hal demikian bukan hanya menjadi musuh bangsa, tetapi menjadi musuh kita semua sebagai kaum muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar