Selasa, 19 Juni 2018

(FEKON08 - 171310678) Deklarasi Wujudkan Pilkada Damai 2018

Pascapenetapan pasangan calon (paslon) kepala daerah dan wakil daerah (pilkada) secara serentak pada 12 Februari 2018, dan diikuti pengundian nomor urut paslon sehari setelahnya yaitu pada tanggal 13 Februari 2018, KPU selanjutnya menggelar deklarasi kampanye damai pilkada 2018 secara serentak, Minggu 18 Februari 2018.

Penyelenggaraan deklarasi dilakukan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) berpusat di Makassar, Sulawesi Selatan. Diikuti oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota di 171 daerah yang pilkada, meliputi 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten seluruh Indonesia. Deklarasi damai yang diawali dengan gerak jalan santai sepanjang 3 kilometer itu, diikuti ribuan peserta yang terdiri dari beberapa komisioner KPU se-Indonesia, panitia pemutakhiran data pemilih (PPDP), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pemungutan Kecamatan atau (PPK) se-Indonesia.

Tak hanya itu, turut juga diramaikan oleh Aparat Kepolisian, TNI, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sulsel dan simpatisannya, masyarakat biasa, berbagai ormas, dan LSM. Kegiatan ini dibuka langsung oleh Ketua KPU RI Arief Budiman."Tujuannya mengajak seluruh pihak yang ada untuk bersama-sama menciptakan pelaksanaan pilkada yang damai dan berintegritas," kata Sabri Sulaiman, Sekretaris KPU Makassar saat ditemui di sela-sela kegiatan berlangsung.Sabri berharap, dengan kegiatan yang ada, masyarakat juga diharapkan dapat berpartisipasi secara maksimal, khususnya menggunakan hak suaranya dengan baik dalam Pilkada Serentak 2018.

"Jangan ada sampai tidak memilih. Mari kita manfaatkan hak suara kita di pilkada 2018 ini. Serta utamanya tidak tergoda dengan rayuan politisasi uang dan Sara," Sabri menandaskan.Gerak jalan santai pilkada damai yang dibuka langsung oleh Ketua KPU RI Arief Budiman berlangsung dari Jalan Jenderal Ahmad Yani atau Lapangan Karebosi dan finis di Anjungan Losari yang menjadi pusat digelarnya Deklarasi Pilkada Damai 2018.

Masa kampanye secara resmi memang sudah dimulai sejak 15 Februari dan akan berlangsung sampai 23 Juni 2018. Selama empat bulan lebih paslon akan bertarung menawarkan visi, misi, dan program guna meyakinkan pemilih agar memberikan suara untuk si paslon pada hari pemungutan suara Rabu, 27 Juni mendatang. Esensi kampanye sejatinya adalah aktivitas pendidikan politik melalui adu gagasan dan agenda kerja.

Sedangkan deklarasi kampanye damai bukan hal baru. Sejak pilkada langsung digagas di tahun 2005, sampai pilkada serentak gelombang ketiga tahun 2018 terselenggara, jargon damai selalu diteriakkan lantang. Deklarasinya, pilkada damai harga mati.Damai merupakan hal mendasar dalam demokrasi. Tidak ada demokrasi dengan kekerasan dan manipulasi. Pilkada tidak boleh berujung permusuhan, kerusuhan, apalagi perpecahan. Pilkada mutlak ciptakan rasa tenang, tenteram, dan aman, sebagai refleksi kerukunan warga. Pilkada sudah semestinya menyatukan. Menyatukan pemilih untuk mencoblos yang terbaik bagi kepentingan pelayanan publik dan kepemimpinan daerah.

Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 tentulah berbagai macam cara dilakukan. Baik dengan cara memoles kandidat agar dicintai masyarakat. Menyusun visi misi yang sedemikian ciamik. Hingga melibatkan tokoh-tokoh masyarakat sebagai juru kampanye agar bisa memengaruhi emosi para pemilih.

Ironisnya, cara-cara kurang baik atau biasa disebut Kampanye Hitam terkadang dilakukan oleh para tim sukses demi meraih tujuannya yaitu kemenangan. Mulai menyebarkan berita-berita hoaks tentang lawan politik hingga melempar isu-isu berbau sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Termasuk, menghalalkan praktik money politics atau politik uang kepada masyarakat. Money politic (politik uang). Dapat dimaknai sebagai uang sogok politik agar orang yang mendapatkannya mengikuti kemauan si pemberi. Dapat disebut pula dengan istilah politik transaksional. Sehingga pemilih menggunakan hak pilihnya tidak sesuai dengan hati nurani, akal sehat dan ijtihad dari dalam dirinya, Tetapi pilihan dijatuhkan atas dasar diberi uang.

 

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 telah mengatur perihal money politic. Pasal 73 ayat (1) menyebut, "Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih". Ada dua sanksi yang dapat dijatuhkan atas pelanggaran pasal ini; sanksi administrasi dan sanksi pidana.

Berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi bila terbukti melanggar Pasal 73 ayat (1) maka dikenai sanksi administrasi. Yaitu, pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi. Bilamana terbukti melanggar Pasal 73 ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka dikenai sanksi pidana. Pasal 187A, B, C dan D, menyebut sanksi pidana penjara paling lama 72 bulan dan denda mencapai Rp 1 Milyar.

 

Inilah tiga tantangan terbesar yang sedang dihadapi masyarakat jelang pilkada serentak 2018. Ketiganya dapat dijadikan variabel untuk mengukur tinggi dan rendahnya integritas proses demokrasi melalui pemilihan langsung. Pengalaman di pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu menjadi semacam cerminan betapa isu SARA sangat menyita emosi warga. Masyarakat di pecah belah hanya demi kepentingan politik sesaat.

 

Saya sangat prihatin atas kondisi perpolitikan tanah air belakangan ini yang nyaris diwarnai oleh ketegangan yang bersifat primordial. Tentu saja kita semua tidak ingin perpecahan atas nama apa pun terjadi hanya gara-gara pemilihan kepala daerah. Sebab pada dasarnya, pemilihan kepala daerah digelar demi mewujudkan demokrasi yang semakin berkualitas, bukan malah memecah belah umat. Ini menjadi suatu peringatan dini bagi masyarakat agar menyadari situasi yang sedang dihadapi dan bijak dalam mengambil sikap. Dan jadi peringatan bagi paslon juga agar mengedepankan kampanye yang terhormat dan bermartabat untuk mencegah perpecahan dan keterbelahan bangsa.

 

Sehubungan itu, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan penyelenggara pemilu, pemilih, dan paslon, agar kampanye damai bukan sebatas simbo artfisial. Pertama, penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), institusi negara terkait, dan paslon, harus terus melakukan pencegahan dan sosialisasi yang terhubung dalam melawan kampanye jahat. Peta jalan bersama antara penyelenggara, kementerian/lembaga terkait, dan aparat penegak hukum harus disusun terintegrasi agar kerja pencegahan tidak sektoral dan kasuistis

Kedua, jika pendekatan persuasif telah dilakukan dan tetap terjadi pelanggaran, maka aparat penegak hukum harus menjalankan fungsi penegakan hukum secara tegas. Bawaslu sebagai pengawas, bersama aparat penegak hukum yang bernaung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) harus berani dan tidak boleh pasif. Kesepamahan dan kesamaan komitmen di antara mereka harus solid dari mulai elit sampai jajaran lapangan.

Bawaslu dan aktor negara terkait jangan hanya intensif menandatangani nota kesepahaman namun lembek saat berhadapan dengan pelanggaran di lapangan. Keterlambatan dalam proses pengungkapan dapat membuat perilaku yang sama menyebar tanpa kendali. Sikap pasif dan lambat jajaran Bawaslu, bisa berakibat ketidakpercayaan dari masyarakat dan peserta pilkada.

Bibit kampanye jahat harus ditindak dan diadili, tentu dengan cara-cara yang menjunjung tinggi penghormatan pada hak asasi warga negara. Agar ada efek jera bagi mereka yang mau coba-coba. Namun, Bawaslu sebagai komandan pengawasan pilkada, wajib transparan dalam memproses dan mengungkap kasus-kasus yang ada, baik politk uang, intimidasi, kampanye hitam, maupun penyebaran kebencian. Karena transparansi akan menghilangkan sekat-sekat kecurigaan di antara para pihak dan menjaga akuntabilitas kerja jajaran Bawaslu.

Ketiga, masyarakat harus bijak memilah dan mencerna informasi. Rawatlah nalar dan nurani dengan memelihara jiwa kritis dan perilaku tabayyun. Tabayyun jika benar-benar dipraktikkan umat, niscaya tak akan memberi ruang bagi hadirnya kampanye jahat dan provokasi pilkada. Tradisi tabayyun mengharuskan pemilih meneliti dan menyeleksi suatu berita, tidak secara tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu sampai jelas benar permasalahnnya, sehingga tidak ada pihak yang merasa dizalimi atas suatu keadaan.

Penting bagi pemilih untuk mengkonfirmasi atau menguji validitas data dan informasi yang diterima. Agar tidak terjebak dalam agenda jahat para oportunis pilkada.Damai tak cukup dideklarasikan, damai harus dibuat nyata. Caranya, dengan mempraktekkan apa yang ada di dalam teks. Akhirnya, kedamaian pilkada akan terwujud jika kampanye benar-benar jadi ajang edukasi politik untuk adu gagasan dan program calon. Bukan sebaliknya marak pelanggaran, kecurangan, dan tindakan memecah.

Pilkada merupakan ikhtiar demokratis untuk memilih pemimpin yang qualified. Pelibatan setiap warga negara yang berhak dengan sistem one man one vote menunjukkan bahwa pilkada memberikan penghargaan dan peluang sama kepada setiap pemilih untuk berpartisipasi dalam menentukan calon pemimpin. Semua pihak mesti berharap bahwa pilkada serentak berjalan aman dan damai.

Semangat menebarkan keamanan dan kedamaian dalam setiap situasi, khususnya saat pilkada, merupakan wujud rasa cinta dan bangga sebagai bangsa Indonesia. Bagi umat Islam, menebarkan kedamaian dan keamanan merupakan simbol tingginya nilai ketaatan terhadap ajaran Islam.

Dalam perspektif teologi, memilih pemimpin merupakan kewajiban. Hal ini diperkuat dengan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah bahwa jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpinnya. Umar bin Khattab menegaskan bahwa tiada Islam tanpa jamaah, tiada jamaah tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan tanpa ketaatan.

Begitu kuatnya perintah memilih pemimpin hingga Imam Al-Mawardi dalam kitabnya yang monumental Al-Ahkam As-Sultaniyah menyebutkan bahwa memilih pemimpin adalah fardu kifayah. Pada titik inilah pilkada menjadi sarana ibadah umat Islam. Yakni, ikhtiar memilih pemimpin yang amanah. Karena itu, lakukan ikhtiar tersebut secara santun, menghormati perbedaan, dan menghindari konflik.

Untuk menciptakan pilkada damai, kiranya tidak bisa hanya dipasrahkan kepada para penyelenggara pilkada seperti KPU dan turunannya. Demikian juga tidaklah etis manakala kita lepas tangan dengan memasrahkan kepada penegak keamanan dan pengawas pemilu. Sebab pada dasarnya, damai tidaknya pesta demokrasi bergantung pada sikap masyarakat secara umum.

Oleh karena itulah, butuh keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat, khususnya ulama, dalam mewujudkan pilkada damai. Ulama dan tokoh masyarakat lainnya harus menjadi contoh yang baik dan menciptakan pilkada damai. Jangan sampai justru sebaliknya, menjadi sumber konflik.

Mereka harus meyakinkan umat bahwa beda pilihan merupakan hal yang wajar sehingga tidak boleh memaksakan kehendak, apalagi sampai berkonflik. Mereka harus meyakinkan umat bahwa terlaksananya pilkada aman-damai menunjukkan bahwa kita adalah bangsa bermartabat dan religius yang cinta damai. Mereka harus meyakinkan umat agar jangan langsung percaya berita-berita hoaks seputar pilkada, terutama yang cenderung adu domba. Sebab, hal tersebut bisa menjadi sumber konflik.

Sekali lagi, pilkada merupakan ikhtiar demokratis memilih pemimpin yang qualified. Ikhtiar yang baik ini tidak boleh dilakukan dengan menghalalkan segala cara karena akan mencederai kualitas pilkada. Ikuti aturan pilkada, hindari adu domba, hormati pilihan yang berbeda.

Pada Deklarasi di Provinsi Kalimantan Barat, Polda Kalimantan Barat menggandeng Keuskupan Agung Pontianak untuk menangkal berita hoaks dan mendeklarasikan penyelenggaraan Pilkada serentak 2018 secara damai di Rumah Retret Imaculata Pontianak, Jalan AR Hakim, Pontianak Kota, Selasa 27 Maret 2018.

Deklarasi ini dipimpin Kapolda Kalbar, Irjen Didi Haryono. Usai deklarasi, para peserta deklarasi yang terdiri dari pastor, pendeta serta sejumlah tokoh Katolik diberi materi untuk menciptakan keamanan yang kondusif dan menangkal berita hoaks.

Hal itu dikemas dalam Forum Grup Diskusi (FGD) dengan tema 'Optimalisasi Peran Keuskupan Agung Pontianak Untuk Menciptakan Situasi Kamtibmas yang Kondusif pada Pelaksanaan Pilkada tahun 2018'.

"Kegiatan ini sebagai bentuk kecintaan kita terhadap tanah air, dan kebanggaan semua pihak, serta ikut serta dalam menjaga keamanan khususnya wilayah Kalbar yang saat ini sudah kondusif," kata Didi kepada sejumlah wartawan.

Menurut Didi, keberagamaan, baik suku, ras, dan agama serta keyakinan yang dimiliki harus dijaga bersama karena Kalbar merupakan suatu provinsi yang langka dan harus menjaga kebanggaan bersama.

Terkait Pilkada Serentak 2018, ia mengimbau kepada seluruh hadirin agar tetap menjaga keamanan dengan cara tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu sara atau pun berita yang belum jelas sumbernya. "Mari kita deklarasikan dan anti hoaks untuk menciptakan pesta demokrasi 2018 di Kalbar, agar berjalan aman dan lancar," ucapnya.

Dalam kesempatan itu, dia juga mengingatkan, agar masyarakat cerdas dalam menggunakan media sosial di tahun politik ini, dengan tidak mudah terpancing adanya sebaran informasi bohong tersebut. "Mari cerdas menggunakan medsos dengan bijak dengan memilah dan memilih setiap informasi yang beredar," pintanya.

Sementara itu, pembacaan pernyataan sikap atau deklarasi Pilkada damai ini dibacakan oleh Uskup Agung Pontianak, Mgr Agustinus Agus Pr. Dimana isinya meliputi, umat Katolik se-Keuskupan Agung Pontianak, Provinsi Kalbar, menolak berita hoaks yang dapat memecah belah persatuan bangsa.Kemudian, mendukung kepolisian melakukan penegakan hukum untuk memberantas pelaku hoaks. Dan, siap mendukung Pilkada Kalbar berjalan dengan damai dan menjaga pluralisme di Kalbar.

Dalam kesempatan itu, Mgr Agustinus mengajak umat Katolik di Kota Pontianak dan Kalbar umumnya untuk menggunakan hak pilihnya pada Pilkada serentak 2018, dan tetap menjaga toleransi dan menjaga pluralisme yang sudah berjalan dengan baik di Kalbar.

"Tanpa ada kegiatan seperti ini pun, kami umat Katolik bertanggung jawab atas suasana aman, damai dan kondusif di masyarkat. Karena kalau keadaan tidak damai, apapun akan terganggu," ujarnya.Dalam setiap kesempatan, kata dia, selalu mengajak umat untuk mendoakan agar Kalbar dalam situasi aman dan damai. Terlebih dalam pelaksanaan Pilkada serentak ini.

Di tempat yang sama, Ketua FKUP Kalbar, Ismail Ruslan mengatakan, ia mengapresiasi kegiatan ini. Dimana sebelumnya, kegiatan serupa juga sudah dilakukan bersama sejumlah tokoh-tokoh agama lainnya.

"Dalam pandangan kita, upaya ini sangat positif demi menjaga kerukunan di Kalimantan Barat dalam bingkai NKRI. FKUB sebagai forum atau lembaga yang menaungi semua tokoh-tokoh agama, juga sudah melakukan upaya yang sama," tuturnya.

Maka dari itu kepada calon dan tim, diharapkan agar jangan menghalalkan segala cara untuk kemenangan. Hindari kampanye negatif-provokatif, hindari politik uang, hindari politisasi SARA, hormati pilihan orang lain yang berbeda. Jika menang, harus merangkul dan tunaikan janji-janji kampanye yang telah diucapkan. Jika kalah, harus berlapang dada dan sejukkkan pengikutnya untuk menerima kekalahan tersebut.

Diharapkan setiap pasangan calon untuk bisa menjunjung tinggi integritas dalam setiap kata dan perbuatan. Itu semua harus bisa diimplementasikan di lapangan demi terselenggaranya pilkada yang aman dan damai. Seluruh pasangan calon, tim kampanye, tim pendukung dan pengusung, serta semua orang untuk sama-sama menjaga dan melaksanakan undang-undang serta peraturan KPU yang telah ada. Mari kita berkomitmen bersama untuk menyukseskan Pilkada ini, dan kepada semua pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada 2018 semoga sukses berdemokrasi.

Jenny Silfi Pratami

(FEKON08-171310627-)Analisis, Prediksi dan Pandangan Masyarakat terhadap Pilkada Serentak 2018

Indonesia akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah Serentak pada 27 Juni 2018. Daerah yang akan mengikuti pilkada serentak tersebut terdiri 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten, dengan total 171 daerah. Seiring dengan rencana penyelenggaraan tersebut pemerintah melalui Bawaslu telah meluncurkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang disusun dari tiga aspek utama yaitu penyelenggaraan, kontestasi, dan partisipasi. Dari tiga aspek tersebut diturunkan menjadi 10 variabel dan 30 indikator sebagai alat ukur kerawanan. Indeks kerawanan yang dikeluarkan terdiri dari indeks rendah antara 0-1,99, indeks sedang 2,00-2,99, dan indeks tinggi 3,00-5.00.

Dari Indeks Kerawanan Pemilu tersebut 3 provinsi yang dianggap paling rawan adalah Papua, Maluku, dan Kalimantan Barat; dan, 6 kabupaten/kota yang dianggap paling rawan adalah Mimika (Papua), Paniai (Papua), Jayawijaya (Papua), Konawe Sultra), dan Timor Tengah Selatan (NTT). Dari nilai indeks ini Provinsi Papua harus mendapatkan perhatian khusus mengingat ada 1 pilkada provinsi dan 3 pilkada kabupaten yang dianggap mempunyai kerawanan tinggi.

Terlepas dari Indeks Kerawanan Pemilu yang disusun oleh Bawaslu, maka perlu dipahami ancaman-ancaman yang mungkin terjadi pada pilkada serentak 2018 tersebut, dan kerawanan yang ada sehingga bisa menjadi pintu masuk terjadinya ancaman. Ancaman tidak akan terjadi jika celah-celah kerawanan bisa diatasi.

Potensi Ancaman

Ancaman akan terjadi jika pelaku mempunyai niat, kemampuan, dan kesempatan. Ancaman akan terjadi melalui celah-celah kerawanan. Niat yang bisa muncul untuk melakukan ancaman terhadap pilkada adalah niat untuk menggagalkan pilkada supaya tidak terjadi, dan niat supaya hasil pilkada sesuai dengan keinginannya. Selain itu ada pula ancaman yang memanfaatkan momentum pilkada misalnya niat untuk membuat kerusuhan, teror, atau kriminalitas di saat masyarakat dan aparat keamanan sedang sibuk mengikuti Pilkada.

Ancaman untuk menggagalkan pilkada harus dideteksi sejak dini. Pelaku yang mungkin mempunyai niat ini adalah orang atau pihak yang tidak setuju dengan sistem demokrasi atau pihak yang akan terganggu dengan pilkada yang sedang berlangsung. Kelompok-kelompok anti demokrasi atau pihak yang tidak bisa atau tidak terwakili untuk bertanding mempunyai kemungkinan untuk melakukan ancaman agar pilkada tidak terjadi.

Potensi ancaman berikutnya adalah yang dilakukan oleh orang atau pihak yang tidak puas terhadap hasil pilkada. Pihak-pihak yang kalah tentu mempunyai potensi besar untuk melakukan ancaman terhadap penyelanggaraan pilkada. Mereka bisa melakukan kekerasan atau kerusuhan atas ketidakpuasan hasil pilkada. Karakter siap menang namun tidak mau kalah yang dimiliki oleh politisi-politisi yang bermental pecundang akan cenderung melakukan aksi "bumi hangus" atas kekalahannya. Hal ini tentu harus diwaspadai terutama dengan mempelajari karakter peserta dan masyrakat pendukungnya.

Kelompok atau oknum yang memanfaatkan situasi pilkada sebagai kesempatan mereka untuk melakukan aksi tertentu juga wajib diwaspadai. Momen pilkada yang penuh dengan kesibukan bisa menjadi celah bagi kelompok atau oknum yang ingin melaksanakan aksi tertentu, misalnya untuk aksi teror, atau tindakan kriminal untuk menguntungkan dirinya sendiri.

Dalam hal ini termasuk wajib diwaspadai adalah kepentingan pihak lain yang menginginkan terjadinya kerusuhan di Indonesia dengan memanfaatkan momen panas pilkada. Kewaspadaan terhadap adannya orang asing atau tidak dikenal yang ingin membuat keruh suasana harus diantisipasi sejak dini dengan melakukan pengawasan sosial oleh masyarakat bersama dengan aparat keamanan.

Kerawanan adalah hal tertentu yang bisa menjadi celah bagi terjadinya ancaman. Beberapa aspek yang dianggap sebagai pemicu kerawanan oleh Bawaslu adalah politik uang, keberpihakan penyelenggara, kontestasi antarcalon, pemenuhan hak pilih, dan netralitas ASN. Hal lain yang menurut penulis menjadi celah kerawanan adalah perilaku intoleran dan radikal yang cenderung tidak bisa menerima perbedaan.

Administrasi kependudukan yang mungkin masih kurang baik menjadi salah satu celah kerawanan yang masih saja terjadi. Walaupun dengan adanya program KTP elektronik seharunya hal ini tidak perlu terjadi, namun maladministrasi termasuk belum tuntasnya distribusi KTP elektronik bisa menjadi celah kerawanan yang dimanfaatkan masuknya ancaman tertentu.

Aspek pemicu kerawanan yang diuraikan oleh Bawaslu tersebut di atas harus ditangani agar tidak terjadi. Kerawanan harus ditutup sehingga tidak ada lagi celah bagi masuknya ancaman. Tugas utama negara, penyelenggara (KPU), pengawas (Bawaslu), dan aparat keamanan adalah menutup celah kerawanan ini.

Pemicu kerawanan lain yaitu perilaku intoleran dan radikal menjadi celah kerawanan yang paling mudah dimanfaatkan sebagai pintu masuk ancaman. Jika hasil pilkada menetapkan pemenang mempunyai identitas yang berbeda dari kelompok masyarakat yang mempunyai karakter intoleran dan radikal, maka masyarakat tersebut dengan mudah akan tersulut untuk melakukan aksi sebagai bentuk ketidakpuasannya. Bahkan aksi ini juga bisa terjadi dengan memanfaatkan sikap intoleran dan radikal jika dibumbui motivasi bahwa aksi tersebut adalah bentuk kesetiaan terhadap identitas tertentu termasuk agama.

Seharusnya kali ini pemerintah lebih siap untuk menyelenggarakan pilkada serentak. Sistem administrasi kependudukan yang seharusnya lebih baik bisa meminimalkan celah kerawanan yang ada. Menjadi catatan penting adalah pilkada yang diselenggarakan di daerah tertentu seperti Papua yang mempunyai akses yang relatif lebih sulit dibanding daerah lain. Kendala akses ini memungkinkan Sistem Administrasi Kependudukan tidak berjalan seperti di daerah lain.

Celah kerawanan di Papua menjadi lebih besar dibanding daerah lain karena faktor akses yang terbatas. Selain itu melihat beberapa catatan penyelenggaraan pilkada di beberapa daerah Papua seperti di Intan Jaya, Puncak Jaya, Jayapura, Tolikara, dan Kepulauan Yapen, maka kemungkinan akan terjadi konflik di pilkada serentak 2018 di wilayah Papua sangat tinggi.

Di daerah selain itu, kemungkinan terjadi ancaman terhadap penyelenggaraan Pilkada serantak sangat mungkin, terutama di daerah yang mempunyai Indeks Kerawanan Pemilu tinggi seperti Maluku, Kalimantan Barat, Mimika (Papua), Paniai (Papua), Jayawijaya (Papua), Konawe Sultra), dan Timor Tengah Selatan (NTT). Namun dengan melihat kesiapan aparat Kepolisian dan TNI, serta mencermati soliditas antarlembaga negara yang semakin baik, diperkirakan ancaman-ancaman di daerah tersebut dapat diatasi sejak dini.

Untuk mewujudkan penyelenggaraan pilkada serentak 2018 yang aman dan kondusif maka disarankan agar penyelenggara, pengawas, dan aparat keamanan yang bertugas secara umum melakukan deteksi dini atas potensi-potensi ancaman pilkada serentak yang telah diuraikan di atas. Peran intelijen sangat besar dalam melakukan deteksi dini, dan membuat pemetaan pihak-pihak yang mempunyai niat, kemampuan, dan kesempatan untuk melakukan ancaman. Dengan adanya peta ancaman maka pencegahan akan lebih mudah dilakukan.

Selanjutnya adalah menutup semua celah-celah kerawanan agar tidak menjadi jalan bagi terjadinya ancaman. Ketertiban administrasi, pengawasan, penegakan hukum, dan jaminan netralitas ASN harus dilakukan. Masyarakat harus diyakinkan bahwa pemicu kerawanan tersebut sudah diatasi dan tidak ada pada penyelenggaraan pilkada serentak 2018.

Langkah-langkah prevention, preparation, response and recovery perlu disiapkan untuk mencegah, menghadapi, dan memulihkan situasi atas ancaman Pilkada serentak. Kerja sama antarlembaga pemerintah seperti KPU, Bawaslu, Polri, BIN, TNI, Pemprov, dan Pemda perlu dilakukan untuk menyusun langkah-langkah tersebut sehingga ketika terjadi ancaman dapat ditangani dengan lebih cepat.

Jika masyarakat yakin dan percaya kepada pemerintah bahwa pada pilkada serentak 2018 tidak terdapat kerawanan maka hasil dari pilkada tersebut akan diterima sebagai konsekuensi demokrasi. Namun sebaliknya, jika masyarakat masih melihat celah-celah kerawanan dan tidak ada upaya untuk menutupnya maka hasil pilkada akan memicu ketidakpuasan dan ketidakadilan yang berdampak pada terjadinya ancaman atas keamanan dan ketertiban.

Pendapat masyarakat terhadap pilkada serentak 2018: Pemilihan Kepala Daerah yang akan diselenggarakan secara serentak pada tahun 2018 mendatang, tentunya menjadi sebuah moment  yang tepat bagi seluruh masyarakat untuk menentukan dan memilih pasangan bakal calon kandidat secara tepat sesuai hati nuraninya masing-masing. Artinya bahwa pasangan balon kandidat yang dipilihnya itu benar-benar berjiwa membangun daerah dan masyarakatnya ke arah yang lebih baik. Yakni ke arah perubahan yang lebih maju dari periode-periode sebelumnya.

Untuk menyemarakkan pilkada serentak itu, tak sedikit pasangan balon kandidat yang beramai-ramai memperebutkan partai politik yang bakal menjadi sebuah wadah yang akan mengusungnya dalam pesta demokrasi yang akan diselenggarakan nanti. Dan tak sedikit harta dan uang yang dikorbankan para balon kandidat untuk meperebutkan parpol sebagai pengusungnya.

Tak jarang pula para kandidat juga melakukan money politic untuk merangkul  massa sebagai pendukungnya dengan cara memberi bantuan kepada lembaga-lembaga tertentu menjelang pilkada, misalnya lembaga agama. Selain itu mereka juga melakukan pendekatan lewat entitas ras, agama, suku, maupun wilayah. Inilah yang sering terjadi dalam pilkada-pilkada sebelumnya.

Kondisi ini mewarnai dinamika politik di beberapa daerah di Indonesia khususnya di Provinsi Sumatera Utara yang akan melakukan pilkada serentak.

Walau parpol bertujuan untuk merebut dan menguasai kedudukan politik, sudah sepantasnya parpol menjadi mitra masyarakat dengan menjadi sarana sosialisasi politik dan pengatur konflik. Setidaknya parpol juga melakukan berbagai kegiatan pemberdayaan untuk merangkul masyarakat.

Jelas dalam proses pilkada pun para elit lokal memainkan peranannya untuk meloloskan kepentingannya masing-masing. Disini pula mereka melakukan money politics yang seharusnya tak perlu mereka lakukan.

Akibat adanya money politics terjadilah persaingan tak sehat antar para kandidat. Masing-masing kandidat menunjukkan ambisi untuk menjadi bupati, tanpa memaklumi kekalahannya masing-masing dalam pesta demokrasi yang telah berlangsung. Lalu dimana letak nilai demokrasi diterapkan?

Alangkah baiknya para pasangan balon kandidat mesti rela menerima kekalahannya dalam proses pesta demokrasi, tanpa mencari alasan untuk menjatuhkan para kandidat yang lainnya.

Menurut pandangan kaum muda, selama periode yang berlalu, pembangunan tidak berjalan maju sebab tidak ada komitmen dan kompromi antar para stakeholder untuk membangun suatu daerah.

Karena tidak ada komitmen dan kompromi bersama, maka para stakeholder berjalan masing-masing alias mengejar kepentingannya sendiri. Disinilah muncul kecolongan untuk bersatu membangun daerah. Yang ada hanyalah saling menjatuhkan, menganggap dirinya lebih hebat dari yang lainnya. Dari kecolongan itulah mengakibatkan pembangunan di segala bidang terbengkalai.

Pembangunan tidak bergerak maju sebab tidak ada kesepakatan antara para stakeholder dan masyarakat. Pemerintah mempertahankan pendapatnya sendiri, sementara masyarakat pun mempertahankan pendapatnya. Nah, disinilah terjadi jurang pemisah antara mereka sebab tidak ada kesepakatan lebih lanjut.

Melihat carut-marutnya kondisi kepemimpinan daerah yang akan berlalu, sebagian kaum muda berpendapat bahwa pemimpin daerah yang bakal terpilih nanti lebih baik dari kalangan orang muda.  Karena menurut penilaian mereka, kalangan orang tua tak mampu membangun daerah. Mereka berkeyakinan penuh, daerah akan maju jika dipimpin oleh kaum muda.

Di beberapa media sosial maupun diskusi-diskusi lepas, kaum muda berpendapat agar saatnya orang muda harus menjadi pemimpin daerah untuk membangun daerah. Oleh sebabnya, banyak pasangan balon kandidat dari kalangan muda berancang-ancang untuk mengikuti pesta demokrasi 2018 mendatang dengan motivasinya masing-masing.

Pandangan dan pendapat kalangan muda terhadap pilkada serentak 2018 ini ada benarnya, jika kalangan muda yang nantinya akan terpilih itu mampu membawa daerah kepada suatu perubahan yang maju (bukan mundur) dari berbagai sektor pembangunan yang ada, yang tentunya ditangani secara serius.

Intinya, menurut pandangan kaum muda, kepemimpinan kaum tua pada periode mendatang tak akan membangun daerah seperti periode sebelumnya. Sebab menurut mereka, kaum tua akan lebih berorientasi untuk mengumpulkan harta sebagai bekal di hari tuanya kelak. Maka menurut mereka, pemimpin kaum muda merupakan agen perubahan suatu daerah.

Sedangkan pendapat mahasiswa tentang pilkada serentak 2018 yaitu:

PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) yang akan diselenggarahkan secara serentak pada tahun (2018) mendatang. PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) pada tahun 2018 mendatang, tentunya menjadi sebuah moment yang tepat bagi seluruh komponen masyarakat di tanah Papua untuk dapat menentukan dan memilih pasangan bakal calon (balon) kandidat secara cepat sesuai dengan hati nuraninya masing-masing. Artinya bahwa pasangan bakal calon (balon) kandidat yang akan dipilih oleh anda dengan saya itu yang benar-benar membangun daerah baik itu tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi dan bisa membawa masyarakat ke arah yang lebih baik. Yang dimaksud dengan membawa ke arah yang lebih baik adalah yakni ke arah perubahan yang lebih maju dari periode-periode sebelumnya.

 

Ingat kita pilih bukan sukuisme, familiisme, daerahisme atau dan margisme tapi yang layak menjadi seorang nomor satu di tanah Papua baik itu tingkat kabupaten maupun tingkat Propinsi adalah semestinya netralisme.

Siapa dia netralisme itu, maksud daripada penulisan saya ini,orang yang sudah paham tentang dunia netralisasi, maka usul saya untuk kita semua bahwa suara dari anda dengan saya kasih sajalah tanpa memandang sebab, dia yang layak menjadi kepala Propinsi (Gubernur) dan kepala Kabupaten (Bupati) di Negeri Papua ini.

 

Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak baik itu tingkat Propinsi maupun tingkat Kabupaten di Tanah Papua tahun 2018 mendatang itu, tidak sedikit pasangan bakal calon (balon) kandidat yang akan merebutkan partai politik (parpol) yang bakal menjadi sebuh wada yang akan mengusungnya dalam pesta demokrasi yang akan diselenggarahkan dalam tahun 2018 mendatang.

Dunia telah mengetahui bahwa tidak sedikit harta dan uang yang dikorbangkan oleh para calon kandidat untuk memperebutkan partai sebagai jembatan penghusungnya. Kita sama-sama telah mengetahui bahwa dalam dunia perebuatan sebagai jabatan politik seperti presiden, gubernur, bupati dan DPRP tidak jarang atau pernah para kandidat juga melakukan, membudayakan money politik di negeri ini dengan tujuan untuk merangkul massa sebagai pendukunya dengan cara memberi bantuan kepada lembaga-lembaga tertentu menjelang pilkada, misalnya lembaga agama. Selain itu juga mereka atau para kandidat melakukan pendekatan dengan masyarakat setempat. Pertanyaan ketika sudah jadi, misalnya Bupati Budaya untuk mendekati dengan masyarakat biasa tidak ada dinegeri ini, (Tegas Kagipai Dobiobi Tenouye).

Kaca mata saya atau pandangan saya tentang pilkada yang sudah melampaui dan yang akan mendatang pada tahun 2018 tidak jarang pula masyarakat lebih memilih pasangan bakal calon berdasarkan suku, agama dan budaya.

Nah, budaya seperti ini yang kita sedang membudayakan atau menerapkan di negeri ini, tidak perlu menerapkan budaya buruk ini. Bayangkan lebih buruk lagi , para pasangan bakal calon menkondisikan kepada para pemuda dengan membeli minuman keras (miras) dengan tujuan untuk melakukan tindakan-tindakan anarkis pada saat hari yang pemungutan suara berlangsung. Intinya, menurut saya pandangan kepemimpinan kaum tua pada periode mendatang tidak akan membangun daerah seperti periode sebelumnya.

Sebab, menurut mereka, kamu tua akan lebih berorientasi untuk mengumpulkan harta sebagai bekal di hari tuanya kelak, maka menurut mereka pemimpin kaum muda merupakan agen perubahan atau dalam pepatah menyatakan bahwa "the future lies with the young" artinya suatu bangsa ditangan pemuda masa kini atau maju mundur suatu bangsa ditangan pemuda masa kini.

 

Nama : Ummy Haviza

NIM : 171310627

Kelas : 08 Manajemen Malam