Pascapenetapan pasangan calon (paslon) kepala daerah dan wakil daerah (pilkada) secara serentak pada 12 Februari 2018, dan diikuti pengundian nomor urut paslon sehari setelahnya yaitu pada tanggal 13 Februari 2018, KPU selanjutnya menggelar deklarasi kampanye damai pilkada 2018 secara serentak, Minggu 18 Februari 2018.
Penyelenggaraan deklarasi dilakukan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) berpusat di Makassar, Sulawesi Selatan. Diikuti oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota di 171 daerah yang pilkada, meliputi 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten seluruh Indonesia. Deklarasi damai yang diawali dengan gerak jalan santai sepanjang 3 kilometer itu, diikuti ribuan peserta yang terdiri dari beberapa komisioner KPU se-Indonesia, panitia pemutakhiran data pemilih (PPDP), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pemungutan Kecamatan atau (PPK) se-Indonesia.
Tak hanya itu, turut juga diramaikan oleh Aparat Kepolisian, TNI, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sulsel dan simpatisannya, masyarakat biasa, berbagai ormas, dan LSM. Kegiatan ini dibuka langsung oleh Ketua KPU RI Arief Budiman."Tujuannya mengajak seluruh pihak yang ada untuk bersama-sama menciptakan pelaksanaan pilkada yang damai dan berintegritas," kata Sabri Sulaiman, Sekretaris KPU Makassar saat ditemui di sela-sela kegiatan berlangsung.Sabri berharap, dengan kegiatan yang ada, masyarakat juga diharapkan dapat berpartisipasi secara maksimal, khususnya menggunakan hak suaranya dengan baik dalam Pilkada Serentak 2018.
"Jangan ada sampai tidak memilih. Mari kita manfaatkan hak suara kita di pilkada 2018 ini. Serta utamanya tidak tergoda dengan rayuan politisasi uang dan Sara," Sabri menandaskan.Gerak jalan santai pilkada damai yang dibuka langsung oleh Ketua KPU RI Arief Budiman berlangsung dari Jalan Jenderal Ahmad Yani atau Lapangan Karebosi dan finis di Anjungan Losari yang menjadi pusat digelarnya Deklarasi Pilkada Damai 2018.
Masa kampanye secara resmi memang sudah dimulai sejak 15 Februari dan akan berlangsung sampai 23 Juni 2018. Selama empat bulan lebih paslon akan bertarung menawarkan visi, misi, dan program guna meyakinkan pemilih agar memberikan suara untuk si paslon pada hari pemungutan suara Rabu, 27 Juni mendatang. Esensi kampanye sejatinya adalah aktivitas pendidikan politik melalui adu gagasan dan agenda kerja.
Sedangkan deklarasi kampanye damai bukan hal baru. Sejak pilkada langsung digagas di tahun 2005, sampai pilkada serentak gelombang ketiga tahun 2018 terselenggara, jargon damai selalu diteriakkan lantang. Deklarasinya, pilkada damai harga mati.Damai merupakan hal mendasar dalam demokrasi. Tidak ada demokrasi dengan kekerasan dan manipulasi. Pilkada tidak boleh berujung permusuhan, kerusuhan, apalagi perpecahan. Pilkada mutlak ciptakan rasa tenang, tenteram, dan aman, sebagai refleksi kerukunan warga. Pilkada sudah semestinya menyatukan. Menyatukan pemilih untuk mencoblos yang terbaik bagi kepentingan pelayanan publik dan kepemimpinan daerah.
Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 tentulah berbagai macam cara dilakukan. Baik dengan cara memoles kandidat agar dicintai masyarakat. Menyusun visi misi yang sedemikian ciamik. Hingga melibatkan tokoh-tokoh masyarakat sebagai juru kampanye agar bisa memengaruhi emosi para pemilih.
Ironisnya, cara-cara kurang baik atau biasa disebut Kampanye Hitam terkadang dilakukan oleh para tim sukses demi meraih tujuannya yaitu kemenangan. Mulai menyebarkan berita-berita hoaks tentang lawan politik hingga melempar isu-isu berbau sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Termasuk, menghalalkan praktik money politics atau politik uang kepada masyarakat. Money politic (politik uang). Dapat dimaknai sebagai uang sogok politik agar orang yang mendapatkannya mengikuti kemauan si pemberi. Dapat disebut pula dengan istilah politik transaksional. Sehingga pemilih menggunakan hak pilihnya tidak sesuai dengan hati nurani, akal sehat dan ijtihad dari dalam dirinya, Tetapi pilihan dijatuhkan atas dasar diberi uang.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 telah mengatur perihal money politic. Pasal 73 ayat (1) menyebut, "Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih". Ada dua sanksi yang dapat dijatuhkan atas pelanggaran pasal ini; sanksi administrasi dan sanksi pidana.
Berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi bila terbukti melanggar Pasal 73 ayat (1) maka dikenai sanksi administrasi. Yaitu, pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi. Bilamana terbukti melanggar Pasal 73 ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka dikenai sanksi pidana. Pasal 187A, B, C dan D, menyebut sanksi pidana penjara paling lama 72 bulan dan denda mencapai Rp 1 Milyar.
Inilah tiga tantangan terbesar yang sedang dihadapi masyarakat jelang pilkada serentak 2018. Ketiganya dapat dijadikan variabel untuk mengukur tinggi dan rendahnya integritas proses demokrasi melalui pemilihan langsung. Pengalaman di pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu menjadi semacam cerminan betapa isu SARA sangat menyita emosi warga. Masyarakat di pecah belah hanya demi kepentingan politik sesaat.
Saya sangat prihatin atas kondisi perpolitikan tanah air belakangan ini yang nyaris diwarnai oleh ketegangan yang bersifat primordial. Tentu saja kita semua tidak ingin perpecahan atas nama apa pun terjadi hanya gara-gara pemilihan kepala daerah. Sebab pada dasarnya, pemilihan kepala daerah digelar demi mewujudkan demokrasi yang semakin berkualitas, bukan malah memecah belah umat. Ini menjadi suatu peringatan dini bagi masyarakat agar menyadari situasi yang sedang dihadapi dan bijak dalam mengambil sikap. Dan jadi peringatan bagi paslon juga agar mengedepankan kampanye yang terhormat dan bermartabat untuk mencegah perpecahan dan keterbelahan bangsa.
Sehubungan itu, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan penyelenggara pemilu, pemilih, dan paslon, agar kampanye damai bukan sebatas simbo artfisial. Pertama, penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), institusi negara terkait, dan paslon, harus terus melakukan pencegahan dan sosialisasi yang terhubung dalam melawan kampanye jahat. Peta jalan bersama antara penyelenggara, kementerian/lembaga terkait, dan aparat penegak hukum harus disusun terintegrasi agar kerja pencegahan tidak sektoral dan kasuistis
Kedua, jika pendekatan persuasif telah dilakukan dan tetap terjadi pelanggaran, maka aparat penegak hukum harus menjalankan fungsi penegakan hukum secara tegas. Bawaslu sebagai pengawas, bersama aparat penegak hukum yang bernaung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) harus berani dan tidak boleh pasif. Kesepamahan dan kesamaan komitmen di antara mereka harus solid dari mulai elit sampai jajaran lapangan.
Bawaslu dan aktor negara terkait jangan hanya intensif menandatangani nota kesepahaman namun lembek saat berhadapan dengan pelanggaran di lapangan. Keterlambatan dalam proses pengungkapan dapat membuat perilaku yang sama menyebar tanpa kendali. Sikap pasif dan lambat jajaran Bawaslu, bisa berakibat ketidakpercayaan dari masyarakat dan peserta pilkada.
Bibit kampanye jahat harus ditindak dan diadili, tentu dengan cara-cara yang menjunjung tinggi penghormatan pada hak asasi warga negara. Agar ada efek jera bagi mereka yang mau coba-coba. Namun, Bawaslu sebagai komandan pengawasan pilkada, wajib transparan dalam memproses dan mengungkap kasus-kasus yang ada, baik politk uang, intimidasi, kampanye hitam, maupun penyebaran kebencian. Karena transparansi akan menghilangkan sekat-sekat kecurigaan di antara para pihak dan menjaga akuntabilitas kerja jajaran Bawaslu.
Ketiga, masyarakat harus bijak memilah dan mencerna informasi. Rawatlah nalar dan nurani dengan memelihara jiwa kritis dan perilaku tabayyun. Tabayyun jika benar-benar dipraktikkan umat, niscaya tak akan memberi ruang bagi hadirnya kampanye jahat dan provokasi pilkada. Tradisi tabayyun mengharuskan pemilih meneliti dan menyeleksi suatu berita, tidak secara tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu sampai jelas benar permasalahnnya, sehingga tidak ada pihak yang merasa dizalimi atas suatu keadaan.
Penting bagi pemilih untuk mengkonfirmasi atau menguji validitas data dan informasi yang diterima. Agar tidak terjebak dalam agenda jahat para oportunis pilkada.Damai tak cukup dideklarasikan, damai harus dibuat nyata. Caranya, dengan mempraktekkan apa yang ada di dalam teks. Akhirnya, kedamaian pilkada akan terwujud jika kampanye benar-benar jadi ajang edukasi politik untuk adu gagasan dan program calon. Bukan sebaliknya marak pelanggaran, kecurangan, dan tindakan memecah.
Pilkada merupakan ikhtiar demokratis untuk memilih pemimpin yang qualified. Pelibatan setiap warga negara yang berhak dengan sistem one man one vote menunjukkan bahwa pilkada memberikan penghargaan dan peluang sama kepada setiap pemilih untuk berpartisipasi dalam menentukan calon pemimpin. Semua pihak mesti berharap bahwa pilkada serentak berjalan aman dan damai.
Semangat menebarkan keamanan dan kedamaian dalam setiap situasi, khususnya saat pilkada, merupakan wujud rasa cinta dan bangga sebagai bangsa Indonesia. Bagi umat Islam, menebarkan kedamaian dan keamanan merupakan simbol tingginya nilai ketaatan terhadap ajaran Islam.
Dalam perspektif teologi, memilih pemimpin merupakan kewajiban. Hal ini diperkuat dengan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah bahwa jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpinnya. Umar bin Khattab menegaskan bahwa tiada Islam tanpa jamaah, tiada jamaah tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan tanpa ketaatan.
Begitu kuatnya perintah memilih pemimpin hingga Imam Al-Mawardi dalam kitabnya yang monumental Al-Ahkam As-Sultaniyah menyebutkan bahwa memilih pemimpin adalah fardu kifayah. Pada titik inilah pilkada menjadi sarana ibadah umat Islam. Yakni, ikhtiar memilih pemimpin yang amanah. Karena itu, lakukan ikhtiar tersebut secara santun, menghormati perbedaan, dan menghindari konflik.
Untuk menciptakan pilkada damai, kiranya tidak bisa hanya dipasrahkan kepada para penyelenggara pilkada seperti KPU dan turunannya. Demikian juga tidaklah etis manakala kita lepas tangan dengan memasrahkan kepada penegak keamanan dan pengawas pemilu. Sebab pada dasarnya, damai tidaknya pesta demokrasi bergantung pada sikap masyarakat secara umum.
Oleh karena itulah, butuh keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat, khususnya ulama, dalam mewujudkan pilkada damai. Ulama dan tokoh masyarakat lainnya harus menjadi contoh yang baik dan menciptakan pilkada damai. Jangan sampai justru sebaliknya, menjadi sumber konflik.
Mereka harus meyakinkan umat bahwa beda pilihan merupakan hal yang wajar sehingga tidak boleh memaksakan kehendak, apalagi sampai berkonflik. Mereka harus meyakinkan umat bahwa terlaksananya pilkada aman-damai menunjukkan bahwa kita adalah bangsa bermartabat dan religius yang cinta damai. Mereka harus meyakinkan umat agar jangan langsung percaya berita-berita hoaks seputar pilkada, terutama yang cenderung adu domba. Sebab, hal tersebut bisa menjadi sumber konflik.
Sekali lagi, pilkada merupakan ikhtiar demokratis memilih pemimpin yang qualified. Ikhtiar yang baik ini tidak boleh dilakukan dengan menghalalkan segala cara karena akan mencederai kualitas pilkada. Ikuti aturan pilkada, hindari adu domba, hormati pilihan yang berbeda.
Pada Deklarasi di Provinsi Kalimantan Barat, Polda Kalimantan Barat menggandeng Keuskupan Agung Pontianak untuk menangkal berita hoaks dan mendeklarasikan penyelenggaraan Pilkada serentak 2018 secara damai di Rumah Retret Imaculata Pontianak, Jalan AR Hakim, Pontianak Kota, Selasa 27 Maret 2018.
Deklarasi ini dipimpin Kapolda Kalbar, Irjen Didi Haryono. Usai deklarasi, para peserta deklarasi yang terdiri dari pastor, pendeta serta sejumlah tokoh Katolik diberi materi untuk menciptakan keamanan yang kondusif dan menangkal berita hoaks.
Hal itu dikemas dalam Forum Grup Diskusi (FGD) dengan tema 'Optimalisasi Peran Keuskupan Agung Pontianak Untuk Menciptakan Situasi Kamtibmas yang Kondusif pada Pelaksanaan Pilkada tahun 2018'.
"Kegiatan ini sebagai bentuk kecintaan kita terhadap tanah air, dan kebanggaan semua pihak, serta ikut serta dalam menjaga keamanan khususnya wilayah Kalbar yang saat ini sudah kondusif," kata Didi kepada sejumlah wartawan.
Menurut Didi, keberagamaan, baik suku, ras, dan agama serta keyakinan yang dimiliki harus dijaga bersama karena Kalbar merupakan suatu provinsi yang langka dan harus menjaga kebanggaan bersama.
Terkait Pilkada Serentak 2018, ia mengimbau kepada seluruh hadirin agar tetap menjaga keamanan dengan cara tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu sara atau pun berita yang belum jelas sumbernya. "Mari kita deklarasikan dan anti hoaks untuk menciptakan pesta demokrasi 2018 di Kalbar, agar berjalan aman dan lancar," ucapnya.
Dalam kesempatan itu, dia juga mengingatkan, agar masyarakat cerdas dalam menggunakan media sosial di tahun politik ini, dengan tidak mudah terpancing adanya sebaran informasi bohong tersebut. "Mari cerdas menggunakan medsos dengan bijak dengan memilah dan memilih setiap informasi yang beredar," pintanya.
Sementara itu, pembacaan pernyataan sikap atau deklarasi Pilkada damai ini dibacakan oleh Uskup Agung Pontianak, Mgr Agustinus Agus Pr. Dimana isinya meliputi, umat Katolik se-Keuskupan Agung Pontianak, Provinsi Kalbar, menolak berita hoaks yang dapat memecah belah persatuan bangsa.Kemudian, mendukung kepolisian melakukan penegakan hukum untuk memberantas pelaku hoaks. Dan, siap mendukung Pilkada Kalbar berjalan dengan damai dan menjaga pluralisme di Kalbar.
Dalam kesempatan itu, Mgr Agustinus mengajak umat Katolik di Kota Pontianak dan Kalbar umumnya untuk menggunakan hak pilihnya pada Pilkada serentak 2018, dan tetap menjaga toleransi dan menjaga pluralisme yang sudah berjalan dengan baik di Kalbar.
"Tanpa ada kegiatan seperti ini pun, kami umat Katolik bertanggung jawab atas suasana aman, damai dan kondusif di masyarkat. Karena kalau keadaan tidak damai, apapun akan terganggu," ujarnya.Dalam setiap kesempatan, kata dia, selalu mengajak umat untuk mendoakan agar Kalbar dalam situasi aman dan damai. Terlebih dalam pelaksanaan Pilkada serentak ini.
Di tempat yang sama, Ketua FKUP Kalbar, Ismail Ruslan mengatakan, ia mengapresiasi kegiatan ini. Dimana sebelumnya, kegiatan serupa juga sudah dilakukan bersama sejumlah tokoh-tokoh agama lainnya.
"Dalam pandangan kita, upaya ini sangat positif demi menjaga kerukunan di Kalimantan Barat dalam bingkai NKRI. FKUB sebagai forum atau lembaga yang menaungi semua tokoh-tokoh agama, juga sudah melakukan upaya yang sama," tuturnya.
Maka dari itu kepada calon dan tim, diharapkan agar jangan menghalalkan segala cara untuk kemenangan. Hindari kampanye negatif-provokatif, hindari politik uang, hindari politisasi SARA, hormati pilihan orang lain yang berbeda. Jika menang, harus merangkul dan tunaikan janji-janji kampanye yang telah diucapkan. Jika kalah, harus berlapang dada dan sejukkkan pengikutnya untuk menerima kekalahan tersebut.
Diharapkan setiap pasangan calon untuk bisa menjunjung tinggi integritas dalam setiap kata dan perbuatan. Itu semua harus bisa diimplementasikan di lapangan demi terselenggaranya pilkada yang aman dan damai. Seluruh pasangan calon, tim kampanye, tim pendukung dan pengusung, serta semua orang untuk sama-sama menjaga dan melaksanakan undang-undang serta peraturan KPU yang telah ada. Mari kita berkomitmen bersama untuk menyukseskan Pilkada ini, dan kepada semua pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada 2018 semoga sukses berdemokrasi.
Jenny Silfi Pratami