Secara etimolgi, perkataan "terror" berasal dari kata Latin "terrere" yang dalam bahasa inggris diterjemahkan dalam perkataan "to fright"yang dalam bahasa Indonesia berarti "menakutkan" atau "mengerikan". Rumusan teerorisme secara terminologis, sampai saat ini masih menjadi perdebatan meskipun sudah ahli yang merumuskan dan dirumuskan di dalam peraturan perundang-undangan.
Ketiadaan defisini hukum internasional mengensi terorisme tidak serta merta berarti meniadakan definisi hukum tentang terorisme. Menurut hukum nasional masing-masing Negara, disamping bukan berarti meniadakan sifat jahat perbuatan itu dan dengan demikian lantas bisa diartikan bahwa para pelaku terorisme bebas dari tuntutan. Pada dasarnya istilah "terorisme" merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitive karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dari penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. Tidak ada Negara di dunia ini yang mau dituduh sebagai pendukung terorisme atau menjadi tempat perlindungan bagi kelompok-kelompok terorisme.
Tidak ada pula Negara yang mau dituduh tindak terorisme karena menggunakan kekuatan(meliter). Ada yang mengatakan seseorang bisa disebut teroris sekaligus juga sebagai pejuang kebebasan. Hal ini tergantung dari sisi mana memadangnya. Itulah sebabnya, sampai saat ini tidak (belum) ada definisi terorisme yang dapat diterima secara universal. Masing-masing Negara mendefinisikan terorisme menurut kepentingan dan keyakinan mereka sendiri untuk mendukung kepentingan nasionalnya.
AS merupakan sebagai Negara yang pertama kali mendeklarasikan "war on terrorism" (perang melawan terorisme), sangat jelas telah secara tidak konsisten menggunakan terorisme. Ketidak konsistenan AS dalam menggunakan istilah terorisme telah menimbulkan kesan bahwa apa yang disebut dengan perang melawan pihak-pihak yang mengancam kepentingan AS dan bertentangan dengan kenyataan. Sebab merujuk pada Anti Terorisme AS, terorisme berkaitan dengan penggunaan kekuatan (force) dalam mencapai tujuan politik dala politik internasional. Menurut undang-undang tersebut, ada dua kelompok yang termasuk katagori teroris
- Bangsa dan kelompok yang menggunakan kekuatan
- Bangsa-bangsa yang membuat keputusan berdasarkan ideology dan berdasarkan ideology itu mereka menggunakan kekuatan.
Kelompok neo-konservatif ini dengan bantuan media massa yang ada sengaja mengacaukan makna dua hal berbeda, yaitu terorisme dna perjuangan yang sah. Tidak jarang pula, perjuangan pembebabasan tahan air disamarataikan dengan terorisme seperti yang terjadi pada menyempitkan istilah terorisme hanya pada terorisme pribadi atau kelompok dan menafikan adanya terorisme Negara (state terrorism).
Tidak ada suatu masalah jika seseorang, kelompok orang, suatu bangsa, atau Negara membuat keputusan apakah berdasarkan ideology tertentu seradikal apa pun atau tidak, asal dalam mewujudkan tujuannya tidak melalui aksi kekerasan melainkan melalui jalam demikrasi.
Dari unsur perspektif Hukum Nasoinal Indonesia, kejahatan terorisme dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana. Unsur-unsur untuk memasukkan terorisme sebagai tindak pidana dapat diketahui dengan pemahaman tentang aspek-aspek mendasar berkaitan dengan tindak pidana. Masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan tiga hal,yaitu
- Perbuatan yang dilarang
- Orang yang melakulan perbuatan yang dilarang
- Pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran itu.
Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subyek tindak pidana adalah seseorang manusia sebagai oknum. Hal ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan dari tidak pidana dalam KUHP yang mendampakan daya berfikir sebagai syarat bagi subyek tindak pidana itu sendiri, juga terlihat pada wujud hukuman/atau pidana termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda.
Berdasarkan bunyi Pasal 55 KUHP, maka yang dimaksud dengan pelaku tindak pidana adalah:
- Orang yang melakukan (pleger)
- Yang menyuruh melakukan (memberi perintah) Doen pleger
- Orang yang turut serta melakukan (dader) dan
- Orang yang membujuk melakukan
Orang yang melakukan adalah seseorang yang secara sendiri melakukan semua unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Di samping itu, dalam kenyataan sehari-hari orang yang tidak berani secara langsung melakukan sendiri tindak pidana tetapi melibatkan orang lain untuk melakukannya, baik dengan cara membayar orang lain, maupun dengan cara lain sehingga orang lain itu melakukan apa yang dikehendaki. Hal ini dapat trjadi misalnya dalam hal tindak pidana pebunuhan (Pasal 338 atau Pasal 340 KUHP).
Orang yang mempunyai niat atau maksud menghilangkan nyawa korban atau musuh tidak berani untuk melakukannya sendiri, ia membayar orang lain untuk melakukannya oran lain di sini tidak termasuk orang-orang yang dikecualikan dari hukuman seperti halnya pada menyuruh melakukan. Jika meskipun orang yang mempunyai niat atau maksud itu tidak melakukan sendiri perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa (pembunuhan), akan tetapi dianggap (dalam hal pertanggungjawabkan pidananya, kedua-duanya si pelaku langsung dan yang membayarnya dapat dipertanggungjawabkan).
Orang yang menyuruh melakukan, harus ada dua orang yaitu orang yang menyuruh melakukan tindak pidana itu dan orang yang disuruh melakukan. Orang yang disuruh melakukan tindak pidana itu tidak melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana, akan tetapi orang yang disuruhlah yang melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana tersebut. Orang yang disuruh dalam hal ini adalah orang-orang yang disuruhlah yang melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana tersebut. Orang yang disuruh dalam hal ini adalah orang orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan orang-orang yang dikecualikan dari hukuman, mereka hanya dianggap sebagai alat semata (missal orang gila). Dengan demikian meskipun orang yang menyuruh ini tidak melakukan sendiri tindak pidana, akan tetapi dialah yang dianggap sebagai pelaku dan yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang yang disuruhnya tersebut.
Orang yang membujuk melakukan, dalam hal ini paling sedikit juga harus ada dua orang, yaitu orang yang membujuk yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dan orang yang dibujuk atau digerakkan untuk melakukan tindak pidana, dan kedua-duanya dapat dipertanggungjawabkan. Berbeda dengan meyuruh melakukan, orang yang disuruh adalah orang-orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak ada digunakan sarana, cara lain dalam menyuruh melakukan tersebut, sedangkan dalam hal membujuk orang yang dibujuk tersebut dapati dipertanggungjawabkan. Dan dalam hal melakukan bujukan atau pergerakkan ini ada sarananya atau cara yang ditentukan oleh undang-undang.
Berbicara tentang HAM dan Terorisme yang tidak asing lagi ditelinga kita yaittu banyaknya kejadian yang tak terduga-duga akibatnya bisa memusnahkan banyak nyawa warga Negara kita khusunya Indonesia. Isu pentingnya dalam revisi undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme kembali mencuat seiring dengan berjalananya peristiwa bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu,Jakarta. Pemerintah selaku inisiator revisi mendesak DPR segera menuntaskan proses legislasi UU tersebut. Sejumlah padal baru yang diklaim sebagai solusi untuk menggantisipasi berkembangnya tindak pidana terorisme, pasal-pasal itu juga seolah bentuk penggambaran pemerintah bahwa tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana luar biasa yang harus diperlakukan secara khusus.
Pada saat itu, penelitian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus AT Napitupulu menyatakan, secara umum draft RUU yang dirancang pemerintah didesain lebih baik ketimbang UU yang berlaku saat ini. Namun, ada sejumlah isu krusial dalam draft tersebut yang rentan melanggar hak asasi manusia. Potensi melanggar HAM timbul dari sejumlah pasal yang direkomendasikan oleh pemeritah secara sepihak demi alasan keamanan tanpa mempertimbangkan HAM dan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Harusnya dan memang harus pelanggaran HAM dihindari secara dini.
Sejalan dengan perdebatan public, pasal krusial pertama yang berpotensi melanggar HAM adalah soal bagaimana penambahan masa pemangkapan dan penambahan terhadap terduga teroris. Dalam draft tersebut, pemerintah menambah masa penahanan terduga teroris dari semula enam bulan menjadi 540 hari hingga proses penuntutan. Meski teroris berbeda dengan tindak pidana lain, pemerintah seharusnya tetap mengedepankan berbagai pertimbangan dalam mengeluarkan kebijakan. Pasalnya, pedekatan yang dibangun dalam UU Terorisme sejak awal adalah pendekata due procces atau pendekatan yang menutamakan keadilan dan hak tersangka/terdakwa.
Pendekatan due procces seiring berjalan dengan pendekatan criminal justice, dimana aparan hukum diberi batasan dalam melakukan penanggulangan dalam setiap tindak pidana, termasuk terorisme gar tidak melanggar HAM. Berdasarkan catatan ICJR, tak ada satu pun kasus terorisme yang tidak dibawa ke persidangan dan tidak diputus bersalah. Dan menunjukan bahwa lamanya penahanan dalam UU yang berlaku saat ini masih efektif dan tidak perlu direvisi.
Selain berpotensi kuat melanggar HAM, penambahan masa tahanan juga bertentangan dengan Internaional Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang bertujuan untuk mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik. Ditekanan bahwa tersangka atau terdakwa harus segera mungkin dihadapkan ke muka persidangan untuk kepentingan pembuktian.
Pasal kedua yang dianggap akan melanggar HAM yakni saol masa penangkapan terduga teroris dari 7x24 jam menjadi 30 hari hingga penempatan statusnya lebih lanjut. Terbtnya pasal itu akibat dari tidak pahamnya pemerintah atas definisi penahanan. Masa penahanan dalam UU saat ini juga sebenarnya sudah bertentangan dengan ketentuan penangkapan yang diatur dalam KUHAP, yakni 1x24 jam. Namun lantaran terorisme dianggap sebagai tindak pidana yang berdampak signifikan, sehingga masa penabgkapan dalam UU saat ini dianggap wajar.
Penangkapan merupakan proses paling krusial bagi Kepolisian menetukan status seseorang lebih lanjut. Dalam haii ini juga, Kepolisin dituntut memiliki minimal dua alat ukti yang cukup untuk meningkatkan status tersangka orang yang ditangkap. Dan jika masa penangkapan ditambah signifikan, Erasmus khawatir kepolisian akan bertindak tanpa mengutamakan alat bukti dab mengesampingkan HAM dari seseorang yang diringkus karena diduga teroris.
Berbicara tentang kaitan terorisme dan HAM ialah adanya pelanggaran yang disebabkan oleh aksi teror yang melanggar hak-hak asasi manusia khusunya hak sipil dan politik dimana hak sipil tersebut, tercantum pula pada DUHAM. Menyebutkan dalam Pasal 3 Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia menyatakan "Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu". Terdapat pula dalam Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diterima oleh majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966. Isi dari konvenan yang terkait dengan pelanggaran HAM yang disebabkan oleh tindakan terorisme yaitu ha katas hidup, dan hukuman mati hanya untuk kejahatan berat.
Dari dua pasal yang menjelaskan tentang HAM dan Terorisme, bahwasanaya seorng terorisme telah mangambil hak hidup dari rakyat sipil yang menjadi korban terorisme. Dan menyebutkan melanggar peraturan-peratura terkait hak asasi manusia. Maka bisa saja dianggap wajar apabila para terorisme yang bersalah secara fatal dalam tindakan terorisme tersebut di hukum dengan hukuman yang sangat berat. Karena telah mengorbankan tidak hanya satu atau dua orang yang mereka renggut dan mereka warga sipil tetapi bisa sampai puluhn bahkan ribuan yang menjadi korban. Dan para erotis pun telah mengambil hidup mereka, yang dimana pastinya setiap korban terorisme minggalkan sanak keluarganya yang masih hidup, da itu diaggap tindakan pelanggaran HAM.
RATNA DEWI LESTARI