Terorisme Dalam Persepektif Hak Asasi Manusia
HAM adalah hak yang melekat pada setiap orang yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai sebuah anugerah, maka HAM melekat erat pada setiap manusia, siapapun dia tanpa terkecuali. Tidak ada seorang atau pihak manapun bisa mencabut HAM seseorang secara sewenang-wenang, termasuk pemerintah. Apakah seorang teroris mempunyai HAM? Ya, sudah pasti. Tidak ada ketentuan di dalam instrumen HAM nasional dan internasional yang menyebutkan bahwa seorang penjahat, misalnya teroris, tidak punya HAM. Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana aspek HAM bagi teroris yang telah membunuh orang dan merugikan kepentingan umum? Ada yang berpendapat, oleh karena aksi mereka telah merenggut hak hidup dan hak atas rasa aman bagi masyarakat secara luas, tidak pantas bagi teroris untuk dijamin dan dilindungi HAM-nya. Di sinilah perbedaan antara pendekatan pemberantasan terorisme berbasis HAM dan yang tidak berbasis HAM. Kita sudah menyaksikan penerapan dari Patriot Act di Amerika Serikat yang diberlakukan sejak peristiwa teror Menara Kembar WTC di New York pada 11 September 2001. Melalui undang-undang itu, aparat AS bisa menginterogasi, menangkap, dan menahan seseorang yang dituduh sebagai teroris secara sewenang-wenang dan dengan waktu yang tidak terbatas, tanpa adanya bukti. Orang-orang yang dituduh teror itu di antaranya diisolasi di penjara Guantanamo Kuba atau penjara rahasia lainnya. Mereka mendapatkan siksaan dan perlakuan yang sangat tidak manusiawi selama ditahan. Apakah lantas teror di AS bisa diatasi dengan kebijakan yang represif itu? Tidak! Teror malahan semakin sering terjadi di AS, bahkan oleh warga negara AS sendiri. Aksi dan tindakan teror semakin sulit untuk dihindari karena pendekatan penanganan yang salah dan semena-mena. Setelah 16 tahun Amerika Serikat mendeklarasikan perang melawan teror, terorisme malah semakin meluas dari Timur Tengah ke Asia Tenggara (Kompas, 10/7/17) Sementara di Indonesia, terduga teror diperlakukan sebagai manusia yang pada dirinya melekat hak-hak yang dilindungi oleh undang-undang. Mereka yang dituduh melakukan teror, diadili melalui proses hukum dengan mengedepankan asas due process of law dalam koridor criminal justice system. Dengan pendekatan berbasis HAM, terorisme dapat dilokalisir sehingga tidak menyebar luas ke masyarakat. Pendekatan yang humanis menempatkan teroris para pelaku lapangan bukan hanya sebagai pelaku semata, namun juga korban. Mereka adalah korban dari indoktrinasi dan penyebaran pemahaman agama yang salah melalui berbagai media, di antaranya internet. Untuk itu, selepas dipenjara, mereka harus dirahabilitasi dan diberdayakan secara sosial dan ekonomi. Pendekatan HAM juga memberikan porsi yang besar kepada aktor-aktor nonnegara (organisasi kemasyarakatan, media, institusi pendidikan, LSM, dll) untuk berperan serta menanggulangi terorisme. Hal ini karena terorisme, sebagai faham dan gerakan, tidak bisa hanya diatasi oleh aparat negara yang jumlah dan kapasitasnya sangat terbatas, dibandingkan skala ancaman dan gerakan teror yang sangat luas dan mengglobal. Melalui pemeriksaan di pengadilan, aparat negara bisa memperoleh banyak data dan informasi tentang terorisme yang diperoleh dari tersangka/terdakwa, saksi, ahli, dan alat bukti lainnya. Keterangan ini berguna untuk menguak dan menelusuri jaringan teror yang ada untuk kepentingan pencegahan dan penindakan. Selain itu, proses penegakan hukum menjadi media edukasi bagi publik dan terduga teroris bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah dan melanggar hukum. Hal ini jauh berbeda dengan pendekatan ala AS, ketika pemberantasan terorisme sangat mengabaikan hukum dan partisipasi masyarakat sehingga tidak efektif. Perilaku teror direplikasi oleh warga AS sendiri sebagaimana terjadi pada banyak kejadian terakhir berupa penembakan massal di kampus ataupun tempat-tempat umum. Menurut organisasi think thank AS, New Amerika, pasca-911, jumlah warga AS yang terbunuh oleh organisasi teroris hanya sebanyak 9 orang. Sedangkan warga AS yang tertembak mati oleh sesama warga AS sebanyak 11.737 orang (2005-2014). Artinya, 82 persen aksi teror dilakukan oleh warga AS. Alhasil, pendekatan berbasis HAM dalam penanggulangan terorisme tidak melemahkan upaya menekan aksi teror, akan tetapi justru memperkuatnya melalui partisipasi luas masyarakat. Partisipasi masyarakat adalah modal sosial yang sangat penting supaya penanggulangan teror menjadi gerakan sosial kemasyarakatan, bukan hanya semata menjadi tugas dan tanggung jawab aparat negara yang dalam banyak hal mempunyai banyak keterbatas.
Terorisme Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Hukum
1. Terorisme dan Hak Asasi Manusia
Tidak sulit bagi siapapun untuk menyimpulkan bahwa terorisme merupakan suatu tindakan yang sangat merugikan masyarakat baik nasional maupun internasional, bahkan sekaligus merupakan kejahatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Dengan merujuk pada ketentuan Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menetukan, "Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu". Sehingga adanya rasa takut dan cemas yang melanda warga masyarakat yang diakibatkan oleh terorisme, maka para teroris telah merampas hak asasi orang lain tentang rasa aman. Apalagi jika tindakan itu menimbulkan korban nyawa yang sering tidak sedikit jumlahnya. Dengan demikian, baik melalui pemahaman logika sederhana maupun dengan analisa normatif, telah dapat dibuktikan bahwa tindakan terorisme merupakan kejahatan terhadap HAM.
Terorisme sendiri sebagai suatu fenomena sosial mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Cara-cara yang digunakan untuk melakukan kekerasan dan ketakutan juga semakin canggih seiring dengan keinginan teknologi modern. Proses globalisasi dan budaya massa menjadi lahan subur perkembangan terorisme. Kemudahan menciptakan ketakutan dengan teknologi tinggi dan perkembangan informasi melalui media yang luas, membuat jaringan dan tindakan teror semakin mudah mencapai tujuannya.
Menurut Muladi, bentuk-bentuk terorisme seiring perkembangan zaman dapat diperinci sebagai berikut:
- Sebelum Perang Dunia II, hampir semua tindakan terorisme terdiri atas pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah.
- Terorisme pada tahun 1950-an yang dimulai di Aljazair, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan "serangan yang bersifat acak" terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang mereka sebut (Algerian Nationalist) sebagai "terorisme negara". Menurut mereka, pembunuhan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan bukanlah soal yang harus dirisaukan, bahkan sasarannya adalah mereka yang tidak berdosa.
- Terorisme yang muncul pada tahun 1960-an dan terkenal dengan istilah "terorisme media", berupa serangan acak atau random terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas.
Gamabaran yang disampaikan Muladi di atas, tentu saja tidak terlepas dari sejarah panjang perkembangan dan perubahan wajah terorisme dari waktu ke waktu. Hal ini pula yang menyebabkan sampai saat ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Terorisme. Berbagai konsepsi dan definisi yang disampaikan oleh para ahli mengenai terorisme, sangat beragam mengikuti perkembangan corak tindakan tersebut yang sangat dinamis.
Sebagian ahli berpendapat bahwa terorisme adalah penggunaan atau ancaman kekerasan fisik oleh individu-individu atau kelompok-kelompok untuk tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang ada, apabila tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan, melumpuhkan atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih besar daripada korban-korban langsungnya. Terorisme melibatkan kelompok-kelompok yang berusaha untuk menumbangkan rezim-rezim tertentu untuk mengoreksi keluhan kelompok/nasional, atau untuk menggerogoti tata politik internasional yang ada.
Definisi lain menyebutkan bahwa terorisme berarti tindakan kekerasan atau ancaman tindakan kekerasan terlepas dari motif atau niat yang ada untuk menjalankan rencana kejahatan individual atau kolektif dengan tujuan menteror orang lain atau mengancam untuk mencelakakan mereka atau mengancam kehidupan, kehormatan, kebebasan, keamanan dan hak mereka atau mengeksploitasi lingkungan atau fasilitas atau harga benda pribadi atau publik, atau menguasainya atau merampasnya, membahayakan sumber nasional atau fasilitas internasional, atau mengancam stabilitas, integritas territorial, kesatuan politis atau kedaulatan negara-negara yang merdeka.
Dari sekian banyak definisi tersebut, dapatlah dipahami bahwa dari tindakan tersebut akan timbul akibat yang sangat merugikan, baik dari segi materi maupun immaterial. Bahkan lebih daripada itu, tindakan tersebut patut diduga dapat menimbulkan korban nyawa manusia yang tidak ada hubungan dengan tujuan dilakukannya tindakan tersebut. Tegasnya, istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sensitif, karena terorisme mengakibatkan timbulnya korban warga sipil yang tidak berdosa. Pada titik inilah terorisme mendapat predikat sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Berbagai kajian menyimpulkan, bahwa terorisme adalah suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, secara akademis terorisme dikategorikan sebagai "kejahatan luar biasa" atau "Extra Ordinary crime" dan dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau "crime against humanity". Mengingat kategori yang demikian maka pemberantasannya tentulah tidak dapat menggunakan cara-cara biasa sebagaimana menangani tindak pidana pencurian, pembunuhan atau penganiayaan.
Prinsip tersebut pada satu sisi memang benar, namun di sisi lain justru menimbulkan persoalan tersendiri. Bahwa terorisme dikatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan itu benar, namun cara-cara penanganan dan penanggulangan kejahatan tersebut justru seringkali juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Di sinilah muncul pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab dan membutuhkan pengkajian yang mendalam dan menyeluruh. Pertanyaan tersebut adalah, apakah cukup manusiawi apabila penanganan terhadap kasus terorisme harus dilakukan dengan memperlakukan para tersangka teroris secara tidak manusiawi? Ataukah justru sebaliknya, masyarakat akan merasa sangat puas ketika melihat aparat keamanan berhasil 'menghabisi' para tersangka teroris?
Pertanyaan tersebut muncul sebagai akibat dari pelaksanaan kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia khususnya, umumnya para pemimpin dunia internasional. Kebijakan yang agaknya menyimpang dari konsep Extra Ordinary Measure. Konsep ini lebih dipahami sebagai upaya dan tindakan represif yang luar biasa oleh aparat penegak hukum daripada upaya preventif luar biasa untuk membangun sistem yang dapat menangkal terjadinya tindakan terorisme. Upaya represif tersebut diantaranya kebijakan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada terdakwa teroris serta perintah tembak di tempat dalam rangka melakukan perburuan terhadap tersangka teroris.
Dalam konteks Indonesia, konsep Extra Ordinary Measure dalam pemberantasan tindak pidana terorisme harus dipahami sebagai kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat proaktif yang dilandaskan pada kehati-hatian dan bersifat jangka panjang. Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia bukan merupakan masalah hukum dan penegakan hukum semata karena juga terkait masalah sosial kenegaraan, budaya, ekonomi dan juga keterkaitannya dengan pertahanan negara. Masih terdapat banyak cara atau upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat maupun negara untuk melakukan pemberantasan terorisme dan bahkan penaggulangan terhadap kejahatan lain pada umumnya.
Upaya tersebut misalnya dengan memberdayakan tokoh-tokoh masyarakat, adat, budaya, agama dan bahkan tokoh teroris sendiri untuk menyebarkan penangkal anti terorisme. Seperti halnya virus yang dapat ditangkal atau ditanggulangi dengan meramu inang dari virus itu sendiri untuk membunuh penyakit serta memulihkan akibat yang ditimbulkannya. Agaknya logika ini yang perlu dikembangkan sebagai Extra Ordinary Measure dalam penanggulangan tindakan terorisme di Indonesia. Di samping senantiasa merumuskan kebijakan hukum yang tetap menjunjung tinggi HAM.
Mella Angelina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar