Sabtu, 19 Mei 2018

(hukum 01 - 171710731) Terorisme yang melenyapkan HAM korban

TERORISME YANG MELENYAPKAN HAM KORBAN

Khasus terorisme yang sedang marak di Indonesia, baru-baru ini berita terorisme yang menyebabkan puluhan masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan dan usia tidak dapat diselamatkan lagi, terorisme ini tidak dilakukan hanya dsatu tempat saja bahkan beberapa tempat dalam satu kota, sangat disayangkan melihat perbuatan pelaku pengeboman, tidak memperdulikan nasib para korban, tidak memperdulikan nasib anak-anak dan para keluarga korban, bahkan ada sejumlah korban yang masih anak-anak, mengapa para pelaku tidak memikirkan korban, tidak memmikirkan cita-cita korban, tidak memikirkan orang tua yang susah payah membesarkan anak mereka untuk menjadi penerus bangsa yang dapat membangga bangsa kelak. Dan korban yang berprofesi sebagai abdi negara yaitu polisi, jika seluruh tempat bertugas para polisi di bom dan banyak diantara nya yang tidak dapat diselamatkan, para pelaku tidak memikirkan nasib keluarga besar korban, dan yang terpenting pelaku tidak memikirkan nasib negara jika tidak ada yang namanya polisi, tidak ada yang menjaga keamanan negara, mau jadi apa negara kita? Negara Indonesia.Tidak ada yang melindungi masyarakatnya, tidak ada pemberantas kejahatan.

Walau dengan niat ingin membawa para korban mati jihad, tetapi semua agam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk membunuh, untuk melakukan hal yang sangat disayangkan, seluruh pelaku hanya memikirkan nasib mereka, tetapi tidak memikirkan nasib para korban dan kerabat mereka, bahkan merugikan negara. Apakah Tuhanku dan Tuhanmu menyukai perbuatan ini?Apakah agamamu pernah mengajarkan kepadamu tentang ini?Para korban mempunyai hak untuk hidup, untuk membahagiakan keluarga mereka, para korban ingin berkumpul dengan para kerabatnya, sahabatnya, tetapi dengan kejadian ini, semua pelaku telah merenggut semuanya, hak asasi mereka.

Dan bagaimana nasib anak dari salah satu keluarga pelaku yang terselamatkan? Apakah para polisi yang menyelamatkannya harus membalasnya dengan mengebom ia juga? Jika dipertanyakan untuk apa dibalas? Apa susahnya menjawab agar ia mengikuti jejak orang tuanya yang mati jihad. Tetapi, polisi yang menyelamatkannya masih mempunyai hati nurani, masih mempunyai sikap manusiawi, dan masih ada rasa sayang walau nyawanya pun hamper melayang, dan lenyap begitu saja. Para polisi masih memikirkan hak untuk hidup kepada anak tersebut, sangat disayangkan sekali untuk para pelaku tidak memikirkan apa yang dipikirkan oleh orang banyak.

 

Bagaimana dengan pelaku yang mengikut sertakan anak-anak mereka?Dan ikut mati terkena bom?Bahkan orang tuanya pun tidak memikirkan nasib anak-anak mereka, dan tidak sedikit pula yang masi dibawah umur, bagaimana dengan cita-cita mulia mereka?Mereka masih belum mengerti tentang hal ini, mereka juga bisa membanggakan negara ini kelak.

Dan mereka juga tergolong korban dari orang tua mereka sendiri, bagaimana nasib anak mereka yang tuhan hendaki untuk tetap hidup, dan tidak akan dipungkiri jika kelak ia akan diejek, dikatai, dan dijauhi oleh teman-temannya, bahkan banyak orang tua yang melarang anaknya untuk berdekatan dengan anak pelaku, dan bisa saja dengan semua itu , ia juga mengikuti jejak orang tuanya, jika ia tidak berfikir panjang, dan dijauhi oleh banyak orang, apalagi jika ia ingat apa saja yang dilakukan orang tuanya saat ingin menjadi teroris dan berfikir ingin membunuh banyak orang dengan niat mati jihad.

Bagaimana nasib kami pula masyarakat Indonesia, kami juga mempunyai rasa takut, walaupun kami memang harus kuat dan tidak boleh takut dengan teroris.

Bagaimana dengan orang tua yang menyekolahkan anak-anak mereka, bagaimana dengan cita-cita mereka, mimp yang harus mereka kejar agar dapat membahagiakan keluarga mereka

Dalam masyarakat Indonesia tampaknya telah muncul gejala dan gangguan berbasis ketakutan akibat teror.Berbagai cacian, makian, sumpah serapah, dan wujud konflik virtual lainnya telah ditampilkan masyarakat di berbagai media sosial.Fenomena ini tampil begitu personal-dengan tolok ukur agama, moral, politik, ideologi, spiritual, etika atau pengaruh-pengaruh lainnya-sedangkan terorisme itu sendiri tidaklah personal. Berbagai referensi mengatakan bahwa terorisme hampir bisa dipastikan mempunyai tujuan politis sehingga wujud ketakutan akan terorisme pun ikut tunduk pada manipulasi politik.

Tindakan teror jarang sekali sebatas sebuah perwujudan amarah tak bertujuan.Tindakan itu cenderung direncanakan secara hati-hati. Teroris adalah manusia, yang hampir sama dengan manusia pada umumnya, yang juga mempunyai atasan. Organisasi teroris membutuhkan pemimpin sampai dengan bawahan dengan pendanaan yang datang dari banyak sumber yang konon mencengangkan. Karena itu, jejaring-jejaring terorisme pun harus melalui proses seperti perusahaan pada umumnya, yaitu perekrutan.

Selama ini berbagai teori terus menyoroti perilaku bom bunuh diri, tapi sungguh sangat sulit untuk mengenali seorang teroris.Misalkan pelaku di Surabaya adalah sebuah keluarga.Hal ini bertolak belakang dengan proxy konsep pemikiran sosiolog Prancis, Emile Durkheim. Menurut Durkeim, individu yang terpinggirkan, belum menikah, berpendidikan tinggi, dan ekonomi baik, berkemungkinan besar akan direkrut untuk menjadi pelaku bom bunuh diri.

Radikalisme harus juga dilihat dari kacamata psikologis dan problem psikososial. Proses perekrutan, yang dilanjutkan dengan penggemblengan dan indoktrinasi, sangatlah mungkin bersifat nepotisme. Hubungan kekeluargaan bisa sangat menentukan kedekatan dengan kelompok teroris.Tekanan sebaya atau keluarga juga sangat berperan.Faktor-faktor seperti tragedi personal dan keinginan balas dendam sangat potensial sebagai motivasi.Keterbatasan lapangan pekerjaan memberikan sebuah kemungkinan bahwa menjadi teroris adalah sebuah pilihan karier.

Terorisme sebagai sebuah fenomena sosial biasanya juga berakar pada konteks lokal.Ketahanan keluarga adalah salah satu jargon pentingnya pembangunan Indonesia dari unit terkecil. Tragedi hari ini menjadi sebuah satire yang memilukan pada saat media massa mancanegara mendeskripsikan bahwa peristiwa teror Indonesia dilakukan oleh "sebuah keluarga". Keluarga menjadi kata yang ternistakan.

Akibat teror yang paling nyata adalah adanya trauma mendalam pada penyintas yang sebenarnya merupakan bagian dari sasaran para teroris.

Ketika teror melanda, orang biasanya mencari cara bagaimana mengatasi tekanan dan trauma itu. Teror memang menciptakan ketakutan, kengerian, kesedihan dan rasa tak berdaya.

American Pyschological Association menyebutkan teror bisa memunculkan Xenophobia, perasaan takut terhadap orang asing.Ketakutan itu bisa dipicu manakala kita hidup di sebuah masyarakat yang majemuk sehingga kemudian menimbulkan ketidakpercayaan kepada kelompok yang dianggap melakukan teror.Padahal, kemajemukan sebenarnya justru merupakan kekuatan untuk bersatu melawan teror.

Bagaimana dengan sara trauma para keluarga korban yang mati, dan bagaimana dengan korban yang selamat yang masih mengingat betul bagaimana kejadian yang dilihatnya?

Pertama, terapi EMDR atau Eye Movement Desensitization and Reprocessing Teraphy.Terapi ini menggabungkan elemen dari terapi kognitif behaviour dengan gerakan mata dan bentuk ritme lainnya serta stimulasi ke kiri dan ke kanan.Terapi ini dianggap sangat efektif untuk melepaskan memori traumatis supaya dapat dihadapi dan disingkirkan.

Kedua, terapi somatik dengan sensasi pada tubuh sebagai fokusnya yang berhasil saat energi ketakutan dapat dilepaskan dalam bentuk tubuh yang akan gemetaran, tangis, ataupun pelepasan fisik lainnya.

Ketiga, terapi lainnya adalah kognitif behaviora yang membantu proses dan mengevaluasi pikiran dan perasaan mengenai trauma. Terapi tersebut tidak mengobati secara fisik sehingga ada baiknya untuk memadukan dengan dua jenis terapi sebelumnya.

Selain terapi itu, Biro Penyelidik Federal (FBI) dalam sebuah buku panduan yang berjudul "Coping After Terrorism for Survivors(PDF) juga menawarkan sederet ide praktis untuk mengatasi trauma pasca terjadinya teror, misalnya:

 

·         Ingatlah untuk selalu mengambil nafas. Kadangkala ketika orang merasa sangat takut, mereka berhenti bernafas. Jika merasa takut atau terkejut, cobalah tutup mata dan ambil nafas dalam-dalam, bernafaslah dengan pelan sampai merasa nyaman. Berjalan-jalan santai atau berbicara dengan sahabat bisa membantu untuk melupakan trauma.

·         Jika memungkinkan, tundalah membuat keputusan besar. Jika Anda berpikir perubahan besar bisa membuat perasaan menjadi lebih baik, namun itu tidak akan mengurangi rasa sakit.

·         Berilah kesempatan kepada diri sendiri untuk melewati masa-masa sulit itu dan biasakan diri sebelum membuat keputusan besar yang akan mempengaruhi hidup.

·         Sederhanakan keseharian untuk sementara waktu. Buatlah daftar hal-hal apa saja yang menjadi tanggung jawab dalam hidup ini seperti merawat anak, berbelanja, atau bekerja. Pilihlah yang memang benar-benar penting, singkirkan yang tidak penting.

·         Rawat diri dan pikiran. Cobalah selalu makan makanan yang sehat. Berolahragalah secara teratur. Gerak badan akan mengenyahkan depresi dan membantu untuk tidur lebih nyenyak. Pijat juga bisa melepaskan kelelahan dan membuat tubuh nyaman.

·         Jangan menenggak alkohol dan minum obat terlarang. Zat-zat itu memang bisa memblokir rasa sakit, namun penyembuhan justru akan berlangsung lebih lama.

·         Cobalah selalu berhubungan dengan rekan, kerabat dan sahabat dekat. Berbicaralah dengan mereka saat panik menyerang.

·         Berbicaralah dengan konselor, pemimpin agama atau penyintas yang lain tentang apa yang telah terjadi. Semakin sering berbagi tentang pengalaman itu semoga akan mengurangi rasa sakit yang diderita.

·         Mulailah untuk mengembalikan rutinitas harian secara perlahan di tempat kerja, di rumah atau di sekolah. Kesibukan di tempat kerja akan menyita pikiran. Namun, terlalu sibuk juga tidak baik.

·         Bersiaplah dengan perencanaan bagaimana menghadapi media seperti televisi yang kita tonton, radio yang kita dengar, dan media online yang bisa diakses menggunakan internet.

·         Carilah bantuan dari para ahlinya. Bicarakan tentang masalah asuransi, masalah hukum dan hal-hal lainnya yang mempunyai konsekuensi jangka panjang.

·         Tetap andalkan orang-orang yang bisa dipercaya untuk mendapatkan informasi, saran dan bantuan. Ingatlah selalu ada orang yang nampaknya jujur dan bisa dipercaya namun ternyata mengambil keuntungan dari korban teror.

·         Hindari melakukan hal-hal yang membuat kecewa saat sebelum tidur. Luangkan waktu 30 menit per hari untuk menulis ketakutan dan mimpi buruk yang mungkin ada. Gunakan musik lembut sebagai pengantar tidur. Jika masih belum tidur juga, konsultasikan hal ini ke dokter.

·         Carilah cara untuk membantu orang lain yang mempunyai masalah sama. Bantuan kepada orang lain juga akan mengurangi beban sendiri.

Harus diingat bahwa perasaan sakit secara emosional tidaklah tanpa batas.Ada batasnya juga. Sakit itu akan berangsur-angsur berkurang, keriangan hidup akan kembali. Jika si penyintas sudah merasakan itu, biarkanlah lepas.Walaupun sulit, tetapi para korban dan masyarakat Indonesia harus tetap melawan rasa takut terhadap terorisme bagaimana pun caranya, apapun gegapannya dan ancamannya.

ANDI GITA LORENZA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar