Perbedaan Konsep Ketenagakerjaan antara Negara Indonesia dan Jepang
A. Sistem Ketenagakerjaan di Jepang
Ketenagakerjaan merupakan segala hal yang berhubungan dengan masalah tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Sistem ketenagakerjaan di setiap negara berbeda-beda sesuai dengan peraturan yang berlaku di negara tersebut. Keberhasilan suatu sistem ketenagakerjaan dapat diukur dari tingkat kesejahteraan para pekerjanya, apabila tingkat kesejahteraan para pekerja tinggi, berarti sistem ketenagakerjaan yang diterapkan dalam negara tersebut cukup baik. Salah satu negara yang berhasil menerapkan sistem ketenagakerjaan dengan baik adalah negara Jepang.
Sistem ketenagakerjaan yang berlaku di Jepang telah mengalami banyak perubahan dari masa ke masa. Sistem ketenagakerjaan di Jepang dimulai pada masa Meiji. Setelah perang, Jepang menetapkan UU Ketenagakerjaan Roudoukijunbi. UU ini sifatnya melindungi para pekerja, seperti:
1. Membatasi waktu bekerja maksimal 8 jam/hari
2. Menetapkan Upah Standar Minimal.
Nihongtekikeiei atau setelah perang dunia I Jepang berfokus pada industry berat. Hal ini menyebabkan terjadinya suatu perubahan dalam sistem ketenagakerjaan di Jepang. Adapun perubahan tersebut adalah:
1. Membutuhkan tenaga kerja laki-laki (Bertenaga & White collar)
2. Nihongtekikeiei hanya berlaku bagi laki-laki
Nihongtekikeiei bertumpu pada danseiseishain, yaitu :
- Syusinkouyosei : Sistem Kerja seumur hidup
- Nenkoujouretsu : Senioritas yaitu, kenaikan gaji/posisi berdasarkan usia dan lama bekerja
- Kigyoubetsukumiai : Serikat buruh
- Bagi perempuan diberlakukan sistem kekkongtaishokusei, yaitu sistem pensiun dini.
Sesudah perang dunia kedua, sistem ketenagakerjaan di Jepang mengalami perubahan terutama pada perusahaan yang besar, sistem yang dibentuk antara lain:
1. Sistem ketenagakerjaan sepanjang hidup, yakni perusahaan biasanya tidak putus hubungan kerja.
2. Sistem kenaikan gaji sejajar umur, yakni perusahaan menaikan gaji pekerjanya tergantung umur mereka.
3. Serikat pekerja yang diorganisasi menurut perusahaan, yakni, berbeda dengan pekerja yang diorganisasi menurut jenis kerja, semua pekerja sebuah perusahaan, jenis kerja apapun, diorganisasi satu serikat pekerja.
Dengan adanya sistem ini pekerja menganggap dirinya sebagai bagian yang kuat dari suatu perusahaan dan mempunyai loyalitas yang tinggi kepada perusahaan tersebut sehingga dengan sistem ini etos kerja dan budaya kerja orang Jepang semakin berkembang. Namun sistem ini hanya diterapkan pada perusahaan yang besar, dan menjadi panutan bagi perusahaan kecil.
Sistem ketenagakerjaan yang berlaku di Jepang saat ini sudah mengalami perubahan yang jauh lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Di Jepang terdapat peraturan Batas Standar Ketenagakerjaan yang mengatur batas standar yang harus diikuti. Bagi yang bekerja di wilayah Jepang, tidak ada pengecualian dalam peraturan ini, baik itu karena alasan warga negara, agama, atau masalah sosial lainnya. Kondisi kerja tidak boleh dibedakan karena perbedaan-perbedaan tersebut.
UU yang berkaitan dengan ketenagakerjaan di Jepang diberlakukan mulai dari waktu dimulainya kegiatan memperoleh keterampilan di perusahaan penerima. Beberapa pasal dalam UU sistem ketenagakerjaan di jepang antara lain:
1. Larangan pengambilan keuntungan oleh pihak ketiga (Pasal 6)
Siapa pun, kecuali diperbolehkan oleh hukum, tidak boleh mengambil keuntungan dari campur tangan di dalam pekerjaan orang lain.
2. Pembatalan kontrak yang melanggar hukum(Pasal 13)
Kontrak kerja yang tidak memenuhi standar ketenagakerjaan adalah tidak sah, dan bagian yang tidak sah diganti dengan standar ketenagakerjaan.
3. Penyerahan surat kontrak kerja (Pasal 15)
Pada waktu pengesahan kontrak kerja, pihak pemberi kerja harus memberikan surat kontrak kerja dan lain-lain kepada pekerja dengan mencantumkan hal-hal berikut ini:
· Masa kontrak kerja
· Tempat kerja dan jenis pekerjaan
· Jam kerja (Jam masuk & selesai kerja, jam istirahat, hari libur dan lain-lain)
a. Jam kerja dan istirahat
Jam kerja adalah waktu dari jam mulai bekerja sampai selesai, dikurangi waktu istirahat. Waktu yang diperlukan untuk perjalanan pulang pergi kerja tidak termasuk dalam jam kerja.
Jam kerja ditentukan 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Jam kerja tersebut tidak termasuk jam istirahat. Untuk lembur yang melewati jam kerja dalam peraturan hukum ini, akan diberikan upah tambahan.
Perusahaan harus memberikan jam istirahat dalam jam kerja minimal 45 menit apabila jam kerja dalam 1 hari melebihi 6 jam, dan minimal 1 jam apabila jam kerja melebihi 8 jam.
b. Hari Libur dan Cuti Kerja
Perusahaan harus memberikan hari libur sekurang-kurangnya sekali seminggu atau 4 hari dalam 4 minggu.
· Upah Kerja (Jumlah upah, cara pembayaran, tanggal jatuh tempo dan pembayaran)
a. Lima prinsip pembayaran upah kerja.
Supaya pembayaran upah kerja dilakukan dengan tepat, ada 5 prinsip yang ditetapkan dalam Undang Undang Standar Ketenagakerjaan, yaitu :
ü Prinsip pembayaran dengan uang
ü Prinsip pembayaran langsung
ü Prinsip pembayaran jumlah keseluruhan upah kerja yang harus dibayar dalam jumlah utuh
ü Prinsip pembayaran setiap bulan
ü Prinsip pembayaran pada tanggal yang telah ditetapkan
b. Transfer upah kerja ke rekening bank
Transfer upah kerja ke rekening bank merupakan pengecualian dalam prinsip pembayaran langsung. Transfer ini dapat dilakukan apabila telah dibuat perjanjian antara buruh-manajemen mengenai transfer ke rekening pada perusahaan penerima yang meliputi :
ü Pekerja menyetujuinya
ü Ditransfer ke rekening tabungan atas nama pekerja sendiri
ü Seluruh jumlah upah kerja yang ditransfer dapat diambil pada tanggal pembayaran upah kerja yang ditentukan.
c. Pemotongan upah kerja
Biaya–biaya yang dapat dipotong dari upah kerja :
ü Pajak pendapatan, pajak penduduk, premi asuransi sosial dan premi asuransi kerja.
ü Biaya akomodasi, biaya listrik/gas/air, dll. Apabila biaya ini dipotong dari upah kerja, maka perusahaan penerima harus menyebutkannya dalam perjanjian buruh-manajemen.
d. Persentase penambahan upah kerja
Perusahaan harus menambah upah pekerja apabila menyuruh kerja lembur, kerja pada hari libur, dan kerja pada malam hari.
ü kerja lembur (kerja yang melewati waktu jam kerja yang ditentukan hukum): 25% atau lebih (prinsip)
ü Kerja malam hari (kerja jam 10 malam sampai jam 5 pagi) : 25% atau lebih
ü Kerja hari libur (kerja di hari libur yang ditetapkan hukum) : 35% atau lebih
e. Upah Minimum
Di Jepang ada standar upah minimum sesuai ketentuan UU Upah Minimum, sehingga apabila upah kerja tidak dibayarkan melebihi upah minimum, hal ini merupakan pelanggaran UU Upah Minimum. Ada dua jenis upah minimum yang diberlakukan di Jepang:
ü Upah minimum regional, Ditetapkan berdasarkan prefektur dan diberlakukan untuk tenaga kerja yang bekerja di prefektur tersebut. Upah ini direvisi setiap tahun pada bulan Oktober.
ü Upah minimum tertentu (berdasarkan industri), Diberlakukan untuk tenaga kerja yang bekerja di bidang industri tertentu di prefektur tersebut.
· Hal-hal yang berhubungan dengan pensiun (ada tidaknya pensiun, alasan pemberhentian dan sebagainya)
4. Larangan penetapan biaya ganti rugi (Pasal 16)
Dilarang membuat kontrak yang menetapkan biaya penalti akibat kegagalan memenuhi kontrak kerja atau biaya ganti rugi kerusakan (walaupun tidak diperbolehkan untuk menetapkan terlebih dahulu biaya ganti rugi, tetapi pada kenyataannya tidak dilarang untuk meminta biaya ganti rugi kepada pekerja jika kerusakan terjadi karena tanggung jawab pekerja.)
5. Larangan paksaan untuk menabung (Pasal 18)
Dilarang untuk membuat kontrak menabung terkait kontrak kerja, ataupun kontrak mengenai pengelolaan tabungan (walaupun tidak dilarang bagi perusahaan untuk mengelola tabungan dengan seizin pekerja, tetapi lembaga pelaksana diwajibkan untuk tidak menyimpan buku tabungan dan lain-lain walaupun ada permintaan dari pihak pekerja magang).
6. Hukum Standar Kerja
a. Pembatasan dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Pasal 19)
Apabila terjadi kecelakaan kerja atau pekerja mengalami sakit dan harus menjalani istirahat, atau cuti melahirkan, tidak boleh dipecat selama masa cuti dan 30 hari setelah masa cuti berakhir. Namun, perusahaan dapat memberhentikan pekerja tersebut dengan memberikan pesangon kepada pekerja tersebut sesuai dengan ketentuan yag telah ditetapkan sebelumnya.
b. Pemberitahuan sebelum pemutusan hubungan kerja (Pasal 20, 21)
Ketika perusahaan akan memberhentikan pekerjanya, maka perusahaan harus memberitahukan 30 hari sebelum waktu pemberhentian kerjanya. Jika tidak diadakan pemberitahuan, pekerja dapat meminta biaya kompensasi minimal sebesar upah rata-rata untuk 30 hari (Jika pemberitahuan diberikan kurang dari 30 hari sebelumnya, maka pekerja diberikan kompensasi sebesar upah rata-rata per hari dikalikan jumlah hari yang kurang dari 30 hari tersebut).
c. Kompensasi cuti (Pasal 26)
Apabila pegawai diliburkan karena kepentingan perusahaan, maka perusahaan harus membayar 60% dari rata rata penghasilan pegawai tersebut.
Ketenagakerjaam Seumur Hidup
Ketenagakerjaan seumur hidup seringkali disebutkan sebagai faktor kunci dibelakang kesuksesan industri Jepang yang mengagumkan dan orang-orang Jepang pada umumnya sungguh-sungguh menganggapnya sebagai tulang punggung dari manajemen masyarakat Jepang. Pada umumnya sejumlah pekerja mengundurkan diri dari perusahaannya karena mereka merasa tidak puas dengan pekerjaan mereka atau karena menemukan pekerjaan yang lebih baik, sedangkan yang lainnya karena alasan kesehatan atau keluarga. Beberapa pekerja yang berharap untuk tetap tinggal dipecat karena kondisi buruk perusahaan. Tidak mungkin terjadi bahwa seluruh pekerja pada suatu perusahaan akan melanjutkan untuk bekerja disana sampai masa pensiun.
Ketenagakerjaan seumur hidup yang dilaksanakan di Jepang sesugguhnya tidak lebih dari pedoman prinsip pada umumnya. Tidak semua perusahaan menerapkan system ketenagakerjaan seumur hidup. Pada kenyataannya, hanya perusahaan besar yang dapat memberikan jaminan pekerjaan yang mencapai usia pengunduran diri/pensiun, yang bervariasi antara 55-60. Hasilnya hanya sekitar sepertiga dari pekerja di Jepang yang menikmati ketenagakerjaan seumur hidup tersebut.
Manfaat Ketenagakerjaan seumur hidup
Walaupun ketenagakerjaan seumur hidup tidak bersifat universal, orang Jepang secara keras memproklamirkan manfaatnya, dimana ketenagakerjaan seumur hidup di Jepang pada kenyataannya memberikan sejumlah keuntungan. Salah satu manfaat utamanya adalah stabilitas dalam perkembangannya. Selama bekerja dalam manajemen, perusahaan mempercayai prinsip bahwa para pekerja kontrak yang baru secara alami memperoleh suatu perasaan memiliki serta komitmen yang kuat pada perusahaan mereka. Para pekerja memiliki rasa aman pada pekerjaannya, dengan jaminan bahwa pada suatu waktu ia tidak akan dipecat tanpa kesalahan yang ia lakukan sendiri. Jika ia memandang dirinya sendiri bekerja hanya untuk mndapatkan gaji, ia tidak akan merasakan kesetiaan atau komitmen pada perusahaannya. Di sisi lain, hal tersebut juga akan menciptakan atmosfer kerjasama dan keselarasan dalam bekerja.
Dari sudut pandang perusahaan, ketenagakerjaan seumur hidup akan memberikan suatu rasionalitas pelatihan bagi pekerja baru. Hal ini umum bagi perusahaan Jepang untuk melatih pekerja kontrak baru yang tidak memiliki keahlian khusus. Hal ini berarti hanya jika diasumsikan bahwa yang dilatih akan bekerja lebih permanen atau tidak. Dalam beberapa keadaan, akan lebih bijaksana untuk mengambil pekerja perusahaan lain yang telah ditraining agar dapat ditempatkan untuk bekerja dengan segera. Dengan demikian pelatihan disediakan unuk pekerja kontrak baru yang merefleksikan komitmen Jepang pada pekerjaan jangka panjang.
Aspek lain dari ketenagakerjaan seumur hidup yakni meliputi peningkatan gaji dan promosi. Pekerja baru percaya bahwa jika mereka bekerja keras dan rajin, gaji mereka akan berangsur-angsur meningkat, dan pada waktunya nanti mereka akan memenuhi syarat untuk promosi jabatan. Tentu saja dengan sedikit pengecualian, staff menajemen dan eksekutif perusahaan dipromosikan dari dalam perusahaan, tidak di kontrak dari luar perusahaan. Hal ini adalah kebijakan perusahaan untuk menemukan dan meningkatkan kemampuan manajemen dalam menggolongkan para pekerjanya. Praktek orientasi pekerja ini mendorong para pekerja untuk tetap tinggal pada perusahaan dan menghilangkan harapan akan pekerjaan lain. Lebih lanjut manfaat ketenagakerjaan seumur hidup Jepang, baik kebijakan formal maupun suatu perjanjian kontrak, yakni memudahkan penugasan tugas kembali.
Melanjutkan Sistem Ketenagakerjaan Seumur Hidup
Para pekerja Jepang sangat mengharapkan adanya pemberian penghargaan kepada tenaga kerja. Tenaga kerja Jepang biasanya mempertimbangkan fluktuasi bisnis untuk menjadi kekuatan diluar control mereka. Karena mereka tidak mampu bertanggungjawab secara pribadi terhadap resesi dan penurunan perekonomian, maka mereka merasa bahwa tidak adil jika harus kehilangan pekerjaan pada saat adanya gangguan dipasar. Sebuah perusahaan yang sedang mengalami kesulitan akan mengeluarkan berbagai alternative sebelum merumahkan sementara karyawannya. Pertama, manajemen akan membuat pengurangan terhadap gaji para top executive dalam skala yang besar, setelah itu baru memotong gaji staf manajerial.
Berikutnya, deviden kepada pemegang saham akan dikurangi. Jika kebijakan ini dan pemotongan tidak mencukupi, maka mulailah manajemen untuk memberhentikan karyawannya. Tindakan ini secara relative akan diterima oleh tenaga kerja Jepang karena mereka menyadari hal tersebut sebagai suatu kondisi yang tidak bisa dihindari untuk menyelamatkan perusahaan.
Sistem Kerja Kontrak di Jepang
Pada kasus kerja kontrak di Jepang, pemerintah di sana sangat responsif dengan menciptakan produk perundangan secara khusus tentang sistem kerja kontrak melalui hukum tentang pekerja kontrak (haken-ho/dispatch worker law). Hukum tersebut mengatur secara terperinci tentang kelembagaan dan mekanisme kerja kontrak agar kepentingan perusahaan dan pekerja terakomodasi. Selain itu, pengawasan dan sangsi pemerintah Jepang terhadap perusahaan-perusahaan penyedia jasa sangat tegas. Pelanggaran terhadap isi hukum seperti tentang perlindungan kerja akan ditindaklanjuti dengan pencabutan izin perusahaan penyedia jasa.
Walaupun demikian, serikat pekerja di Jepang memperjuangkan perubahan sistem ketenagakerjaan melalui mekanisme politik formal di parlemen. Proses deliberasi dan negosiasi berlangsung dengan wakil-wakil rakyat (legislator) yang akan meneruskan aspirasi ke sidang legislasi secara serius. Pada saat bersamaan, para pekerja memberikan komitmen terhadap tanggung jawab pekerjaan di perusahaan walaupun sedang dalam perjuangan mengubah kebijakan tentang hukum pekerja kontrak. Oleh sebab itu, peristiwa mogok buruh di Jepang tidak pernah terjadi. Hasil dialektika dari pemerintah yang responsif terhadap kepentingan pelaku dunia industri, kebiasaan politik memanfaatkan mekanisme politik formal, dan budaya pekerja dalam menghargai tanggung jawab pekerjaannya telah mendorong Jepang menjadi negara yang sukses dalam transformasi ketenagakerjaan nasional. Transformasi konstruktif yang mampu menjaga kepentingan pemerintah, swasta, dan pekerja sehingga produktivitas ekonomi terjaga.
Adapun keistimewaan khusus manajemen Jepang antara lain :
1. Keseimbangan Gaji : Manajemen Tenaga Kerja
Perbedaan antara pendapatan bersih dari seorang manajer dengan para pekerja di Jepang merupakan yang terkecil di dunia. Namun tidak selamanya seperti itu. Sebelum perang dunia II, ketidakseimbangan antara 30-50 kali lipat. Situasi saat ini jauh berbeda. Sebuah survey terbaru menyatakan bahwa pada perusahaan besar di Jepang dengan pekerja yang lebih dari 3.000 orang, pendapatan tahunan rata-rata dari direktur tanpa garis tanggungjawab adalah sekitar $77.500 dan direktur dengan garis tanggungjawab sekitar $50.000. Gambaran ini umumnya hanya 5 kali lipat dari rata-rata pekerja.
2. Keseimbangan Gaji Antara Pekerja
Dalam manajemen orang Jepang menerapkan persamaan pembayaran gaji pada seluruh kelas pekerja. Pada kenyataannya tidak ada perbedaan dalam gaji awal antara tenaga buruh yang baru direkrut dengan pekerja staff kantor. Sebagai contoh, gaji untuk lulusan sekolah menengah atas yang telah bekerja selama 4 tahun hampir sama dengan gaji awal untuk lulusan universitas yang baru direkrut.
Perbedaan gaji pada tipe/jenis pekerjaan sangat kecil. Latar belakang pendidikan memainkan peranan yang kecil dalam promosi. Kunci kesuksesan adalah kemampuan dan kinerja pada pabrik atau kantor. Para pekerja di seluruh Jepang, dari manajer hingga buruh perusahaan, pada dasarnya berada pada tingkat pendapatan yang sama. Dalam menembus setiap level dalam suatu perusahaan bisnis, persamaan memberikan energi dan dorongan dibalik kesuksesan dari perekonomian Jepang saat ini.
3. Persamaan Hak Tenaga Staff ( White-Collar ) dan Tenaga Buruh ( Blue-Collar )
Jika persamaan antara manajemen dan tenaga kerja adalah salah satu pillar dari manajemen bisnis moden, maka persamaan antara para staff dengan tenaga buruh akan membentuk lapisan dasar yang sangat kuat. Sebelum Perang Dunia II situasi yang ada jelas berbeda. Tenaga buruh diperlakukan berbeda dengan para staff kantor, antara lain :
- Gaji para staff kantor dibayar berdasarkan bulan sedangkan para tenaga buruh di bayar per hari atau per jam.
- Pemberian bonus dua kali setahun, dimana staff kantor menerima bonus dengan jumlah yang sepadan dengan gaji beberapa bulan, sedangkan para tenaga buruh hanya sepadan dengan upah 10-15 hari.
- Para staff kantor diijinkan untuk libur tahunan dengan gaji, dan bila sakit dapat mengambil cuti sampai 2 bulan dengan gaji – tergantung perusahaan yang bersangkutan. Tapi tidak ditujukan untuk para tenaga buruh.
- Bila terjadi kemunduran bisnis, para staff kantor tidak terancam akan adanya PHK, sedangkan para tenaga buruh dengan segera dapat di pecat.
- Fasilitas perusahaan dipisahkan. Ruang makan, toilet bahkan pintu masuk untuk para staff kantor terpisah dengan para tenaga buruh.
4. Pengaruh Serikat Buruh
Perbedaan antara para staff kantor dan para tenaga buruh masih terjadi hingga perang dunia II berakhir. Kemudian untuk pertama kali di Jepang, serikat buruh disahkan dan mulai mendesak agar adanya peningkatan kondisi kerja. Demo besar-besaran merupakan hal yang sangat biasa sebagai usaha mereka untuk menghapuskan diskriminasi, utamanya antara para staff kantor dengan para tenaga buruh. Kemudian saat Jepang mengalami inflasi tinggi yang menyebabkan kemunduran dalam pemberian gaji bagi seluruh pekerja, para staff kantor memutuskan untuk bergabung dengan para tenaga buruh dalam perserikatan mencoba untuk memperoleh peningkatan gaji. Bersatunya mereka dalam suatu wadah perserikatan tunggal dari tenaga kerja perusahaan,menjadi bukti penghapusan perbedaan kelas dalam perusahaan. Hasilnya kemudian manajemen akhirnya menyadari kekuatan posisi mereka dalam perusahaan.
Pada tahun 1960, perbedaan gaji antara para staff kantor dengan tenaga buruh telah dihapuskan di hampir seluruh perusahaan. Gaji per hari dan per jam kemudan diganti menjadi gaji bulanan bagi seluruh pekerja. Seluruh diskriminasi dalam penggunaan ruang makan, toilet, dan fasilitas lainnya telah dihapuskan. Sistem senioritas dan ketenagakerjaan seumur hidup yang juga diterapkan pada para tenaga buruh, membawa suatu paham baru pada perusahaan Jepang bahwa semua orang adalah sama (Egalitarian).
B. Sistem Ketenagakerjaan di Indonesia
Hukum ketenagakerjaan adalah merupakan suatu peraturan-peraturan tertulis atau tidak tertulis yang mengatur seseorang mulai dari sebelum, selama, dan sesudah tenaga kerja berhubungan dalam ruang lingkup di bidang ketenagakerjaan dan apabila di langgar dapat terkena sanksi perdata atau pidana termasuk lembaga-lembaga penyelenggara swasta yang terkait di bidang tenaga kerja.
Di dalam pemahaman hukum ketenagakerjaan yang ada dapat diketahui adanya unsur-unsur hukum ketenagakerjaan, meliputi :
- Serangkaian aturan yang berkembang kedalam bentuk lisan maupun tulisan
- Mengatur hubungan antara pekerja dan pemilik perusahaan.
- Adanya tingkatan pekerjaan, yang pada akhirnya akan diperolah balas jasa.
- Mengatur perlindungan pekerja/ buruh, meliputi masalah keadaan sakit, haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi pekerja/ buruh dsb.
Semenjak zaman reformasi ruang lingkup hukum ketenagakerjaan Indonesia telah diatur secara lengkap dalam UU NO 13 tahun 2003 yang terdiri dari XVIII Bab dan 193 Pasal dengan sistematika sebagai berikut :
1. Bab I : Ketentuan umum yaitu mengenai defenisi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang tersebut.
2. Bab II : Landasan azas dan tujuan yang merupakan prinsip-prinsip dasar dalam menjalankan pembangunan ketenagakerjaan.
3. Bab III : Pengaturan mengenai Kesempatan dan perlakuan yang sama dalam memperoleh pekerjaan tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama dan golongan.
4. Bab IV : Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan dalam kaitan penyusunan kebijakan, strategi dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
5. Bab V : Pengaturan Pelatihan kerja dalam rangka membekali, meningkatkan dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan produktivitas dan kesejahteraan.
6. Bab VI : Penempatan tenaga kerja mengatur secara rinci tentang kesempatan yang sama, memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghsilan yang layak di dalam atau di luar negeri.
7. Bab VII : Perluasan kesempatan kerja hal ini merupakan upaya pemerintah untuk bekerja sama di dalam maupun di luar negeri dalam rangka perluasan kesempatan kerja.
8. Bab VIII : Pengaturan Penggunaan tenaga Kerja Asing
9. Bab IX : Pengaturan Hubungan Kerja,
10. Bab X : Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejahteraan.
11. Bab XI : Hubungan Industrial yang mengatur hubungan antara pekerja, pengusaha dan pemerintah .
12. Bab XII : Pemutusan hubungan kerja
13. Bab XIII : Pembinaan.
14. Bab XIV : Pengawasan,
15. Bab XV : Penyidikan.
16. Bab XVI : Ketentuan pidana dan sanksi administrative.
17. Bab XVII : Ketentuan peralihan.
18. Bab XVIII : Penutup.
Beberapa ketentuan Pasal- pasal dalam UU No 13 tahun 2003 yaitu : Pasal 158, 159, 160, 170, 158(1), 171, 158(1), 186, 137, dan Pasal 138(1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak digunakan lagi sebagai dasar hukum. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 12/PPU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 tentang hak uji materil UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD RI tahun 1945, Berita Negara no 92 tahun 2004 tanggal 17 November tahun 2004, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja RI NO SE.13/MEN/SJ-HKI/I/2005 :
a.
b. PERATURAN LAIN
Peraturan lainnya ini kedudukannya adalah lebih rendah dari undang-undang dan pada umumnya merupakan peraturan pelaksana undang-undang. Peraturan-peraturan itu adalah sebagai berikut :
1) Peraturan pemerintah , peratuan pemerintah ini ditetapkan oleh Presiden untuk mengatur lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang. Sejajar kedudukannya dengan peratuan pemerintah ini, adalah peraturan seorang Menteri yang oleh undang-undang diberi wewenang untuk mengadakan peraturan pelakananya. Peraturan terakhir yang berlaku sekarang adalah Keputusan Menteri tenaga kerja.
2) Keputusan Presiden, Keputusan Presiden ini yang tidak disebut keputusan pemerintah, atau dari zaman Hindia Belanda dahulu ; regeringsbesluit, pada umumnya tidak mengatur sesuatu, tetapi memutuskan sesuatu.
3) Peraturan atau keputusan instansi lain. Suatu keistimewaan dalam hukum ketenagakerjaan ialah bahwa suatu instansi atau seorang pejabat yang tertentu diberi kekuasaan untuk mengadakan peraturan atau keputusan yang berlaku bagi umum (mengikat umum).
c. KEBIASAAN
Kebiasaan atau hukum tidak tertulis ini, terutama yang tumbuh setelah perang dunia ke -2, berkembang dengan baik karena dua faktor yaitu: faktor pertama karena pembentukan undang-undang tidak dapat dilakukan secepat soal-soal perburuhan yang harus diatur, faktor kedua adalah peraturan-peraturan di zaman Hindia belanda dahulu sudah tidak lagi dirasakan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dan aliran-aliran yang tumbuh di seluruh dunia. Jalan yang ditempuh dalam keadaan yang sedemikian itu ialah acap kali dengan memberikan tafsiran (interpretasi) yang disesuaikan dengan jiwa undang-undang dasar.
d. PUTUSAN
Dimana dan di masa aturan hukum hukum masih kurang lengkap putusan pengadilan tidak hanya memberi bentuk hukum pada kebiasaan tetapi juga dapat dikatakan untuk sebagian besar menentukan, menetapkan hukum itu sendiri.
e. PERJANJIAN
Perjanjian kerja pada umumnya hanya berlaku antara buruh dan majikan yang menyelenggarakannya, orang lain tidak terikat. Walaupun demikian dari berbagai perjanjian kerja itu dapat diketahui apakah yang hidup pada pihak-pihak yang berkepentingan . Lebih-lebih dari perjanjian ketenagakerjaan, makin besar serikat buruh dan perkumpulan majikan yang menyelenggarakannya. Dengan demikian maka aturan dalam perjanjian kerja bersama mempunyai kekuatan hukum sebagai undang-undang.
f. TRAKTAT
Perjanjian dalam arti traktat mengenai soal perburuhan antara Negara Indonesia dengan suatu atau beberapa Negara lain. Perjanjian (konvesi, Convention) yang ditetapkan oleh Konferensi Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organisation Conference) tidak dipandang sebagai hukum ketenagakerjaan karena konvensi itu telah diratifisir oleh Negara Indonesia, tidak mengikat langsung golongan buruh dan majikan di Indonesia.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut diatas dan UU 10 tahun 2008 maka Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 18 No. 23) khususnya pasal (1313, 1338,1320)
b. UU NO 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 No: 39
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 TAHUN 2006 Tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional.
d. Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjain Kerja Waktu Tertentu.
e. Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : KEP.48/MEN/IV/2004 tentang Tata cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
f. Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : KEP.261/MEN/XI/2004 tentang Perusahaan yang Wajib Melaksanakan Pelatihan Kerja.
g. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : PER.08/MEN/III/2006 tentang Perubahan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-48/MEN/IV/2004 tentang Tata cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama
h. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.22/MEN/IX/2009 Tentang Penyelenggaraan Pemagangan di dalam Negeri.
i. Peraturan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi RI Nomor: PER.21/MEN/X/2007 tentang Tata cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
Kondisi Tenaga Kerja Di Indonesia
Tabel Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Kegiatan Februari 2011-2012 Nasional (Indonesia)
Kegiatan Utama | Februari 2011 | Februari 2012 |
1. Penduduk Usia 15 tahun ke atas | 170.656.140 | 172.865.970 |
2. Angkatan kerja | 119.399.380 | 120.417.050 |
a. bekerja | 111.281.740 | 112.802.810 |
b. pengangguran | 8.117.630 | 7.614.240 |
3. Bukan angkatan kerja | 51.256.760 | 52.448.920 |
4. Tingkat partisipasi angkatan kerja | 69.96 | 69.66 |
5. Tingkat pengangguran terbuka | 6,80 | 6,32 |
Sumber: BPS Sumatera Barat
Dari tabel diatas dapat dianalisis bahwa jumlah penduduk nasional usia 15 tahun ke atas mengalami peningkatan sebesar 2.209.830 orang, jumlah angkatan kerja mengalami peningkatan sebesar 1.017.670 orang, jumlah penduduk yang bekerja mengalami peningkatan sebesar 1.521.070 orang, jumlah pengangguran mengalami penurunan sebesar 503.390 orang, jumlah bukan angkatan kerja mengalami peningkatan sebesar 1.192.160 orang, tingkat partisipasi angkatan kerja mengalami penurunan 0,3 % dan tingkat pengangguran terbuka mengalami penurunan sebesar 0,48 %.
ANALISIS KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA (UU No. 13 Tahun 2003)
Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat empat kebijakan pokok yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja yaitu kebijakan upah minimum, ketentuan PHK dan pembayaran uang pesangon, ketentuan yang berkaitan hubungan kerja dan ketentuan yang berkaitan dengan jam kerja.
1. Upah Minimum
Pengaturan mengenai upah minimum dijelaskan pada pasal 88 – 90. Dalam pasal-pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu komponen/kebijakan pengupahan adalah upah minimum (pasal 88). Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi (pasal 88). Upah minimum ditetapkan berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota serta berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (pasal 89). Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum dan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum tersebut dapat dilakukan penangguhan (pasal 90).
Jika diterapkan secara proporsional, kebijakan upah minimum bermanfaat dalam melindungi kelompok kerja marjinal yang tidak terorganisasi di sektor modern. Namun demikian, kenaikan upah minimum yang tinggi dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang rendah di Indonesia belakangan ini telah berdampak pada turunnya keunggulan komparatif industri-industri padat karya, yang pada gilirannya menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja akibat berkurangnya aktivitas produksi.
2. PHK dan Pembayaran Uang Pesangon
Pengaturan mengenai PHK dan pembayaran uang pesangon dijelaskan pada Bab XII pada pasal 150 – 172. PHK hanya dapat dilakukan perusahaan atas perundingan dengan serikat pekerja (pasal 151), dan jika dari perundingan tersebut tidak mendapatkan persetujuan maka permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang mendasarinya (pasal 152). Selanjutnya dalam pasal 153-155 dijelaskan alasan-alasan yang diperbolehkannya PHK dan alasan-alasan tidak diperbolehkannya PHK.
3. Hubungan Kerja
Dalam pasal 56 dinyatakan perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Selanjutnya, pada pasal 59 dinyatakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
4. Waktu Kerja
Terkait dengan waktu kerja, pada pasal 76 dinyatakan adanya larangan mempekerjakan pekerja perempuan di bawah 18 tahun dan pekerja perempuan hamil pada malam hari (Pukul 23.00 7.00). Selanjutnya pada pasal 77 dinyatakan kewajiban perusahaan untuk melaksanakan ketentuan waktu kerja 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.