Jumat, 18 Mei 2018

HUKUM 02- NIM 171710295 - TERORISME DAN HAM

Terorisme dan Hak Asasi Manusia

Terorisme dan Hak Asasi Manusia masih menjadi sebuah permasalahan serius yang perlu diperhatikan.           

Terorisme menurut kaum awam adalah kekerasan, bom, dan organisasi radikal. Namun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik tindakan teror;. Terorisme bisa terjadi karena berbagai penyebab. Bisa dari separatisme karena daerah dilanda konflik antar etnis/suku atau pada suatu bangsa yang ingin memerdekakan diri, kemiskinan struktural, kesenjangan, globalisasi, non demokrasi dimana penguasanya sangat mungkin melakukan tindakan represif terhadap warganya dan radikalisme agama yang disebabkan oleh perbedaan cara pandang penganutnya yang menyimpang.

 Radikalisme agama adalah yang paling populer di Indonesia jika harus dikaitkan dengan terorisme yang sedang berkembang sekarang ini. Sedangkan Radikalisme itu sendiri sering dikaitkan dengan gerakan kelompok ekstrim dari suatu agama tertentu. Yang sering menjadi penargetan adalah agama islam. Mereka mengatasnakamakan islam dalam gerakan mereka. Padahal sebenarnya bukan begitu, Islam mengajarkan kebaikan layaknya agama lain. Dan tidak ada di dalam agama Islam yang mengajarkan radikalisme. Islam sejatinya bukanlah dengan gerakan radikal. Awal permulaan penargetan islam pada zaman modern adalah setelah kalahnya Uni Soviet kepada Afganistan dan juga kejadian 11 september pengeboman gedung WTC dan pentagon di Amerika Serikat tahun 2001. Ditambah lagi dengan perkembangan ISIS yang menyebarkan teror keseluruh dunia. Gerakan radikalisme di Indonesia memang sudah ada sejak masa kemerdekaan Indonesia. Bahkan bisa dikatakan sebagai islam garis keras era reformasi. Seperti Darul Islam (DI), Tentara Islam Indonesia (TII) dan NII (Negara Islam Indonesia) yang muncul pada tahun 1949. Gerakan ini didasari oleh misi untuk menjadikan syairat sebagai dasar negara Indonesia dan sebagai bentuk perlawanan terhadap komunisme. Namun sempat terhenti dan muncul kembali pada awal tahun 1970 an dan 1980 an. Bagi Kaum radikalis agama sistem demokrasi pancasila itu dianggap haram hukumnya dan pemeintah dianggap kafir. Radikalisme di Indonesia sudah menyebar. Contohnya yaitu melalui jalur pendidikan. Anak-anak di ruang kelas dalan proses belajar mengajar ditanamkan paham-paham radikalisme. Dan yang menyebarkan adalah guru. Hal ini terjadi di salah satu sekolah berbasis agama di Bogor. Anak-anak di sekolah berbasis agama di bogor ditanamkan nilai-nilai kebencian. Dan nilai Pancasila pun mulai diabaikan. Anak-anak sangat gampang untuk dipengaruhi. Dan jika dibiarkan saja, mungkin bisa semakin parah. Padahal anak-anak tersebut merupakan generasi penerus bangsa. Radikalisme bisa berujung terorisme. Tak jarang di Indonesia terjadi serangan dari teroris. Salah satu buktinya yaitu bom bunuh diri di Kampung Melayu. Dua buah bom meledak dan menewaskan dua pelaku, tiga anggota kepolisian yang sedang berjaga dan sejumlah korban yang terluka. Mereka menjadikan polisi sebagai target utama. Aksi mereka sangat terorganisir dan dilakukan oleh kelompok radikal ISIS.

 ISIS menunjukkan eksistensinya di Indonesia dengan mempengaruhi pikiran masyarakat indonesia dengan cara mengimingi mereka. ISIS telah menyebar ke negara-negara Barat. Ini ditandai dengan peristiwa penembakan dan bom bunuh diri di Paris, Perancis. Peristiwa ini mengingatkan bahwa ada koordinasi dari ISIS pusat yang selama ini terlewatkan oleh negara-negara Barat. Tindakan ISIS melakukan pembunuhan, pengeboman dan penembakan merupakan tindakan yang merampas Hak Asasi Manusia. Terorisme dan HAM merupakan dua hal yang saling bertentangan. Yang satu melakukan kekerasan, dan yang satu membawa keadilan. Tidak ada seorangpun yang bisa mencabut hak seseorang dengan sewenang wenang. Semua orang, mulai dari yang muda hingga tua mempunyai HAM didalam dirinya. Bahkan seseorang yang jahatpun seperti teroris mempunyai HAM. Tidak ada ketentuan di dalam instrumen HAM nasional dan internasional yang menyebutkan bahwa seorang penjahat tidak punya HAM. Ini berarti HAM tidak memandang fisik maupun sikap seseorang.

 Di Indonesia, masih banyak masyarakat yang HAM nya belum terpenuhi. Bahkan penegakan HAM di Indonesia masih belum bisa dimengerti oleh sebagian besar masyarakat. HAM selalu disalahgunakan dan disalah artikan. Maka dari itu HAM sebaiknya ditegakkan agar tetap melindungi hak-hak setiap warga negaranya. Meskipun HAM dan terorisme adalah hal yang berkebalikan, HAM bisa digunakan untuk melakukan pendekatan berbasis HAM. Dengan menggunakan pendekatan berbasis HAM, terorisme dapat dapat dilokalisir sehingga tidak menyebar luas ke masyarakat. Mereka adalah korban dari indoktrinasi dan penyebaran pemahaman agama yang salah melalui berbagai media, apalagi sekarang adalah zaman teknologi sudah canggih. Semua akses bisa didapat dengan mudahnya.

Pendekatan HAM juga memberikan bagian yang besar kepada organisasi kemasyarakatan, media, institusi pendidikan, LSM dll. Untuk berperan serta menanggulangi terorisme. Terorisme, sebagai paham tidak bisa hanya diselesaikan oleh aparat negara yang jumlahnya sedikit dibandingkan dengan ancaman dan teror yang sangat luas dan mengglobal Dan melalui pemeriksaan di pengadilan, aparat negara mendapat data dan informasi tentang terorisme yang didapat dari tersangka/terdakwa, saksi, ahli dan bukti lainnya. Ini berguna untuk membuka dan menelusuri jaringan teroris yang ada agar bisa dilakukan pencegahan dan penindakan. Selain dengan pendekatan HAM, akar dari terorisme, yaitu radikalisme dapat di cegah dengan memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan baik dan benar. Generasi muda dituntut untuk menganut ilmu dan akan sangat baik jika ilmu diperkenalkan dengan benar. Karena pemikiran para generasi muda masih mengembara karena ras keingintahuannya besar. Tetapi bukan hanya ilmu pengetahuan, ilmu agama juga perlu diperhatikan. Karena agama merupakan fondasi yang penting terkait dengan perilaku, sikap dan keyakinan seseorang terhadap Tuhan. Ilmu pengetahuan harus seimbang dengan Ilmu agama agar tercipta pemikiran yang seimbang pula. Lalu, menjaga persatuan dan kesatuan juga perlu dilakukan untuk mencegah pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme di antara masyarakat. Indonesia sebagai negara kepulauan pasti berisi orang-orang yang berbeda-beda. Dengan pemikiran, budaya, perilaku yang berbeda. Oleh karena itu penting untuk menjaga persatuan. Persatuan itu dapat dijaga dengan memahami dan menjalankan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, dengan semboyan yang berbunyi "Bhinneka Tunggal Ika" yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Memang sederhana tetapi maknanya dalam jika dihayati. Masih banyak cara untuk mencegah aksi radikal dan teror. Namun sebagai Warga Negara Indonesia sebaiknya berhati- hati dan saling menjaga. Dan jika ditanya apakah kita bangsa Indonesia sudah merdeka? Menurut saya secara negara memang sudah merdeka, NKRI sudah diakui oleh negara-negara di dunia. Namun secara internal, Kita belumlah merdeka. Negara kita masih perlu memperbaiki permasalahan seperti kemiskinan, kejahatan, infrastruktur belum baik dll. dan juga ancaman ancaman dari dalam maupun luar. Seperti paham radikalisme yang merambat dan menerobos Indonesia, meracuni setiap pikiran dan merusak NKRI dari dalam. Dan dapat memunculkan perasaan Intoleransi dan Ekstremisme. Memecah belah kita yang seharusnya bersatu sebagai saudara se tanah air.

           

 


(Hukum 02 - Bayu Ragil Pangestu (171710701) HAM dan Terorisme

Pengertian HAM

Hak Asasi Manusia atau HAM adalah hak-hak yang sudah dipunyai oleh seseorang sejak ia masih dalam kandungan. Hak asasi manusia dapat berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM yang tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat atau Declaration of Independence of USA serta yang tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti yang terdapat pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 31 ayat 1, serta pasal 30 ayat 1.

            Dalam teori perjanjian bernegara, terdapat Pactum Unionis serta Pactum Subjectionis. Pactum unionis merupakan suatu perjanjian antarindividu guna membentuk negara, sedangkan pactum subjectionis merupakan suatu perjanjian antara individu serta negara yang dibentuk. Thomas Hobbes mengakui Pactum Subjectionis dan tidak mengakui Pactum Unionis. John Lock mengakui keduanya yaitu Pactum Unionis dan Pactum Subjectionis, sedangkan JJ Roessaeu hanya mengakui Pactum Unionis.

           Ketiga paham ini berpendapat demikian. Namun pada dasarnya teori perjanjian tersebut mengamanahkan adanya suatu perlindungan Hak Asasi Warga Negara yang wajib dijamin oleh penguasa dan bentuk jaminan tersebut haruslah tertuang dalam konstitusi.

           Dalam kaitannya dengan hal tersebut, HAM merupakan hak fundamental yang tidak dapat dicabut karena ia adalah seorang manusia. HAM yang dirujuk sekarang merupakan seperangkat hak yang dikembangkan PBB sejak awal berakhirnya perang dunia II. Sebagai konsekuensinya, negara-negara tidak dapat berkelit untuk tidak melindungi hak asasi manusia yang bukan warga negaranya. Selama masih menyangkut persoalan HAM pada masing-masing negara, tanpa kecuali, pada tataran tertentu mempunyai tanggung jawab, khususnya terkait pemenuhan hak asasi manusia pribadi-pribadi yang terdapat pada jurisdiksinya, termasuk orang asing. Oleh karena itu, pada tataran tertentu, akan menjadi sangat salah untuk menyamakan antara hak asasi manusia dengan hak-hak lainnya yang dimiliki oleh warga negara. Hak asasi manusia sudah dimiliki oleh siapa saja.

           Alasan di atas pula yang dapat menyebabkan hak asasi manusia merupakan bagian integral dari tiap kajian dalam disiplin ilmu hukum internasional. Oleh karena itu bukan sesuatu yang kontroversial lagi apabila suatu komunitas internasional mempunyai kepedulian yang serius dan bersifat nyata terhadap berbagai isu tentang hak asasi manusida tingkat domestik.

           Peran komunitas internasional sangat pokok sebagai perlindungan HAM karena sifat serta watak HAM itu sendiri merupakan suatu mekanisme pertahanan dan perlindungan setiap individu terhadap kekuasaan negara yang rentan untuk disalahgunakan, sebagaimana yang sering dibuktikan sejarah umat manusia sendiri. Berikut contoh pelanggaran HAM :

 

Contoh Pelanggaran HAM

 

  1. Penindasan serta merampas hak rakyat dan oposisi dengan cara yang sewenang-wenang.
  2. Menghambat dan membatasi dalam kebebasan pers, pendapat, serta berkumpul bagi hak rakyat dan oposisi.
  3. Hukum diperlakukan secara tidak adil dan juga tidak manusiawi.
  4. Manipulatif dan membuat aturan-aturan pemilihan umum sesuai dengan keinginan dari penguasa dan partai otoriter tanpa diikuti oleh rakyat dan oposisi.
  5. Penegak hukum atau petugas keamanan melakukan kekerasan terhadap rakyat dan oposisi.
  6. Deskriminasi adalah pembatasan, pengucilan, serta pelecehan yang dilakukan baik itu secara langsung atau tidak langsung yang didasarkan atas perbedaan manusia suku, ras, etnis, serta agama.
  7. Penyiksaan merupakan suatu perbuatan yang menimbulkan rasa sakit baik itu jasmani maupun rohani.

Hak asasi manusia atau HAM mempunyai beberapa ciri-ciri khusus jika dibandingkan dengan hak-hak yang lainnya. Berikut ciri khusus hak asasi manusia :

  1. Tidak dapat dicabut, HAM tidak dapat dihilangkan atau diserahkan.
  2. Tidak dapat dibagi, semua orang berhak untuk mendapatkan semua hak, baik itu hak sipil, politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya.
  3. Hakiki, HAM merupakan hak asasi semua manusia yang sudah pada saat manusia itu lahir.
  4. Universal, HAM berlaku bagi semua orang tanpa memandang status, suku, jenis kelamin, atau perbedaan yang lainnya. Persamaan merupakan salah satu dari berbagai ide hak asasi manusia yang mendasar.

Macam-Macam HAM

Macam-Macam HAM

Ada bermacam-macam hak asasi manusia dan secara garis besar, hak asasi manusia dapat digolongkan menjadi 6 macam. Berikut macam-macam HAM.

  1. Hak Asasi Pribadi

Hak asasi pribadi ialah hak yang masih berhubungan dengan kehidupan pribadi manusia. Contoh dari hak asasi pribadi sebagai berikut :

    • Hak kebebasan untuk dapat bergerak, bepergian, serta berpindah-pindah tempat.
    • Hak kebebasan dalam mengeluarkan atau menyatakan suatu pendapat.
    • Hak kebebasan dalam memilih dan juga aktif berorganisasi.
    • Hak kebebasan dalam memilih, memeluk, dan menjalankan agama yang diyakini oleh tiap-tiap manusia.
  1. Hak Asasi Politik

Hak asasi politik ialah hak yang berhubungan dengan kehidupan politik. Contoh dari hak asasi politik sebagai berikut :

    • Hak dalam memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan umum.
    • Hak ikut serta dalam berbagai kegiatan pemerintahan.
    • Hak guna dalam membuat dan mendirikan partai politik serta mendirikan organisasi politik lainnya.
    • Hak untuk membuat serta mengajukan usulan petisi.
  1. Hak Asasi Hukum

Hak asasi hukum ialah kesamaan kedudukan dalam hukum dan juga pemerintahan, yaitu hak yang berhubungan dengan berbagai kehidupan hukum dan juga pemerintahan. Contoh dari hak asasi hukum sebagai berikut :

    • Hak guna mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum serta pemerintahan.
    • Hak menjadi pegawai negeri sipil atau PNS.
    • Hak untuk mendapat layanan dan perlindungan hukum.
  1. Hak Asasi Ekonomi

Hak asasi ekonomi ialah hak yang berhubungan dengan berbagai kegiatan perekonomian. Contoh dari hak asasi ekonomi sebagai berikut :

    • Hak kebebasan dalam melakukan berbagai kegiatan jual beli.
    • Hak kebebasan dalam mengadakan perjanjian kontrak.
    • Hak kebebasan dalam menyelenggarakan kegiatan sewa-menyewa atau utang piutang.
    • Hak kebebasan untuk mempunyai sesuatu.
    • Hak memiliki serta mendapatkan pekerjaan yang layak.
  1. Hak Asasi Peradilan

Hak asasi peradilan ialah hak untuk diperlakukan sama terhadap tata cara pengadilan. Contoh dari hak asasi peradilan sebagai berikut :

    • Hak dalam mendapatkan pembelaan hukum di depan pengadilan.
    • Hak persamaan dalam perlakuan penggeledahan, penahanan, penyelidikan, penangkapan di muka hukum.
  1. Hak Asasi Sosial Budaya

Hak asasi sosial budaya ialah hak yang brhubungan dengan kehidupan dalam bermasyarakat. Contoh hak asasi sosial budaya sebagai berikut :

    • Hak dalam memilih, menentukan, serta mendapatkan pendidikan.
    • Hak mendapatkan pengajaran.
    • Hak dalam mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan juga minat.

HAM ialah hak dasar yang sudah dimiliki oleh semua manusia. Sejak lahir, tiap-tiap manusia/individu sudah memilikinya dan itu merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Tentunya dalam kalangan bermasyarakat, kita seharusnya menghormati hak-hak orang lain. Namun pada kenyataanya sekarang masih banyak terjadi berbagai pelanggaran dengan masalah hak asasi manusia.

 

 

 

 

 

 

Dalam pembahasan kali ini saya akan menyangkutkan masalah terorris yg sedang meraja rela di Indonesia, apa yang mereka lakukan dan HAM apa yg telah mereka langgar.

 

Pengertian Teroris

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.

Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.

Definisi Terorisme

Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: "Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear." Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan di mana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war.

Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif, hal mana didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu.

Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), di mana Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes against State. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity, di mana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil]. Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation of Human Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali.

Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind). Menurut Muladi, Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se atau mala in se, tergolong kejahatan terhadap hati nurani (Crimes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh Undang-Undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai natural wrong atau acts wrong in themselves bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh Undang-Undang.

Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme

 

 

 


PEMIKIRAN HAM TENTANG TERORISME


(HUKUM 01- 171710809) Ham dan Terorisme

HAM DAN TERORISME

1. Hak Asasi Manusia
Banyak pengertian hak asasi manusia didefinisikan oleh para ahli. Namun, secara umum dapat digarisbawahi bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak lahir, sebagai pemberian Tuhan karena martabatnya sebagai manusia. Jadi, hal asasi manusia tidak dapat dihilangkan oleh orang lain, oleh masyarakat, maupun oleh negara. Karena bukan manusia yang memberikan hak asasi. Meskipun pada pelaksanaannya banyak pelanggaran yang dilakukan terhadap hak asasi manusia. Berdasarkan pengertian hak asasi manusia tersebut, maka artinya hak asasi manusia berlaku universal (menyeluruh). Bahwa setiap manusia di dunia ini mempunyai hak asasi yang sama ketika dilahirkan. Dan ini juga diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai organisasi internasional terbesar dan mencakup hampir semua negara di dunia. Melihat perkembangan tuntutan akan hak asasi manusia yang semakin besar, maka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1946 membentuk Komisi Hak Asasi Manusia (Commission of Human Right). Komisi tersebut berhasil membuat pernyataan HAM, yang dikenal dengan sebutan Universal Declaration of Human Rights, 10 Desember 1948, yang ditandatangani oleh 48 negara. Dalam pernyataan tersebut, antara lain mengemukakan bahwa setiap manusia mempunyai hak asasi yaitu:
  • Hak untuk hidup.
  • Hak untuk kemerdekaan dan keamanan secara fisik.
  • Hak diakui kepribadiannya.
  • Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum.
  • Hak untuk masuk dan keluar wilayah suatu negara.
  • Hak mendapatkan kebangsaan atau kewarganegaraan.
  • Hak memiliki suatu benda dengan cara yang sah.
  • Hak untuk bebas mengeluarkan pikiran dan perasaan.
  • Hak untuk memilih dan memeluk agama.
  • Hak untuk bebas mengeluarkan pendapat.
  • Hak untuk mengadakan rapat dan berkumpul.
  • Hak untuk mendapatkan jaminan sosial atas hidupnya.
  • Hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
  • Hak untuk berdagang.
  • Hak untuk turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakatnya masing-masing.
  • Hak untuk menikmati kesenian.
  • Hak untuk turut serta memajukan keilmuan.
Hak asasi manusia adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma, yang menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional. Mereka umumnya dipahami sebagai hal yang mutlak sebagai hak-hak dasar "yang seseorang secara inheren berhak karena dia adalah manusia", dan yang "melekat pada semua manusia" terlepas dari bangsa, lokasi, bahasa, agama, asal-usul etnis atau status lainnya. Ini berlaku di mana-mana dan pada setiap kali dalam arti yang universal, dan ini egaliter dalam arti yang sama bagi setiap orang. HAM membutuhkan empati dan aturan hukum dan memaksakan kewajiban pada orang untuk menghormati hak asasi manusia dari orang lain. Mereka tidak harus diambil kecuali sebagai hasil dari proses hukum berdasarkan keadaan tertentu; misalnya, hak asasi manusia mungkin termasuk kebebasan dari penjara melanggar hukum , penyiksaan, dan eksekusi.

2. Terorisme
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.

Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.

Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: "Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear." Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan di mana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war.

Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif, hal mana didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu.

Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), di mana Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes against State. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai Crimes against State(termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity, di mana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil[8]. Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation of Human Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali.

Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind)[10]. Menurut Muladi, Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se atau mala in se, tergolong kejahatan terhadap hati nurani (Crimes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh Undang-Undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai natural wrong atau acts wrong in themselves bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh Undang-Undang.

Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme.



(HUKUM-02 NIM 171710838) HAM DAN TERORISME

HAM (HAK ASASI MANUSIA) DAN TERORISME

>Hak Asasi Manusia(HAM) adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma, yang menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional

>Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.

PEMBAHASAN TERKAIT KEDUA HAL TERSEBUT

Tindakan terorisme berdampak langsung pada martabat dan keamanan manusia, menciptakan situasi penuh rasa takut, dan menghancurkan hak asasi manusia itu sendiri. Kehadiran terorisme juga berhadapan langsung dengan integritas pemerintahan yang sah. Untuk memenuhi kewajiban melindungi individu dari terorisme, Negara memiliki hak dan kewajiban untuk mengambil langkah-langkah kontra-terorisme yang efektif, mencegah serangan teroris di masa depan dan mengadili mereka yang bertanggung jawab.

Namun dalam praktiknya, disaat yang sama perlawanan terorisme menimbulkan tantangan berat terhadap perlindungan dan promosi hak asasi manusia. David J. Whittaker dalam buku Counter-Terrorism and Human Rights menjelaskan bahwa permasalahan hak asasi manusia dalam kontra-terorisme kerap ditemui dalam berbagai bentuk.

Termasuk dalam pengawasan (surveillance), penahanan yang disengketakan (disputed detention), penangkapan (arrest), prosedur penahanan tak terduga (the vagaries of charging procedure), ekstradisi dini (premature extradition), proses transfer tersangka (the transfer and trasport of suspects), perlakuan saat interogasi (the treatment on interrogation) dan pemenjaraan semena-mena (incarefully imprisonment). Peristiwa kematian Siyono dalam penangkapan dan penahanan Densus 88 Anti Teror pada 8 Maret 2016 di Brengkungan, Klaten dapat bersama kita jadikan pelajaran.

Merespon tantangan tersebut, lembar fakta PBB tentang HAM, Terorisme dan Kontra-Terorisme (Factsheet No. 32) menjelaskan bahwa hukum hak asasi manusia mengenal asas fleksibilitas yang meliputi pembatasan (limitations) dan pengurangan (derogations). Negara dapat secara sah membatasi pelaksanaan hak-hak tertentu, seperti membatasi hak seseorang untuk mengekspresikan diri jika terbukti secara hukum melakukan ajakan untuk terlibat dalam aksi terorisme.

Selain membatasi, rezim hak asasi manusia, dalam keadaan tertentu, seperti keadaan darurat publik (state of public emergency) yang mengancam kehidupan bangsa, mengizinkan Negara mengurangi hak asasi manusia tertentu. Keadaan darurat ini harus dipahami sebagai tindakan sementara yang benar-benar luar biasa, yang hanya dapat dilakukan jika ada ancaman nyata.

 

Dilema ini ditemukan dalam situasi "shoot-to-kill" yang terjadi dalam bentrok di Mako Brimob. Dalam situasi ini, hukum hak asasi manusia memperbolehkan penggunaan lethal force atas alasan melindungi nyawa manusia. Namun batasan-batasan ini tetap harus benar-benar mematuhi prinsip-prinsip kebutuhan dan proporsionalitas, demi terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan.

Mereka yang khawatir akan kompatibilitas hak asasi manusia, sering kali menuduh para pembela hak asasi manusia sebagai pembela teroris atau tidak melihat ancaman terorisme secara serius. Karakterisasi seperti ini jelas tidak akurat dan tidak produktif.

Gagasan bahwa hak asasi manusia bertentangan dengan keamanan nasional gagal mengakui fakta bahwa hukum hak asasi manusia internasional ditempa di tengah periode konflik global yang penuh dengan perdebatan bagaimana mencapai keseimbangan antara kepentingan keamanan dan hak-hak mendasar manusia.

KETERKAITAN TENTANG HAM DAN TERORISME

Negara juga harus mulai secara serius memperhatikan dan mencegah pelibatan anak-anak dalam tindak pidana terorisme karena akan menimbulkan efek psikologis yang sangat buruk bagi anak-anak dalam memandang anak-anak pelaku teror. Sebagaimana diatur di dalam Pasal 63 Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, setiap anak tidak boleh dilibatkan di dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan. Pasal 53 ayat (1) menyatakan setiap anak berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.

Teror yang melibatkan anak-anak tersebut jelas menampar kemanusiaan kita dan kredibilitas negara secara keseluruhan. Mengapa hal ini tidak teridentifikasi sejak awal?

Teror adalah musuh bersama bagi umat manusia, sehingga menjadi kepentingan dan tugas kita bersama untuk memeranginya. Pendekatan terintegrasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan aktor-aktor non-negara sangat dibutuhkan karena teror tidak akan selesai melalui langkah penindakan hukum semata, misalnya hanya melalui Polri yang dibantu oleh TNI.

Teror telah merampas hak asasi manusia para korban dan masyarakat secara umum, khususnya hak untuk hidup, hak atas rasa aman, dan kemerdekaan dari rasa takut. Teror juga menyebabkan instabilitas suatu wilayah dan bangsa, membahayakan masyarakat, serta menjadi ancaman bagi perdamaian dan pembangunan.

Negara wajib melindungi setiap orang, di antaranya dengan mengambil tindakan semaksimal mungkin untuk mengadili para teroris dengan mengedepankan due process of law. Penanganan terorisme dengan cara dan pendekatan yang benar dan tepat, berbasis pada penghormatan serta perlindungan HAM, harus menjadi bagian penting dalam kebijakan dan program memerangi kejahatan terorisme.

Pendekatan berbasis HAM harus ada pada setiap tahap penanganan terorisme, termasuk ketika terduga teroris menghadapi proses hukum di pengadilan. Pendekatan HAM menekankan bahwa penanganan atas kejahatan terorisme harus akuntabel. Mekanisme untuk menjamin adanya kontrol dan pengawasan publik harus dibangun dan dijalankan atas wewenang yang diberikan kepada negara dalam kebijakannya memerangi terorisme.

Tantangan penting yang dihadapi Indonesia saat ini adalah bagaimana secara efektif merespon ancaman terorisme tanpa meninggalkan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Oleh karena itu, cara terbaik memerangi terorisme adalah dengan membangun sistem peradilan yang kuat dan hukum yang akuntabel. Melawan terorisme jangan sampai mengucilkan HAM itu sendiri, sebaliknya harus ditunjukkan bagi perlindungan HAM.

Penegakan HAM secara umum membutuhkan penciptaan sebuah kondisi yang kondusif melalui penguatan sistem. Di Indonesia selama masa Orde Baru dan masa transisi dari corak pemerintahan otoriter ke demokratis, sistem itu tidak berjalan secara proporsional. Sebagai konsekuensinya, maka banyak unsur unsur yang  berjalan diluar sistem; dan hal ini berarti sebuah penyimpangan dari koridor sistem itu. Sebagai contoh terjadinya bentuk bentuk kekerasan dan tindakan main hakim sendiri serta kerusuhan massal yang sangat destruktif dan lain lain merupakan bentuk distorsi sistem yang lebih disebabkan oleh ketidak-percayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang ada. Apa yang dikatakan oleh Frans Magnis Suseno di atas memanglah benar. Bahkan berkenaan dengan lemahnya sistem hukum di Indonesia, David Black pada tahun 1970-an sudah mempertanyakan tentang kondisi hukum di negara kita Is law there? (adakah hukum?). Begitu terpuruknya kondisi hukum di Indonesia sehingga mengakibatkan terjadinya krisis berskala luas dan bersifat multidimensional.

Memang benar terpuruknya hukum itu dapat juga dipengaruhi oleh sistem lain seperti sistem politik, sistem ekonomi dan sistem sosial tapi pengaruh lemahnya sistem hukum terhadap rusaknya sistem sistem  tersebut paling  signifikan sebab   hukum dilihat dari segi tujuannya merupakan yang paling bertanggung jawab atas hal tersebut di atas. Tujuan hukum itu antara lain  untuk memberikan pengayoman kepada anggota masyarakat yang dilakukan dengan usaha mewujudkan

  • 1. Ketertiban dan keteraturan yang memunculkan prediktabilitas.
  • 2. Kedamaian yang berketenteraman.
  • 3. Keadilan (distributif, komulatif, vindikatif, protektif).
  • 4. Kesejahteraan dan keadilan sosial.
  • 5. Pembinaan akhlak luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari sini  dapat ditarik suatu asumsi bahwa seandainya sistem hukum itu bekerja dengan baik untuk mencapai tujuannya di atas, maka krisis yang bersifat multidimensional itu akan dapat teratasi dan penegakan HAM akan berjalan dengan baik. Dengan demikian rekonstruksi sistem hukum harus menjadi sebuah perioritas. Rekonstruksi sistem hukum tersebut meliputi tiga unsur pokok, yaitu struktur, substansi. dan kultur.

Struktur mencakup institusi-institusi penegakan hukum, yang dalam prakteknya belum sepenuhnya independen, atau dengan kata lain masih sering diintervensi oleh pihak lain dalam mengambil keputusan hukum. Keberadaan Kepolisian dan Kejaksaan sebagai institusi penegakan hukum yang merupakan bagian dari eksekutif adalah sebuah problem tersendiri bagi kemandirian yudisial di negara kita.

Selain institusi, struktur sistem hukum juga meliputi aparat penegak hukum. Problem krusial yang ada pada jajaran aparat penegak hukum secara umum adalah tingkat moralitas dan integritas personalnya yang sangat rendah sehingga hukum tidak dapat diimplementasikan sesuai ketentuan yang berlaku. Hukum tidak lebih sebagai sebuah komoditas yang bisa diperjualbelikan atau dinegosiasikan berdasarkan kepentingan yang melatarinya. Dua permasalahan di atas menuntut upaya restrukturisasi institusi-institusi penegakan hukum, sehingga kemandirian yudisial dapat dicapai. Demikian juga reformasi sistem pendidikan calon aparat penegak hukum agar dihasilkan out-put yang profesional dan memiliki tingkat moralitas dan integritas personal yang tinggi. Faktor ini sangatlah penting dan menentukan sebab bagaimanapun baiknya sebuah sistem hukum itu dibangun tentu tidak akan berarti apa apa kalau kualitas aparatnya rendah secara profesional maupun moral dan personal. Secara ekstrim keterpurukan hukum di Indonesia penyebab utamanya adalah banyaknya aparat penegak hukum yang tidak memenuhi kualifikasi di atas.          

Substansi, yang menjadi permasalahan berkenaan dengan substansi adalah kuatnya pengaruh legal positivism dalam sistem hukum di negara kita. Pemikiran positivisme hukum lahir bersama dengan kelahiran negara modern pada akhir abad 18. Sebelum itu masyarakat masih menggunakan hukum yang dinamakan interactional law atau customary law.  Positivisme kental dengan dokumentasi dan formalisasi hukum dalam wujudnya sebagai bureaucratic law. Dalam ilmu hukum yang legalistik-positivistik hukum dipandang sebagai pranata pengaturan yang mekanistik dan deterministik. Dengan kata lain positivisme telah melakukan penyederhanaan penyederhanaan yang berlebihan dan hukum dipahami sebagai suatu keteraturan. Bagi kaum positivis, hukum tidak lain dari perintah yang bersumber dari otoritas yang berdaulat dalam masyarakat yang mengharuskan orang  atau orang orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perintah itu disandarkan kepada ancaman keburukan berupa sanksi yang dipaksakan berlakunya bagi orang yang tidak taat. Perintah, kewajiban untuk mentaati dan sanksi merupakan tiga unsur essensial hukum dalam pandangan positivisme. Bagi faham ini hukum positif berbeda jika dibandingkan dengan asas asas lain misalnya asas asas yang didasarkan pada moralitas, religi, kebiasaan, konvensi ataupun kesadaran masyarakat.Bahkan lebih ekstrim lagi, hukum harus melarang setiap aturan yang mirip hukum tetapi tidak bersifat perintah dari otoritas yang berdaulat.    

Dilihat dari latarbelakang munculnya, posistivisme ini dilatari oleh politik liberalisme yang memperjuangkan kemerdekaan individu sehingga wajar apabila faham ini tidak memberikan concern terhadap keadilan yang luas bagi masyarakat. Dan baginya untuk mewujudkan kemerdekaan individu diperlukan kepastian hukum dalam bentuk undang undang dan prosedur hukum yang jelas. Bahkan demi kepastian hukum prinsip keadilan dan kemanfaatan bisa dikorbankan. 

Dengan memahami karakter posistivisme di atas, maka apabila faham ini terus mendominasi sistem hukum negara kita tentu akan menghambat penegakan hukum yang berkeadilan dan  menimbulkan keterpurukan hukum yang krusial  terus menerus. Maka untuk bisa keluar dari problem ini bangsa Indonesia harus dapat melepaskan diri dari belenggu positivisme karena dengan hanya mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistik-positivistik yang berbasis pada peraturan tertulis (rule bound) dan prosedur hukum semata sistem hukum Indonesia  tidak akan pernah mampu menangkap hakikat kebenaran dan keadilan. Dan lebih ironis lagi penegakan hukum hanya diimplementasikan dalam format peradilan formal (formal justice) semata yang tidak akan mampu menangkap substansinya. Hukum hanya berurusan dengan hal hal yang bersifat teknis dan teknologis. Sentuhan kemanusiaan hukum menjadi hilang. Hukum direduksi menjadi dua hal yang berhadapan secara berlawanan yaitu benar-salah, menang-kalah dan lain sebagainya. Langkah strategis yang sangat mendesak untuk dilakukan  untuk dapat keluar dari perangkap positivisme yang sangat merugikan tatanan hukum kita adalah melakukan reformasi hukum menuju Sistem Hukum Progresif. Untuk sampai kepada sistem hukum progresif ini semua konsep perlu dikaji ulang dan digugat, baik konsep negara hukum, konsep penegakan hukum, konsep peradilan bahkan konsep keadilan itu sendiri. Karena fokusnya menuju hukum progresif maka kemudian yang dihasilkan nanti adalah negara hukum progresif, konsep penegakan hukum progresif, konsep keadilan progresif dan konsep konsep hukum lain yang progresif. Untuk memulai reformasi hukum bisa dilakukan dari posisi saat ini, dari tradisi dan praktek bernegara hukum dan penegakan hukum yang diterapkan selama ini. Semua ini dijadikan obyek gugatan, atau dengan kata lain keterpurukan hukum yang terjadi selama ini menjadi entry point  gugatan untuk menemukan format baru yang progresif.

Kultur hukum (legal culture). Yang menjadi problem dari kultur hukum adalah belum kondusifnya praktek budaya penegakan hukum bagi bekerjanya sistem hukum secara sistemik dan berkeadilan. Kentalnya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di Indonesia yang hingga kini menjadi permasalahan bangsa yang krusial sangat menghambat penegakan hukum secara umum termasuk penegakan HAM. Untuk membangun kultur hukum yang kondusif diperlukan keteladanan yang baik dari kalangan aparat penegak hukum dan para elite kekuasaan untuk menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap Indonesia  sebagai negara hukum sebagaimana telah ditegaskan dalam UUD 45. Hal ini dapat terwujud apabila mereka memiliki moralitas dan integritas personal  yang tinggi dalam menjalankan tugas masing-masing. 

(TAUFIK HIDAYAT)

(HUKUM-02 171710838) HAM DAN TEROSISME

HAM (HAK ASASI MANUSIA) DAN TERORISME

>Hak Asasi Manusia(HAM) adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma, yang menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional

>Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.

PEMBAHASAN TERKAIT KEDUA HAL TERSEBUT

Tindakan terorisme berdampak langsung pada martabat dan keamanan manusia, menciptakan situasi penuh rasa takut, dan menghancurkan hak asasi manusia itu sendiri. Kehadiran terorisme juga berhadapan langsung dengan integritas pemerintahan yang sah. Untuk memenuhi kewajiban melindungi individu dari terorisme, Negara memiliki hak dan kewajiban untuk mengambil langkah-langkah kontra-terorisme yang efektif, mencegah serangan teroris di masa depan dan mengadili mereka yang bertanggung jawab.

Namun dalam praktiknya, disaat yang sama perlawanan terorisme menimbulkan tantangan berat terhadap perlindungan dan promosi hak asasi manusia. David J. Whittaker dalam buku Counter-Terrorism and Human Rights menjelaskan bahwa permasalahan hak asasi manusia dalam kontra-terorisme kerap ditemui dalam berbagai bentuk.

Termasuk dalam pengawasan (surveillance), penahanan yang disengketakan (disputed detention), penangkapan (arrest), prosedur penahanan tak terduga (the vagaries of charging procedure), ekstradisi dini (premature extradition), proses transfer tersangka (the transfer and trasport of suspects), perlakuan saat interogasi (the treatment on interrogation) dan pemenjaraan semena-mena (incarefully imprisonment). Peristiwa kematian Siyono dalam penangkapan dan penahanan Densus 88 Anti Teror pada 8 Maret 2016 di Brengkungan, Klaten dapat bersama kita jadikan pelajaran.

Merespon tantangan tersebut, lembar fakta PBB tentang HAM, Terorisme dan Kontra-Terorisme (Factsheet No. 32) menjelaskan bahwa hukum hak asasi manusia mengenal asas fleksibilitas yang meliputi pembatasan (limitations) dan pengurangan (derogations). Negara dapat secara sah membatasi pelaksanaan hak-hak tertentu, seperti membatasi hak seseorang untuk mengekspresikan diri jika terbukti secara hukum melakukan ajakan untuk terlibat dalam aksi terorisme.

Selain membatasi, rezim hak asasi manusia, dalam keadaan tertentu, seperti keadaan darurat publik (state of public emergency) yang mengancam kehidupan bangsa, mengizinkan Negara mengurangi hak asasi manusia tertentu. Keadaan darurat ini harus dipahami sebagai tindakan sementara yang benar-benar luar biasa, yang hanya dapat dilakukan jika ada ancaman nyata.

 

Dilema ini ditemukan dalam situasi "shoot-to-kill" yang terjadi dalam bentrok di Mako Brimob. Dalam situasi ini, hukum hak asasi manusia memperbolehkan penggunaan lethal force atas alasan melindungi nyawa manusia. Namun batasan-batasan ini tetap harus benar-benar mematuhi prinsip-prinsip kebutuhan dan proporsionalitas, demi terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan.

Mereka yang khawatir akan kompatibilitas hak asasi manusia, sering kali menuduh para pembela hak asasi manusia sebagai pembela teroris atau tidak melihat ancaman terorisme secara serius. Karakterisasi seperti ini jelas tidak akurat dan tidak produktif.

Gagasan bahwa hak asasi manusia bertentangan dengan keamanan nasional gagal mengakui fakta bahwa hukum hak asasi manusia internasional ditempa di tengah periode konflik global yang penuh dengan perdebatan bagaimana mencapai keseimbangan antara kepentingan keamanan dan hak-hak mendasar manusia.

KETERKAITAN TENTANG HAM DAN TERORISME

Negara juga harus mulai secara serius memperhatikan dan mencegah pelibatan anak-anak dalam tindak pidana terorisme karena akan menimbulkan efek psikologis yang sangat buruk bagi anak-anak dalam memandang anak-anak pelaku teror. Sebagaimana diatur di dalam Pasal 63 Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, setiap anak tidak boleh dilibatkan di dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan. Pasal 53 ayat (1) menyatakan setiap anak berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.

Teror yang melibatkan anak-anak tersebut jelas menampar kemanusiaan kita dan kredibilitas negara secara keseluruhan. Mengapa hal ini tidak teridentifikasi sejak awal?

Teror adalah musuh bersama bagi umat manusia, sehingga menjadi kepentingan dan tugas kita bersama untuk memeranginya. Pendekatan terintegrasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan aktor-aktor non-negara sangat dibutuhkan karena teror tidak akan selesai melalui langkah penindakan hukum semata, misalnya hanya melalui Polri yang dibantu oleh TNI.

Teror telah merampas hak asasi manusia para korban dan masyarakat secara umum, khususnya hak untuk hidup, hak atas rasa aman, dan kemerdekaan dari rasa takut. Teror juga menyebabkan instabilitas suatu wilayah dan bangsa, membahayakan masyarakat, serta menjadi ancaman bagi perdamaian dan pembangunan.

Negara wajib melindungi setiap orang, di antaranya dengan mengambil tindakan semaksimal mungkin untuk mengadili para teroris dengan mengedepankan due process of law. Penanganan terorisme dengan cara dan pendekatan yang benar dan tepat, berbasis pada penghormatan serta perlindungan HAM, harus menjadi bagian penting dalam kebijakan dan program memerangi kejahatan terorisme.

Pendekatan berbasis HAM harus ada pada setiap tahap penanganan terorisme, termasuk ketika terduga teroris menghadapi proses hukum di pengadilan. Pendekatan HAM menekankan bahwa penanganan atas kejahatan terorisme harus akuntabel. Mekanisme untuk menjamin adanya kontrol dan pengawasan publik harus dibangun dan dijalankan atas wewenang yang diberikan kepada negara dalam kebijakannya memerangi terorisme.

Tantangan penting yang dihadapi Indonesia saat ini adalah bagaimana secara efektif merespon ancaman terorisme tanpa meninggalkan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Oleh karena itu, cara terbaik memerangi terorisme adalah dengan membangun sistem peradilan yang kuat dan hukum yang akuntabel. Melawan terorisme jangan sampai mengucilkan HAM itu sendiri, sebaliknya harus ditunjukkan bagi perlindungan HAM.

Penegakan HAM secara umum membutuhkan penciptaan sebuah kondisi yang kondusif melalui penguatan sistem. Di Indonesia selama masa Orde Baru dan masa transisi dari corak pemerintahan otoriter ke demokratis, sistem itu tidak berjalan secara proporsional. Sebagai konsekuensinya, maka banyak unsur unsur yang  berjalan diluar sistem; dan hal ini berarti sebuah penyimpangan dari koridor sistem itu. Sebagai contoh terjadinya bentuk bentuk kekerasan dan tindakan main hakim sendiri serta kerusuhan massal yang sangat destruktif dan lain lain merupakan bentuk distorsi sistem yang lebih disebabkan oleh ketidak-percayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang ada. Apa yang dikatakan oleh Frans Magnis Suseno di atas memanglah benar. Bahkan berkenaan dengan lemahnya sistem hukum di Indonesia, David Black pada tahun 1970-an sudah mempertanyakan tentang kondisi hukum di negara kita Is law there? (adakah hukum?). Begitu terpuruknya kondisi hukum di Indonesia sehingga mengakibatkan terjadinya krisis berskala luas dan bersifat multidimensional.

Memang benar terpuruknya hukum itu dapat juga dipengaruhi oleh sistem lain seperti sistem politik, sistem ekonomi dan sistem sosial tapi pengaruh lemahnya sistem hukum terhadap rusaknya sistem sistem  tersebut paling  signifikan sebab   hukum dilihat dari segi tujuannya merupakan yang paling bertanggung jawab atas hal tersebut di atas. Tujuan hukum itu antara lain  untuk memberikan pengayoman kepada anggota masyarakat yang dilakukan dengan usaha mewujudkan

  • 1. Ketertiban dan keteraturan yang memunculkan prediktabilitas.
  • 2. Kedamaian yang berketenteraman.
  • 3. Keadilan (distributif, komulatif, vindikatif, protektif).
  • 4. Kesejahteraan dan keadilan sosial.
  • 5. Pembinaan akhlak luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari sini  dapat ditarik suatu asumsi bahwa seandainya sistem hukum itu bekerja dengan baik untuk mencapai tujuannya di atas, maka krisis yang bersifat multidimensional itu akan dapat teratasi dan penegakan HAM akan berjalan dengan baik. Dengan demikian rekonstruksi sistem hukum harus menjadi sebuah perioritas. Rekonstruksi sistem hukum tersebut meliputi tiga unsur pokok, yaitu struktur, substansi. dan kultur.

Struktur mencakup institusi-institusi penegakan hukum, yang dalam prakteknya belum sepenuhnya independen, atau dengan kata lain masih sering diintervensi oleh pihak lain dalam mengambil keputusan hukum. Keberadaan Kepolisian dan Kejaksaan sebagai institusi penegakan hukum yang merupakan bagian dari eksekutif adalah sebuah problem tersendiri bagi kemandirian yudisial di negara kita.

Selain institusi, struktur sistem hukum juga meliputi aparat penegak hukum. Problem krusial yang ada pada jajaran aparat penegak hukum secara umum adalah tingkat moralitas dan integritas personalnya yang sangat rendah sehingga hukum tidak dapat diimplementasikan sesuai ketentuan yang berlaku. Hukum tidak lebih sebagai sebuah komoditas yang bisa diperjualbelikan atau dinegosiasikan berdasarkan kepentingan yang melatarinya. Dua permasalahan di atas menuntut upaya restrukturisasi institusi-institusi penegakan hukum, sehingga kemandirian yudisial dapat dicapai. Demikian juga reformasi sistem pendidikan calon aparat penegak hukum agar dihasilkan out-put yang profesional dan memiliki tingkat moralitas dan integritas personal yang tinggi. Faktor ini sangatlah penting dan menentukan sebab bagaimanapun baiknya sebuah sistem hukum itu dibangun tentu tidak akan berarti apa apa kalau kualitas aparatnya rendah secara profesional maupun moral dan personal. Secara ekstrim keterpurukan hukum di Indonesia penyebab utamanya adalah banyaknya aparat penegak hukum yang tidak memenuhi kualifikasi di atas.          

Substansi, yang menjadi permasalahan berkenaan dengan substansi adalah kuatnya pengaruh legal positivism dalam sistem hukum di negara kita. Pemikiran positivisme hukum lahir bersama dengan kelahiran negara modern pada akhir abad 18. Sebelum itu masyarakat masih menggunakan hukum yang dinamakan interactional law atau customary law.  Positivisme kental dengan dokumentasi dan formalisasi hukum dalam wujudnya sebagai bureaucratic law. Dalam ilmu hukum yang legalistik-positivistik hukum dipandang sebagai pranata pengaturan yang mekanistik dan deterministik. Dengan kata lain positivisme telah melakukan penyederhanaan penyederhanaan yang berlebihan dan hukum dipahami sebagai suatu keteraturan. Bagi kaum positivis, hukum tidak lain dari perintah yang bersumber dari otoritas yang berdaulat dalam masyarakat yang mengharuskan orang  atau orang orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perintah itu disandarkan kepada ancaman keburukan berupa sanksi yang dipaksakan berlakunya bagi orang yang tidak taat. Perintah, kewajiban untuk mentaati dan sanksi merupakan tiga unsur essensial hukum dalam pandangan positivisme. Bagi faham ini hukum positif berbeda jika dibandingkan dengan asas asas lain misalnya asas asas yang didasarkan pada moralitas, religi, kebiasaan, konvensi ataupun kesadaran masyarakat.Bahkan lebih ekstrim lagi, hukum harus melarang setiap aturan yang mirip hukum tetapi tidak bersifat perintah dari otoritas yang berdaulat.    

Dilihat dari latarbelakang munculnya, posistivisme ini dilatari oleh politik liberalisme yang memperjuangkan kemerdekaan individu sehingga wajar apabila faham ini tidak memberikan concern terhadap keadilan yang luas bagi masyarakat. Dan baginya untuk mewujudkan kemerdekaan individu diperlukan kepastian hukum dalam bentuk undang undang dan prosedur hukum yang jelas. Bahkan demi kepastian hukum prinsip keadilan dan kemanfaatan bisa dikorbankan. 

Dengan memahami karakter posistivisme di atas, maka apabila faham ini terus mendominasi sistem hukum negara kita tentu akan menghambat penegakan hukum yang berkeadilan dan  menimbulkan keterpurukan hukum yang krusial  terus menerus. Maka untuk bisa keluar dari problem ini bangsa Indonesia harus dapat melepaskan diri dari belenggu positivisme karena dengan hanya mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistik-positivistik yang berbasis pada peraturan tertulis (rule bound) dan prosedur hukum semata sistem hukum Indonesia  tidak akan pernah mampu menangkap hakikat kebenaran dan keadilan. Dan lebih ironis lagi penegakan hukum hanya diimplementasikan dalam format peradilan formal (formal justice) semata yang tidak akan mampu menangkap substansinya. Hukum hanya berurusan dengan hal hal yang bersifat teknis dan teknologis. Sentuhan kemanusiaan hukum menjadi hilang. Hukum direduksi menjadi dua hal yang berhadapan secara berlawanan yaitu benar-salah, menang-kalah dan lain sebagainya. Langkah strategis yang sangat mendesak untuk dilakukan  untuk dapat keluar dari perangkap positivisme yang sangat merugikan tatanan hukum kita adalah melakukan reformasi hukum menuju Sistem Hukum Progresif. Untuk sampai kepada sistem hukum progresif ini semua konsep perlu dikaji ulang dan digugat, baik konsep negara hukum, konsep penegakan hukum, konsep peradilan bahkan konsep keadilan itu sendiri. Karena fokusnya menuju hukum progresif maka kemudian yang dihasilkan nanti adalah negara hukum progresif, konsep penegakan hukum progresif, konsep keadilan progresif dan konsep konsep hukum lain yang progresif. Untuk memulai reformasi hukum bisa dilakukan dari posisi saat ini, dari tradisi dan praktek bernegara hukum dan penegakan hukum yang diterapkan selama ini. Semua ini dijadikan obyek gugatan, atau dengan kata lain keterpurukan hukum yang terjadi selama ini menjadi entry point  gugatan untuk menemukan format baru yang progresif.

Kultur hukum (legal culture). Yang menjadi problem dari kultur hukum adalah belum kondusifnya praktek budaya penegakan hukum bagi bekerjanya sistem hukum secara sistemik dan berkeadilan. Kentalnya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di Indonesia yang hingga kini menjadi permasalahan bangsa yang krusial sangat menghambat penegakan hukum secara umum termasuk penegakan HAM. Untuk membangun kultur hukum yang kondusif diperlukan keteladanan yang baik dari kalangan aparat penegak hukum dan para elite kekuasaan untuk menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap Indonesia  sebagai negara hukum sebagaimana telah ditegaskan dalam UUD 45. Hal ini dapat terwujud apabila mereka memiliki moralitas dan integritas personal  yang tinggi dalam menjalankan tugas masing-masing. 

(TAUFIK HIDAYAT)