Kamis, 24 Mei 2018

(Fekon08-171310011)-Ujaran Kebencian Penghambat Demokrasi Era Reformasi

​​
Ujaran Kebencian Penghambat Demokrasi Era Reformasi

Wajah Indonesia dinodai coreng kebencian. Ungkapan dan celotehan sarat permusuhan acap kali dilontarkan seseorang atau kelompok tertentu kepada mereka yang tak sepandangan. Kasus ujaran kebencian (hate speech) pun tak jua surut, malah cenderung meningkat.

Sejak era reformasi 1998, keran menyampaikan pendapat semakin terbuka lebar. Reformasi menjadi suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Kebebasan berpendapat pada era reformasi ini bagai dua mata pisau. Disatu sisi masyarakat menjadi kritis, responsif, dan terjamin kebebasannya dalam berekspresi. Namun di sisi lain begitu banyak yang seenaknya mengkritisi tanpa data yang pasti.

Pertanyaan yang cukup menggelitik, apakah kebebasan dalam era reformasi ini berarti bebas tanpa batas?. John Stuart Mill dalam On Liberty mengatakan bahwa argumen apapun harus diberi kebebasan dan didorong hingga batas nalar logika, bukan batas emosional atau moral. Namun Mill juga mengenalkan prinsip kerusakan yang dapat membatasi kebebasan berargumen. Apa maksudnya? Diskusi rasional tanpa kekangan memang menjadi tulang punggung demokrasi era reformasi, namun ketika ujaran tersebut ternyata dianggap menimbulkan lebih banyak kerusakan daripada manfaat, ia tidak lagi perlu dilindungi.

Di Indonesia, ujaran yang menimbulkan kerusakan lebih kita kenal dengan istilah ujaran kebencian (hate speech). Dengan dalih kebebasan berpendapat, ada beberapa individu bahkan kelompok yang mengumbar narasi kebencian diruang publik, baik offline maupun online. Ironisnya, hal ini dianggap sebagai sebuah kewajaran dan santer dibagikan melalui media sosial.

Sudah saatnya kita memahami bahwa ujaran kebencian dapat menimbulkan efek yang negatif. Menanam bibit buruk tentu akan berbuah buruk pula. Pada kehidupan bermasyarakat ujaran kebencian berpotensi menimbulkan konflik dan kekerasan. Betapa banyak kasus perang antar saudara, suku, agama akibat tajamnya mulut. Dan tidak sedikit yang berakibat harus terjerat kasus pidana. Kemudian dalam ranah yang lebih luas, ujaran kebencian merupakan pemicu munculnya gerakan radikalisme dan terorisme.

Menyadari bahaya yang ditimbulkan, sudah saatnya kita bergegas untuk turut andil. Bagaimana caranya? Tentu diawali dengan pemahaman bahwa antara kritik dan ujaran kebencian adalah hal yang berbeda. Jangan sampai kita terjebak membenci seseorang akibat tersebarnya isu atau data yang belum pasti kebenarannya. Kritik dalam ranah kebebasan berpendapat yang benar adalah berlandaskan fakta dan data serta disampaikan secara santun dan membangun.

Selanjutnya perlu kita kampanyekan gerakan hari bebas dari kebencian, baik diruang nyata maupun ruang maya. Kita bisa namai ini dengan "Hate Free Day". Diruang nyata dapat diwujudkan dengan membiasakan berbicara secara santun, penuh kasih sayang. Jalin kembali silaturahmi dengan saudara, bicaralah dengan mereka secara tatap muka. Sedangkan diruang maya, posting quote tentang indahnya perdamaian, kasih sayang, kalau bisa buat hal ini hingga menjadi viral dan poin terpentingnya adalah selalu kita ingat bahwa ujaran kebencian berbeda dengan kritik. Ujaran kebencian hanya akan menghambat proses demokrasi di era reformasi.

Tahun 2015 misalnya, sekelompok penggemar klub sepak bola Persija (Jakmania) bertikai dengan kelompok pendukung Persib (Bobotoh) pada ajang Piala Presiden 2015. Kala itu, Persija sudah tereliminasi di penyisihan. Ujaran kebencian merebak ketika Bobotoh melempar tagar #MakanyaMasukFinal. Tagar tersebut lantas dibalas oleh Jakmania dengan #KatanyaMilitan --maksud hati menyindir Bobotoh yang berangkat ke Jakarta dengan bantuan transportasi dari Ridwan Kamil. Tak berhenti sampai tagar #KatanyaMilitan, JakMania kembali melontar tagar #TolakPersibMainDiJakarta yang membuat api emosi tersulut makin besar.

Ujaran kebencian yang wara-wiri di media sosial itu lantas berujung pada rusuhnya Piala Presiden. Kedua kelompok pendukung saling tendang-serang. Sebanyak 30 orang lebih terluka, termasuk polisi, suporter, dan sopir bis. Ujaran kebencian sesungguhnya sudah mendapat perhatian sejak 2011, hingga akhirnya pada 8 Oktober 2015, surat edaran bernomor SE/6/X/2015 dikeluarkan dan kemudian dikirimkan ke seluruh kepolisian sektor dan resor di Indonesia.

Surat Edaran Kapolri SE/6/X/2015

Surat edaran tersebut menyebutkan bahwa ujaran kebencian adalah segala tindak tanduk dalam bentuk penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, hasutan, serta penyebaran berita bohong yang memiliki tujuan dan bisa membuahkan tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, hingga konflik sosial.

Ujaran kebencian ditujukan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/ kelompok tertentu seperti suku, agama, aliran kepercayaan, keyakinan, ras, golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual. Ujaran kebencian bisa melalui beragam media seperti spanduk, orasi, unggahan media sosial, demonstrasi, ceramah keagamaan, media massa, hingga pamflet.

Surat edaran tersebut sesungguhnya telah melalui beberapa kajian terdahulu yang didasarkan pada deretan kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia seperti peristiwa Sampang, Cikeusik, Tolikara, dan Aceh Singkil. Konteks yang melatarbelakangi penerbitan surat edaran tersebut menjadi dasar tegas untuk meminimalisasi hingga menihilkan ujaran kebencian yang mampu menyulut dampak sosial yang besar dan merugikan. Namun, surat edaran tersebut menuai pro-kontra, antara lain disebut sebagai salah satu bentuk pengekangan pemerintah terhadap kebebasan berpendapat, terutama ihwal kritik pemerintah. Padahal, ujaran kebencian dan kebebasan berbicara tentu memiliki tujuan dan dampak berbeda.

"Hate speech is not free speech," kata Senior Program Officer for Human Rights and Democracy International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Mugiyanto Sipin, kepada kumparan (kumparan.com) di Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Senin (15/5).

Ujaran kebencian (hate speech) dan kebebasan berbicara (free speech) sering kali susah dibedakan, lebih tepatnya dicampuradukkan. Banyak pelaku ujaran kebencian yang lantas berlindung di balik justifikasi kebebasan bicara. Padahal, keduanya jelas berbeda dan memiliki dampak berbeda pula.

 

Contoh lain adalah Hoax, tidak semua hoaks mengandung ajaran kebencian. Namun, ujaran kebencian dapat dipastikan mengandung kebohongan/penipuan. Mengapa? Menilai segala tindakan manusia berdasarkan identitas sosialnya jelas akan menghasilkan cara pandang yang bias, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan baik secara etis maupun secara ilmiah. Cara pandang ini didasarkan atas asumsi/pra

​-
anggapan bahwa segala tindakan manusia sepenuhnya dilatarbelakangi oleh identitas sosialnya.

 

Cara pandang ini menghasilkan apa yang kemudian dikenal dengan stereo type tentang manusia ataupun kelompok sosial berdasarkan identitas sosialnya. Manusia yang memiliki ras X pasti kriminal atau manusia yang memiliki ras Y adalah baik/mulia adalah sekadar ilustrasi sikap yang menggambarkan stereo type ini. Keyakinan ini didasarkan atas asumsi bahwa identitas sosial manusia merupakan sebuah kepastian absolut yang akan menentukan segala tindakannya. Dalam konteks ini, xenophobia (ketakutan terhadap sesuatu yang asing) dapat dimasukkan ke dalam cara pandang ini. Pandangan xenophobia berangkat dari anggapan bahwa segala sesuatu yang asing pasti merupakan ancaman atau jahat.

 

Masyarakat beradab jelas mengutuk cara pandang ataupun tindakan yang mengkonstruksi manusia melalui kerangka kebencian ataupun sentimen. Sejarah membuktikan bahwa di masa lalu cara pandang ini pernah menjelma menjadi mesin pembunuh manusia di tangan Partai Nazi di Jerman (1933-1945). Lebih dari enam juta manusia tewas di sejumlah 

K
amp
konsentrasi yang dibangun rezim Nazi
​.​
J
erman di era kekuasaan rezim Partai Nazi merupakan contoh paling menonjol dari sentimen kebencian rasial.

 

Munculnya kesadaran tentang bahaya yang muncul dari kebencian rasial itulah yang melatarbelakangi lahirrnya sejumlah deklarasi, konvenan ataupun konvensi internasional yang disponsori oleh PBB yang mengutuk segala bentuk kebencian & diskriminasi sosial pada era pasca Perang Dunia II. Dalam perkembangannya, tolakan terhadap segala bentuk kebencian rasial makin meluas cakupannya. Kebencian sosial yang dibangun atas dasar agama, asal-usul bangsa dan gender (jenis kelamin) juga ditolak oleh berbagai konvensi PBB.

 

Berikut sejumlah aturan yang mengatur ihwal ujaran kebencian di Indonesia:

1. Pasal 156 KUHP

Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2. Ayat (1) Pasal 157 KUHP

Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

3. Pasal 310 ayat (1), (2) dan (3) KUHP

1)      Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2)      Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempel di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

3)       Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

4. Pasal 311 KUHP ayat (1)

Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam  melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Aturan-aturan tersebut memberi batasan guna mengatur setiap kata yang keluar dari mulut rakyat. Sayangnya, tak ada distingsi jelas yang dicantumkan dalam hukum tersebut. Tak ada variabel jelas yang digunakan untuk mengategorikan apa yang dianggap sebagai ujaran kebencian dan kebebasan bicara.

Tak berbeda jauh dengan polemik yang dihadirkan oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengandung banyak pasal karet, pasal yang mengatur tentang ujaran kebencian pun kerap kali terlalu licin."Sekali lagi, hate speech is not free speech. Itu sudah mesti tegas. Ketika aku bilang, "Bunuh dia!" atau "Dia kafir" dan kafir di kepala orang itu adalah halal darahnya, nah itu sudah hate speech, karena mengandung seruan atau ajakan untuk bertindak. Itu sudah bukan free speech," kata Mugi.

Ujaran kebencian menjadi salah satu kasus yang mendapat perhatian besar dan perlu diusut hingga tuntas. Pasalnya, ujaran kebencian bisa berdampak besar bagi sebuah sistem masyarakat, dimulai dari seruan berpotensi menjadi perang horizontal. Salah satu kasus ujaran kebencian yang berdampak besar di Indonesia adalah ketika suku Madura dan Dayak berseteru dalam konflik Sampit. Konflik muncul saat terlontar seruan "sapi" dari salah satu suku kepada suku lainnya. Hal itu memicu kemarahan dan berakhir aksi saling serang kedua suku.

Ujaran kebencian tak berhenti di situ, tapi menjalar ke jagat maya. Tahun 2016, ujaran kebencian menjadi salah satu kasus yang paling banyak dilaporkan. Setahun sebelumnya, 2015, terdapat 670 laporan ujaran kebencian, dan masih banyak pula yang tak dilaporkan. Dari 670 kasus yang masuk, kepolisian baru berhasil menyintas sekitar 200 kasus.

​ ​
Terlebih, kini teknologi internet yang membawa percakapan dan diskusi ke ranah tak berjarak, dapat dengan mudah mengeliminasi pemikiran yang tak sesuai dengan narasi dominan yang beredar dalam grup masing-masing orang.

Dalam bukunya, Political Communication Ethics: An Oxymoron, Robert Denton menyebutkan pada dasarnya internet bersifat anti-dialektis. Premis ini menjelaskan bagaimana proses diskusi dan pembentukan wacana akan dengan mudah disetir oleh sebagian pihak yang dominan, sehingga kelompok kecil akan dengan mudah dihilangkan ketika  ia tak turut dalam wacana dominan.Premis ini dengan mudah ditemukan dalam ranah online messenger seperti WhatsApp. Tinggal "leave group" atau "delete member" ketika ada satu atau dua orang yang pemikirannya dirasa tak sesuai dengan mayoritas.

Tak jarang, ujaran kebencian beredar cepat dari grup ke grup, entah dalam rupa meme maupun pesan panjang yang "tidak boleh putus di tanganmu." Kemudahan untuk mengeliminasi perbedaan menjadi lingkungan subur untuk memarakkan ujaran kebencian. Pada 2016, ujaran kebencian yang beredar dalam bentuk pesan daring meningkat hingga setidaknya 200 persen. Ujaran kebencian berbalut kebebasan berbicara yang ibarat serigala berbulu domba, menjelma jadi salah satu tantangan terbesar era Reformasi.

Aktivis reformasi '98 Adian Napitupulu mengatakan bahwa demokrasi di era reformasi telah dinodai diskriminasi. Ia menganggap cara-cara menggunakan isu SARA yang dipakai oleh beberapa politikus dalam memperebutkan kekuasaan saat ini sama persis ketika saat Orde Baru (Orba) berkuasa. "Memang sejak dulu Orba pertahankan kekuasaannya dengan SARA," kata Adian dalam closing statement penutupan Peringatan 19 Tahun Reformasi yang diselenggarakan oleh Pena '98 di Taman Ismail Marzuki pada Senin (15/5) malam. Ia menyayangkan perilaku semacam ini muncul kembali di era reformasi. Menurutnya, hal ini telah membuat demokrasi yang selama ini diperjuangkan dengan darah menjadi ternodai karena menyisipkan diskriminasi di dalam demokrasi tersebut.

Padahal jelas, demokrasi tidak bisa dibangun di atas diskriminasi atas nama apapun. "Kebebasan itu harus dimaknai sebagai kebebasan yang digunakan untuk membangun demokrasi. Dan demokrasi

​ ​
tidak​
bisa dibangun di atas diskriminasi atas nama apapun, baik suku, agama atau kemampuan ekonomi." Maka dari itu ia meminta semua masyarakat Indonesia untuk berani melawan. Melawan demokrasi yang dijadikan alat oleh para petinggi Orba yang mulai kembali untuk mendiskriminasi masyarakat Indonesia. "Harus dilawan! Mau sesulit apapun dan sekuat apapun musuh, kita lawan," tegas Adian.

Segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum (Pasal 20 Ayat 2 Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik).

Setiap penyebarluasan gagasan berdasarkan keunggulan atau kebencian terhadap ras tertentu, hasutan ke arah diskriminasi ras maupun semua tindak kekerasan atau hasutan untuk melakukan tindakan semacam itu terhadap ras atau kelompok orang dengan warna kulit atau asal bangsa yang berbeda, dan juga pemberian bantuan bagi kegiatan-kegiatan rasis, termasuk bantuan keuangan, adalah kejahatan yang dapat dituntut secara hukum (Pasal 4 huruf a Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial)
​.


Na

​m​
a
​ ​
: Anggini Kartika Sari

​Nim​   : 171310011

Kelas : 08 Manajemen Malam