Senin, 08 Mei 2017

(A Syumma Rochim-FHUMPREGA01) Konsep Ketenagakerjaan (perburuhan) Negara Arab Saudi dan Perbandingannya Dengan Indonesia

KERJASAMA KETENAGAKERJAAN INDONESIA DAN ARAB SAUDI
Terjadinya kerjasama ketenagakerjaan antar negara sesungguhnya dimotori oleh
demam globalisasi. Tuntutan globalisasi yang mensyaratkan perkembangan di segala
bidang yang di warnai kompetisi tinggi memaksa negara untuk menggunakan berbagai
solusi dan alternatif agar tetap bisa
survive
sekaligus bisa bersaing dalam percaturan
dunia. Negara kemudian dipacu untuk mengeksploitasi dan memanfaatkan segala
potensi yan
g dimilikinya demi mencapai cita
-
cita tersebut.
Upaya
survival
sekaligus
development
inilah yang kemudian semakin
meningkatkan interdependensi antar negara. Negara kemudian akan saling bekerjasama
untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan satu sama lain. D
alam pembahasan
selanjutnya, penulis akan mencoba menjelaskan tentang aspek
-
aspek yang
melatarbelakangi dan memotivasi kerjasama ketenagakerjaan a
ntara Indonesia dan
Arab Saudi.
A.
1. 1 Sejarah Ketenagakerjaan dan Migrasi Tenaga Kerja Indonesia
B.1.1.1 Mas
a Kolonial
a. Belanda
Pasca runtuhnya kesultanan Mataram pada abad ke
-
18, okupansi Belanda yang
dimulai pada sekitar tahun 1600 an menjadi semakin kuat dengan mendirikan
Perusahaan Dagang Hindia Belanda (
Vereenigde Oost
-
Indische Compagnie/VOC
) di
Jawa. Do
minasi Belanda yang berlangsung selama tiga setengah abad atau sekitar 350
tahun tersebut telah dengan signifikan mengubah sistem sosial termasuk budaya
ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Kehidupan sosial yang seolah terbagi ke dalam
tiga kasta yakni p
emerintah Belanda dan Eropa sebagai pemangku kekuasaan tertinggi
dan pengelola perekonomian, priyayi atau aristokrat pribumi sebagai perantara petani
dan sipil Eropa, serta para petani sebagai buruh dan budak, semakin mematangkan
mentalitas „buruh‟ di kala
ngan rakyat Indonesia. Dengan menonjolnya sistem ekonomi
perbudakan, para penduduk dipaksa bekerja di sektor
-
sektor yang notabene
dirty
dan
dangerous
seperti menjadi petani kasar, buruh di perkebunan, tukang bangunan, dan
pelayan di rumah
-
rumah para penjaj
ah.
[
2
]
Tak hanya di Nusantara, pemerintah Belanda pun mengirim dan mempekerjakan
para penduduk pribumi ke beberapa wilayah di luar negeri, seperti New Caledonia dan
Suriname, yang juga merupakan wilayah koloni Belanda. Namun bukan diprakarsai
oleh kesadaran
pribadi untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, migrasi tenaga
kerja ke luar negeri pada zaman itu lebih disebabkan karena tuntutan dan paksaan
penjajah
(Sitorus, 2011)
. Para buruh diharuskan bekerja selama 8 jam di perkeb
unan
atau 10 jam di pabrik, 6 hari dalam seminggu, sesuai dengan masa kontrak yang
umumnya mencapai 5 tahun. Exploitasi anak pun nampaknya sudah menjadi hal yang
lazim pada masa itu. Asyarifh menulis, "...para TKI laki
-
laki usia di atas 16 tahun yang
beker
ja di perusahaan perkebunan Suriname menerima gaji sebesar 60 sen sehari dan
pekerja wanita usia di atas 10 tahun sebesar 40 sen sehari" (Asyarifh, 2011).
b. Jepang
Langgengnya penjajahan Belanda ini kemudian berhasil digulingkan oleh
pendudukan Jepang p
ada tahun 1942. Banyak yang melihat bahwa penjajahan Jepang
memberi dampak seperti mata uang, di satu sisi dinilai lebih kejam dari pada penjajahan
Belanda namun di sisi lain justru membantu membangun kekuatan dan nasionalisme
pemuda Indonesia untuk memper
siapkan kemerdekaan. Hal ini terutama terlihat dari
pola perekrutan tenaga kerja pada masa itu. Demi memenangkan perang Asia Timur
Raya, Jepang memberlakukan sebuah sistem kerja paksa yang dikenal dengan istilah
romusha. Para pekerja Romusha ini pada umumn
ya didatangkan dari desa
-
desa di Jawa
yang terdiri dari pemuda petani dan pengangguran.
Tetapi
Jepang ternyata tidak hanya membutuhkan tenaga para kuli untuk
membangun berbagai prasarana perang, tetapi juga membutuhkan
supply
personil
militer dalam jumlah
besar untuk mendukung upaya ekspansinya. Karena itu, Jepang
kemudian merekrut, melatih, dan mempersenjatai banyak kaum muda Indonesia
sehingga banyak dari mereka yan
g menjadi ahli perang. Kemudian
Jepang juga secara
tidak langsung telah „mendidik‟ para pe
muda Indonesia dibidang politik dengan
memberikan akses dan kesempatan lebih besar untuk terlibat dalam proses
pemerintahan dan perpolitikan saat itu.
Migrasi tenaga kerja yang kental terlihat pada masa penjajahan Jepang
disebabkan oleh sistem romusha yan
g mengharuskan mobilisasi dan perpindahan
pekerja ke berbagai wilayah di Nusantara demi membangun sarana dan prasarana
perang bagi Jepang. Selain itu, beberapa aktivitas migrasi pola lama (
forced migration
)
[
3
]
seperti yang terjadi pada masa kolonial Belanda p
un masih terjadi. Ditambah dengan
berlangsungnya beberapa migrasi tradisional dari dan ke Malaysia yang dimotori oleh
faktor pekerjaan dan kekerabatan.
B.1.1.2 Pasca Kemerdekaan dan Orde Lama (1945
1966)
Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus
1945, tampuk kepemimpinan
Indonesia di pegang oleh Insinyur Soekarno yang selanjutnya berlangsung selama 21
tahun. Meskipun banyak yang menilai bahwa selama kurun waktu tersebut Soekarno
telah gagal dalam membangun perekonomian Indonesia, namun dari segi
k
etenagakerjaan, pemerintahan era ini justru berhasil menelurkan beberapa peraturan
perlindungan tenaga kerja yang terbilang sangat progresif, seperti; dibentuknya
Kementerian Perburuhan pada 3 Juli 1947 melalui Peraturan Pemerintah No.3 tahun
1947 sebagai
lembaga resmi yang secara khusus mengurusi masalah perburuhan;
diratifikasinya sejumlah konvensi HAM dan buruh tingkat internasional; serta
disahkannya beberapa Undang
-
Undang seperti UU No.21 tahun 1954 tentang Perjanjian
Perburuhan antara Serikat Buruh da
n Majikan serta UU No. 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, sebagai
follow up
dari munculnya berbagai
tuntutan dan perselisihan normatif materil antara buruh dan majikan di sekitaran tahun
1950an.
Kondisi ketenagakerjaan pada era in
i sesungguhnya sangat didominasi oleh
dinamika kemunculan dan vokalnya asosiasi gerakan buruh dalam perpolitikan
Indonesia. Besarnya keterlibatan buruh inilah yang kemudian menghasilkan berbagai
produk kebijakan ketenagakerjaan yang sangat protektif dan pr
o buruh. Diprakarsai oleh
terbentuknya Barisan Buruh Indonesia (BBI) pada September 1945 yang mengusung
perjuangan sosial ekonomi para buruh, berbagai level serikat buruh pun kemudian
bermunculan di seluruh tanah air. Namun ironisnya, besarnya pengaruh dan
popularitas
gerakan buruh ini disalahgunakan secara politis. Berbagai partai politik seketika
berduyun
-
duyun membentuk serikat buruh versi mereka, demi meraup dukungan dan
suara pada pemilihan umum tahun 1955.
Dalam konteks migrasi tenaga kerja, penulis
tak banyak menemukan catatan
sejarah yang menjelaskan tentang dinamika maupun dokumentasi kebijakan di era ini.
Pasalnya, selain karena masih disibukkan oleh upaya membangun bangsa pasca
kolonialisme, pemerintah belum melirik potensi migrasi tenaga kerja
(terutama
pengiriman TKILN) sebagai salah satu sumber devisa bagi negara. Kementrian
[
4
]
Perburuhan yang saat itu didirikan pun hanya berfokus mengelola aspek
ketenagakerjaan di dalam negeri. Mobilitas migrasi internasional yang dapat dilacak
adalah perpindah
an penduduk Indonesia ke negara
-
negara seperti Malaysia dan Arab
Saudi yang biasanya dimotori oleh pekerjaan, hubungan kekerabatan, perpindahan
permanen, dan untuk menunaikan haji.
B.1.1.3 Masa Orde Baru (1966
1998)
Pergantian era dari orde lama menuj
u orde baru ditandai dengan peralihan
kekuasaan politik dari kepemimpinan Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal
Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret 1966 yang kontroversial
(Simanjuntak,
2012)
. Peristiwa Supersemar
ini kemudian menjadi tonggak dimulainya 32 tahun
kekuasaan Soeharto yang dideklarasikan sebagai koreksi total terhadap budaya dan
sistem politik era orde lama yang cenderung berfokus menjadi penyeimbang antara
kekuatan nasionalis, agama, militer, dan komun
is menjadi berfokus pada pembangunan
ekonomi serta pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Untuk mewujudkan cita
-
cita tersebut, serangkaian kebijakan dan strategi
ekonomi pun dilaksanakan oleh Soeharto. Secara struktural, pemerintah
mengubah
nama birokrasi ketenagakerjaan yang sebelumnya bernama Kementrian Perburuhan
menjadi Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi, sampai berakhirnya
Kabinet Pembangunan III (1983). Kemudian pada Kabinet Pembangunan IV,
pemerintah membagi D
epartemen ini menjadi 2, yaitu Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi serta Kementrian Koperasi, karena melihat besarnya porsi tugas yang
diemban
(Asyarifh, 2011)
. Secara praktis, percepatan pertumbuhan ekonomi dimulai
denga
n menjalankan strategi Pembangunan Lima Tahun (Pelita), yang difokuskan pada
sektor pertanian dan industri.
Namun target pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi global yang sejak awal
dihasratkan Soeharto lambat laun menggeser dominasi sektor pertanian di da
lam negeri.
Berbagai fasilitas, sarana dan infrastruktur perindustrian yang dibangun rejim ini
mensyaratkan penggunaan lahan besar
-
besaran sehingga memaksa penduduk untuk
merelakan tanah pertanian mereka untuk dibangun pabrik dan gedung bertingkat.
Hilangn
ya lahan pertanian ini secara otomatis juga menghilangkan sumber mata
pencaharian utama berjuta penduduk, yang kemudian menyebabkan tingginya angka
pengangguran dan meningkatnya keresahan tenaga kerja. Kendati upaya
-
upaya
penyediaan lapangan kerja seperti
Program padat karya dan transmigrasi, disamping
[
5
]
sektor industri itu sendiri, dapat membantu menyerap tenaga kerja, namun kenyataan
menunjukkan bahwa industrialisasi tersebut menciptakan terlalu banyak pengangguran
daripada menyediakan lapangan kerja.
Seki
tar tahun 70an, globalisasi mulai masuk ke Indonesia. Pemerintah semakin
giat mengintegrasikan diri dengan pertumbuhan ekonomi. Di dalam negeri, proses
industrialisasi dan modernisasi menyebabkan meningkatnya level kompetisi dan
konsumerisme. Faktor
-
faktor
seperti tingkat pendidikan dan kemampuan ekonomi
seolah menjadi bola salju yang semakin lama justru semakin memperjelas gap antara si
kaya dan si miskin. Kondisi ini kemudian diperparah dengan keputusan pemerintah
untuk memberlakukan
lower tarrifs
dan mem
aksakan kebijakan deregulasi upah murah
bagi buruh demi menarik minat lebih banyak investor untuk menanamkan modalnya di
tanah air
(Schwarz, Indonesia After Soeharto, 1997, hal. 124)
. Disisi lain, demam
globalisasi pun m
enyebabkan negara
-
negara di seluruh dunia berlomba untuk
memajukan perekonomian mereka dengan berbagai cara, termasuk juga industrialisasi.
Banyaknya
demand
tenaga kerja dari negara
-
negara ini kemudian memicu ketertarikan
angkatan kerja Indonesia, khususny
a yang tidak memiliki pekerjaan, untuk hijrah dan
mencoba peruntungan mereka di sektor
-
sektor tersebut. Tingginya tingkat
pengangguran dan minat tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di luar negeri ini
kemudian dilihat oleh pemerintah sebagai solusi strateg
is bagi beberapa masalah
sekaligus, yakni pengangguran, kemiskinan, dan pemasok pendapatan luar negeri bagi
negara.
Demi mengawal kelancaran prosesnya, pemerintah pun mendirikan Antar Kerja
Antar negara (AKAN) dan Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) melalui P
eraturan
Pemerintah No.4 Tahun 1970, yang memberi wewenang pada pihak swasta untuk
terlibat dalam proses perekrutan dan penempatan TKI ke luar negeri. Kemudian pada
tahun 1979, pemerintah mengambil upaya
-
upaya langsung untuk mengirimkan tenaga
kerja Indone
sia ke luar
(Azmy, 2011, hal. 39)
.
Booming
minyak yang terjadi d
i Arab
Saudi sekitar tahun 1980
an pun semakin memasifkan mobilitas ini, hingga pemerintah
merasa perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PerMen) No. 5 yang
mengatur
tentang pengiriman tenaga kerja ke luar negeri dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
No.1307 tahun 1988 yang mengatur tentang Petunjuk Teknis Pengerahan TKI ke Arab
Saudi. Berikut tabel data pengiriman tenaga kerja
Indonesia pada masa orde baru.
[
6
]
Tab
el 2
. Data Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia pada Masa Orde Baru
Sumber: Hugo (2005) dari tulisan UR Sitorus (2014)
Pada era ini pula, tepatnya Mei 1984, pemerintah membuat kesepatakan bilateral
pertama kali dalam bentuk MoU dengan Malaysia terkait pengaturan aliran migrasi dari
Indonesia
ke Malaysia.
Tetapi upaya pembangunan ekonomi era
Bapak Pembangunan
ini tak serta
merta berkesan baik. Dengan dalih untuk mendukung stabilitas pembangunan ekonomi,
rejim yang disebut Feith sebagai tipe „
repressive
-
developmentalist'
ini menggunakan
serangk
aian tindakan pemaksaan demi mencapai misi modernisasi
(Aspinall & Fealy)
.

(A Syumma Rochim-FHUMPREGA01) Konsep Ketenagakerjaan (perburuhan) Negara Arab Saudi dan Perbandingannya Dengan Indonesia

[
2
]
Tak hanya di Nusantara, pemerintah Belanda pun mengirim dan mempekerjakan
para penduduk pribumi ke beberapa wilayah di luar negeri, seperti New Caledonia dan
Suriname, yang juga merupakan wilayah koloni Belanda. Namun bukan diprakarsai
oleh kesadaran
pribadi untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, migrasi tenaga
kerja ke luar negeri pada zaman itu lebih disebabkan karena tuntutan dan paksaan
penjajah
(Sitorus, 2011)
. Para buruh diharuskan bekerja selama 8 jam di perkeb
unan
atau 10 jam di pabrik, 6 hari dalam seminggu, sesuai dengan masa kontrak yang
umumnya mencapai 5 tahun. Exploitasi anak pun nampaknya sudah menjadi hal yang
lazim pada masa itu. Asyarifh menulis, "...para TKI laki
-
laki usia di atas 16 tahun yang
beker
ja di perusahaan perkebunan Suriname menerima gaji sebesar 60 sen sehari dan
pekerja wanita usia di atas 10 tahun sebesar 40 sen sehari" (Asyarifh, 2011).
b. Jepang
Langgengnya penjajahan Belanda ini kemudian berhasil digulingkan oleh
pendudukan Jepang p
ada tahun 1942. Banyak yang melihat bahwa penjajahan Jepang
memberi dampak seperti mata uang, di satu sisi dinilai lebih kejam dari pada penjajahan
Belanda namun di sisi lain justru membantu membangun kekuatan dan nasionalisme
pemuda Indonesia untuk memper
siapkan kemerdekaan. Hal ini terutama terlihat dari
pola perekrutan tenaga kerja pada masa itu. Demi memenangkan perang Asia Timur
Raya, Jepang memberlakukan sebuah sistem kerja paksa yang dikenal dengan istilah
romusha. Para pekerja Romusha ini pada umumn
ya didatangkan dari desa
-
desa di Jawa
yang terdiri dari pemuda petani dan pengangguran.
Tetapi
Jepang ternyata tidak hanya membutuhkan tenaga para kuli untuk
membangun berbagai prasarana perang, tetapi juga membutuhkan
supply
personil
militer dalam jumlah
besar untuk mendukung upaya ekspansinya. Karena itu, Jepang
kemudian merekrut, melatih, dan mempersenjatai banyak kaum muda Indonesia
sehingga banyak dari mereka yan
g menjadi ahli perang. Kemudian
Jepang juga secara
tidak langsung telah „mendidik‟ para pe
muda Indonesia dibidang politik dengan
memberikan akses dan kesempatan lebih besar untuk terlibat dalam proses
pemerintahan dan perpolitikan saat itu.
Migrasi tenaga kerja yang kental terlihat pada masa penjajahan Jepang
disebabkan oleh sistem romusha yan
g mengharuskan mobilisasi dan perpindahan
pekerja ke berbagai wilayah di Nusantara demi membangun sarana dan prasarana
perang bagi Jepang. Selain itu, beberapa aktivitas migrasi pola lama (
forced migration
)
[
3
]
seperti yang terjadi pada masa kolonial Belanda p
un masih terjadi. Ditambah dengan
berlangsungnya beberapa migrasi tradisional dari dan ke Malaysia yang dimotori oleh
faktor pekerjaan dan kekerabatan.
B.1.1.2 Pasca Kemerdekaan dan Orde Lama (1945
1966)
Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus
1945, tampuk kepemimpinan
Indonesia di pegang oleh Insinyur Soekarno yang selanjutnya berlangsung selama 21
tahun. Meskipun banyak yang menilai bahwa selama kurun waktu tersebut Soekarno
telah gagal dalam membangun perekonomian Indonesia, namun dari segi
k
etenagakerjaan, pemerintahan era ini justru berhasil menelurkan beberapa peraturan
perlindungan tenaga kerja yang terbilang sangat progresif, seperti; dibentuknya
Kementerian Perburuhan pada 3 Juli 1947 melalui Peraturan Pemerintah No.3 tahun
1947 sebagai
lembaga resmi yang secara khusus mengurusi masalah perburuhan;
diratifikasinya sejumlah konvensi HAM dan buruh tingkat internasional; serta
disahkannya beberapa Undang
-
Undang seperti UU No.21 tahun 1954 tentang Perjanjian
Perburuhan antara Serikat Buruh da
n Majikan serta UU No. 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, sebagai
follow up
dari munculnya berbagai
tuntutan dan perselisihan normatif materil antara buruh dan majikan di sekitaran tahun
1950an.
Kondisi ketenagakerjaan pada era in
i sesungguhnya sangat didominasi oleh
dinamika kemunculan dan vokalnya asosiasi gerakan buruh dalam perpolitikan
Indonesia. Besarnya keterlibatan buruh inilah yang kemudian menghasilkan berbagai
produk kebijakan ketenagakerjaan yang sangat protektif dan pr
o buruh. Diprakarsai oleh
terbentuknya Barisan Buruh Indonesia (BBI) pada September 1945 yang mengusung
perjuangan sosial ekonomi para buruh, berbagai level serikat buruh pun kemudian
bermunculan di seluruh tanah air. Namun ironisnya, besarnya pengaruh dan
popularitas
gerakan buruh ini disalahgunakan secara politis. Berbagai partai politik seketika
berduyun
-
duyun membentuk serikat buruh versi mereka, demi meraup dukungan dan
suara pada pemilihan umum tahun 1955.
Dalam konteks migrasi tenaga kerja, penulis
tak banyak menemukan catatan
sejarah yang menjelaskan tentang dinamika maupun dokumentasi kebijakan di era ini.
Pasalnya, selain karena masih disibukkan oleh upaya membangun bangsa pasca
kolonialisme, pemerintah belum melirik potensi migrasi tenaga kerja
(terutama
pengiriman TKILN) sebagai salah satu sumber devisa bagi negara. Kementrian
[
4
]
Perburuhan yang saat itu didirikan pun hanya berfokus mengelola aspek
ketenagakerjaan di dalam negeri. Mobilitas migrasi internasional yang dapat dilacak
adalah perpindah
an penduduk Indonesia ke negara
-
negara seperti Malaysia dan Arab
Saudi yang biasanya dimotori oleh pekerjaan, hubungan kekerabatan, perpindahan
permanen, dan untuk menunaikan haji.
B.1.1.3 Masa Orde Baru (1966
1998)
Pergantian era dari orde lama menuj
u orde baru ditandai dengan peralihan
kekuasaan politik dari kepemimpinan Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal
Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret 1966 yang kontroversial
(Simanjuntak,
2012)
. Peristiwa Supersemar
ini kemudian menjadi tonggak dimulainya 32 tahun
kekuasaan Soeharto yang dideklarasikan sebagai koreksi total terhadap budaya dan
sistem politik era orde lama yang cenderung berfokus menjadi penyeimbang antara
kekuatan nasionalis, agama, militer, dan komun
is menjadi berfokus pada pembangunan
ekonomi serta pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Untuk mewujudkan cita
-
cita tersebut, serangkaian kebijakan dan strategi
ekonomi pun dilaksanakan oleh Soeharto. Secara struktural, pemerintah
mengubah
nama birokrasi ketenagakerjaan yang sebelumnya bernama Kementrian Perburuhan
menjadi Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi, sampai berakhirnya
Kabinet Pembangunan III (1983). Kemudian pada Kabinet Pembangunan IV,
pemerintah membagi D
epartemen ini menjadi 2, yaitu Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi serta Kementrian Koperasi, karena melihat besarnya porsi tugas yang
diemban
(Asyarifh, 2011)
. Secara praktis, percepatan pertumbuhan ekonomi dimulai
denga
n menjalankan strategi Pembangunan Lima Tahun (Pelita), yang difokuskan pada
sektor pertanian dan industri.
Namun target pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi global yang sejak awal
dihasratkan Soeharto lambat laun menggeser dominasi sektor pertanian di da
lam negeri.
Berbagai fasilitas, sarana dan infrastruktur perindustrian yang dibangun rejim ini
mensyaratkan penggunaan lahan besar
-
besaran sehingga memaksa penduduk untuk
merelakan tanah pertanian mereka untuk dibangun pabrik dan gedung bertingkat.
Hilangn
ya lahan pertanian ini secara otomatis juga menghilangkan sumber mata
pencaharian utama berjuta penduduk, yang kemudian menyebabkan tingginya angka
pengangguran dan meningkatnya keresahan tenaga kerja. Kendati upaya
-
upaya
penyediaan lapangan kerja seperti
Program padat karya dan transmigrasi, disamping
[
6
]
Tab
el 2
. Data Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia pada Masa Orde Baru
Sumber: Hugo (2005) dari tulisan UR Sitorus (2014)
Pada era ini pula, tepatnya Mei 1984, pemerintah membuat kesepatakan bilateral
pertama kali dalam bentuk MoU dengan Malaysia terkait pengaturan aliran migrasi dari
Indonesia
ke Malaysia.
Tetapi upaya pembangunan ekonomi era
Bapak Pembangunan
ini tak serta
merta berkesan baik. Dengan dalih untuk mendukung stabilitas pembangunan ekonomi,
rejim yang disebut Feith sebagai tipe „
repressive
-
developmentalist'
ini menggunakan
serangk
aian tindakan pemaksaan demi mencapai misi modernisasi
(Aspinall & Fealy)
.
B.1.1.4 Masa Reformasi
a.
Kepemimpinan Baharuddin Jusuf Habibie (Mei 1998
Oktober 1999)
Pasca pengunduran diri Soeharto, kursi kepresidenan diserahkan
kepada
wakilnya, yaitu Baharuddin Jusuf Habibie. Meskipun terhitung sangat singkat (512 hari)
dan diwarnai skeptisme, berbagai progres yang dihasilkan „Kabinet Reformasi‟ Habibie
telah menorehkan catatan sejarah yang penting bagi awalan masa reformasi, se
perti
penegakan HAM dan demokrasi. Agenda penegakan HAM dan demokrasi
direalisasikan dengan membuat beberapa kebijakan baik secara struktural maupun
praktis. Secara struktural, pemerintah berhasil mengesahkan Konvensi ILO No.87
Tahun 1948 yang membahas ten
tang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
untuk Berorganisasi, melalui Keputusan presiden No.83 tahun 1998. Kemudian secara
praktis, pemerintah kembali memberikan kebebasan sebesar
-
besarnya pada rakyat untuk
Negara
Tujuan
Pelita I
(1969
1972)
Pelita II
(1974
1979)
Pelita III
(1979
1984)
Pelita IV
(1984
1989)
Pelita V
(1989
1999)
Jumlah
Persen
Malaysia
12
536
11.441
37.785
122.941
172.7
15
19,7
Singapura
8
2.432
5.007
10.537
34.496
52.480
6,0
Brunei
-
-
-
920
7.794
8.714
1,0
Hongkong
44
1.297
1.761
1.735
3.579
8.416
1,0
Jepang
292
451
920
395
2.435
4.493
0,5
Korea
-
-
-
-
1.693
1.693
0,2
Taiwan
37
-
-
178
2.025
2.240
0,3
Belanda
3.
332
6.637
10.104
4.375
4.336
28.784
3,3
AS
146
176
2.981
6.897
984
11.184
2,3
Saudi. A
-
3.817
55.976
223.573
268.858
552.224
62,8
Timteng
-
1.235
5.349
3.428
15.157
25.169
1,7
Lain
-
lain
1.653
461
2.871
2.439
2.832
10.256
1,2
Total
5.524
17.042
96.410
292.262
467.130
868.356
100
[
7
]
membentuk kelompok atau perserikatan baik y
ang bergenre politik maupun sosial
ekonomi.
Namun kinerja pemerintahan era ini pun bukan tanpa kritik. Dampak krisis
moneter tahun 1997 yang mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar
-
besaran telah sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah terhadap
pengiriman TKI ke
luar negeri. Target pengiriman TKI yang sebelumnya diprioritaskan pada TKI terdidik
sebagai solusi mengurangi angka kekerasan terhadap TKI informal, terpaksa diubah
dengan mengirimkan sebanyak mungkin tenaga kerja ke luar negeri (terutam
a ke
Malaysia dan Singapura) demi menekan angka pengangguran dan kemiskinan. Alhasil,
Indonesia yang saat itu berada pada Pelita VI mengirimkan 1.250.000 TKI ke berbagai
negara terutama Malaysia dan Singapura, setelah sebelumnya menerbangkan sekitar
500.00
0 TKI pada Pelita V
(Sitorus, 2011, hal. 9)
.
Sayangnya, tajamnya peningkatan arus migrasi TKI ke luar negeri (mencapai
kurang lebih 1,5 juta di tahun 1999)
1
ini tidak dibarengi dengan mekanisme
perlindungan yang komprehens
if bagi TKI itu sendiri. Minimnya tingkat pendidikan
dan pelatihan, khususnya bagi TKI informal, menyebabkan munculnya berbagai kasus
kekerasan dan pemerasan mulai dari pra penempatan, penempatan, sampai pemulangan
TKI. Meskipun arus migrasi TKI telah diat
ur dengan sejumlah landasan hukum dan
kebijakan, namun sedikit sekali yang membahas dan menjamin tentang hak para TKI.
Dua Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker) terkait buruh migran yang
diinisiasi pemerintah saat itu, yaitu KepMen No.204 Tahun 1999
tentang penempatan
tenaga kerja Indonesia ke luar negeri dan KepMen No.29 Tahun 1998 tentang skema
asuransi sosial untuk buruh migran, mayoritas bertumpu pada pembahasan mengenai
aspek manajerial dan operasional seperti hubungan antara agensi
-
agensi perekr
ut dan
instansi
-
instansi pemerintah, sementara aspek perlindungan bagi TKI (dalam kedua
KepMen tersebut) cakupannya sangat terbatas dan pemaknaannya cenderung samar
(Azmy, 2011, hal. 44)
.
b.
Kepemimpinan Abdurrahman Wahid (
Oktober 1999
Juli 2001)
Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dimulai setelah
berhasil memenangkan Pemilu tahun 1999 mengalahkan Megawati Soekarno Putri yang
kemudian harus rela disandingkan sebagai wakil presiden. Dalam perjalanannya,
1
Aswatin Raharto, Kebutuhan Informasi dan Tenaga Kerja Migran Indonesia (hasil penelitian), PPK
LIPI: Jakarta,
kertas kerja No.30, 2002, hal 1. Melalui tulisan Ana Sabhana Azmy
(Azmy, 2011, hal. 43)
[
8
]
kab
inet Persatuan Nasional bentukan Gus Dur berfokus pada upaya
-
upaya
pengembangan dan perluasan pembangunan demokrasi dan penegakan HAM.
Semangat yang ini pun mendasari berbagai kebijakan ketenagakerjaan di tanah
air. Kebebasan untuk berserikat dan berkumpu
l semakin dipupuk dan dijamin dengan
dikeluarkannya Undang
-
Undang No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh, disusul dicabutnya Undang
-
Undang No.25 Tahun 1997 Tentang
ketenagakerjaan yang eksploitatif, anti serikat dan tidak ada proteksi terha
dap tenaga
kerja
(Azmy, 2011, hal. 46)
. Kemudian, demi menjamin hak asasi para tenaga kerja,
Gus Dur mengeluarkan sebuah kebijakan yang terbilang sangat fenomenal yakni
pemberian pesangon kepada karyawan atau buruh yang t
erkena PHK, lewat KepMen
No.150 Tahun 2000.
Pada era ini, migrasi tenaga kerja ke luar negeri mengalami peningkatan pesat
dan didominasi oleh Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Tabel 3
. Perbandingan Jumlah Tenaga Kerja Laki
-
laki dan Perempuan 1999
-
2001
Tahun
Tenaga Kerja Laki
-
Laki
Tenaga Kerja Wanita
1999
124.828
302.273
2000
137.949
297.273
2001
55.206
239.942
Sumber: Kemnakertrans RI dalam tulisan Azmy, 2011, hal 44
Peningkatan jumlah TKW ini di satu sisi membawa perubahan positif karena
memungkinkan pe
ningkatan keterampilan dan taraf hidup bagi perempuan itu sendiri,
namun kenyataan bahwa mayoritas TKW bekerja pada sektor jasa atau domestik seperti
menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT) pula menghadirkan berbagai permasalahan. Di
dalam negeri, sumber masala
h muncul terutama dari minimnya kerangka hukum
perlindungan serta sistem perekrutan dan pembinaan Tenaga Kerja yang dirasa masih
sangat jauh dari cukup untuk membekali para calon TKI menuju lingkungan kerja baru.
Sementara di luar negeri, berbagai kasus ke
kerasan dan penganiayaan terhadap TKI
terus saja mengalir sehingga menyebabkan berbagai protes dan kecemasan dari berbagai
pihak. Meskipun demikian, Alhilal Hamdi, selaku Menteri Tenaga Kerja saat itu,
menyatakan bahwa pengiriman buruh migran perempuan ke
Saudi Arabia tidak bisa
dihentikan kerena akan berdampak pada pengangguran tinggi serta berpengaruh pada
penerimaan devisa negara
(Azmy, 2011, hal. 45)
. Benar saja, karena pada tahun 1999,
jumlah remitansi Tenaga Kerja Wa
nita mencapai 3 triliun rupiah (atau seki
tar US$ 300
[
9
]
juta) (Yunianto n.d
: 5, dalam tulisan Michele Ford, 2001: hal 4). Sebagai solusi, Gus
Dur kemudian membentuk Direktorat baru di Departemen Luar Negeri (Deplu) bernama
Direktorat „Perlindungan WNI dan Bad
an Hukum Indonesia (BHI)‟ melalui Keppres
No.109 Tahun 2001 jo Kepmenlu No. 053 Tahun 2001. Direktorat ini nantinya bertugas
untuk memberikan perlindungan optimal dibidang hukum dan administrasi bagi para
WNI termasuk TKI yang sedang berada di luar negeri
2
(Azmy, 2011, hal. 45)
.
c.
Kepemimpinan Megawati Soekarno Putri (Juli 2001
Oktober 2004)
Megawati Soekarnoputri yang selanjutnya menggantikan posisi Gus Dur sebagai
Presiden, memimpin dengan mewariskan berbagai catatan
problematis sekaligus
progresif dibidang ketenagakerjaan, terutama migrasi Tenaga Kerja Indonesia. Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, dampak krisis ekonomi telah menyebabkan jumlah
pengangguran di Indonesia meningkat secara drastis dan memaksa masya
rakat untuk
mencari sumber penghasilan di sektor apa pun yang mungkin. Banyaknya kesempatan
kerja terutama sektor domestik dan jasa di beberapa negara tetangga kemudian menarik
minat para TKI utamanya tenaga kerja perempuan untuk hijrah demi mengumpulkan
p
undi
-
pundi rupiah bagi keluarganya.
Melihat oportunitasnya, jumlah Tenaga Kerja Wanita di luar negeri pun terus
meningkat dari tahun ke tahun. Tetapi jumlah ini kemudian menjadi masalah karena
terkuaknya TKI ilegal. Selama kepemimpinan Megawati, tercatat
ada sekitar satu
setengah juta WNI yang tinggal di Malaysia
dan sekitar 600.000 diantaranya bekerja
secara ilegal (
New Straits Times
, 29 Agustus 2001 dalam tulisan Michele Ford, 2001,
hal 4). Dampak krisis moneter yang juga berimbas pada perekonomian Mal
aysia
kemudian membuat negara ini memilih strategi „pengusiran‟ TKI yang bekerja secara
ilegal
(Ford, 2001, hal. 3)
. Langkah ini dimulai dengan mengesahkan akta imigresen
nomor 1154 tahun 2002 yang ditetapkan pada tanggal 1
Agustus 2002 menggantikan
akta imigresen Malaysia No.63 Tahun 1959
(Azmy, 2011, hal. 46)
. Dalam peraturan
baru tersebut, diberlakukan denda sebesar 10.000 ringgit Malaysia, dihukum penjara
2
Tugas pokok Dire
ktorat ini adalah melakukan koordinasi, perencanaan, dan pelaksaan kebijakan teknis
perlindungan hak WNI dan BHI di luar negeri, dan penyelesaian masalah WNI serta mengurus pemulangan dan
berkoordinasi dengan instansi terkait di dalam negeri. Presentasi Sj
achwien Adenan,
Perlindungan Terhadap Warga
Negara Indonesia / Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
dalam seminar:
"Tenaga Kerja Indonesia di
Persimpangan Jalan"
, PPK
-
LIPI: Jakarta, 5 September 2002, hal 1.
[
10
]
paling lama 5 tahun, dan enam k
ali hukuman cambuk, bagi setiap tenaga kerja ilegal
yang tertangkap oleh polisi Malaysia.
3
Banyaknya permasalahan yang timbul karena buruknya manajemen penempatan
Tenaga Kerja ke luar negeri ini kemudian mendorong Presiden Megawati untuk
mengeluarkan kebi
jakan yang mengatur keseluruhan sistem penempatan TKI (dari pra
penempatan, penempatan, maupun purna penempatan) termasuk perlindungan tenaga
kerja Indonesia, ke dalam sebuah Undang
-
Undang. Akhirnya, pada tahun 2004,
dibentuklah UU No.39 Tahun 2004 Tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) yang pada pasal 94 ayat (1) dan (2)
mengamanatkan pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia (BPN2TKI)
(Azmy, 2
011, hal. 47)
. Undang
-
undang ini tentu saja
adalah sebuah progres, karena merupakan paket kebijakan pemerintah pertama yang
secara khusus membahas tentang regulasi Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri.
Tetapi, Azmy menjelaskan, dari 109 pasal yang ada
dalam Undang
-
Undang tersebut,
hanya terdapat 9 pasal yang mengatur tentang perlindungan bagi TKI. Diantara pasal
-
pasal itu, dia melanjutkan, tidak ada poin yang secara detil membahas tentang
standarisasi upah minimum untuk para tenaga kerja informal. Hal
ini menciptakan isu
baru karena tidak semua negara
receiver
, termasuk Malaysia, memiliki kebijakan
ketenagakerjaan dan standarisasi upah bagi pekerja informal
(Azmy, 2011, hal. 47)
.

(A Syumma Rochim-FHUMPREGA01) Studi Banding Sistem Kewarganegaraan Antara Negara Indonesia dan Negara Brunei Darussalam

Sistem Kewarganegaraa  Brunei Darussalam

Bahagian Pendaftaran Taraf Kebangsaan (Warganegara) bertanggungjawab dalam memproses permohonan untuk mendapatkan taraf sebagai rakyat Kebawah Duli Yang Maha Mulia Sultan Yang Di-Pertuan Negara Brunei Darussalam dan juga memberikan pengesahan taraf kerakyatan mengikut Bab-bab yang ditentukan d​i bawah Akta Pendaftaran Kebangsaan Brunei, Penggal 15.

​Permohonan Bagi Taraf Kebangsaan Brunei (Warganegara)

a) Syarat-syarat kelayakan bagi menjadi rakyat Kebawah Duli Yang Maha Mulia Sultan Yang Di-Pertuan Negara Brunei Darussalam

Permohonan bagi menjadi taraf kebangsaan Brunei adalah mengikut Bab-bab yang ditentukan d​i bawah Akta Pendaftaran Kebangsaan Brunei, Penggal 15 berpandukan syarat-syarat seperti berikut:

​BAB 4(1) Akta Taraf Kebangsaan 
Mengikut Ayah Warganegara Brunei Darussalam (Mutlak Undang-Undang)


Syarat-syarat Kelayakan:

  • Dapat membuktikan ayah kandung adalah seorang Warganegara Brunei Darusslaam
  • Anak kandung yang dipohonkan belum berkahwin
  • Jika anak kandung berwarganegara asing dikehendaki memiliki Dokumen Perjalanan (Pasport) yang sah
  • Berkelakuan baik dan bersih daripada tapisan keselamatan

Dokumen yang diperlukan:-

Dokumen-dokumen Asal dan Salinan Bagi Anak:

  • Sijil Kelahiran
  • Kad Pengenalan Pintar
  • Kad Pengenalan Asing (jika ada)
  • Kad Permit Masuk (jika ada)
  • Dokumen Perjalanan (Pasport)
  • Sijil-sijil persekolahan (jika ada)
  • Surat Pengakuan Islam (jika ada)
  • 2 keping gambar terkini berukuran pasport

Dokumen-dokumen Asal dan Salinan Bagi Ayah dan Ibu:

  • Surat permohonan dari pemohon (Ayah)
  • Sijil kelahiran
  • Kad Pengenalan Pintar
  • Surat Pengakuan Islam (jika ada)
  • Dokumen Perjalanan (Pasport
  • Kad Permit Masuk bagi ibu (jika ada)
  • Sijil Kahwin / Cerai (jika ada)
  • Surat Pengesahan Mahkamah Tinggi Syariah bagi pasangan berugama Islam yang berkahwin di luar negeri (jika ada)
  • Surat Pengesahan Mahkamah Tinggi Sivil bagi pasangan berugama Islam yang berkahwin di luar negeri (jika ada)
  • Surat Pengakuan (Statutory Declaration) Mahkamah dari pemohon bagi anak yang lahir luar pernikahan (jika ada)
  • Sijil Kematian ibu kandung (jika ada)
  • Sijil Kelahiran dan Kad Pengenalan Pintar anak-anak pemohon (jika ada)
  • Sijil Kelahiran, Sijil Kerakyatan dan Kad Pengenalan Pintar bagi ayah pemohon (jika ada)

BAB 6(1) Akta Taraf Kebangsaan
Mengikut Ayah Warganegara Brunei Darussalam


Syarat-syarat Kelayakan::

  • Ayah kandung Warganegara Brunei Darussalam secara berdaftar atau penuangan
  • Anak yang dipohonkan hendaklah dilahirkan sebelum ayah kandung diperkenan menjadi warganegara Brunei Darussalam
  • Anak kandung berumur 18 tahun ke bawah dan belum berkahwin
  • Jika anak kandung suda berkahwin atau berumur 18 tahun ke atas, dikehendaki memohon di bawah Bab 5(1) atau Bab 8(1) atau Bab 5(6) dari Akta Taraf Kebangsaan, Brunei Penggal 15
  • Jika anak kandung berwarganegara asing hendaklah memiliki Dokumen Perjalanan (Pasport)  yang sah
  • Berkelakuan baik dan bersih daripada tapisan keselamatan

​Dokumen-dokumen yang diperlukan:-

Dokumen-dokumen Asal dan Salinan Bagi  Anak;​​

  • Sijil kelahiran
  • Pengesahan Kerakyatan Asing (Jika ada)
  • Kad Pengenalan Pintar
  • Kad Pengenalan Asing (jika ada)
  • Kad Permit Masuk (jika ada)
  • Dokumen Perjalanan (Pasport)
  • Sijil-sijil persekolahan (Jika ada)
  • Surat Pengesahan berhenti sekolah (Jika ada)
  • Surat Pengakaun Islam (jika ada)
  • 2 keping gambar terkini berukuran pasport

Dokumen-dokumen Asal dan Salinan Bagi Ayah Kandung;

  • Surat Permohonan dari Pemohon
  • Sijil Kelahiran
  • Sijil Kerakyatan ayah (jika ada)
  • Kad Pengenalan Pintar (jika ada)
  • Surat Pengakuan Islam (jika ada)
  • Dokumen Perjalanan (Pasport)
  • Sijil Kahwin / Cerai (jika berkenaan)
  • Surat Pengesahan Mahkamah Tinggi Syariah bagi pasangan berugama Islam yang berkahwin di luar negeri (jika ada)
  • Surat Pengesahan Mahkamah Tinggi Sivil bagi pasangan berugama Islam yang berkahwin di luar negeri (jika ada)
  • Surat Pengakuan (Statutory Declaration) Mahkamah dari pemohon bagi anak yang lahir luar pernikahan (jika ada)
  • Sijil kematian Ibu (jika ada)

BAB 6 (1) A​kta Taraf Kebangsaan Mengikut
Mengikut Ibu Warganegara Brunei Darussalam


Syarat-syarat Kelayakan::

  • Ibu kandung Warganegara Brunei Darussalam
  • Ibu kandung yang mendapat Taraf Kerakyatan Brunei sebelum dan pada 22 Oktober 2002
  • Jika, anak yang dipohonkan oleh Ibu kandung yang mendapat Taraf Kerakyatan Brunei selepas 22 Oktober 2002, anak tersebut mestilah berumur 18 tahun ke bawah dengan syarat seperti berikut;
    • Semasa permohonan dihadapkan, ibu kandung masih hidup
    • Anak kandung lahir pada atau selepas 16 Ogos 1975 dan masih belum berkahwin
  • Anak kandung yang dipohonkan yang lahir di luar negeri, hendaklah secara berterusan tinggal di Negara Brunei Darussalam bersama Ibu kandung sekurang-kurangnya setahun sebelum tarikh permohonan dihadapkan
  • Mempunyai Dokumen Perjalanan (Pasport) yang sah
  • Bagi anak-anak yang sudah berkahwin bolehlah memohon taraf kerakyatan Negara Brunei Darussalam di bawah Bab 5(1) atau Bab 8(1) atau Bab 5(6) dari Akta Taraf Kebangsaan, Brunei Penggal 15

Dokumen-dokumen yang diperlukan:-

Dokumen-dokumen Asal dan Salinan Bagi Anak

  • Surat Permohonan dari Pemohon
  • Sijil kelahiran
  • Borang W/Pengesahan Kerakyatan asing (Jika ada)
  • Surat Pengakaun berkanun bagi anak luar nikah (Jika ada)
  • Kad Pengenalan Pintar (Jika ada)
  • Kad Pengenalan Asing (Jika ada)
  • Kad Permit Masuk (Jika ada)
  • Surat Pengakaun Islam (Jika ada)
  • Dokumen Perjalanan (Pasport)
  • Sijil-sijil Persekolahan
  • Surat Pengesahan Behenti sekolah (Jika ada)
  • Surat Pengesahan Bekerja dari majikan (Jika ada)

Dokumen-dokumen Asal dan Salinan Bagi Ibu (Pemohon);

  • Sijil Kelahiran
  • Sijil Kerakyatan (Jika ada)
  • Kad Pengenalan Pintar
  • Surat Pengakuan Islam (Jika ada)
  • Sijil Kahwin / Cerai (Jika Berkenaan)
  • Surat Pengesahan Mahkamah Tinggi Syariah bagi pasangan berugama Islam yang berkahwin di luar negeri (jika ada)
  • Surat Pengesahan Mahkamah Tinggi Sivil bagi pasangan berugama Islam yang berkahwin di luar negeri (jika ada)

Dokumen-dokumen Asal dan Salinan Bagi Suami (Pemohon);

  • Sijil Kelahiran
  • Kad Pengenalan Pintar (jika berkenaan)
  • Kad Pengenalan Asing (jika berkenaan)
  • Kad Permit Masuk (jika berkenaan)
  • Surat Pengakuan Islam (jika ada)
  • Dokumen Perjalanan (Pasport)
  • Sijil Kematian (jika berkenaan)

Bab 6 (1) Akta Taraf Kebangsaan
Mengikut Ibu atau Ayah Angkat Warganegara Brunei Darussalam


Syarat-syarat Kelayakan::

  • Ayah / Ibu Angkat Warganegara Brunei Darussalam
  • Anak angkat yang dipohonkan mestilah berumur 18 tahun ke bawah dan belum berkahwin
  • Jika anak angkat sudah berkahwin atau berumur 18 tahun ke atas, bolehlah memohon di bawah bab 5(1) atau Bab 8(1) atau Bab 5(6) dari Akta Taraf Kebangsaan, Brunei Penggal 15
  • Anak Angkat yang dipohonkan mestilah memiliki Sijil Pendaftaran Anak Angkat yang dikeluarkan oleh Negara Brunei Darussalam
  • Jika anak angkat berwarganegara asing, anak tersebut mestilah memiliki Dokumen Perjalanan (Pasport) yang sah
  • Anak Angkat mestilah memiliki Kad Permit Masuk selama tidak kurang 2 tahun
  • Berkelakuan baik dan bersih daripada tapisan keselamatan

Dokumen-dokumen yang diperlukan:

Dokumen-dokumen Asal dan Salinan Bagi Anak;

  • Surat Permohonan dari Pemohon
  • Sijil Kelahiran
  • Kad Permit Masuk (Jika ada)
  • Dokumen Perjalanan (Pasport)
  • Surat Penyerahan dari Ibu Bapa Kandung
  • Surat Izin Pengambilan Anak Angkat keluaran Brunei
  • Surat Pendaftaran Anak angkat keluaran Brunei
  • Jika lahir luar negeri sila sertakan :-
    - Sijil Pendaftaran Anak Angkat / Surat Penyerahan Anak Angkat

Dokumen-dokumen Asal dan Salinan Bagi Ayah dan Ibu Kandung;

  • Sijil Kelahiran bagi keduanya (Jika ada)
  • Kad Pengenalan Pintar bagi keduanya
  • Dokumen Perjalanan (Pasport) bagi Keduanya (Jika ada)
  • Sijil Kahwin / Cerai bagi keduanya (Jika ada)

Dokumen-dokumen Asal dan Salinan Bagi Ayah dan Ibu Angkat (Yang Memohon);

  • Sijil Kelahiran
  • Sijil Kerakyatan (jika ada)
  • Kad Pengenalan Pintar bagi Pemohon
  • Kad Pengenalan Asing (Jika berkenaan)
  • Surat Pengakuan Islam (Jika berkenaan)
  • Dokumen Perjalanan (Pasport) (Jika ada)
  • Sijil Kahwin / Cerai (Jika ada)
  • Surat Pengesahan Mahkamah Tinggi Syariah bagi pasangan berugama Islam yang berkahwin di luar negeri (jika ada)
  • Surat Pengesahan Mahkamah Tinggi Sivil bagi pasangan berugama Islam yang berkahwin di luar negeri (jika ada)
  • Sijil Kematian (Jika ada)
  • Sijil Kelahiran anak-anak kandung (Jika ada)
  • Sijil Pendaftaran Anak Angkat bagi anak yang terdahulu (Jika ada)

​Bab 5(1) Akta Taraf Kebangsaan
Bagi Ujian Tulis / Lisan


Syarat-syarat Kelayakan::

  • Lahir dalam negeri (Negara Brunei Darussalam)
  • Memegang Residence Permit (RP) / Entry Permit (EP) tidak kurang 12 tahun dari tarikh RP / EP dikeluarkan (Berkediaman dam Negara Brunei Darussalam tidak kurang 12 tahun dari tempoh 15 tahun sebelum tarikh menghadapkan permohonan)
  • Kelayakan umur bagi ujian bertulis adalah 18 tahun ke atas dan bagi ujian lisan pula hendaklah lahir pada tahun 1955 kebawah. Bagi pemohon yang dapat membuktikan mereka tidak pernah bersekolah atau buta huruf atau golongan istimewa bolehlah menghadaokan permohonan ujian lisan dan ini tertakluk kepada sokongan Jawatankuasa Kecil Ujian Lisan
  • Berkelakuan baik dan bersih tapisan keselamatan
  • Tinggal berterusan di Negara ini selama 2 tahun sebelum menghadapkan permohonan
  • Pemohon-pemohon yang bukan berbangsa Melayu dan bukan berugama Islam hendaklah memahami pantang larang orang Melayu/Islam di Negara Brunei Darussalam supaya keharmonian bermasyrakat terjamin

Dokumen-dokumen yang diperlukan:-

Dokumen-dokumen Asal dan Salinan Bagi Pemohon:

  • Surat Permohonan dari Pemohon
  • Sijil Kelahiran
  • Residence Permit / Entry Permit / Surat Pengesahan PR/EP
  • Kad Pengenalan Pintar
  • Kad Pengenalan Asing (Jika ada)
  • Dokumen Perjalanan (Pasport)
  • 2 keping Gambar terkini berukuran Pasport

 

Dokumen-dokumen Tambahan Asal dan Salinan Bagi Pemohon:

  • Sijil-sijil persekolahan (Jika ada)
  • Surat Pengesahan Sekolah atau Berhenti dari pihak Sekolah (Jika ada)
  • Surat Pengesahan Bekerja dari Pihak Majikan (Jika ada)
  • Sijil Kahwin / Sjil Cerai (Jika ada)
  • Surat Pengakuan Islam (Jika ada)

 

Dokumen-dokumen Asal dan Salinan Suami / Isteri Pemohon:

  • Surat Beranak (Jika ada)
  • Kad Pengenalan Pintar (jika ada)
  • Surat Pengakuan Islam  (jika ada)
  • Sijil Kematian (Jika ada)

 

Dokumen-dokumen Asal dan Salinan Bagi Anak-Anak Pemohon:

  • Surat Beranak (Jika ada)
  • Kad Pengenalan Pintar (Jika ada)

 

Dokumen-dokumen Asal dan Salinan Bagi Ayah Dan Ibu Kepada Permohonan:

  • Kad Pengenalan Pintar *ayah
  • Kad Pengenalan Pintar Ibu (Jika ada)
  • Sijil Kematian ayah / ibu (Jika ada)

Bab 8(1) Akta Taraf Kebangsaan
Bagi Ujian Tulis / Lisan Bahasa Melayu


Syarat-syarat Kelayakan::

  • Pemohon lahir luar di negeri
  • Pemegang atau Tercatat / Dicatat dalam Kad Permit Mastautin (Residence Permit) atau Kad Permit Masuk (Entry Permit) tidak kurang 20 tahun dari tarikh dikeluarkan
  • Pemohon hendaklah berumur 18 tahun ke atas
  • Berkelakuan baik dan bersih daripada tapisan keselamatan
  • Tinggal secara berterusan di Negara Brunei Darussalam selama 2 tahun sebelum menghadapkan permohonan
  • Pemohon hendaklah memahami kehidupan, adat resam dan kebudayaan Negara Brunei Darussalam

 

Dokumen-dokumen yang diperlukan:

Dokumen-dokumen Asal dan Salinan Pemohon;

  • Surat Permohonan dari Pemohon
  • Sijil Kelahiran
  • Kad Permit Mastautin (Residence Permit) atau Kad Permit Masuk (Entry Permit)
  • Kad Pengenalan Pintar
  • Kad Pengenalan Asing (Jika ada)
  • Dokumen Perjalanan (Pasport)
  • 2 keping Gambar terkini berukuran Pasport
  • Sijil-sijil persekolahan (Jika ada)
  • Surat Pengesahan Belajar atau Berhenti dari pihak Sekolah (Jika ada)
  • Surat Pengesahan Bekerja dari pihak Majikan (Jika ada)
  • Surat Pengakuan Islam (Jika ada)
  • Kad Pengenalan Pintar ibubapa kandung
  • Sijil Kematian ayah / ibu (Jika berkenaan)

Dokumen-dokumen Asal dan Salinan Suami / Isteri dan Anak-anak (Pemohon);

  • Surat Kelahiran
  • Kad Pengenalan Pintar
  • Sijil Kahwin / Cerai (Jika ada)
  • Sijil Pengakuan Islam (jika ada)
  • Sijil Kematian (Jika berkenaan)

 

Bab 5(6) Akta Taraf Kebangsaan

Mengikut Suami Warganegara Brunei Darussalam


Syarat-syarat Kelayakan:

  • Suami Warganegara Brunei Darussalam
  • Tempoh perkahwinan selama 5 tahun
  • Pemegang atau Tercatat / Dicatat dalam Kad Permit Mastautin (Residence Permit) atau Kad Permit Masuk (Entry Permit) tidak kurang 3 tahun dari tarikh dikeluarkan
  • Berkelakuan baik dan bersih daripada tapisan keselamatan.

Dokumen-dokumen diperlukan semasa memohon

 

 

Dokumen-dokumen yang diperlukan:

Dokumen-dokumen Asal dan Salinan Suami / Isteri dan Anak-anak

  • Surat Permohonan
  • Sijil Kelahiran
  • Sijil Kahwin
  • Surat Pengesahan Mahkamah Tinggi Syariah bagi pasangan berugama Islam yang berkahwin di luar negeri (jika ada)
  • Surat Pengesahan Mahkamah Tinggi Sivil bagi pasangan berugama Islam yang berkahwin di luar negeri (jika ada)
  • Residence Permit / Entry Permit / Surat Pengesahan PR/EP bagi isteri yang dipohonkan
  • Kad Pengenalan Pintar
  • Kad Pengenalan Asing bagi isteri (jika berkenaan)
  • Dokumen Perjalanan (Pasport)
  • 2 keping Gambar terkini berukuran Pasport
  • Surat Pengakuan Islam (Jika berkenaan)
  • Sijil Kelahiran dan Kad Pengenalan Pintar anak-anak (jika berkenaan)
  • Sijil Cerai /  Sijil Kematian (jika berkenaan)
  • Surat Pengesahan dari Penghulu dan Ketua Kampong (jika berkenaan)

 

b) Permohonan bagi perlucutan taraf kebangsaan Brunei (warganegara)

Warganegara Brunei Darussalam yang terlucut dan melucutkan taraf kebangsaan Brunei hendaklah menghadapkan dokumen-dokumen berikut;

  • Surat permohonan pemohon
  • Salinan surat kebenaran menjadi warganegara asing
  • Salinan sijil taraf kewarganegaraan asing
  • Salinan Kad Pengenalan asing (Asal dan Salinan)
  • Sijil Taraf kerakyatan Negara Brunei Darussalam (jika ada)
  • Dokumen Perjalanan (Pasport) Negara Brunei Darussalam (Asal dan Salinan)
  • Kad Pengenalan Pintar Negara Brunei Darussalam (Asal dan Salinan)
  • Sijil kelahiran (Asal) bagi membatalkan endosmen di belakang sijil berkenaan
  • Surat pengesahan taraf kerakyatan Negara Brunei Darussalam (jika berkenaan)

 

 

Sistem Kewarganegaraan Indonesia

A. Warga Negara

Pengertian rakyat atau penduduk sering terkacaukan, maka kita perlu mengetahui batas-batasnya.

a. Yang dimaksud dengan rakyat suatu negara haruslah mempunyai ketegasan bahwa mereka itu benar-benar tunduk kepada Undang-Undang Dasar Negara yang berlaku, mengakui kekuasaan Negara tersebut dan mengakui wilayah Negara tadi sebagai Tanah Airnya yang hanya satu-satunya.

b. Penduduk adalah semua orang yang ada atau bertempat tinggal dalam wilayah negara dengan ketegasan telah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh peraturan Negara.

Dari batasan-batasan diatas dapat kita mengetahui bahwa dalam pengertian rakyat sering dikaitkan dengan pengertian warga negara, sedang dalam pengertian penduduk dapat mencakup pengertian yang lebih luas.[1]

 

B. Sistem Kewarganegaraan

Pada asasnya ada beberapa sistem (kriteria umum) yang digunakan untuk menentukan siapa yang menjadi warga negara suatu negara. Kriteria tersebut yaitu :

1. Sistem Kewarganegaraan berdasarkan Kelahiran

a. Asas Ius Soli (Law of The Soli)

Asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan Negara tempat kelahiran.

b. Asas Ius Sanguinis (Law of The Blood)

Penentuan Kewarganegaraan berdasarkan keturunan/kewarganegaraan orang tuanya.[2]

c. Masalah Kewarganegaraan

 

1) Apatride

Apatride terjadi apabila seorang anak yang Negara orang tuanya menganut asas Ius Soli lahir di Negara yang menganut Ius Sanguinis.[3] Contoh : Seorang keturunan bangsa A (Ius Soli) lahir di negara B (Ius Sanguinis) Maka orang tsb bukan warga negara A maupun warga negara B.

 

2) Bipatride

Bipatride terjadi apabila seorang anak yang Negara orang tuanya menganut Ius Sanguinis lahir di Negara lain ynag menganut Ius Soli, maka kedua Negara tersebut menganggap bahwa anak tersebut warga Negaranya.[4] Contoh : Seorang keturunan bangsa C (Ius Sanguinis) lahir di negara D (Ius Soli). Sehingga karena ia keturunan negara C, maka dianggap warga negara C, tetapi negara D juga menganggapnya sebagai warga negara,karena ia lahir di negara D.

3) Multipatride

Seseorang yang memiliki 2 atau lebih kewarganegaraan Contoh : Seorang yang bipatride juga menerima pemberian status kewarganegaraan lain ketika dia telah dewasa, dimana saat menerima kewarganegaraan yang baru ia tidak melepaskan status bipatride-nya.

2. Sistem Kewarganegaraan berdasarkan Perkawinan

 

a. Asas Kesatuan Hukum

Asas kesatuan hukum berangkat dari paradigma bahwa suami istri ataupun ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana sejahtera, sehat, dan tidak terpecah. Dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakatnya,suami istri ataupun keluarga yang baik perlu mencerminkan adanya suatu kesatuan yang bulat.

Supaya terdapat keadaan harmonis dalam keluarga diperlukan kesatuan secara yuridis maupun dalam jiwa perkawinan, yaitu kesatuan lahir dan batín. Dan kesatuan hukum dalam keluarga ini tidak bertentangan dengan filsuf persamaan antara suami istri sehingga sekedar mencari manfaatnya bagi sang suami saja.

b. Asas Persamaan Derajat

Menurut asas persamarataan bahwa perkawinan sama sekali tidak mempengaruhi kewarganegaraan seseorang, dalam arti masing-masing istri atau suami bebas menentukan sikap dalam menen tukan kewarganegaraanya.

Asas ini menghindari terjadinya penyelundupan hukum, misalnya seseorang yang berkewarganegaraan asing ingin memperoleh status kewarganegaraan suatu Negara dengan cara atau berpura-pura melakukan pernikahan dengan pasangan di Negara tersebut.

3. Sistem Kewarganegaraan berdasarkan Naturalisasi

Adalah suatu perbuatan hukum yang dapat menyebabkan seseorang memperoleh status kewarganegaraan, Misal : seseorang memperoleh status kewarganegaraan akibat dari pernikahan, mengajukan permohonan, memilih/menolak status kewarganegaraan.

a. Naturalisasi Biasa

Yaitu suatu naturalisasi yang dilakukan oleh orang asing melalui permohonan dan prosedur yang telah ditentukan.

b. Naturalisasi Istimewa

Yaitu kewarganegaraan yang diberikan oleh pemerintah (presiden) dengan persetujuan DPR dengan alasan kepentingan negara atau yang bersangkutan telah berjasa terhadap negara.

Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan naturalisasi digunakan 2 stelsel, yaitu :

1. Stelsel Aktif, yakni untuk menjadi warga negara pada suatu negara seseorang harus melakukan tindakan-tindakan hukum secara aktif.

2. Stelsel Pasif, yakni seseorang dengan sendirinya dianggap sebagai warga negara tanpa melakukan sesuatu tindakan hukum.

 

C. Sejarah Kewarganegaraan

Mengetahui tentang masalah kewarganegaraan juga melibatkan sejarah dari sistem kewarganegaraan, yang berkembang dari masa ke masa. Diawali dengan:

1. Zaman penjajahan Belanda

Hindia Belanda bukanlah suatu negara, maka tanah air pada masa penjajahan Belanda tidak mempunyai warga negara, dengan aturan sebagai berikut:

1) kawula negara belanda orang Belanda,

2) (2) kawula negara belanda bukan orang Belanda, tetapi yang termasuk Bumiputera,

3) (3) kawula negara belanda bukan orang Belanda, juga bukan orang Bumiputera, misalnya: orang – orang Timur Asing (Cina, India, Arab, dan lain-lain).[5]

2. Masa kemerdekaan

pada masa ini, Indonesia belum mempunyai UUD. Sehari setelah kemerdekaan, yakni tanggal 18 agustus 1945, panitia persiapan kemerdekaan Indonesia mengesahkan UUD 1945. Mengenai kewarganegaraan UUD 1945 dalam pasal 26 ayat(1) menentukan bahwa "Yang menjadi warga negara ialah orang – orang bangsa Indonesia aseli dan orang – orang bangsa lain yang di sahkan dengan undang – undang sebagai warga negara," sedang ayat 2 menyebutkan bahwa syarat – syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapan dengan undang – undang.[6]Sebagai pelaksanaan dari pasal 26, tanggal 10 april 1946, diundangkan UU No. 3 Tahun 1946. Adapun yang dimaksud dengan warga negara Indonesia menurut UU No. 3 Tahun 1946 adalah:

(1) Orang yang asli dalam daerah Indonesia,

(2) Orang yang lahir dan bertempat kedudukan dan kediaman di dalam wilayah negara Indonesia,

(3) Anak yang lahir di dalam wilayah Indonesia.[7]

3. Persetujuan Kewarganegaraan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB)

Persetujuan perihal pembagian warga negara hasil dari konferensi meja bundar (KMB) tanggal 27 desember 1949 antara Belanda dengan Indonesia Serikat ada tiga hal yang penting dalam persetujuan tersebut antara lain:

(1) Orang Belanda yang tetap berkewargaan Belanda, tetapi terhadap keturunannya yang lain dan bertempat tinggal di Indonesia kurang lebih 6 bulan sebelum 27 desember 1949 setelah penyerahan keddaulatan dapat memilih kewarganegaraan Indonesia yang disebut juga "Hak Opsi" atau hak untuk memilih kewarganegaraan.

(2) Orang – orang yag tergolong kawula Belanda (orang Indonesia asli) berada di Indonesia memperoleh kewarganegaraan Indonesia kecuali tidak tinggal di Suriname / Antiland Belanda dan dilahirkan di wilayah Belanda dan dapat memilih kewarganegaraan Indonesia,

(3) Orang – orang Eropa dan Timur Asing, maka terhadap mereka dua kemungkinan yaitu: jika bertempat tinggal di Belanda, maka dtetapkan kewarganegaraan Belanda, maka yang dinyatakan sebagai WNI dapat menyatakan menolak dalam kurun waktu 2 tahun.[8]

4. Berdasarkan undang – undang nomor 62 tahun 1958

Undang – undang tentang kewarganegaraan Indonesia yang berlaku sampai sekarang adalah UU No. 62 tahun 1958, yang mutlak berlaku sejak diundangkan tanggal 1agustus 1958. Beberapa bagian dari undang – undang itu, yaitu mengenai ketentuan – ketentuan siapa warga negara Indonesia, status anak – anak an cara – cara kehilangan kewarganegaraan, ditetapkan berlaku surut hingga tanggal 27 desember 1949.

Hal – hal selengkapnya yang diatur dalam UU No. 62 tahun 1958 antara lain: (1) siapa yang dinyatakan berstatus warga negara Indonesia (WNI), (2) naturalisasi atau pewarganegaraan biasa,(3) akibat pewarganegaraan, (4) pewarganegaraan istimewa, (5) kehilangan kewarganegaraan Indonesia, dan (6) Siapa yang dinyatakan berstatus asing.

Menurut undang – undang :

1) Mereka berdasarkan UU/ peraturan/perjanjian, yang terlebih dahulu (berlaku surut)

2) Mereka yang memenuhi syarat – syarat tertentu yang ditentukan dalam undang – undang itu.

Selain itu, mungkin juga seorang Indonesia menjadi orang asing karena :

1) Dengan sengaja, insyaf, dan sadar menolak kewarganegaraan RI,

2) Menolak kewarganegaraan karena khilaf atau ikut – ikutan saja,

3) Di tolak oleh orang lain, misalnya seorang anak yang ikut status orang tuanya yang menolak kewarganegaraan RI.[9]

D. Masalah Kedudukan Hukum Bagi Orang Asing

Sesuai dengan pasal 38 UU No. 9 Tahun 1992 tentang keimigrasian, menyatakan pengawasan terhadap orang asing di Indonesia meliputi: pertama, masuk dan keluarnya ke dan dari wilayah Indonesia, kedua, keberadaan serta kegiatan orang asing di wilayah Indonesia. Adapun tugas pengawasan terhadap orang asing yang berada di Indonesia dilakukan oleh menteri kehakiman dengan koordinasi dengan badan atau instansi pemerintah yang terkait.

Masalah lain yang berkaitan dengan orang asing adalah tentang perkawinan campuran, yaitu perkawinan antar a dua orang yang berbeda kewarganegaraan. Dan yang paling menimbulkan persoalan serius adalah perkawinan campuran antar-agama.

1. Perkawinan campuran antar-golongan (intergentiel)

Bahwa hukum mana atau hukum apa yang berlaku , kalau timbul perkawinan antara dua orang, yang masing – masing sama atau berbeda kewarganegaraannya, yang tunduk pada peraturan hukum yang berlainan. Misalnya, WNI asal Eropa kawin dengan orang Indonesia asli.

2. Perkawinan campuran antar-tempat (interlocal)

Yakni perkawinan antara orang – orang Indonesia asli dari lingkungan adat. Misal , orang Minang kawin dengan orang jawa.

3. Perkawinan campuran antar-agama (interriligius)

Mengatur hubungan (perkawinan) antara dua orang yang masing – masing tunduk pada peraturan agama yang berlainan.

Dalam tataran praksis perkawinan campuran antar-agama tidak dikenal di Indonesia. UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan secara tegas tidak menganut perkawinan campuran antar-agama.

Berkaitan dengan status istri dalam perkawinan campuran, maka terdapat dua asas:

a) Asas mengikuti, maka suami/istri mengikuti suami/istri baik pada waktu perkawinan berlangsung, kemudian setelah perkawinan berjalan.

Pasal 26 UU Kewarganegaraan menyatakan :

Ayat (1) perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan laki – laki warga negara asing kehilangan kewarganegaraan RI jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut. Ayat (2) Laki – laki warga negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan kewarganegaraanya RI jika menurut hukum asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.

 

b) Asas persamamerataan

Menurut asas ini, bahwasanya perkawinan tidak mempengaruhi sama sekali kewarganegaraan seseorang, dalam arti mereka (suami atau istri) bebas menentukan sikap dalam menentukan kewarganegaraan asal sekalipun sudah menjadi suami istri.

Ketentuan ini di atur dalam pasal 26 ayat (3) UU kewarganegaraan , bahwa perempuan atau laki – laki WNI yang menikah dengan WNA tetap menjadi WNI jika yang bersangkutan memiliki keinginan untuk tetap menjadi WNI. Adapun mekanismenya dengan, yaitu dengan jalan mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada pejabat atau perwakilan republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda.[10]


Virus-free. www.avast.com