[
2
]
Tak hanya di Nusantara, pemerintah Belanda pun mengirim dan mempekerjakan
para penduduk pribumi ke beberapa wilayah di luar negeri, seperti New Caledonia dan
Suriname, yang juga merupakan wilayah koloni Belanda. Namun bukan diprakarsai
oleh kesadaran
pribadi untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, migrasi tenaga
kerja ke luar negeri pada zaman itu lebih disebabkan karena tuntutan dan paksaan
penjajah
(Sitorus, 2011)
. Para buruh diharuskan bekerja selama 8 jam di perkeb
unan
atau 10 jam di pabrik, 6 hari dalam seminggu, sesuai dengan masa kontrak yang
umumnya mencapai 5 tahun. Exploitasi anak pun nampaknya sudah menjadi hal yang
lazim pada masa itu. Asyarifh menulis, "...para TKI laki
-
laki usia di atas 16 tahun yang
beker
ja di perusahaan perkebunan Suriname menerima gaji sebesar 60 sen sehari dan
pekerja wanita usia di atas 10 tahun sebesar 40 sen sehari" (Asyarifh, 2011).
b. Jepang
Langgengnya penjajahan Belanda ini kemudian berhasil digulingkan oleh
pendudukan Jepang p
ada tahun 1942. Banyak yang melihat bahwa penjajahan Jepang
memberi dampak seperti mata uang, di satu sisi dinilai lebih kejam dari pada penjajahan
Belanda namun di sisi lain justru membantu membangun kekuatan dan nasionalisme
pemuda Indonesia untuk memper
siapkan kemerdekaan. Hal ini terutama terlihat dari
pola perekrutan tenaga kerja pada masa itu. Demi memenangkan perang Asia Timur
Raya, Jepang memberlakukan sebuah sistem kerja paksa yang dikenal dengan istilah
romusha. Para pekerja Romusha ini pada umumn
ya didatangkan dari desa
-
desa di Jawa
yang terdiri dari pemuda petani dan pengangguran.
Tetapi
Jepang ternyata tidak hanya membutuhkan tenaga para kuli untuk
membangun berbagai prasarana perang, tetapi juga membutuhkan
supply
personil
militer dalam jumlah
besar untuk mendukung upaya ekspansinya. Karena itu, Jepang
kemudian merekrut, melatih, dan mempersenjatai banyak kaum muda Indonesia
sehingga banyak dari mereka yan
g menjadi ahli perang. Kemudian
Jepang juga secara
tidak langsung telah „mendidik‟ para pe
muda Indonesia dibidang politik dengan
memberikan akses dan kesempatan lebih besar untuk terlibat dalam proses
pemerintahan dan perpolitikan saat itu.
Migrasi tenaga kerja yang kental terlihat pada masa penjajahan Jepang
disebabkan oleh sistem romusha yan
g mengharuskan mobilisasi dan perpindahan
pekerja ke berbagai wilayah di Nusantara demi membangun sarana dan prasarana
perang bagi Jepang. Selain itu, beberapa aktivitas migrasi pola lama (
forced migration
)
[
3
]
seperti yang terjadi pada masa kolonial Belanda p
un masih terjadi. Ditambah dengan
berlangsungnya beberapa migrasi tradisional dari dan ke Malaysia yang dimotori oleh
faktor pekerjaan dan kekerabatan.
B.1.1.2 Pasca Kemerdekaan dan Orde Lama (1945
–
1966)
Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus
1945, tampuk kepemimpinan
Indonesia di pegang oleh Insinyur Soekarno yang selanjutnya berlangsung selama 21
tahun. Meskipun banyak yang menilai bahwa selama kurun waktu tersebut Soekarno
telah gagal dalam membangun perekonomian Indonesia, namun dari segi
k
etenagakerjaan, pemerintahan era ini justru berhasil menelurkan beberapa peraturan
perlindungan tenaga kerja yang terbilang sangat progresif, seperti; dibentuknya
Kementerian Perburuhan pada 3 Juli 1947 melalui Peraturan Pemerintah No.3 tahun
1947 sebagai
lembaga resmi yang secara khusus mengurusi masalah perburuhan;
diratifikasinya sejumlah konvensi HAM dan buruh tingkat internasional; serta
disahkannya beberapa Undang
-
Undang seperti UU No.21 tahun 1954 tentang Perjanjian
Perburuhan antara Serikat Buruh da
n Majikan serta UU No. 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, sebagai
follow up
dari munculnya berbagai
tuntutan dan perselisihan normatif materil antara buruh dan majikan di sekitaran tahun
1950an.
Kondisi ketenagakerjaan pada era in
i sesungguhnya sangat didominasi oleh
dinamika kemunculan dan vokalnya asosiasi gerakan buruh dalam perpolitikan
Indonesia. Besarnya keterlibatan buruh inilah yang kemudian menghasilkan berbagai
produk kebijakan ketenagakerjaan yang sangat protektif dan pr
o buruh. Diprakarsai oleh
terbentuknya Barisan Buruh Indonesia (BBI) pada September 1945 yang mengusung
perjuangan sosial ekonomi para buruh, berbagai level serikat buruh pun kemudian
bermunculan di seluruh tanah air. Namun ironisnya, besarnya pengaruh dan
popularitas
gerakan buruh ini disalahgunakan secara politis. Berbagai partai politik seketika
berduyun
-
duyun membentuk serikat buruh versi mereka, demi meraup dukungan dan
suara pada pemilihan umum tahun 1955.
Dalam konteks migrasi tenaga kerja, penulis
tak banyak menemukan catatan
sejarah yang menjelaskan tentang dinamika maupun dokumentasi kebijakan di era ini.
Pasalnya, selain karena masih disibukkan oleh upaya membangun bangsa pasca
kolonialisme, pemerintah belum melirik potensi migrasi tenaga kerja
(terutama
pengiriman TKILN) sebagai salah satu sumber devisa bagi negara. Kementrian
[
4
]
Perburuhan yang saat itu didirikan pun hanya berfokus mengelola aspek
ketenagakerjaan di dalam negeri. Mobilitas migrasi internasional yang dapat dilacak
adalah perpindah
an penduduk Indonesia ke negara
-
negara seperti Malaysia dan Arab
Saudi yang biasanya dimotori oleh pekerjaan, hubungan kekerabatan, perpindahan
permanen, dan untuk menunaikan haji.
B.1.1.3 Masa Orde Baru (1966
–
1998)
Pergantian era dari orde lama menuj
u orde baru ditandai dengan peralihan
kekuasaan politik dari kepemimpinan Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal
Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret 1966 yang kontroversial
(Simanjuntak,
2012)
. Peristiwa Supersemar
ini kemudian menjadi tonggak dimulainya 32 tahun
kekuasaan Soeharto yang dideklarasikan sebagai koreksi total terhadap budaya dan
sistem politik era orde lama yang cenderung berfokus menjadi penyeimbang antara
kekuatan nasionalis, agama, militer, dan komun
is menjadi berfokus pada pembangunan
ekonomi serta pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Untuk mewujudkan cita
-
cita tersebut, serangkaian kebijakan dan strategi
ekonomi pun dilaksanakan oleh Soeharto. Secara struktural, pemerintah
mengubah
nama birokrasi ketenagakerjaan yang sebelumnya bernama Kementrian Perburuhan
menjadi Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi, sampai berakhirnya
Kabinet Pembangunan III (1983). Kemudian pada Kabinet Pembangunan IV,
pemerintah membagi D
epartemen ini menjadi 2, yaitu Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi serta Kementrian Koperasi, karena melihat besarnya porsi tugas yang
diemban
(Asyarifh, 2011)
. Secara praktis, percepatan pertumbuhan ekonomi dimulai
denga
n menjalankan strategi Pembangunan Lima Tahun (Pelita), yang difokuskan pada
sektor pertanian dan industri.
Namun target pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi global yang sejak awal
dihasratkan Soeharto lambat laun menggeser dominasi sektor pertanian di da
lam negeri.
Berbagai fasilitas, sarana dan infrastruktur perindustrian yang dibangun rejim ini
mensyaratkan penggunaan lahan besar
-
besaran sehingga memaksa penduduk untuk
merelakan tanah pertanian mereka untuk dibangun pabrik dan gedung bertingkat.
Hilangn
ya lahan pertanian ini secara otomatis juga menghilangkan sumber mata
pencaharian utama berjuta penduduk, yang kemudian menyebabkan tingginya angka
pengangguran dan meningkatnya keresahan tenaga kerja. Kendati upaya
-
upaya
penyediaan lapangan kerja seperti
Program padat karya dan transmigrasi, disamping
[
6
]
Tab
el 2
. Data Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia pada Masa Orde Baru
Sumber: Hugo (2005) dari tulisan UR Sitorus (2014)
Pada era ini pula, tepatnya Mei 1984, pemerintah membuat kesepatakan bilateral
pertama kali dalam bentuk MoU dengan Malaysia terkait pengaturan aliran migrasi dari
Indonesia
ke Malaysia.
Tetapi upaya pembangunan ekonomi era
Bapak Pembangunan
ini tak serta
merta berkesan baik. Dengan dalih untuk mendukung stabilitas pembangunan ekonomi,
rejim yang disebut Feith sebagai tipe „
repressive
-
developmentalist'
ini menggunakan
serangk
aian tindakan pemaksaan demi mencapai misi modernisasi
(Aspinall & Fealy)
.
B.1.1.4 Masa Reformasi
a.
Kepemimpinan Baharuddin Jusuf Habibie (Mei 1998
–
Oktober 1999)
Pasca pengunduran diri Soeharto, kursi kepresidenan diserahkan
kepada
wakilnya, yaitu Baharuddin Jusuf Habibie. Meskipun terhitung sangat singkat (512 hari)
dan diwarnai skeptisme, berbagai progres yang dihasilkan „Kabinet Reformasi‟ Habibie
telah menorehkan catatan sejarah yang penting bagi awalan masa reformasi, se
perti
penegakan HAM dan demokrasi. Agenda penegakan HAM dan demokrasi
direalisasikan dengan membuat beberapa kebijakan baik secara struktural maupun
praktis. Secara struktural, pemerintah berhasil mengesahkan Konvensi ILO No.87
Tahun 1948 yang membahas ten
tang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
untuk Berorganisasi, melalui Keputusan presiden No.83 tahun 1998. Kemudian secara
praktis, pemerintah kembali memberikan kebebasan sebesar
-
besarnya pada rakyat untuk
Negara
Tujuan
Pelita I
(1969
–
1972)
Pelita II
(1974
–
1979)
Pelita III
(1979
–
1984)
Pelita IV
(1984
–
1989)
Pelita V
(1989
–
1999)
Jumlah
Persen
Malaysia
12
536
11.441
37.785
122.941
172.7
15
19,7
Singapura
8
2.432
5.007
10.537
34.496
52.480
6,0
Brunei
-
-
-
920
7.794
8.714
1,0
Hongkong
44
1.297
1.761
1.735
3.579
8.416
1,0
Jepang
292
451
920
395
2.435
4.493
0,5
Korea
-
-
-
-
1.693
1.693
0,2
Taiwan
37
-
-
178
2.025
2.240
0,3
Belanda
3.
332
6.637
10.104
4.375
4.336
28.784
3,3
AS
146
176
2.981
6.897
984
11.184
2,3
Saudi. A
-
3.817
55.976
223.573
268.858
552.224
62,8
Timteng
-
1.235
5.349
3.428
15.157
25.169
1,7
Lain
-
lain
1.653
461
2.871
2.439
2.832
10.256
1,2
Total
5.524
17.042
96.410
292.262
467.130
868.356
100
[
7
]
membentuk kelompok atau perserikatan baik y
ang bergenre politik maupun sosial
ekonomi.
Namun kinerja pemerintahan era ini pun bukan tanpa kritik. Dampak krisis
moneter tahun 1997 yang mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar
-
besaran telah sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah terhadap
pengiriman TKI ke
luar negeri. Target pengiriman TKI yang sebelumnya diprioritaskan pada TKI terdidik
sebagai solusi mengurangi angka kekerasan terhadap TKI informal, terpaksa diubah
dengan mengirimkan sebanyak mungkin tenaga kerja ke luar negeri (terutam
a ke
Malaysia dan Singapura) demi menekan angka pengangguran dan kemiskinan. Alhasil,
Indonesia yang saat itu berada pada Pelita VI mengirimkan 1.250.000 TKI ke berbagai
negara terutama Malaysia dan Singapura, setelah sebelumnya menerbangkan sekitar
500.00
0 TKI pada Pelita V
(Sitorus, 2011, hal. 9)
.
Sayangnya, tajamnya peningkatan arus migrasi TKI ke luar negeri (mencapai
kurang lebih 1,5 juta di tahun 1999)
1
ini tidak dibarengi dengan mekanisme
perlindungan yang komprehens
if bagi TKI itu sendiri. Minimnya tingkat pendidikan
dan pelatihan, khususnya bagi TKI informal, menyebabkan munculnya berbagai kasus
kekerasan dan pemerasan mulai dari pra penempatan, penempatan, sampai pemulangan
TKI. Meskipun arus migrasi TKI telah diat
ur dengan sejumlah landasan hukum dan
kebijakan, namun sedikit sekali yang membahas dan menjamin tentang hak para TKI.
Dua Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker) terkait buruh migran yang
diinisiasi pemerintah saat itu, yaitu KepMen No.204 Tahun 1999
tentang penempatan
tenaga kerja Indonesia ke luar negeri dan KepMen No.29 Tahun 1998 tentang skema
asuransi sosial untuk buruh migran, mayoritas bertumpu pada pembahasan mengenai
aspek manajerial dan operasional seperti hubungan antara agensi
-
agensi perekr
ut dan
instansi
-
instansi pemerintah, sementara aspek perlindungan bagi TKI (dalam kedua
KepMen tersebut) cakupannya sangat terbatas dan pemaknaannya cenderung samar
(Azmy, 2011, hal. 44)
.
b.
Kepemimpinan Abdurrahman Wahid (
Oktober 1999
–
Juli 2001)
Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dimulai setelah
berhasil memenangkan Pemilu tahun 1999 mengalahkan Megawati Soekarno Putri yang
kemudian harus rela disandingkan sebagai wakil presiden. Dalam perjalanannya,
1
Aswatin Raharto, Kebutuhan Informasi dan Tenaga Kerja Migran Indonesia (hasil penelitian), PPK
–
LIPI: Jakarta,
kertas kerja No.30, 2002, hal 1. Melalui tulisan Ana Sabhana Azmy
(Azmy, 2011, hal. 43)
[
8
]
kab
inet Persatuan Nasional bentukan Gus Dur berfokus pada upaya
-
upaya
pengembangan dan perluasan pembangunan demokrasi dan penegakan HAM.
Semangat yang ini pun mendasari berbagai kebijakan ketenagakerjaan di tanah
air. Kebebasan untuk berserikat dan berkumpu
l semakin dipupuk dan dijamin dengan
dikeluarkannya Undang
-
Undang No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh, disusul dicabutnya Undang
-
Undang No.25 Tahun 1997 Tentang
ketenagakerjaan yang eksploitatif, anti serikat dan tidak ada proteksi terha
dap tenaga
kerja
(Azmy, 2011, hal. 46)
. Kemudian, demi menjamin hak asasi para tenaga kerja,
Gus Dur mengeluarkan sebuah kebijakan yang terbilang sangat fenomenal yakni
pemberian pesangon kepada karyawan atau buruh yang t
erkena PHK, lewat KepMen
No.150 Tahun 2000.
Pada era ini, migrasi tenaga kerja ke luar negeri mengalami peningkatan pesat
dan didominasi oleh Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Tabel 3
. Perbandingan Jumlah Tenaga Kerja Laki
-
laki dan Perempuan 1999
-
2001
Tahun
Tenaga Kerja Laki
-
Laki
Tenaga Kerja Wanita
1999
124.828
302.273
2000
137.949
297.273
2001
55.206
239.942
Sumber: Kemnakertrans RI dalam tulisan Azmy, 2011, hal 44
Peningkatan jumlah TKW ini di satu sisi membawa perubahan positif karena
memungkinkan pe
ningkatan keterampilan dan taraf hidup bagi perempuan itu sendiri,
namun kenyataan bahwa mayoritas TKW bekerja pada sektor jasa atau domestik seperti
menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT) pula menghadirkan berbagai permasalahan. Di
dalam negeri, sumber masala
h muncul terutama dari minimnya kerangka hukum
perlindungan serta sistem perekrutan dan pembinaan Tenaga Kerja yang dirasa masih
sangat jauh dari cukup untuk membekali para calon TKI menuju lingkungan kerja baru.
Sementara di luar negeri, berbagai kasus ke
kerasan dan penganiayaan terhadap TKI
terus saja mengalir sehingga menyebabkan berbagai protes dan kecemasan dari berbagai
pihak. Meskipun demikian, Alhilal Hamdi, selaku Menteri Tenaga Kerja saat itu,
menyatakan bahwa pengiriman buruh migran perempuan ke
Saudi Arabia tidak bisa
dihentikan kerena akan berdampak pada pengangguran tinggi serta berpengaruh pada
penerimaan devisa negara
(Azmy, 2011, hal. 45)
. Benar saja, karena pada tahun 1999,
jumlah remitansi Tenaga Kerja Wa
nita mencapai 3 triliun rupiah (atau seki
tar US$ 300
[
9
]
juta) (Yunianto n.d
: 5, dalam tulisan Michele Ford, 2001: hal 4). Sebagai solusi, Gus
Dur kemudian membentuk Direktorat baru di Departemen Luar Negeri (Deplu) bernama
Direktorat „Perlindungan WNI dan Bad
an Hukum Indonesia (BHI)‟ melalui Keppres
No.109 Tahun 2001 jo Kepmenlu No. 053 Tahun 2001. Direktorat ini nantinya bertugas
untuk memberikan perlindungan optimal dibidang hukum dan administrasi bagi para
WNI termasuk TKI yang sedang berada di luar negeri
2
(Azmy, 2011, hal. 45)
.
c.
Kepemimpinan Megawati Soekarno Putri (Juli 2001
–
Oktober 2004)
Megawati Soekarnoputri yang selanjutnya menggantikan posisi Gus Dur sebagai
Presiden, memimpin dengan mewariskan berbagai catatan
problematis sekaligus
progresif dibidang ketenagakerjaan, terutama migrasi Tenaga Kerja Indonesia. Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, dampak krisis ekonomi telah menyebabkan jumlah
pengangguran di Indonesia meningkat secara drastis dan memaksa masya
rakat untuk
mencari sumber penghasilan di sektor apa pun yang mungkin. Banyaknya kesempatan
kerja terutama sektor domestik dan jasa di beberapa negara tetangga kemudian menarik
minat para TKI utamanya tenaga kerja perempuan untuk hijrah demi mengumpulkan
p
undi
-
pundi rupiah bagi keluarganya.
Melihat oportunitasnya, jumlah Tenaga Kerja Wanita di luar negeri pun terus
meningkat dari tahun ke tahun. Tetapi jumlah ini kemudian menjadi masalah karena
terkuaknya TKI ilegal. Selama kepemimpinan Megawati, tercatat
ada sekitar satu
setengah juta WNI yang tinggal di Malaysia
–
dan sekitar 600.000 diantaranya bekerja
secara ilegal (
New Straits Times
, 29 Agustus 2001 dalam tulisan Michele Ford, 2001,
hal 4). Dampak krisis moneter yang juga berimbas pada perekonomian Mal
aysia
kemudian membuat negara ini memilih strategi „pengusiran‟ TKI yang bekerja secara
ilegal
(Ford, 2001, hal. 3)
. Langkah ini dimulai dengan mengesahkan akta imigresen
nomor 1154 tahun 2002 yang ditetapkan pada tanggal 1
Agustus 2002 menggantikan
akta imigresen Malaysia No.63 Tahun 1959
(Azmy, 2011, hal. 46)
. Dalam peraturan
baru tersebut, diberlakukan denda sebesar 10.000 ringgit Malaysia, dihukum penjara
2
Tugas pokok Dire
ktorat ini adalah melakukan koordinasi, perencanaan, dan pelaksaan kebijakan teknis
perlindungan hak WNI dan BHI di luar negeri, dan penyelesaian masalah WNI serta mengurus pemulangan dan
berkoordinasi dengan instansi terkait di dalam negeri. Presentasi Sj
achwien Adenan,
Perlindungan Terhadap Warga
Negara Indonesia / Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
dalam seminar:
"Tenaga Kerja Indonesia di
Persimpangan Jalan"
, PPK
-
LIPI: Jakarta, 5 September 2002, hal 1.
[
10
]
paling lama 5 tahun, dan enam k
ali hukuman cambuk, bagi setiap tenaga kerja ilegal
yang tertangkap oleh polisi Malaysia.
3
Banyaknya permasalahan yang timbul karena buruknya manajemen penempatan
Tenaga Kerja ke luar negeri ini kemudian mendorong Presiden Megawati untuk
mengeluarkan kebi
jakan yang mengatur keseluruhan sistem penempatan TKI (dari pra
penempatan, penempatan, maupun purna penempatan) termasuk perlindungan tenaga
kerja Indonesia, ke dalam sebuah Undang
-
Undang. Akhirnya, pada tahun 2004,
dibentuklah UU No.39 Tahun 2004 Tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) yang pada pasal 94 ayat (1) dan (2)
mengamanatkan pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia (BPN2TKI)
(Azmy, 2
011, hal. 47)
. Undang
-
undang ini tentu saja
adalah sebuah progres, karena merupakan paket kebijakan pemerintah pertama yang
secara khusus membahas tentang regulasi Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri.
Tetapi, Azmy menjelaskan, dari 109 pasal yang ada
dalam Undang
-
Undang tersebut,
hanya terdapat 9 pasal yang mengatur tentang perlindungan bagi TKI. Diantara pasal
-
pasal itu, dia melanjutkan, tidak ada poin yang secara detil membahas tentang
standarisasi upah minimum untuk para tenaga kerja informal. Hal
ini menciptakan isu
baru karena tidak semua negara
receiver
, termasuk Malaysia, memiliki kebijakan
ketenagakerjaan dan standarisasi upah bagi pekerja informal
(Azmy, 2011, hal. 47)
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar