KERJASAMA KETENAGAKERJAAN INDONESIA DAN ARAB SAUDI
Terjadinya kerjasama ketenagakerjaan antar negara sesungguhnya dimotori oleh
demam globalisasi. Tuntutan globalisasi yang mensyaratkan perkembangan di segala
bidang yang di warnai kompetisi tinggi memaksa negara untuk menggunakan berbagai
solusi dan alternatif agar tetap bisa
survive
sekaligus bisa bersaing dalam percaturan
dunia. Negara kemudian dipacu untuk mengeksploitasi dan memanfaatkan segala
potensi yan
g dimilikinya demi mencapai cita
-
cita tersebut.
Upaya
survival
sekaligus
development
inilah yang kemudian semakin
meningkatkan interdependensi antar negara. Negara kemudian akan saling bekerjasama
untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan satu sama lain. D
alam pembahasan
selanjutnya, penulis akan mencoba menjelaskan tentang aspek
-
aspek yang
melatarbelakangi dan memotivasi kerjasama ketenagakerjaan a
ntara Indonesia dan
Arab Saudi.
A.
1. 1 Sejarah Ketenagakerjaan dan Migrasi Tenaga Kerja Indonesia
B.1.1.1 Mas
a Kolonial
a. Belanda
Pasca runtuhnya kesultanan Mataram pada abad ke
-
18, okupansi Belanda yang
dimulai pada sekitar tahun 1600 an menjadi semakin kuat dengan mendirikan
Perusahaan Dagang Hindia Belanda (
Vereenigde Oost
-
Indische Compagnie/VOC
) di
Jawa. Do
minasi Belanda yang berlangsung selama tiga setengah abad atau sekitar 350
tahun tersebut telah dengan signifikan mengubah sistem sosial termasuk budaya
ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Kehidupan sosial yang seolah terbagi ke dalam
tiga kasta yakni p
emerintah Belanda dan Eropa sebagai pemangku kekuasaan tertinggi
dan pengelola perekonomian, priyayi atau aristokrat pribumi sebagai perantara petani
dan sipil Eropa, serta para petani sebagai buruh dan budak, semakin mematangkan
mentalitas „buruh‟ di kala
ngan rakyat Indonesia. Dengan menonjolnya sistem ekonomi
perbudakan, para penduduk dipaksa bekerja di sektor
-
sektor yang notabene
dirty
dan
dangerous
seperti menjadi petani kasar, buruh di perkebunan, tukang bangunan, dan
pelayan di rumah
-
rumah para penjaj
ah.
[
2
]
Tak hanya di Nusantara, pemerintah Belanda pun mengirim dan mempekerjakan
para penduduk pribumi ke beberapa wilayah di luar negeri, seperti New Caledonia dan
Suriname, yang juga merupakan wilayah koloni Belanda. Namun bukan diprakarsai
oleh kesadaran
pribadi untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, migrasi tenaga
kerja ke luar negeri pada zaman itu lebih disebabkan karena tuntutan dan paksaan
penjajah
(Sitorus, 2011)
. Para buruh diharuskan bekerja selama 8 jam di perkeb
unan
atau 10 jam di pabrik, 6 hari dalam seminggu, sesuai dengan masa kontrak yang
umumnya mencapai 5 tahun. Exploitasi anak pun nampaknya sudah menjadi hal yang
lazim pada masa itu. Asyarifh menulis, "...para TKI laki
-
laki usia di atas 16 tahun yang
beker
ja di perusahaan perkebunan Suriname menerima gaji sebesar 60 sen sehari dan
pekerja wanita usia di atas 10 tahun sebesar 40 sen sehari" (Asyarifh, 2011).
b. Jepang
Langgengnya penjajahan Belanda ini kemudian berhasil digulingkan oleh
pendudukan Jepang p
ada tahun 1942. Banyak yang melihat bahwa penjajahan Jepang
memberi dampak seperti mata uang, di satu sisi dinilai lebih kejam dari pada penjajahan
Belanda namun di sisi lain justru membantu membangun kekuatan dan nasionalisme
pemuda Indonesia untuk memper
siapkan kemerdekaan. Hal ini terutama terlihat dari
pola perekrutan tenaga kerja pada masa itu. Demi memenangkan perang Asia Timur
Raya, Jepang memberlakukan sebuah sistem kerja paksa yang dikenal dengan istilah
romusha. Para pekerja Romusha ini pada umumn
ya didatangkan dari desa
-
desa di Jawa
yang terdiri dari pemuda petani dan pengangguran.
Tetapi
Jepang ternyata tidak hanya membutuhkan tenaga para kuli untuk
membangun berbagai prasarana perang, tetapi juga membutuhkan
supply
personil
militer dalam jumlah
besar untuk mendukung upaya ekspansinya. Karena itu, Jepang
kemudian merekrut, melatih, dan mempersenjatai banyak kaum muda Indonesia
sehingga banyak dari mereka yan
g menjadi ahli perang. Kemudian
Jepang juga secara
tidak langsung telah „mendidik‟ para pe
muda Indonesia dibidang politik dengan
memberikan akses dan kesempatan lebih besar untuk terlibat dalam proses
pemerintahan dan perpolitikan saat itu.
Migrasi tenaga kerja yang kental terlihat pada masa penjajahan Jepang
disebabkan oleh sistem romusha yan
g mengharuskan mobilisasi dan perpindahan
pekerja ke berbagai wilayah di Nusantara demi membangun sarana dan prasarana
perang bagi Jepang. Selain itu, beberapa aktivitas migrasi pola lama (
forced migration
)
[
3
]
seperti yang terjadi pada masa kolonial Belanda p
un masih terjadi. Ditambah dengan
berlangsungnya beberapa migrasi tradisional dari dan ke Malaysia yang dimotori oleh
faktor pekerjaan dan kekerabatan.
B.1.1.2 Pasca Kemerdekaan dan Orde Lama (1945
–
1966)
Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus
1945, tampuk kepemimpinan
Indonesia di pegang oleh Insinyur Soekarno yang selanjutnya berlangsung selama 21
tahun. Meskipun banyak yang menilai bahwa selama kurun waktu tersebut Soekarno
telah gagal dalam membangun perekonomian Indonesia, namun dari segi
k
etenagakerjaan, pemerintahan era ini justru berhasil menelurkan beberapa peraturan
perlindungan tenaga kerja yang terbilang sangat progresif, seperti; dibentuknya
Kementerian Perburuhan pada 3 Juli 1947 melalui Peraturan Pemerintah No.3 tahun
1947 sebagai
lembaga resmi yang secara khusus mengurusi masalah perburuhan;
diratifikasinya sejumlah konvensi HAM dan buruh tingkat internasional; serta
disahkannya beberapa Undang
-
Undang seperti UU No.21 tahun 1954 tentang Perjanjian
Perburuhan antara Serikat Buruh da
n Majikan serta UU No. 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, sebagai
follow up
dari munculnya berbagai
tuntutan dan perselisihan normatif materil antara buruh dan majikan di sekitaran tahun
1950an.
Kondisi ketenagakerjaan pada era in
i sesungguhnya sangat didominasi oleh
dinamika kemunculan dan vokalnya asosiasi gerakan buruh dalam perpolitikan
Indonesia. Besarnya keterlibatan buruh inilah yang kemudian menghasilkan berbagai
produk kebijakan ketenagakerjaan yang sangat protektif dan pr
o buruh. Diprakarsai oleh
terbentuknya Barisan Buruh Indonesia (BBI) pada September 1945 yang mengusung
perjuangan sosial ekonomi para buruh, berbagai level serikat buruh pun kemudian
bermunculan di seluruh tanah air. Namun ironisnya, besarnya pengaruh dan
popularitas
gerakan buruh ini disalahgunakan secara politis. Berbagai partai politik seketika
berduyun
-
duyun membentuk serikat buruh versi mereka, demi meraup dukungan dan
suara pada pemilihan umum tahun 1955.
Dalam konteks migrasi tenaga kerja, penulis
tak banyak menemukan catatan
sejarah yang menjelaskan tentang dinamika maupun dokumentasi kebijakan di era ini.
Pasalnya, selain karena masih disibukkan oleh upaya membangun bangsa pasca
kolonialisme, pemerintah belum melirik potensi migrasi tenaga kerja
(terutama
pengiriman TKILN) sebagai salah satu sumber devisa bagi negara. Kementrian
[
4
]
Perburuhan yang saat itu didirikan pun hanya berfokus mengelola aspek
ketenagakerjaan di dalam negeri. Mobilitas migrasi internasional yang dapat dilacak
adalah perpindah
an penduduk Indonesia ke negara
-
negara seperti Malaysia dan Arab
Saudi yang biasanya dimotori oleh pekerjaan, hubungan kekerabatan, perpindahan
permanen, dan untuk menunaikan haji.
B.1.1.3 Masa Orde Baru (1966
–
1998)
Pergantian era dari orde lama menuj
u orde baru ditandai dengan peralihan
kekuasaan politik dari kepemimpinan Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal
Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret 1966 yang kontroversial
(Simanjuntak,
2012)
. Peristiwa Supersemar
ini kemudian menjadi tonggak dimulainya 32 tahun
kekuasaan Soeharto yang dideklarasikan sebagai koreksi total terhadap budaya dan
sistem politik era orde lama yang cenderung berfokus menjadi penyeimbang antara
kekuatan nasionalis, agama, militer, dan komun
is menjadi berfokus pada pembangunan
ekonomi serta pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Untuk mewujudkan cita
-
cita tersebut, serangkaian kebijakan dan strategi
ekonomi pun dilaksanakan oleh Soeharto. Secara struktural, pemerintah
mengubah
nama birokrasi ketenagakerjaan yang sebelumnya bernama Kementrian Perburuhan
menjadi Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi, sampai berakhirnya
Kabinet Pembangunan III (1983). Kemudian pada Kabinet Pembangunan IV,
pemerintah membagi D
epartemen ini menjadi 2, yaitu Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi serta Kementrian Koperasi, karena melihat besarnya porsi tugas yang
diemban
(Asyarifh, 2011)
. Secara praktis, percepatan pertumbuhan ekonomi dimulai
denga
n menjalankan strategi Pembangunan Lima Tahun (Pelita), yang difokuskan pada
sektor pertanian dan industri.
Namun target pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi global yang sejak awal
dihasratkan Soeharto lambat laun menggeser dominasi sektor pertanian di da
lam negeri.
Berbagai fasilitas, sarana dan infrastruktur perindustrian yang dibangun rejim ini
mensyaratkan penggunaan lahan besar
-
besaran sehingga memaksa penduduk untuk
merelakan tanah pertanian mereka untuk dibangun pabrik dan gedung bertingkat.
Hilangn
ya lahan pertanian ini secara otomatis juga menghilangkan sumber mata
pencaharian utama berjuta penduduk, yang kemudian menyebabkan tingginya angka
pengangguran dan meningkatnya keresahan tenaga kerja. Kendati upaya
-
upaya
penyediaan lapangan kerja seperti
Program padat karya dan transmigrasi, disamping
[
5
]
sektor industri itu sendiri, dapat membantu menyerap tenaga kerja, namun kenyataan
menunjukkan bahwa industrialisasi tersebut menciptakan terlalu banyak pengangguran
daripada menyediakan lapangan kerja.
Seki
tar tahun 70an, globalisasi mulai masuk ke Indonesia. Pemerintah semakin
giat mengintegrasikan diri dengan pertumbuhan ekonomi. Di dalam negeri, proses
industrialisasi dan modernisasi menyebabkan meningkatnya level kompetisi dan
konsumerisme. Faktor
-
faktor
seperti tingkat pendidikan dan kemampuan ekonomi
seolah menjadi bola salju yang semakin lama justru semakin memperjelas gap antara si
kaya dan si miskin. Kondisi ini kemudian diperparah dengan keputusan pemerintah
untuk memberlakukan
lower tarrifs
dan mem
aksakan kebijakan deregulasi upah murah
bagi buruh demi menarik minat lebih banyak investor untuk menanamkan modalnya di
tanah air
(Schwarz, Indonesia After Soeharto, 1997, hal. 124)
. Disisi lain, demam
globalisasi pun m
enyebabkan negara
-
negara di seluruh dunia berlomba untuk
memajukan perekonomian mereka dengan berbagai cara, termasuk juga industrialisasi.
Banyaknya
demand
tenaga kerja dari negara
-
negara ini kemudian memicu ketertarikan
angkatan kerja Indonesia, khususny
a yang tidak memiliki pekerjaan, untuk hijrah dan
mencoba peruntungan mereka di sektor
-
sektor tersebut. Tingginya tingkat
pengangguran dan minat tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di luar negeri ini
kemudian dilihat oleh pemerintah sebagai solusi strateg
is bagi beberapa masalah
sekaligus, yakni pengangguran, kemiskinan, dan pemasok pendapatan luar negeri bagi
negara.
Demi mengawal kelancaran prosesnya, pemerintah pun mendirikan Antar Kerja
Antar negara (AKAN) dan Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) melalui P
eraturan
Pemerintah No.4 Tahun 1970, yang memberi wewenang pada pihak swasta untuk
terlibat dalam proses perekrutan dan penempatan TKI ke luar negeri. Kemudian pada
tahun 1979, pemerintah mengambil upaya
-
upaya langsung untuk mengirimkan tenaga
kerja Indone
sia ke luar
(Azmy, 2011, hal. 39)
.
Booming
minyak yang terjadi d
i Arab
Saudi sekitar tahun 1980
an pun semakin memasifkan mobilitas ini, hingga pemerintah
merasa perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PerMen) No. 5 yang
mengatur
tentang pengiriman tenaga kerja ke luar negeri dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
No.1307 tahun 1988 yang mengatur tentang Petunjuk Teknis Pengerahan TKI ke Arab
Saudi. Berikut tabel data pengiriman tenaga kerja
Indonesia pada masa orde baru.
[
6
]
Tab
el 2
. Data Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia pada Masa Orde Baru
Sumber: Hugo (2005) dari tulisan UR Sitorus (2014)
Pada era ini pula, tepatnya Mei 1984, pemerintah membuat kesepatakan bilateral
pertama kali dalam bentuk MoU dengan Malaysia terkait pengaturan aliran migrasi dari
Indonesia
ke Malaysia.
Tetapi upaya pembangunan ekonomi era
Bapak Pembangunan
ini tak serta
merta berkesan baik. Dengan dalih untuk mendukung stabilitas pembangunan ekonomi,
rejim yang disebut Feith sebagai tipe „
repressive
-
developmentalist'
ini menggunakan
serangk
aian tindakan pemaksaan demi mencapai misi modernisasi
(Aspinall & Fealy)
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar