Kamis, 31 Mei 2018

(Fekon08-171310560)

Pemilihan Umum Di Indonesia

Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amendemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat dan dari rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rangkaian pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Pada umumnya, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilihan anggota legislatif dan presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Pemilu harus dilakukan secara berkala, karena memiliki fungsi sebagai sarana pengawasan bagi rakyat terhadap wakilnya.
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "LUBER" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asas "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru.
"Langsung" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan.
"Umum" berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara.
"Bebas" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
"Rahasia" berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas "jujur" mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas "adil" adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia
Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 9 Partai politik dan 1 organisasi masyarakat.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya
Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya
Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.
Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.
Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.
Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah.
Pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2009 (biasa disingkat Pemilu Legislatif 2009 atau Pileg 2009) diselenggarakan untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsimaupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014. Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak di hampir seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 9 April 2009(sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 5 April, namun kemudian diundur[1]).
38 partai memenuhi kriteria untuk ikut serta dalam pemilu 2009. Partai Demokrat memenangkan suara terbanyak, diikuti dengan Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2014 (biasa disingkat Pemilu Legislatif 2014) diselenggarakan pada 9 April 2014 untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsimaupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2014-2019.
Pemilihan ini dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 serentak di seluruh wilayah Indonesia. Namun untuk warga negara Indonesia di luar negeri, hari pemilihan ditetapkan oleh panitia pemilihan setempat di masing-masing negara domisili pemilih sebelum tanggal 9 April 2014. Pemilihan di luar negeri hanya terbatas untuk anggota DPR di daerah pemilihan DKI Jakarta II, dan tidak ada pemilihan anggota perwakilan daerah.
Presiden petahana Susilo Bambang Yudhoyono tidak dapat maju kembali dalam pemilihan ini karena dicegah oleh undang-undang yang melarang periode ketiga untuk seorang presiden. Menurut UU Pemilu 2008, hanya partai yang menguasai lebih dari 20% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat atau memenangi 25% suara populer dapat mengajukan kandidatnya. Undang-undang ini sempat digugat di Mahkamah Konstitusi, namun pada bulan Januari 2014, Mahkamah memutuskan undang-undang tersebut tetap berlaku.Pemilihan umum ini akhirnya dimenangi oleh pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan memperoleh suara sebesar 53,15%, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang memperoleh suara sebesar 46,85% sesuai dengan keputusan KPU RI pada 22 Juli 2014. Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014, menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono.
Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 50% jumlah provinsi di Indonesia. Dalam hal tidak ada pasangan calon yang perolehan suaranya memenuhi persyaratan tersebut, 2 pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali dalam pemilihan umum (putaran kedua). Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat dalam pemilihan umum. Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 3 pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang. Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang sama diperoleh oleh lebih dari 1 pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.
Pemilihan umum ini diikuti oleh dua pasang calon Presiden dan Wakil Presiden yaitu Prabowo Subianto, mantan Panglima Kostrad yang berpasangan dengan Hatta Rajasa, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian 2009-2014, serta Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2004-2009. Pada tanggal 31 Mei 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 2 pasang calon Presiden dan Wakil Presiden, serta melakukan pengundian nomor urut pada 1 Juni 2014. Berikut adalah kandidat resmi beserta nomor urutnya yang telah ditetapkan KPU.
Sebelum pemilihan umum legislatif tanggal 9 April 2014, tokoh-tokoh berikut telah terlebih dahulu menyatakan pencalonan diri sebagai calon Presiden. Setelah pemilihan umum legislatif selesai digelar, mereka mengurungkan niat setelah partainya gagal mencapai batas suara/kursi yang diperlukan agar bisa mencalonkan seorang Presiden. Beberapa di antaranya akhirnya memutuskan untuk mendukung salah satu pasangan calon resmi yang ditetapkan KPU.
Pada tanggal 23 Januari 2014, Yusril Ihza Mahendra dan Effendi Ghazali melakukan gugatan atas peraturan pengajuan calon presiden dan syarat penetapan calon presiden ke Mahkamah Konstitusi. Awalnya calon presiden diajukan oleh partai atau gabungan partai yang memenuhi syarat suara setelah pelaksanaan Pemilu legislatif. Menurut Yusril, seharusnya pengajuan ini tidak disertai ambang batas presiden (presidential threshold). Namun MK menolak sebagian gugatan, dan mengabulkan sebagian tuntutan dengan melaksanakan Pilpres dan Pileg serentak mulai 2019.
Rapimnas (Rapat Pimpinan Nasional) Golkar pada tanggal 18 Mei 2014 memutuskan untuk mengusung Aburizal Bakrie sebagai Calon Presiden ataupun Calon Wakil Presiden serta memberikan kewenangan kepada Aburizal Bakrie untuk menentukan arah kebijakan politik dan koalisi.[26] Golkar sebagai parpol yang menempati tempat kedua dalam Pileg 2014 (setelah PDIP) dengan perolehan 91 kursi (14,75%), di prediksi akan membangun poros tengah bersama partai Demokrat untuk mengimbangi kekuatan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta,[27] namun kenyataannya, ketua umum Golkar Aburizal Bakrie lebih memilih bergabung dengan koalisi Prabowo-Hatta dengan meminta jatah "Menteri Senior" sehingga bertentangan dengan hasil Rapat Pimpinan Nasional Golkar 2014. 
Keputusan Aburizal Bakrie untuk bergabung dengan Prabowo-Hatta membuat kecewa banyak kader Golkar di daerah, yang beranggapan bahwa sebagai salah satu partai pemenang Pemilu seharusnya Golkar mengajukan calon Presiden ataupun calon Wakil Presiden, namun malah tidak menjadi apa-apa. Keputusan itu juga menghancurkan impian akan terbentuknya "Poros Tengah" dan meninggalkan Partai Demokrat sebagai partai terakhir yang masih belum menentukan arah pilihan koalisi. Pada tanggal 30 Juni 2014, melalui ketua harian Partai Demokrat Syarief Hasan menyatakan siap mendukung dan memenangkan Prabowo-Hatta. 
Muhammad Jusuf Kalla yang notabene adalah kader senior dari partai Golkar dicalonkan sebagai Wakil Presiden mendampingi Joko Widodo terbukti mempengaruhi solidaritas di internal "Partai Beringin" ini. Jusuf Kalla yang mempunyai segudang pengalaman di pemerintahan mulai dari jabatan menteri hingga Wakil Presiden, mempunyai pengaruh besar terhadap simpatisan dan kader Golkar di tingkat provinsi dan daerah. Walaupun elit Golkar menyatakan dukungan resmi dan terbuka terhadap kubu Prabowo-Hatta, kenyataan berkata lain karena kader Golkar di daerah banyak yang memilih Jokowi-JK sebagai pilihan Presiden. Kuatnya sosok Jusuf Kalla karena ia sangat dihormati dan disegani di intenal partai Golkar.
Aburizal Bakrie yang memutuskan untuk bergabung dengan Prabowo-Hatta melihat Jusuf Kalla sebagai ancaman akan ketidak kompakan dan krisis solidaritas di internal partai Golkar. Konflik muncul bermula saat ia memecat 3 kader golkar yang tidak mendukung Prabowo-Hatta, mereka adalah anggota DPR dari Partai Golkar, Ketua DPP Golkar Agus Gumiwang Kartasasmita, Wakil Bendahara DPP Golkar Nusron Wahid, serta Poempida Hidayatulloh Pemecatan terhadap 3 kader muda Golkar itu merupakan awal benih perpecahan di internal partai beringin yang berakumulasi menjadi rencana pemecatan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum Golkar. Banyak internal kader Golkar yang menilai pemecatan terhadap 3 kader golkar tersebut tidak sesuai dengan AD/ART dan prosedur partai.
Sosok Aburizal Bakrie yang fenomenal dengan kasus "luapan Lumpur Lapindo" di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur merupakan beban yang harus di tanggung oleh Koalisi Merah Putih. Saat Aburizal Bakrie bergabung dalam kubu Prabowo-Hatta, masyarakat Jawa Timur enggan memberikan dukungannya kepada pasangan tersebut.[30] Berdasarkan data pemilihan legislatif 2014, kubu Prabowo Hatta diramalkan unggul di Jawa Timur dengan total 46 kursi parlemen (PKS 2 kursi; Golkar 11; Gerindra 11 kursi; Demokrat 11 kursi; PAN 7 kursi; PPP 4 kursi) dan kubu Jokowi-JK hanya 41 kursi parlemen (Nasdem 7 kursi; PKB 15 kursi; PDI Perjuangan 17 kursi; Hanura 2 kursi).[31] Berdasarkan data resmi KPU, Pasangan Jokowi-JK menang di Jawa Timur dengan perolehan 53.17%.
Partai Persatuan Pembangunan
Sebelum Koalisi Merah Putih terbentuk, Partai Persatuan Pembangunan mempunyai masalah dalam hal krisis kepemimpinan di dalam internal partai berlambang Kabah tersebut. Polemik di dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berawal dari kedatangan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali dalam kampanye akbar Partai Gerindra di Gelora Bung Karno, Senayan pada tanggal 23 Maret 2014. Kehadiran Suryadharma Ali untuk mendukung Prabowo adalah keputusan sepihak tanpa melalui prosedur parpol, sehingga menimbulkan polemik di lapisan bawah kader PPP di mana Prabowo tidak masuk dalam satu di antara delapan bakal capres yang ditetapkan dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) II PPP di Bandung. 
Atas sikap tersebut, sebanyak 27 dewan pimpinan wilayah (DPW) PPP mendesak agar Suryadharma segera dijatuhi sanksi, mulai dari pemberhentian sementara hingga pemecatan. Pengurus wilayah PPP protes lantaran sikap Suryadharma itu dianggap melecehkan usaha yang tengah dibangun kader di akar rumput di mana saat para kader PPP berjuang untuk memenangkan PPP, Suryadharma justru membelot ke partai lain. Atas desakan tersebut, Suryadharma memecat Waketum PPP dan empat Ketua DPW, yaitu Suharso Monoarfa dari jabatan Wakil Ketua Umum PPP, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PPP Jawa Barat Rachmat Yasin, Ketua DPW Jawa Timur Musyaffa Noer, Ketua DPW Sumatera Utara Fadli Nursal, Ketua DPW Sulawesi Selatan Amir Uskara, dan Sekretaris DPW Kalimantan Tengah Awaludin Noor. 
Setelah pemecatan dilontarkan oleh Suryadharma Ali, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terbagi menjadi dua kubu yakni kubu yang mendukung keputusan Suryadharma Ali untuk menjalin koalisi dengan Prabowo dan kubu yang menentang. Internal PPP menganggap bahwa Suryadharma Ali telah bertindak otoriter dengan memecat kader tanpa prosedur yang jelas dan membuat arah koalisi tanpa melalui proses rapimnas. Wakil Ketua Umum PPP Emron Pangkapi menjelaskan PPP merupakan sebuah partai yang memiliki aturan dan konstitusinya sendiri. Menurutnya, tidak ada seorang pun di dalam partai yang bisa menempatkan dirinya di atas aturan dan konstitusi tersebut. 
Rapat Pimpinan Nasional (rapimnas) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berakhir Minggu pada tanggal 20 April 2014 dini hari memutuskan untuk memberhentikan sementara Suryadharma Ali dari jabatannya sebagai Ketua Umum DPP PPP. Alasan pemberhentian Suryadharma karena dia tidak bersedia menghadiri Rapimnas. 
Pada tanggal 24 April 2014, Partai Persatuan Pembangunan mengadakan Musyawarah Kerja Nasional III (Mukernas III) PPP di Hotel Seruni, Cisarua, Bogor. Suryadharma Ali tidak disambut oleh para petinggi PPP yang sudah berada di meja pimpinan rapat. Tak terdengar juga ada tepuk tangan atau antusiasme dari para peserta. Wakil Ketua Umum PPP Emron Pangkapi, yang dalam mukernas ini didaulat sebagai pelaksana tugas ketua umum sekaligus penyelenggara mukernas. Emron terlihat mendapatkan sambutan yang berbeda. Saat masuk ke ruang mukernas, Emron terlihat langsung disambut tepuk tangan para peserta. Dia juga langsung dipersilakan untuk naik ke meja pimpinan rapat.[39] Dalam pertermuan itu Kubu Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali dan kubu Sekretaris Jenderal PPP Romahurmuziy alias Romy kembali bersepakat untuk melakukan islah. Dalam kesempatan itu, Suryadharma Ali mengungkapkan permintaan maafnya kepada semua kader PPP yang hadir dalam Mukernas dan kepada mayarakat atas kisruh yang terjadi di internal PPP. Ia mengaku salah karena telah melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai. Namun jabatan ketua umum Suryadharma Ali di persingkat dan akan berakhir pada Oktober 2015.
Pada tanggal 12 Mei 2014, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melaksanakan rapat pimpinan nasional yang akhirnya resmi memutuskan arah koalisinya ke Prabowo Subianto. Keputusan koalisi PPP ke Prabowo dilakukan secara musyawarah mufakat yang melibatkan 33 Dewan Pimpinan Wilayah PPP seluruh Indonesia. 
Pada masa kampanye pemilihan Presiden 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait penyelenggaraan haji di Kementerian Agama tahun anggaran 2012-2013. Sebelumnya, bakal calon presiden dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto, memuji kinerja Suryadharma sebagai Menteri Agama. Prabowo menilai, penyelenggaraan ibadah haji yang dilakukan oleh Kementerian Agama setiap tahunnya sudah sangat baik.
Partai Demokrat
Partai Demokrat merupakan partai pemenang pemilu 2009 di mana Partai Demokrat mengantongi 20,85% suara atau 150 anggota legislatif, akan tetapi pada pemilihan legislatif 2014, Demokrat hanya mampu mengantongi 10,19% suara atau 61 anggota legislatif. Suara partai demokrat berguguran di setiap lini lumbung suara Demokrat, akibatnya partai Demokrat tidak mampu mengajukan calon presiden tetapi harus berkoalisi dengan partai lain untuk mengajukan capres.
SBY yang kala itu menjabat sebagai ketua umum demokrat menyatakan akan bersikap netral atau tidak akan bergabung secara formal dengan kubu capres Jokowi atau kubu capres Prabowo dalam pemilu presiden nanti, namun SBY meminta kepada kader Demokrat untuk tidak golput. Pernyataan resmi Partai Demokrat ini sesuai dengan hasil Rapimnas Partai Demokrat pada 17 Mei 2014 lalu, di mana Demokrat akan bersikap netral dalam pemilu presiden Juli nanti. 
Demokrat gagal membentuk poros baru lantaran perolehan suara di pemilu legislatif hanya sekitar 10 persen, sehingga konvensi partai Demokrat untuk mengusung calon Presiden menjadi tidak relevan. Partai Demokrat kemudian berusaha membuka wacana untuk membangun poros tengah bersama partai Golkar demi mengimbangi kekuatan Jokowi-JK ataupun Prabowo-Hatta, namun keinginan itu harus kandas di tengah jalan karena Demokrat ditinggalkan partai Golkar yang lebih memilih menerima tawaran "Menteri Senior" dari kubu Prabowo-Hatta. Ini berakibat pada partai Demokrat menjadi partai terakhir yang belum menentukan sikap akan arah pilihan politik.
Dukungan informil partai Demokrat terhadap Prabowo-Hatta mengalir saat Pasangan capres-cawapres dari koalisi Merah Putih Prabowo-Hatta memaparkan visi misinya di depan elite dan kader Partai Demokrat di Hotel Sahid Jaya, Bogor. Akan tetapi SBY tidak hadir dalam acara tersebut demi menjaga netralitas sebagai seorang Presiden.


(HUKUM A/01)


Minggu, 27 Mei 2018

(Fekon08 - 171310574) PILKADA SERENTAK 2018

Berlalu sudah momen ketika pengurus partai politik daerah berbondong-bondong ke Jakarta meminta "restu" dan rekomendasi dewan pimpinan pusat bagi pasangan calon yang diusung dalam pilkada. Ada yang berhasil, tidak sedikit yang gigit jari. Gambar besar seperti apa yang kita tangkap dari fenomena pilkada serentak 2018?

Pilkada serentak 2018 yang diselenggarakan di 171 daerah (17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota) tampaknya lebih menarik ketimbang pilkada serentak 2017. Dinamika pilkada serentak setahun yang lalu tenggelam lantaran didominasi ingar- bingar pemilihan gubernur Jakarta yang diwarnai isu serta sentimen berbasis SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Begitu ramai pemberitaan dan perbincangan masyarakat terkait tarik-menarik pasangan calon (paslon) dalam Pilgub Jakarta sehingga seolah-olah Pilkada 2017 hanya berlangsung di ibu kota negara. Padahal, saat yang sama, pilkada berlangsung secara serentak di 101 daerah yang mencakup 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota di Indonesia.

Berbeda dengan Pilkada 2017 yang cenderung terpusat pada Pilgub Jakarta, suasana persaingan sudah tampak mencolok di sejumlah daerah dalam Pilkada 2018, baik di Jawa maupun luar Jawa. Kompetisi yang sangat ketat sekurang-kurangnya berlangsung di lima provinsi utama, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Ini menarik karena lima provinsi tersebut secara berurutan memiliki jumlah pemilih terbanyak, total mencapai 108,2 juta pemilih atau sekitar 67 persen dari sekitar 160,7 juta pemilih dalam Pilkada 2018. Secara teori, kemampuan parpol atau koalisi parpol memenangi pilkada di lima provinsi tersebut diperkirakan berpeluang pula memenangi kompetisi Pilpres 2019.

Koalisi partai "tiga sekawan"

Walaupun demikian, tidak mudah menemukan adanya semacam "pola" koalisi atau kerja sama antarparpol dalam mengusung paslon pilkada. Apalagi jika pola yang dimaksud mencakup peta koalisi di 171 daerah, suatu pekerjaan yang hampir mustahil. Peta koalisi politik yang terbentuk bukan hanya berbeda antara satu daerah dan daerah lainnya, melainkan juga sangat beragam. Partai politik yang saling "bermusuhan" di tingkat nasional justru bisa saling bekerja sama dan bergandengan tangan di tingkat daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota.

Tidak mengherankan jika Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan bisa saling berkoalisi dengan Partai Demokrat dalam mengusung Ganjar Pranowo-Taj Yasin sebagai calon gubernur-cawagub Jateng. Hal yang sama terjadi di Jawa Timur ketika koalisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan PDI-P yang mengusung pasangan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno akhirnya turut didukung Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Satu-satunya kerja sama antarpartai yang relatif terpola adalah koalisi segitiga antara Gerindra, PKS, dan Partai Amanat Nasional (PAN) di lima daerah, yakni Jabar, Jateng, Sumut, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara. Arah koalisi partai "tiga sekawan" ini tidak semata-mata dalam rangka saling mendukung dalam pilkada, tetapi juga dalam upaya penjajakan koalisi pengusungan Prabowo Subianto sebagai calon presiden 2019.

Sudah tentu tidak ada yang salah dengan hal itu. Apalagi hingga saat ini satu-satunya pesaing signifikan Jokowi pada pilpres mendatang hanyalah Prabowo Subianto. Ketua umum sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu pula satu-satunya figur yang selalu berada di peringkat kedua semua hasil survei terkait elektabilitas capres 2019.

Hanya saja sejauh mana koalisi Gerindra, PKS, dan PAN tersebut memberi insentif perluasan basis dukungan bagi Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019 masih jadi pertanyaan besar. Persoalannya bukan semata-mata pada fakta bahwa koalisi politik bersifat cair, melainkan juga karena basis koalisi yang tidak ideologis dan lebih berorientasi jangka pendek.

Dari lima provinsi dengan pemilih terbanyak di atas, koalisi Gerindra, PKS, dan PAN hanya kokoh di Jateng dan Sumut. Di Jabar, PAN mendukung Sudrajat-Syaikhu "setengah hati" karena sebelumnya bersama-sama PKS sudah telanjur mengikat komitmen dengan Deddy Mizwar. Wagub Jabar ini akhirnya masuk Partai Demokrat dan diusung menjadi cagub bersama-sama dengan cawagub Dedi Mulyadi oleh Demokrat dan Partai Golkar.

Di Jatim, Gerindra dan PKS yang mendukung Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno justru berpisah jalan dengan PAN yang mengusung Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak. Sementara di Sulsel, Gerindra yang mendukung Agus Arifin Nu'mang-Tanribali Lamo berbeda pilihan dengan PKS dan PAN yang turut mengusung Nurdin Abdullah-Andi Sudirman Sulaiman bersama-sama dengan PDI-P.

Kegagalan kaderisasi

Fenomena lain yang tertangkap cukup kuat di balik hiruk pikuk Pilkada 2018 adalah kecenderungan sebagian partai politik mempromosikan figur di luar kader mereka sendiri. Tokoh-tokoh nonkader ini cukup beragam, mulai dari tentara, polisi, petahana dari parpol berbeda, birokrat, hingga tokoh agama dan artis. Sekadar contoh, PDI-P sekurang-kurang mengusung empat purnawirawan jenderal sebagai cagub dan cawagub (di Jabar, Maluku, dan Kaltim), baik yang berasal dari TNI maupun Polri. Gerindra setidak-tidaknya mencalonkan tiga purnawirawan jenderal TNI untuk cagub dan cawagub, yakni di Jabar, Sumut, dan Sulsel.

Di Sumut, Partai Nasdem justru mengusung kandidat dari partai lain, padahal petahana, yakni Tengku Erry Nuradi yang telah berpengalaman memimpin Sumut, bukan hanya kader, melainkan juga Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Nasdem setempat. Tidak ada penjelasan yang paling masuk akal di balik realitas politik seperti ini kecuali kegagalan kaderisasi parpol itu sendiri di satu pihak dan semakin kentalnya pragmatisme politik partai-partai di lain pihak.

Kegagalan kaderisasi parpol  ini pula yang menjelaskan meningkatnya jumlah pasangan calon tunggal dalam Pilkada 2018. Hingga pendaftaran paslon peserta pilkada ditutup, paling tidak terdapat 13 pasangan calon tunggal peserta Pilkada 2018, meningkat dari 3 pasangan calon tunggal pada pilkada serentak 2015 dan 9 pasangan calon tunggal dalam pilkada serentak 2017.

Selain faktor kaderisasi, maraknya paslon tunggal dalam pilkada tampaknya juga terkait dengan semakin tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan kandidat jika ingin diusung oleh parpol atau koalisi parpol. Pada saat yang sama, paslon petahana yang memiliki elektabilitas tinggi dan/atau memiliki dukungan dana yang besar memborong dukungan partai agar peluang menang—lantaran jadi paslon tunggal—menjadi lebih besar lagi.

Mahar yang semakin mahal

Salah satu persoalan besar di balik skema pilkada secara langsung yang digelar sejak 2005 adalah sistem pencalonan pilkada yang masih tersentralisasi pada pimpinan pusat partai di Jakarta. Semua kandidat alias paslon yang diusung oleh suatu parpol di daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota, harus memperoleh surat rekomendasi pimpinan pusat partai serta ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal partai. KPU di semua tingkat akan menolak paslon yang diusung suatu partai jika belum disertai surat rekomendasi tersebut.

Dampak dari proses penentuan kandidat seperti ini adalah munculnya ketergantungan pengurus wilayah dan cabang partai kepada pengurus pusat. Lebih jauh lagi, ketergantungan pengurus daerah yang tinggi terhadap pengurus pusat melahirkan peluang jual-beli dukungan, restu, dan tentu saja surat rekomendasi atau populer dengan sebutan "rekom". Akhirnya rekom inilah yang diburu oleh para pengurus daerah dan tokoh-tokoh yang berminat maju sebagai kandidat dalam pilkada.

Mereka, para pengurus daerah dan tokoh yang mau maju tersebut, diduga kuat membanjiri Jakarta pada Desember 2017 untuk memburu rekom DPP suatu parpol. Sudah bisa diduga pula, puluhan dan bahkan mungkin ratusan kantong uang tunai berpindah tangan dari orang daerah ke "oknum" pengurus atau pimpinan partai di Jakarta.

Fenomena ini melahirkan istilah "mahar politik", yakni semacam ongkos politik bagi paslon jika ingin dapat rekomendasi dari partai untuk berlaga di pilkada. Karena itu, pernyataan terbuka La Nyalla Mattalitti yang mengaku "diperas" puluhan miliar rupiah oleh suatu parpol dalam rangka keinginannya jadi kandidat dalam Pilgub Jatim hanyalah puncak gunung es dari begitu dalam, parah, dan rusak fenomena mahar dan politik uang di balik ingar-bingar perayaan pilkada.

Seorang pengurus partai pernah bercerita bahwa harga rekom ini bisa berbeda-beda, bergantung pada potensi ekonomi suatu daerah dan kelayakan sang kandidat. Harga rekom bagi wilayah atau daerah yang strategis serta potensial secara ekonomi lebih mahal daripada daerah-daerah yang "kering".

Begitu pula harga rekom bagi figur-figur nonkader serta kurang layak secara elektoral lebih mahal daripada mereka yang berstatus sebagai kader dan dianggap memiliki potensi elektabilitas tinggi. Jika calon adalah figur publik yang populer, kader partai, dan memiliki potensi elektoral tinggi, acap kali partai tidak meminta mahar, tetapi hanya "sekadar" biaya politik untuk promosi, sosialisasi, dan kampanye.

Dampak paling serius dari makin mahalnya mahar politik adalah terbentuknya pemerintahan hasil pilkada yang korup dan transaksional. Biaya politik miliaran rupiah yang dikeluarkan para paslon, sebagian dengan cara ijon kepada pemodal, hampir mustahil dikembalikan dengan mengandalkan gaji sebagai kepala daerah. Satu-satunya cara adalah mengorbankan kepentingan publik, yakni  membiarkan proyek-proyek pembangunan yang dibiayai APBD jadi lahan bancakan para pengusaha yang membiayai mereka dalam pilkada. Akhirnya, rakyat tak lebih dari angka-angka elektoral yang hanya bisa merajut harapan dan meraih mimpi dari pilkada yang satu ke pilkada berikutnya.

Dari ratusan pilkada tahun depan, 17 di antaranya merupakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, dan sebelas di antaranya akan menghasilkan pemimpin baru karena tak diikuti petahana.

Pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, menyebut para kepala daerah tingkat kabupaten dan kotamadya yang selama ini disebut berprestasi memiliki kans besar memenangkan pilkada tingkat provinsi.

"Ada tren baru yang dimulai sejak era Jokowi, masyarakat mementingkan kemampuan mengelola pemerintahan dari skala kecil, kabupaten, provinsi hingga nasional Salah satu kunci Jokowi memenangkan pemilihan presiden tahun 2014, menurut Hamdi, terletak pada rekam jejak memimpin Surakarta dan DKI Jakarta.

"Ukuran memilih adalah pengalaman sang calon memimpin birokrasi. Orang menyebutnya The Jokowi's ways," ujarnya.

Hamdi mengatakan, ilmu politik menyebut fenomena tersebut dengan istilah meritokrasi. Ia berkata, tren itu positif bagi perpolitikan nasional karena akan menggerus oligarki yang mendorong calon kepala daerah bertarung dengan modal uang atau kedekatan dengan penguasa.

Di sisi lain, kata Hamdi, tren itu belum sepenuhnya muncul di berbagai daerah di Indonesia. "Di beberapa tempat, pemilihan masih didasarkan pada faktor di luar itu, misalnya sentimen agama atau kesukuan, putra daerah dan pendatang. Berdasarkan catatan BBC Indonesia, dari 34 gubernur aktif saat ini, 19 di antaranya pernah memimpin wilayah administrasi tingkat dua, kabupaten atau kotamadya.

Sementara itu, hanya sembilan dari 34 wakil gubernur aktif yang pernah menjadi bupati atau wali kota.

Hingga saat ini, sejumlah kepala daerah tingkat dua 'berprestasi dan berintegritas' telah mendeklarasikan diri dan mendapatkan dukungan partai politik untuk bertarung pada pilkada tingkat provinsi tahun 2018.

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil misalnya, telah diusung Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai NasDem menjadi calon gubernur (cagub) Jawa Barat.

Adapun, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah dan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas akan diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menjadi cagub Sulawesi Selatan dan cawagub Jawa Timur.

Ridwan, Nurdin, dan Azwar Anas pernah meraih penghargaan kepala daerah berintegritas dan berprestasi dari Tempo.

Ketiganya juga pernah dianugerahi titel terbaik berkait capaian pemerintahan mereka di sektor pertumbuhan ekonomi, pengelolaan keuangan daerah, dan indeks pembangunan manusia.

Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, menyebut partai politik mengusung kepala daerah berprestasi untuk menyiasati sistem kaderisasi yang jalan di tempat.

Menurutnya, sosok seperti Ridwan, Nurdin atau Azwar Anas tak dapat disebut sebagai hasil kaderisasi internal partai politik. "Mereka berprestasi kNamun, Arie mengatakan, publik tidak semestinya memilih calon kepala daerah berdasarkan pengalaman memimpin pemerintahan. "Yang penting komitmen dan kredibilitas. Tidak harus pernah memegang jabatan," ujarnya.

Hamdi Muluk menuturkan, pengalaman memimpin daerah tidak menjamin 100% keberhasilan atau integritas seorang gubernur, bupati, atau wali kota.

"Ada yang sudah pernah dua kali menjadi bupati, tapi catatan buruknya banyak dan malah masuk penjara," ujarnya.

arena pengalaman atau kreativitas personal," kata Arie. Hingga Oktober 2016, setidaknya 17 gubernur telah divonis bersalah dalam perkara korupsi yang ditindak KPK. Dua gubernur terakhir yang dijerat KPK dengan status tersangka adalah Ridwan Mukti (Bengkulu) dan Nur Alam (Sulawesi Tenggara).

Ridwan Mukti yang memenangkan Pilkada Bengkulu tahun 2016 sebelumnya menjabat Bupati Musi Rawas selama dua periode. Tersangkut kasus dugaan suap proyek pembangunan jalan, Juni lalu Ridwan mundur sebagai gubernur.

Adapun, Nur Alam yang berstatus tersangka kasus dugaan suap penerbitan izin sektor sumber daya alam sebelumnya berkarier sebagai wakil ketua DPRD Sultra.

Pasal 7 pada UU 10/2016 tentang Pilkada memuat 19 syarat yang harus dipenuhi calon kepala daerah. Syarat itu mengatur batasan pendidikan, usia, dan status hukum yang tak boleh dilanggar.

Arie Sudjito menyebut beleid itu tak mengatur rekam jejak karier yang harus dipenuhi calon kepala daerah. Alasannya, kata dia, setiap orang dengan beragam latar belakang pekerjaan boleh menjadi pemimpin daerah.

"Kepala daerah adalah jabatan politik," kata Arie.

Sesuai kalender yang telah ditentukan Komisi Pemilihan Umum, Pilkada 2018 akan digelar pada tanggal 27 Juni. Di tingkat provinsi, pilkada itu akan digelar, antara lain, di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, dan Papua.

"Pilkada 2018 itu adalah stepping stone kepada pemilu 2019, sebagai batu loncatan ke sana. Mudah-mudahan bisa terpelihara sampai 2019, suatu hal yang kami harapkan."

Soliditas koalisi dimulai sejak pilgub DKI Jakarta 2017 lalu, ketika PKS, Gerindra dan PAN sama-sama mengusung Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang kini menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.


Kamis, 24 Mei 2018

(Fekon08-171310011)-Ujaran Kebencian Penghambat Demokrasi Era Reformasi

​​
Ujaran Kebencian Penghambat Demokrasi Era Reformasi

Wajah Indonesia dinodai coreng kebencian. Ungkapan dan celotehan sarat permusuhan acap kali dilontarkan seseorang atau kelompok tertentu kepada mereka yang tak sepandangan. Kasus ujaran kebencian (hate speech) pun tak jua surut, malah cenderung meningkat.

Sejak era reformasi 1998, keran menyampaikan pendapat semakin terbuka lebar. Reformasi menjadi suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Kebebasan berpendapat pada era reformasi ini bagai dua mata pisau. Disatu sisi masyarakat menjadi kritis, responsif, dan terjamin kebebasannya dalam berekspresi. Namun di sisi lain begitu banyak yang seenaknya mengkritisi tanpa data yang pasti.

Pertanyaan yang cukup menggelitik, apakah kebebasan dalam era reformasi ini berarti bebas tanpa batas?. John Stuart Mill dalam On Liberty mengatakan bahwa argumen apapun harus diberi kebebasan dan didorong hingga batas nalar logika, bukan batas emosional atau moral. Namun Mill juga mengenalkan prinsip kerusakan yang dapat membatasi kebebasan berargumen. Apa maksudnya? Diskusi rasional tanpa kekangan memang menjadi tulang punggung demokrasi era reformasi, namun ketika ujaran tersebut ternyata dianggap menimbulkan lebih banyak kerusakan daripada manfaat, ia tidak lagi perlu dilindungi.

Di Indonesia, ujaran yang menimbulkan kerusakan lebih kita kenal dengan istilah ujaran kebencian (hate speech). Dengan dalih kebebasan berpendapat, ada beberapa individu bahkan kelompok yang mengumbar narasi kebencian diruang publik, baik offline maupun online. Ironisnya, hal ini dianggap sebagai sebuah kewajaran dan santer dibagikan melalui media sosial.

Sudah saatnya kita memahami bahwa ujaran kebencian dapat menimbulkan efek yang negatif. Menanam bibit buruk tentu akan berbuah buruk pula. Pada kehidupan bermasyarakat ujaran kebencian berpotensi menimbulkan konflik dan kekerasan. Betapa banyak kasus perang antar saudara, suku, agama akibat tajamnya mulut. Dan tidak sedikit yang berakibat harus terjerat kasus pidana. Kemudian dalam ranah yang lebih luas, ujaran kebencian merupakan pemicu munculnya gerakan radikalisme dan terorisme.

Menyadari bahaya yang ditimbulkan, sudah saatnya kita bergegas untuk turut andil. Bagaimana caranya? Tentu diawali dengan pemahaman bahwa antara kritik dan ujaran kebencian adalah hal yang berbeda. Jangan sampai kita terjebak membenci seseorang akibat tersebarnya isu atau data yang belum pasti kebenarannya. Kritik dalam ranah kebebasan berpendapat yang benar adalah berlandaskan fakta dan data serta disampaikan secara santun dan membangun.

Selanjutnya perlu kita kampanyekan gerakan hari bebas dari kebencian, baik diruang nyata maupun ruang maya. Kita bisa namai ini dengan "Hate Free Day". Diruang nyata dapat diwujudkan dengan membiasakan berbicara secara santun, penuh kasih sayang. Jalin kembali silaturahmi dengan saudara, bicaralah dengan mereka secara tatap muka. Sedangkan diruang maya, posting quote tentang indahnya perdamaian, kasih sayang, kalau bisa buat hal ini hingga menjadi viral dan poin terpentingnya adalah selalu kita ingat bahwa ujaran kebencian berbeda dengan kritik. Ujaran kebencian hanya akan menghambat proses demokrasi di era reformasi.

Tahun 2015 misalnya, sekelompok penggemar klub sepak bola Persija (Jakmania) bertikai dengan kelompok pendukung Persib (Bobotoh) pada ajang Piala Presiden 2015. Kala itu, Persija sudah tereliminasi di penyisihan. Ujaran kebencian merebak ketika Bobotoh melempar tagar #MakanyaMasukFinal. Tagar tersebut lantas dibalas oleh Jakmania dengan #KatanyaMilitan --maksud hati menyindir Bobotoh yang berangkat ke Jakarta dengan bantuan transportasi dari Ridwan Kamil. Tak berhenti sampai tagar #KatanyaMilitan, JakMania kembali melontar tagar #TolakPersibMainDiJakarta yang membuat api emosi tersulut makin besar.

Ujaran kebencian yang wara-wiri di media sosial itu lantas berujung pada rusuhnya Piala Presiden. Kedua kelompok pendukung saling tendang-serang. Sebanyak 30 orang lebih terluka, termasuk polisi, suporter, dan sopir bis. Ujaran kebencian sesungguhnya sudah mendapat perhatian sejak 2011, hingga akhirnya pada 8 Oktober 2015, surat edaran bernomor SE/6/X/2015 dikeluarkan dan kemudian dikirimkan ke seluruh kepolisian sektor dan resor di Indonesia.

Surat Edaran Kapolri SE/6/X/2015

Surat edaran tersebut menyebutkan bahwa ujaran kebencian adalah segala tindak tanduk dalam bentuk penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, hasutan, serta penyebaran berita bohong yang memiliki tujuan dan bisa membuahkan tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, hingga konflik sosial.

Ujaran kebencian ditujukan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/ kelompok tertentu seperti suku, agama, aliran kepercayaan, keyakinan, ras, golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual. Ujaran kebencian bisa melalui beragam media seperti spanduk, orasi, unggahan media sosial, demonstrasi, ceramah keagamaan, media massa, hingga pamflet.

Surat edaran tersebut sesungguhnya telah melalui beberapa kajian terdahulu yang didasarkan pada deretan kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia seperti peristiwa Sampang, Cikeusik, Tolikara, dan Aceh Singkil. Konteks yang melatarbelakangi penerbitan surat edaran tersebut menjadi dasar tegas untuk meminimalisasi hingga menihilkan ujaran kebencian yang mampu menyulut dampak sosial yang besar dan merugikan. Namun, surat edaran tersebut menuai pro-kontra, antara lain disebut sebagai salah satu bentuk pengekangan pemerintah terhadap kebebasan berpendapat, terutama ihwal kritik pemerintah. Padahal, ujaran kebencian dan kebebasan berbicara tentu memiliki tujuan dan dampak berbeda.

"Hate speech is not free speech," kata Senior Program Officer for Human Rights and Democracy International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Mugiyanto Sipin, kepada kumparan (kumparan.com) di Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Senin (15/5).

Ujaran kebencian (hate speech) dan kebebasan berbicara (free speech) sering kali susah dibedakan, lebih tepatnya dicampuradukkan. Banyak pelaku ujaran kebencian yang lantas berlindung di balik justifikasi kebebasan bicara. Padahal, keduanya jelas berbeda dan memiliki dampak berbeda pula.

 

Contoh lain adalah Hoax, tidak semua hoaks mengandung ajaran kebencian. Namun, ujaran kebencian dapat dipastikan mengandung kebohongan/penipuan. Mengapa? Menilai segala tindakan manusia berdasarkan identitas sosialnya jelas akan menghasilkan cara pandang yang bias, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan baik secara etis maupun secara ilmiah. Cara pandang ini didasarkan atas asumsi/pra

​-
anggapan bahwa segala tindakan manusia sepenuhnya dilatarbelakangi oleh identitas sosialnya.

 

Cara pandang ini menghasilkan apa yang kemudian dikenal dengan stereo type tentang manusia ataupun kelompok sosial berdasarkan identitas sosialnya. Manusia yang memiliki ras X pasti kriminal atau manusia yang memiliki ras Y adalah baik/mulia adalah sekadar ilustrasi sikap yang menggambarkan stereo type ini. Keyakinan ini didasarkan atas asumsi bahwa identitas sosial manusia merupakan sebuah kepastian absolut yang akan menentukan segala tindakannya. Dalam konteks ini, xenophobia (ketakutan terhadap sesuatu yang asing) dapat dimasukkan ke dalam cara pandang ini. Pandangan xenophobia berangkat dari anggapan bahwa segala sesuatu yang asing pasti merupakan ancaman atau jahat.

 

Masyarakat beradab jelas mengutuk cara pandang ataupun tindakan yang mengkonstruksi manusia melalui kerangka kebencian ataupun sentimen. Sejarah membuktikan bahwa di masa lalu cara pandang ini pernah menjelma menjadi mesin pembunuh manusia di tangan Partai Nazi di Jerman (1933-1945). Lebih dari enam juta manusia tewas di sejumlah 

K
amp
konsentrasi yang dibangun rezim Nazi
​.​
J
erman di era kekuasaan rezim Partai Nazi merupakan contoh paling menonjol dari sentimen kebencian rasial.

 

Munculnya kesadaran tentang bahaya yang muncul dari kebencian rasial itulah yang melatarbelakangi lahirrnya sejumlah deklarasi, konvenan ataupun konvensi internasional yang disponsori oleh PBB yang mengutuk segala bentuk kebencian & diskriminasi sosial pada era pasca Perang Dunia II. Dalam perkembangannya, tolakan terhadap segala bentuk kebencian rasial makin meluas cakupannya. Kebencian sosial yang dibangun atas dasar agama, asal-usul bangsa dan gender (jenis kelamin) juga ditolak oleh berbagai konvensi PBB.

 

Berikut sejumlah aturan yang mengatur ihwal ujaran kebencian di Indonesia:

1. Pasal 156 KUHP

Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2. Ayat (1) Pasal 157 KUHP

Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

3. Pasal 310 ayat (1), (2) dan (3) KUHP

1)      Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2)      Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempel di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

3)       Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

4. Pasal 311 KUHP ayat (1)

Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam  melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Aturan-aturan tersebut memberi batasan guna mengatur setiap kata yang keluar dari mulut rakyat. Sayangnya, tak ada distingsi jelas yang dicantumkan dalam hukum tersebut. Tak ada variabel jelas yang digunakan untuk mengategorikan apa yang dianggap sebagai ujaran kebencian dan kebebasan bicara.

Tak berbeda jauh dengan polemik yang dihadirkan oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengandung banyak pasal karet, pasal yang mengatur tentang ujaran kebencian pun kerap kali terlalu licin."Sekali lagi, hate speech is not free speech. Itu sudah mesti tegas. Ketika aku bilang, "Bunuh dia!" atau "Dia kafir" dan kafir di kepala orang itu adalah halal darahnya, nah itu sudah hate speech, karena mengandung seruan atau ajakan untuk bertindak. Itu sudah bukan free speech," kata Mugi.

Ujaran kebencian menjadi salah satu kasus yang mendapat perhatian besar dan perlu diusut hingga tuntas. Pasalnya, ujaran kebencian bisa berdampak besar bagi sebuah sistem masyarakat, dimulai dari seruan berpotensi menjadi perang horizontal. Salah satu kasus ujaran kebencian yang berdampak besar di Indonesia adalah ketika suku Madura dan Dayak berseteru dalam konflik Sampit. Konflik muncul saat terlontar seruan "sapi" dari salah satu suku kepada suku lainnya. Hal itu memicu kemarahan dan berakhir aksi saling serang kedua suku.

Ujaran kebencian tak berhenti di situ, tapi menjalar ke jagat maya. Tahun 2016, ujaran kebencian menjadi salah satu kasus yang paling banyak dilaporkan. Setahun sebelumnya, 2015, terdapat 670 laporan ujaran kebencian, dan masih banyak pula yang tak dilaporkan. Dari 670 kasus yang masuk, kepolisian baru berhasil menyintas sekitar 200 kasus.

​ ​
Terlebih, kini teknologi internet yang membawa percakapan dan diskusi ke ranah tak berjarak, dapat dengan mudah mengeliminasi pemikiran yang tak sesuai dengan narasi dominan yang beredar dalam grup masing-masing orang.

Dalam bukunya, Political Communication Ethics: An Oxymoron, Robert Denton menyebutkan pada dasarnya internet bersifat anti-dialektis. Premis ini menjelaskan bagaimana proses diskusi dan pembentukan wacana akan dengan mudah disetir oleh sebagian pihak yang dominan, sehingga kelompok kecil akan dengan mudah dihilangkan ketika  ia tak turut dalam wacana dominan.Premis ini dengan mudah ditemukan dalam ranah online messenger seperti WhatsApp. Tinggal "leave group" atau "delete member" ketika ada satu atau dua orang yang pemikirannya dirasa tak sesuai dengan mayoritas.

Tak jarang, ujaran kebencian beredar cepat dari grup ke grup, entah dalam rupa meme maupun pesan panjang yang "tidak boleh putus di tanganmu." Kemudahan untuk mengeliminasi perbedaan menjadi lingkungan subur untuk memarakkan ujaran kebencian. Pada 2016, ujaran kebencian yang beredar dalam bentuk pesan daring meningkat hingga setidaknya 200 persen. Ujaran kebencian berbalut kebebasan berbicara yang ibarat serigala berbulu domba, menjelma jadi salah satu tantangan terbesar era Reformasi.

Aktivis reformasi '98 Adian Napitupulu mengatakan bahwa demokrasi di era reformasi telah dinodai diskriminasi. Ia menganggap cara-cara menggunakan isu SARA yang dipakai oleh beberapa politikus dalam memperebutkan kekuasaan saat ini sama persis ketika saat Orde Baru (Orba) berkuasa. "Memang sejak dulu Orba pertahankan kekuasaannya dengan SARA," kata Adian dalam closing statement penutupan Peringatan 19 Tahun Reformasi yang diselenggarakan oleh Pena '98 di Taman Ismail Marzuki pada Senin (15/5) malam. Ia menyayangkan perilaku semacam ini muncul kembali di era reformasi. Menurutnya, hal ini telah membuat demokrasi yang selama ini diperjuangkan dengan darah menjadi ternodai karena menyisipkan diskriminasi di dalam demokrasi tersebut.

Padahal jelas, demokrasi tidak bisa dibangun di atas diskriminasi atas nama apapun. "Kebebasan itu harus dimaknai sebagai kebebasan yang digunakan untuk membangun demokrasi. Dan demokrasi

​ ​
tidak​
bisa dibangun di atas diskriminasi atas nama apapun, baik suku, agama atau kemampuan ekonomi." Maka dari itu ia meminta semua masyarakat Indonesia untuk berani melawan. Melawan demokrasi yang dijadikan alat oleh para petinggi Orba yang mulai kembali untuk mendiskriminasi masyarakat Indonesia. "Harus dilawan! Mau sesulit apapun dan sekuat apapun musuh, kita lawan," tegas Adian.

Segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum (Pasal 20 Ayat 2 Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik).

Setiap penyebarluasan gagasan berdasarkan keunggulan atau kebencian terhadap ras tertentu, hasutan ke arah diskriminasi ras maupun semua tindak kekerasan atau hasutan untuk melakukan tindakan semacam itu terhadap ras atau kelompok orang dengan warna kulit atau asal bangsa yang berbeda, dan juga pemberian bantuan bagi kegiatan-kegiatan rasis, termasuk bantuan keuangan, adalah kejahatan yang dapat dituntut secara hukum (Pasal 4 huruf a Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial)
​.


Na

​m​
a
​ ​
: Anggini Kartika Sari

​Nim​   : 171310011

Kelas : 08 Manajemen Malam

Selasa, 22 Mei 2018

Tugas Ham Dan Terorisme (Ramadansyah 171710725)


Ham Dan Terorisme

 

Dalam pengertiannya Hak Asasi Manusia (HAM) menurut definisi para ahli mengatakan, Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. sedangkan pengertian HAM menurut perserikatan bangsa-bangsa (PBB) adalah hak yang melekat dengan kemanusiaan kita sendiri, yang tanpa hak itu kita mustahil hidup sebagai manusia. Secara umum Hak Asasi Manusia sering sekali terdengar di telinga kita tentang Pelanggaran-pelanggaran HAM yang membuat kita prihatin tentang semua yang terjadi, sehingga perlunya kita tahu lebih jelas tentang hak asasi manusia seperti dibawah ini..

Dari pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) dapat disimpulkan bahwa sebagai anugerah dari Tuhan terhadap makhluknya, hak asasi tidak boleh dijauhkan atau dipisahkan dari dipisahkan dari eksistensi pribadi individu atau manusia tersebut. Hak asasi tidak bisa dilepas dengan kekuasaan atau dengan hal-hal lainnya, Bila itu sampai terjadi akan memberikan dampak kepada manusia yakni manusia akan kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan. 

Walapun demikian, bukan berarti bahwa perwujudan hak asasi manusia dapat dilaksanakan secara mutlak karena dapat melanggar hak asasi orang lain. Memperjuangkan hak sendiri sembari mengabaikan hak orang lain merupakan tindakan yang tidak manusiawi. Kita wajib menyadari bahwa hak-hak asasi kita selalu berbatasan dengan hak-hak asasi orang lain, karena itulah ketaan terhadap aturan menjadi penting

 

Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) Menurut Para ahli

Ada berbagai versi umum pengertian mengenai HAM. Setiap pengertian menekankan pada segi-segi tertentu dari HAM. Berikut beberapa definisi tersebut. Adapun beberapa definisi Hak Asasi Manusia (HAM) adalah sebagai berikut:

1.      Austin-Ranney, HAM adalah ruang kebebasan individu yang dirumuskan secara jelas dalam konstitusi dan dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah.

2.      A.J.M. Milne, HAM adalah hak yang dimiliki oleh semua umat manusia di segala masa dan di segala tempat karena keutamaan keberadaannya sebagai manusia.

3.      UU No. 39 Tahun 1999, Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak itu merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

4.      John Locke, Menurut John Locke, hak asasi adalah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Artinya, hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya, sehingga sifatnya suci.

5.      David Beetham dan Kevin Boyle, Menurut David Beetham dan Kevin Boyle, HAM dan kebebasan-kebebasan fundamental adalah hak-hak individual yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan serta kapasitas-kapasitas manusia.

6.      C. de Rover, HAM adalah hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai manusia. Hakhak tersebut bersifat universal dan dimiliki setiap orang, kaya maupun miskin, laki-laki ataupun perempuan. Hak-hak tersebut mungkin saja dilanggar, tetapi tidak pernah dapat dihapuskan. Hak asasi merupakan hak hukum, ini berarti bahwa hak-hak tersebut merupakan hukum. Hak asasi manusia dilindungi oleh konstitusi dan hukum nasional di banyak negara di dunia. Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang. Hak asasi manusia bersifat universal dan abadi.

7.      Franz Magnis- Suseno, HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat. Jadi bukan karena hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia memilikinya karena ia manusia.

8.      Miriam Budiardjo, Miriam Budiardjo membatasi pengertian hak-hak asasi manusia sebagai hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam masyarakat.

9.      Oemar Seno Adji, Menurut Oemar Seno Adji yang dimaksud dengan hak-hak asasi manusia ialah hak yang melekat pada martabat manusia sebagai insan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang sifatnya tidak boleh dilanggar oleh siapapun, dan yang seolah-olah merupakan suatu holy area.

 

 

Macam-macam Hak Asasi Manusia (HAM)

Anda telah memahami bahwa hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Ada bermacam-macam hak asasi manusia. Secara garis besar, hak-hak asasi manusia dapat digolongkan menjadi enam macam sebagai berikut.

 

1. Hak Asasi Pribadi/Personal Rights

Hak asasi yang berhubungan dengan kehidupan pribadi manusia. Contoh hak-hak asasi pribadi ini sebagai berikut.

·         Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian, dan berpindah-pindah tempat.

·         Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat.

·         Hak kebebasan memilih dan aktif dalam organisasi atau perkumpulan.

·         Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing.

2. Hak Asasi Ekonomi/Property Rigths

Hak yang berhubungan dengan kegiatan perekonomian. Contoh hak-hak asasi ekonomi ini sebagai berikut.

·         Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli.

·         Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak.

·         Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa dan utang piutang.

·         Hak kebebasan untuk memiliki sesuatu.

·         Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak.

3. Hak Asasi Politik/Political Rights

·         Hak asasi yang berhubungan dengan kehidupan politik. Contoh hak-hak asasi politik ini sebagai berikut.

·         Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan.

·         Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan.

·         Hak membuat dan mendirikan partai politik serta organisasi politik lainnya.

·         Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi.

 

4. Hak Asasi Hukum/Legal Equality Rights

·         Hak kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, yaitu hak yang berkaitan dengan kehidupan hukum dan pemerintahan. Contoh hak-hak asasi hukum sebagai berikut.

·         Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.

·         Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

·         Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum.

 

5. Hak Asasi Sosial Budaya/Social Culture Rights

·         Hak yang berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat. Contoh hak-hak asasi sosial budaya ini sebagai berikut.

·         Hak menentukan, memilih, dan mendapatkan pendidikan.

·         Hak mendapatkan pengajaran.

·         Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat.

6. Hak Asasi Peradilan/Procedural Rights

·         Hak untuk diperlakukan sama dalam tata cara pengadilan. Contoh hak-hak asasi peradilan ini sebagai berikut.

·         Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan.

·         Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan penyelidikan di muka hukum.

Ciri Khusus Hak Asasi Manusia (HAM)

Hak asasi manusia memiliki ciri-ciri khusus jika dibandingkan dengan hakhak yang lain. Ciri khusus hak asasi manusia sebagai berikut.

·         Tidak dapat dicabut, artinya hak asasi manusia tidak dapat dihilangkan atau diserahkan.

·         Tidak dapat dibagi, artinya semua orang berhak mendapatkan semua hak, apakah hak sipil dan politik atau hak ekonomi, social, dan budaya.

·         Hakiki, artinya hak asasi manusia adalah hak asasi semua umat manusia yang sudah ada sejak lahir.

·         Universal, artinya hak asasi manusia berlaku untuk semua orang tanpa memandang status, suku bangsa, gender, atau perbedaan lainnya. Persamaan adalah salah satu dari ide-ide hak asasi manusia yang mendasar.

 

 

TERORISME

 

Teror atau Terorisme selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan. Tindakan teror tidaklah sama dengan vandalisme, yang motifnya merusak benda-benda fisik. Teror berbeda pula dengan mafia. Tindakan mafia menekankan omerta, tutup mulut, sebagai sumpah. Omerta merupakan bentuk ekstrem loyalitas dan solidaritas kelompok dalam menghadapi pihak lain, terutama penguasa. Berbeda dengan Yakuza atau mafia Cosa Nostra yang menekankan kode omerta, kaum teroris modern justru seringkali mengeluarkan pernyataan dan tuntutan. Mereka ingin menarik perhatian masyarakat luas dan memanfaatkan media massa untuk menyuarakan pesan perjuangannya.

Namun, belakangan, kaum teroris semakin membutuhkan dana besar dalam kegiatan globalnya, sehingga mereka tidak suka mengklaim tindakannya, agar dapat melakukan upaya mengumpulkan dana bagi kegiatannya[1].

Mengenai pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif[2]. Tidak mudahnya merumuskan definisi Terorisme, tampak dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi[3]. Pengertian paling otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat diintepretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut[4].

Menurut Black's Law Dictionary,

Terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana (Amerika atau negara bagian Amerika), yang jelas dimaksudkan untuk: a. mengintimidasi penduduk sipil. b. memengaruhi kebijakan pemerintah. c. memengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan .

Muladi memberi catatan atas definisi ini, bahwa hakikat perbuatan Terorisme mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berkarakter politik. Bentuk perbuatan bisa berupa perompakan, pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku dapat merupakan individu, kelompok, atau negara. Sedangkan hasil yang diharapkan adalah munculnya rasa takut, pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain[5].

Menurut Webster's New World College Dictionary (1996), definisi Terorisme adalah "the use of force or threats to demoralize, intimidate, and subjugate[6]." Doktrin membedakan Terorisme kedalam dua macam definisi, yaitu definisi tindakan teroris (terrorism act) dan pelaku terorisme (terrorism actor). Disepakati oleh kebanyakan ahli bahwa tindakan yang tergolong kedalam tindakan Terorisme adalah tindakan-tindakan yang memiliki elemen[7]:

1.     kekerasan

2.     tujuan politik

3.     teror/intended audience.

Definisi akademis tentang Terorisme tidak dapat diselaraskan menjadi definisi yuridis. Bahkan Amerika Serikat yang memiliki banyak act yang menyebut kata terrorism atau terrorist didalamnya, sampai saat ini pun masih belum dapat memberikan standar definisi tentang Terorisme, baik secara akademis maupun yuridis. Sejauh ini, Terorisme hanya dapat dikategorikan sebagai kejahatan dalam hukum internasional bila memenuhi kriteria yang disebutkan dalam 12 konvensi multilateral yang berhubungan dengan Terorisme yaitu[8]:

1.     Convention on Offences and Certain Other Acts Committed On Board Aircraft ("Tokyo Convention", 1963).

2.     Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft ("Hague Convention", 1970).

3.     Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation ("Montreal Convention", 1971).

4.     Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protecred Persons, 1973.

5.     International Convention Against the Taking og Hostages ("Hostages Convention", 1979).

6.     Convention on the Physical Protection of Nuclear Material ("Nuclear Materials Convention", 1980).

7.     Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation, supplementary to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation, 1988.

8.     Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation, 1988.

9.     Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf, 1988.

10. Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection, 1991.

11. International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing (1997, United Nations General Assembly Resolution).

12. International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999.

 

 

Definisi yang dikemukakan oleh beberapa lembaga maupun penulis, antara lain:[9]

Menurut Brian Jenkins[10]Terrorism is the use or threatened use of force designed to bring about political change.

Menurut Walter Laqueur[10]Terrorism consitutes the illegitimate use of force to achieve a political objective when innocent people are targeted.

Menurut James M. Poland[10]Terrorism is the premeditated, deliberate, systematic murder, mayhem and threatening of the innocent to create fear and intimidation, in order to gain a political or tactical advantage, usually to influence audience.

Menurut Vice President's Task Force, 1986[10]Terrorism is the unlawful use or threat of violence against persons or property to further political or social objectives. It is usually intended to intimidate or coerce a government, individuals or groups, or to modify their behavior or politics.

Menurut US Central Intelligence Agency (CIA)[11]. Terorisme Internasional adalah Terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga atau pemerintahan asing .

Menurut US Federal Bureau of Investigation (FBI)[12]. Terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan-tujuan sosial atau politik .

Menurut The U.S. by the Code of Federal Regulations[13], Terorisme adalah: "..the unlawful use of force and violence against persons or property to intimidate or coerce a government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political or social objectives." (28 C.F.R. Section 0.85) .

 

 

Referensi : http://umum-pengertian.blogspot.co.id/2016/01/pengertian-hak-asasi-manusia-ham umum.html , https://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_terorisme



         Nama                 : Ramadansyah

Nim                    : 171710725

Mata Kuliah       : Kewarganegaraan