Lihat email
Gmail: Email oleh Google Penggunaannya tunduk pada Kebijakan Privasi Google Google LLC, 1600 Amphitheatre Parkway, Mountain View, CA 94043, USA Anda menerima pesan ini karena seseorang mengirimi Anda email melalui mode rahasia Gmail. |
Gmail: Email oleh Google Penggunaannya tunduk pada Kebijakan Privasi Google Google LLC, 1600 Amphitheatre Parkway, Mountain View, CA 94043, USA Anda menerima pesan ini karena seseorang mengirimi Anda email melalui mode rahasia Gmail. |
Tradisi Perang Topat merupakan salah satu rangkain dengan Upacara Pujawali, sebuah acara adat yang diadakan di Pura Lingsar, Lombok , Nusa Tenggara Barat. Perang ini merupakan simbol perdamaian antara Etnis Sasak Islam penganut Wetu Telu dan Etnis Bali beragama Hindu. Acara ini dilakukan pada sore hari, setiap bulan purnama ke tujuh dalam penanggalan Suku Sasak . Sore hari yang merupakan puncak acara yang dilakukan setelah salat ashar atau dalam bahasa Sasak "rarak kembang waru" (gugur bunga waru). Masyarakat Lombok memiliki kepercayaan bahwa gugurnya bunga waru pada sore hari sebagai bentuk kepatuhan pada hukum alam semesta. Ribuan umat Hindu dan Muslim memenuhi Pura Lingsar, dua komunitas umat beda kepercayaan ini menggelar prosesi upacara Puja Wali, sebagai ungkapan atas puji syukur limpahan berkah dari sang pencipta.
'Perang' yang dimaksud dilakukan dengan saling melempar ketupat di antara masyarakat muslim dengan masyarakat hindu. Ketupat yang telah digunakan untuk berperang seringkali diperebutkan, karena dipercaya bisa membawa kesuburan bagi tanaman agar hasil panennya bisa maksimal. Kepercayaan ini sudah berlangsung ratusan tahun, dan masih terus dijalankan.
Dalam tradisi perang topat kita dapat memperoleh nilai nilai dasar pancasila yaitu pada sila ke-3 " Persatuan Indonesia ". melalui tradisi perang topat kita dapat malihat adanya rasa kebersamaan dan kerja sama untuk mendapat tujuan yang sama, yakni mendapat keselamatan dan kesejahteraan walaupun meraka berasal dari etnis dan agama berbeda.
'Suku Kajang'
Nama : ROHMAD APRIANDI
NIM : 181710090
Suku ini tinggal di Pedalaman Bulukumba, Sulawesi Selatan. Mayoritas suku ini masih menetap di Desa Tana Toa dan masih hidup dengan cara-cara yang tradisional. Namun terlepas dari primitifnya suku ini, atura-aturan hidup sudah berlaku untuk mengatur kehidupan Suku Kajang. Hanya saja suku ini begitu menolak peradaban, bahkan ketika ada warga yang ingin berkunjung pun tidak dapat menggunakan alas kaki. Warna hitam menjadi kewajiban dalam berpakaian, karena suku ini percaya bahwa warna hitam menggambarkan kesederhanaan dan persamaan.
Menurut saya, dengan adanya tradisi dan budaya 'Suku Kajang' di Negara Indonesia terhadap nilai pancasila. Mencerminkan bahwa Negara Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang sangat harmonis. Dan dimanapun kita hidup dengan memijakkan kaki di wilayah tertentu, kita harus mengikuti serta taat terhadap aturan se-tempat. Seperti halnya pada nilai pancasila yaitu pada sila ke-2, dan norma-norma yang berlaku pada Negara Republik Indoneisa.