Minggu, 01 Juli 2018

(fekon08-171310615-Korupsi Tumbuh Dari Keluarga)

Jember - Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan 1945 menjadi tonggak sejarah penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selain peristiwa tersebut, Reformasi juga sebagai peristiwa yang paling diingat sepanjang 73 tahun negara kita merdeka. Mei 1998 silam merupakan salah bulan bersejarah bagi rakyat Indonesia. 20  tahun reformasi berjalan banyak keberhasilan yang kita capai, namun tak sedikit juga beberapa tuntutan reformasi yang belum mampu kita laksanakan dalam rangka sebagai tujuan untuk menunaikan cita-cita dari kemerdekaan.

Reformasi bukan hanya sekedar memaksa Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI, namun ada beberapa agenda yang menjadi tujuan sebenarnya Reformasi. Adapun 6 tuntutan yang disuarakan seluruh lapisan elemen rakyat Indonesia saat itu :

1.         Penegakan Supremasi Hukum;

2.         Pemberantasan KKN;

3.         Proses Hukum Terhadap Mantan Presiden Soeharto dan Kroninya;

4.         Amandemen UUD NRI 1945;

5.         Pencabutan Dwi Fungsi TNI / Polri;

6.         Pemberian Otonomi Daerah.

Korupsi (Masih) Menjadi Musuh Bersama

Pemberantasan korupsi merupakan salah satu semangat untuk menggulirkan Reformasi saat itu, Pemerintahan yang sentralistik dan semua kendali berada di tangan Soeharto menjadikan alasan yang sulit untuk memberantas korupsi.

Era Orde Baru bau korupsi begitu tercium, namun kekuasaan yang otoriter dan media yang terkendali membuat korupsi menguap dan sudah menjadi hal yang wajar.

Tuntutan pemberantasan korupsi saling berkaitan dengan pemberian Otonomi Daerah. "Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely" merupakan kata-kata Lord Acton yang menggambarkan era Orde Baru, kekuasaan yang sentralistik cenderung menyuburkan Korupsi, sehingga idealnya kekuasaan itu dibagi dan tidak terpusat, sehingga terwujudlah Otonomi Daerah, kewenangan pemerintah daerah yang mempunyai kuasa pengelolaan atas daerahnya.

20 tahun sudah Otonomi Daerah berjalan, namun tak semata-mata membuat rantai korupsi putus. Otonomi Daerah semakin membuat banyak Soeharto baru di daerah, korupsi menjadi desentralis dan sulit diberantas.

Permasalahan bukan pada sistem, namun integritas para pemimpin yang rendah sehingga mereka menjadi greedy untuk melakukan korupsi, terbukti dengan banyaknya kepala daerah dan anggota DPRD yang ditangkap KPK.

KPK yang merupakan anak kandung demokrasi yang lahir sebagai lembaga negara untuk memberantas korupsi pun tak mampu untuk mengatasi permasalahan korupsi yang begitu kompleks.

Agenda pemberantasan korupsi selalu menghadapi hadangan berat, seperti kita ingat hak angket terhadap KPK di tahun 2016 silam yang mendorong upaya Revisi UU KPK, namun revisi undang-undang tersebut tak kunjung terealisasi karena rentan faktor politis tapi bukan tidak mungkin Revisi UU KPK akan digulirkan kembali ketika KPK berani mengusik para koruptor.

Belum lagi kriminalisasi terhadap mereka yang melawan Korupsi, Kasus penyerangan air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan menjadi perhatian karena sampai saat ini belum ada titik terang siapa pelakunya.

Tahun '98 rakyat bersatu karena kesadaran kolektif akan bahaya korupsi, namun di era saat ini kesadaran itu seolah hilang. Padahal isu-isu anti korupsi dapat menjadi modal penting untuk menyatukan rakyat kembali akan betapa bahayanya korupsi.

Demokrasi, Kebebasan atau Kebablasan?

Kebebasan Pers adalah salah satu tuntutan Reformasi yang dinilai berhasil untuk direalisasikan, karena tanpa reformasi kita tak bisa merasakan kebebasan politik dan berpendapat baik di dunia nyata maupun dunia maya. Perlu kita apresiasi gerakan reformasi membangkitkan kembali alam reformasi, bahkan melampaui keinginan para penggagas reformasi sehingga banyak yang mengatakan demokrasi kita kebablasan.

Keberadaan media adalah salah satu unsur penting dalam negara demokrasi, namun yang sangat disayangkan ketika kebebasan itu disalahgunakan sehingga beredar berita-berita diluar konteks dan diragukan kredibilitasnya kemudian menjadi itu HOAX.

Berita-berita HOAX ini seringkali menjadi pemicu perpecahan dan konflik antar anak bangsa sendiri. Sehingga diperlukan lagi evaluasi atas hal ini agar terciptanya kebebasan pers yang berintegritas dan bertanggung jawab.

 

*) Fahmi Ramadhan Firdaus

Asisten Peneliti Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember

Mungkin sudah seringkali kita mendengar bahwa korupsi di negeri ini sudah menjadi budaya baru. Pasalnya, praktek korupsi tidak lagi di lakukan di kalangan politisi saja, perbuatan picik itu sudah menjalar sampai ke lingkungan akademis dan religius pun ikut-ikutan terbawa arus. Bahkan hal sialan semacam itu pun mulai masuk kedalam lembaga-lembaga kemahasiswaan yang selama ini jelas menentang dengan keras segala hal yang berbau korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kalau sudah begitu, apakah kita yang saat ini sebagai generasi pelanjut tongkat estafet akan ikut tergoda oleh rayuan itu?

Praktek korupsi memang selalu menjadi hal yang paling menggiurkan dikarenakan untuk mendapatkan keuntungan yang banyak, seseorang tidak perlu capek dan keluar keringat lebih.

Sepertinya perjuangan untuk menyelamatkan negeri ini kedepannya menjadi tantangan yang begitu berat bagi mereka-mereka yang negarawan. Mudah-mudahan nanti saya termasuk salah satu dari negarawan itu.

Praktek korupsi tidak sebatas seperti yang dilakukan oleh politikus-politikus, yang terpampang dimedia-media. Perbuatan semacam ini sudah melembaga, dan itu mungkin yang menjadikan beberapa orang menarik kesimpulan bahwa negeri kita punya budaya baru, yaitu budaya korupsi. Kebiasaan pungli dan suap menyuap saat ditilang, mengurus KTP, memasukan anak kesekolah unggulan/favorit, sampai money politic saat pilkades, pilrek, pilkada dan pilpres, serta upeti untuk atasan agar mendapatkan atau untuk mempertahankan jabatannya. Semua itupun praktek korupsi yang selalu kita sepelekan.

Fenomena korupsi memang takkan pernah habis untuk diperbincangkan di negeri ini. Sejak era kolonialisme, hingga era kemerdekaan dimulai dari rezim kuasa Orla, rezim totaliter orba sampai pada era reformasi yang selalu mengatasnamakan diri sebagai yang paling demokratis, korupsi begitu subur hingga negeri ini mendapatkan predikat sebagai salah satu Negara terkorup didunia.

Bukannya saya ingin pesimis melihat bagaimana perjalanan negeri ini, maka tidak salah jika harus harus mengutuk rezim orba yang telah membuka kran praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga efeknya sampai dengan hari ini bahkan merajalela.

Rezim orba mungkin tidak terlalu separah rezim sekarang. Dulu, praktek busuk itu hanya terjadi dalam lingkaran eksekutif semata, dan sekarang? Mungkin saya tidak perlu menjelaskannya, sebab yang paling kuduspun (Orang-orang beragam) ikut terbawa arus praktek sialan yang bernama korupsi ini. Dan lebih sialannya lagi, praktek ini dilakukan berkelompok-kelompok. Oh Indonesia ku, kau amat menyedihkan. Mereka yang berkuasa memanfaatkan namamu untuk kepentingan mereka sendiri.

Semakin banyak jumlah nol ('0'), semakin runtuh idealism yang dibangun. Tidak bedah jauh seperti dabu yang sekali tersapu angin, maka hilang dan terbang entah kemana. Begitulah kenyataan yang tengah kita hadapi saat ini, korupsi telah mebuat tatanan moralitas dan stabilitas ekonomi dan politik menjadi pora-poranda. Mereka yang tertuduh dan terbukti berbuat korupsi seakan tidak memiliki beban atau rasa malu di hadapan public. Bahkan konon, kalau ada pejabat yang tidak bisa mengeruk kekayaan Negara, maka akan dianggap tidak sukses kariernya di pentas politik. Kasus E-KTP dan beberapa barisan perbuatan biadab seperti itu di negeri ini menjadi sebaris bukti nyata.

"Keuangan Negara. Pemberantasan Korupsi Minim Komitmen." Judul berita di Harian "KOMPAS" (19/5-2018) ini menyentak karena merupakan realitas sosial di tengah-tengah masyarakat yang selalu menyebut diri sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama.

Orang beragama tahu persis cara bertobat agar dosa diampuni, maka wajarlah kalau agama tidak bisa diandalkan jadi benteng yang menghalangi korupsi. Pemeluk Islam, misalnya, dari kecil sudah diingatkan bahwa (daging) babi haram. Maka, yang dihindari adalah memakan daging babi. Sedangkan makanan yang merusak kesehatan dan makanan yang dibeli dengan uang yang tidak halal terkesan bukan makanan (yang) haram.

Selain itu ada pula sikap ambiguitas di masyarakat. Caci-maki hanya ditujukan kepada koruptor yang bukan teman, kenalan, atau anggota keluarga. Ibarat pepatah: Tiba di mata dipicingkan, tiba di perut dikempiskan. Berat sebelah yang juga sebagai ambiguitas.

Amatlah bertolak-belakang dengan Malaysia yang menjungkalkan calon perdama menteri 'incumbent' dengan isu korupsi (Baca juga: Isu Korupsi Tumbangkan "Incumbent" di Pemilu Malaysia 2018). Bandingkan dengan Indonesia. Korupsi tidak laku dijual sebagai isu pilkada, pileg dan pilpres. Lagi pula politik uang ada yang juga bagian dar korupsi. Tersangka dan napi koruptor pun tetap bisa jadi calon kepala daerah.

Pemberantasan korupsi dengan cara-cara yang luas biasa, antara lain melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sudah berjalan sejak 20 tahun yang lalu ketika reformasi digulirkan. Tapi, hasilnya tidak optimal, seperti disebutkan "KOMPAS" justru stagnan (KBBI: dalam keadaan terhenti).

Kondisi itu terjadi karena dukungan dari berbagai pihak untuk memberantas korupsi sangat rendah. Disebutkan oleh "KOMPAS": Saat ini bahkan yang berkembang ialah korupsi uang negara oleh perwakilan negara itu sendiri, baik melalui badan usahanya, maupun aparat penyelenggara negara baik yang berada di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Dalam bahasa lain "KOMPAS" menyebut korupsi yang melibatkan eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah state capture corruption (diperpekenalkan oleh Bank Dunia tahun 2000) yaitu korupsi yang melibatkan elit-elit politik negara dengan mempengaruhi keputusan untk keuntungan pribadi yang secara sistematis melemahkan pemberantasan korupsi. Korupi KTP Elektronik terang-benderang dilakukan oleh elit-elit di pemerintahan dan legislatif. Elit pemerintahan dan legislatif merampok uang negara.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode M Syarif, memberikan contoh betapa elit-elit melemahkan korupsi: " .... Lihat saja ketika kami diperlakukan seperti itu di Komisi III (DPR-pen.), posisi kami sangat lemah." Ini dikatakan Laode di diskusi "Refleksi gerakan Antikorupsi: Menjawab tantangan 20 Tahun Reformasi."  (Jakarta, 18/5-2018).

Karena banyak pihak yang tidak mendukung, maka, yang bisa diharapkan adalah keluarga. Seorang ayah atau mertua diharapkan bisa bertanya kepada anak atau menantu sumber uang atau kekayaan karena jika dihitung-hitung tidaklah mungkin harta yang dimiliki bersumber dari gaji atau upah. Justru tidak sedikit anggota keluarga yang justru menikmati hasil korupsi salah satu anggota keluarga. Istri koruptor memakai tas bermerek harga ratusan juta rupiah (Baca juga: Memberantas Korupsi Mulailah dari Lingkungan Keluarga).

Ada semacam pameo di tengah-tengah masyarakat yang justru secara tidak langsung memberi angin kepada koruptor dan manipulator yang menyebut rezeki ada jalannya. Jalan di sini diartikan sebagai kebaikan Yang Maha Kuasa, tapi ketika ditanya jalan mana atau jalan apa yang membawa rezeki itu orang pun selalu berkelit dan berlindung pada pameo itu.

Maka, sudah saatnya seitap orang berani menyebutkan asal usul uang atau harta yang dimilik sen demi sen. Untuk itu perlu dukungan agar pemerintah dan DPR menerbitkan UU Pembuktian terbalik sehingga tidak ada lagi yang bisa berkelit bahwa kekayaannya merupakan 'rezeki dari atas' (Baca juga: Kian Mendesak UU Pembuktian Terbalik untuk Cegah Korupsi dan Penggelapan Pajak dan Menghadang Nyali (Calon) Koruptor dengan UU Pembuktian Terbalik).

Kalau hanya mengandalkan KPK perilaku koruptif dan kasus-kasus korupsi akan terus terjadi. Apalagi hukumannya juga sangat rendah. "Sampai hari ini, KPK masih kewalahan dalam memberantas korupsi," kata Laode pada diskusi tsb. Maka, perlu juga dipkirkan pidana sosial selain penjara dan uang pengganti bagi koruptor. Misalnya, menyapu jalan raya, membesihkan tolilet umum, dll. (Baca juga: Pidana Kerja Sosial Memupus Kepura-puraan Napi dan "KKN" Remisi).

Sektor pemerintahan sangat besar peranannya dalam memberantas kopusi dan suap, misalnya, dengan penerapan sistem online dan transparansi serta perizinan satu pintu. Kalau hanya seorang Jokowi walaupun sebagai presiden terus-menerus mengingatkan agar mempermudah perizinan dan transparansi tentulah tidak jalan karena dihadang otonomi daerah. Pameo 'kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah' jadi ganjalan karena di sini ada lembaran-lembaran uang.

Sayang, hal ini justru dihindari oleh pemerintahan daerah. Celakanya, otonomi daerah memutus rantai komando dari presiden dan menteri ke pemerintah daerah. Maka, korupsi pun akan terus terjadi karena dinikmati oleh keluarga dan kerabat yang tidak (lagi) punya rasa malu. *

 

Oleh: Trimanto B. Ngaderi

 

Memiliki perilaku korup bukanlah hal yang mendadak. Mempunyai mental korup bukan pula sesuatu yang tiba-tiba. Ia adalah mata rangkaian dari sebuah proses yang amat panjang, yang berhubungan satu dengan lainnya. Masa sekarang adalah buah dari masa lalu. Perbuatan yang dilakukan saat ini adalah hasil dari kumpulan perbuatan di masa lampau.

Korupsi tidak semata terkait dengan adanya peluang atau kesempatan. Karena biar pun peluang banyak, namun jika seseorang memiliki iman yang kuat, maka peluang itu tidak bakal ia gunakan. Biar pun kesempatan terbuka lebar, jika ia memiliki akhlak yang luhur, maka kesempatan itu akan ia lewatkan.

Ketika kita tidak mau memanfaatkan peluang dan kesempatan emas itu, muncullah ungkapan: "Jika di hadapan kita ada minuman madu, susu, atau es buah. Akankah kita hanya memilih untuk minum air putih saja". Atau ungkapan lainnya, "Jika kita tinggal di lumbung padi, akankah kita malah mati kelaparan". Itu hanya sebuah sindiran atau ejekan bagi orang yang tidak mau melakukan korupsi.

Selain faktor peluang atau kesempatan, perilaku korupsi juga bisa dipicu oleh faktor godaan (bisikan setan). Mungkin saja seorang sebelum menjabat tertentu, dulunya adalah orang yang bersih dan terpercaya. Bisa jadi sebelum menempati posisi tertentu, seseorang itu dahulunya adalah orang yang jujur dan amanah.

Bisa pula ketika dulu masih menjadi mahasiswa, ia sering melakukan demo antikorupsi. Tapi ketika telah memiliki jabatan atau kedudukan, segalanya menjadi berubah, bahkan berbalik 180 derajat.

Godaan terkadang datang secara tiba-tiba, tanpa diduga, tanpa diminta, tanpa diharap. Ia membisiki telinga dan hati manusia. Berbisik dan terus berbisik.

Bisikan seperti nanti cepat kaya lho, bisa punya ini dan itu, hidup dalam kemewahan, istri akan senang, dan seterusnya. Lalu terjadilah perang batin antara hawa nafsu dengan nurani suci. Jika perang agung ini dimenangkan oleh hawa nafsu, berbuat korupsilah keputusannya.

 

Bermula dari Pendidikan Keluarga

Akar dari perilaku korup bersumber dari pendidikan keluarga. Cikal-bakal perbuatan korup sudah ada sejak kecil. Bibit-bibit korupsi telah ada semenjak dari rumah. Mungkin banyak yang belum (tidak) percaya tentang hal ini, karena sebagian besar dari kita memang tidak menyadari, atau malah sengaja tidak mau tahu.

 

Bermula dari keluarga bukan berarti si anak sudah terbiasa mencuri uang orang tuanya.Tapi bisa jadi bermula dari hal-hal kecil dan remeh, yang oleh orang tua sering dianggap hal biasa dan tak memiliki dampak (jangka panjang). Hal-hal kecil dan remeh itu di antaranya:

 

Menyuruh anak belanja ke warung

Tanpa sepengetahuan orang tua, selain belanja barang yang dipesan orang tua, diam-diam ia membeli jajanan atau yang lainnya dan tidak melapor atau memberi tahu. Apalagi bagi orang tua yang hanya sekedar menyuruh dan menerima barang belanjaan, tanpa menanyakan habis berapa dan sisa berapa, atau menanyakan secara rinci harga per barang. Selain itu, kebiasaan orang tua yang sering (selalu) memberi upah kepada anaknya ketika menyuruhnya belanja ke warung.

 

Membayar Uang Sekolah

Sebagian orang tua tidak mau melakukan kroscek ke pihak sekolah terkait pembayaran sekolah anaknya. Apakah benar ada pembayaran ini dan itu, apakah benar besaran uang segitu dan segitu. Biasanya jika ada pembayaran, pihak sekolah memberikan surat pemberitahuan kepada orang tua.

 

Nah, terkadang orang tua juga malas membaca. Intinya, jika si anak meminta untuk pembayaran ini dan sebesar ini, orang tua langsung memberikannya. Padahal yang sebenarnya,  nilainya tak sebesar itu, bahkan tidak ada pembayaran apapun (fiktif belaka). Di sinilah, anak sudah belajar (terbiasa) melakukan markup, manipulasi, rekayasa.

 

Terlalu Memanjakan Anak

"Kerja capek-capek buat siapa lagi kalau bukan buat anak". Ungkapan seperti ini yang sering dijadikan dalih untuk memanjakan anak. Segala yang diinginkan anak selalu dipenuhi, segala yang disenangi anak mesti dituruti, segala yang dimaui anak segera ditunaikan. Hal itu dianggap sebagai bukti (tanda) sayang kepada anak.

 

Orang tua tak lagi mempertimbangkan dampak, proporsi, timing, usia, kondisi dll. Ini jelas tindakan yang keliru. Hal itu akan membuat si anak menganggap bahwa hidup itu selalu enak, serba mudah, serba ada, tak perlu usaha, tak butuh perjuangan.

 

Tidak Melatih Kemandirian

Ini masih ada hubungannya dengan perihal terlalu memanjakan anak. Biasanya anak yang terlalu dimanjakan juga tidak bisa mandiri. Anak cenderung mau enaknya saja, menjadi malas, tidak bisa apa-apa, dependen. Anak tidak dilatih untuk bisa mengurus dirinya sendiri.

 

Anak tidak diajari melakukan pekerjaan tertentu. Tahunya hanya meminta, menyuruh, dan menikmati. Ketika ia menjadi pejabat, ia cenderung tidak kreatif, ingin hidup senang dan mewah tanpa perjuangan, ingin mendapatkan uang banyak tanpa usaha dan kerja keras.

 

Pengaruh Budaya Setempat

Selain pendidikan orang tua, budaya masyarakat juga sangat menentukan perilaku korupsi. Menyuruh orang lain dengan memberi uang sogok, meminta tolong aparat desa dengan memberi sejumlah imbalan tertentu, mengurus administrasi tertentu dengan memberi suap.

Ketika hal ini sering  dipraktekkan di dalam masyarakat, maka hal ini dianggap hal yang biasa dan sesuatu yang wajar. Akhirnya menjadi kebiasan, dan kebiasaan akan menjadi budaya, dan budaya akan menjadi karakter.

Ah, teman-teman kerja sudah biasa kok menyelundupkan semen (bagi pekerja bangunan). Alah, sudah biasa kok menilep uang bantuan (bagi pekerja sosial). Ahh, sudah wajarlah agar urusannya lancar ngasih uang pelicin. Alahh, lumrah to kita kasih amplop ke calon pemilih agar kita menang, dan seterusnya, dan seterusnya masih banyak lagi.

Lha semua yang bekerja di sini korupsi, masak aku tidak sendiri. Lha kebanyakan orang sini sudah biasa dapat uang suap, mosok aku akan menolak. Lha orang-orang pada buat nota fiktif, masak sih aku nggak ikutan juga. Dan berbagai alasan lainnya.

Kalau semua sudah seperti itu, bagaimana korupsi akan bisa diberantas.

 

Penutup

Kalau ingin benar-benar memberantas korupsi, jangan hanya memotong ranting dan dahan saja, tapi cabutlah pohon hingga ke akar-akarnya

 

Nama               : INKA SAPUTRI      Nim                 : 171310615