HAM (HAK ASASI MANUSIA) DAN TERORISME
>Hak Asasi Manusia(HAM) adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma, yang menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional
>Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
PEMBAHASAN TERKAIT KEDUA HAL TERSEBUT
Tindakan terorisme berdampak langsung pada martabat dan keamanan manusia, menciptakan situasi penuh rasa takut, dan menghancurkan hak asasi manusia itu sendiri. Kehadiran terorisme juga berhadapan langsung dengan integritas pemerintahan yang sah. Untuk memenuhi kewajiban melindungi individu dari terorisme, Negara memiliki hak dan kewajiban untuk mengambil langkah-langkah kontra-terorisme yang efektif, mencegah serangan teroris di masa depan dan mengadili mereka yang bertanggung jawab.
Namun dalam praktiknya, disaat yang sama perlawanan terorisme menimbulkan tantangan berat terhadap perlindungan dan promosi hak asasi manusia. David J. Whittaker dalam buku Counter-Terrorism and Human Rights menjelaskan bahwa permasalahan hak asasi manusia dalam kontra-terorisme kerap ditemui dalam berbagai bentuk.
Termasuk dalam pengawasan (surveillance), penahanan yang disengketakan (disputed detention), penangkapan (arrest), prosedur penahanan tak terduga (the vagaries of charging procedure), ekstradisi dini (premature extradition), proses transfer tersangka (the transfer and trasport of suspects), perlakuan saat interogasi (the treatment on interrogation) dan pemenjaraan semena-mena (incarefully imprisonment). Peristiwa kematian Siyono dalam penangkapan dan penahanan Densus 88 Anti Teror pada 8 Maret 2016 di Brengkungan, Klaten dapat bersama kita jadikan pelajaran.
Merespon tantangan tersebut, lembar fakta PBB tentang HAM, Terorisme dan Kontra-Terorisme (Factsheet No. 32) menjelaskan bahwa hukum hak asasi manusia mengenal asas fleksibilitas yang meliputi pembatasan (limitations) dan pengurangan (derogations). Negara dapat secara sah membatasi pelaksanaan hak-hak tertentu, seperti membatasi hak seseorang untuk mengekspresikan diri jika terbukti secara hukum melakukan ajakan untuk terlibat dalam aksi terorisme.
Selain membatasi, rezim hak asasi manusia, dalam keadaan tertentu, seperti keadaan darurat publik (state of public emergency) yang mengancam kehidupan bangsa, mengizinkan Negara mengurangi hak asasi manusia tertentu. Keadaan darurat ini harus dipahami sebagai tindakan sementara yang benar-benar luar biasa, yang hanya dapat dilakukan jika ada ancaman nyata.
Dilema ini ditemukan dalam situasi "shoot-to-kill" yang terjadi dalam bentrok di Mako Brimob. Dalam situasi ini, hukum hak asasi manusia memperbolehkan penggunaan lethal force atas alasan melindungi nyawa manusia. Namun batasan-batasan ini tetap harus benar-benar mematuhi prinsip-prinsip kebutuhan dan proporsionalitas, demi terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan.
Mereka yang khawatir akan kompatibilitas hak asasi manusia, sering kali menuduh para pembela hak asasi manusia sebagai pembela teroris atau tidak melihat ancaman terorisme secara serius. Karakterisasi seperti ini jelas tidak akurat dan tidak produktif.
Gagasan bahwa hak asasi manusia bertentangan dengan keamanan nasional gagal mengakui fakta bahwa hukum hak asasi manusia internasional ditempa di tengah periode konflik global yang penuh dengan perdebatan bagaimana mencapai keseimbangan antara kepentingan keamanan dan hak-hak mendasar manusia.
KETERKAITAN TENTANG HAM DAN TERORISME
Negara juga harus mulai secara serius memperhatikan dan mencegah pelibatan anak-anak dalam tindak pidana terorisme karena akan menimbulkan efek psikologis yang sangat buruk bagi anak-anak dalam memandang anak-anak pelaku teror. Sebagaimana diatur di dalam Pasal 63 Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, setiap anak tidak boleh dilibatkan di dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan. Pasal 53 ayat (1) menyatakan setiap anak berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.
Teror yang melibatkan anak-anak tersebut jelas menampar kemanusiaan kita dan kredibilitas negara secara keseluruhan. Mengapa hal ini tidak teridentifikasi sejak awal?
Teror adalah musuh bersama bagi umat manusia, sehingga menjadi kepentingan dan tugas kita bersama untuk memeranginya. Pendekatan terintegrasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan aktor-aktor non-negara sangat dibutuhkan karena teror tidak akan selesai melalui langkah penindakan hukum semata, misalnya hanya melalui Polri yang dibantu oleh TNI.
Teror telah merampas hak asasi manusia para korban dan masyarakat secara umum, khususnya hak untuk hidup, hak atas rasa aman, dan kemerdekaan dari rasa takut. Teror juga menyebabkan instabilitas suatu wilayah dan bangsa, membahayakan masyarakat, serta menjadi ancaman bagi perdamaian dan pembangunan.
Negara wajib melindungi setiap orang, di antaranya dengan mengambil tindakan semaksimal mungkin untuk mengadili para teroris dengan mengedepankan due process of law. Penanganan terorisme dengan cara dan pendekatan yang benar dan tepat, berbasis pada penghormatan serta perlindungan HAM, harus menjadi bagian penting dalam kebijakan dan program memerangi kejahatan terorisme.
Pendekatan berbasis HAM harus ada pada setiap tahap penanganan terorisme, termasuk ketika terduga teroris menghadapi proses hukum di pengadilan. Pendekatan HAM menekankan bahwa penanganan atas kejahatan terorisme harus akuntabel. Mekanisme untuk menjamin adanya kontrol dan pengawasan publik harus dibangun dan dijalankan atas wewenang yang diberikan kepada negara dalam kebijakannya memerangi terorisme.
Tantangan penting yang dihadapi Indonesia saat ini adalah bagaimana secara efektif merespon ancaman terorisme tanpa meninggalkan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Oleh karena itu, cara terbaik memerangi terorisme adalah dengan membangun sistem peradilan yang kuat dan hukum yang akuntabel. Melawan terorisme jangan sampai mengucilkan HAM itu sendiri, sebaliknya harus ditunjukkan bagi perlindungan HAM.
Penegakan HAM secara umum membutuhkan penciptaan sebuah kondisi yang kondusif melalui penguatan sistem. Di Indonesia selama masa Orde Baru dan masa transisi dari corak pemerintahan otoriter ke demokratis, sistem itu tidak berjalan secara proporsional. Sebagai konsekuensinya, maka banyak unsur unsur yang berjalan diluar sistem; dan hal ini berarti sebuah penyimpangan dari koridor sistem itu. Sebagai contoh terjadinya bentuk bentuk kekerasan dan tindakan main hakim sendiri serta kerusuhan massal yang sangat destruktif dan lain lain merupakan bentuk distorsi sistem yang lebih disebabkan oleh ketidak-percayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang ada. Apa yang dikatakan oleh Frans Magnis Suseno di atas memanglah benar. Bahkan berkenaan dengan lemahnya sistem hukum di Indonesia, David Black pada tahun 1970-an sudah mempertanyakan tentang kondisi hukum di negara kita Is law there? (adakah hukum?). Begitu terpuruknya kondisi hukum di Indonesia sehingga mengakibatkan terjadinya krisis berskala luas dan bersifat multidimensional.
Memang benar terpuruknya hukum itu dapat juga dipengaruhi oleh sistem lain seperti sistem politik, sistem ekonomi dan sistem sosial tapi pengaruh lemahnya sistem hukum terhadap rusaknya sistem sistem tersebut paling signifikan sebab hukum dilihat dari segi tujuannya merupakan yang paling bertanggung jawab atas hal tersebut di atas. Tujuan hukum itu antara lain untuk memberikan pengayoman kepada anggota masyarakat yang dilakukan dengan usaha mewujudkan
- 1. Ketertiban dan keteraturan yang memunculkan prediktabilitas.
- 2. Kedamaian yang berketenteraman.
- 3. Keadilan (distributif, komulatif, vindikatif, protektif).
- 4. Kesejahteraan dan keadilan sosial.
- 5. Pembinaan akhlak luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari sini dapat ditarik suatu asumsi bahwa seandainya sistem hukum itu bekerja dengan baik untuk mencapai tujuannya di atas, maka krisis yang bersifat multidimensional itu akan dapat teratasi dan penegakan HAM akan berjalan dengan baik. Dengan demikian rekonstruksi sistem hukum harus menjadi sebuah perioritas. Rekonstruksi sistem hukum tersebut meliputi tiga unsur pokok, yaitu struktur, substansi. dan kultur.
Struktur mencakup institusi-institusi penegakan hukum, yang dalam prakteknya belum sepenuhnya independen, atau dengan kata lain masih sering diintervensi oleh pihak lain dalam mengambil keputusan hukum. Keberadaan Kepolisian dan Kejaksaan sebagai institusi penegakan hukum yang merupakan bagian dari eksekutif adalah sebuah problem tersendiri bagi kemandirian yudisial di negara kita.
Selain institusi, struktur sistem hukum juga meliputi aparat penegak hukum. Problem krusial yang ada pada jajaran aparat penegak hukum secara umum adalah tingkat moralitas dan integritas personalnya yang sangat rendah sehingga hukum tidak dapat diimplementasikan sesuai ketentuan yang berlaku. Hukum tidak lebih sebagai sebuah komoditas yang bisa diperjualbelikan atau dinegosiasikan berdasarkan kepentingan yang melatarinya. Dua permasalahan di atas menuntut upaya restrukturisasi institusi-institusi penegakan hukum, sehingga kemandirian yudisial dapat dicapai. Demikian juga reformasi sistem pendidikan calon aparat penegak hukum agar dihasilkan out-put yang profesional dan memiliki tingkat moralitas dan integritas personal yang tinggi. Faktor ini sangatlah penting dan menentukan sebab bagaimanapun baiknya sebuah sistem hukum itu dibangun tentu tidak akan berarti apa apa kalau kualitas aparatnya rendah secara profesional maupun moral dan personal. Secara ekstrim keterpurukan hukum di Indonesia penyebab utamanya adalah banyaknya aparat penegak hukum yang tidak memenuhi kualifikasi di atas.
Substansi, yang menjadi permasalahan berkenaan dengan substansi adalah kuatnya pengaruh legal positivism dalam sistem hukum di negara kita. Pemikiran positivisme hukum lahir bersama dengan kelahiran negara modern pada akhir abad 18. Sebelum itu masyarakat masih menggunakan hukum yang dinamakan interactional law atau customary law. Positivisme kental dengan dokumentasi dan formalisasi hukum dalam wujudnya sebagai bureaucratic law. Dalam ilmu hukum yang legalistik-positivistik hukum dipandang sebagai pranata pengaturan yang mekanistik dan deterministik. Dengan kata lain positivisme telah melakukan penyederhanaan penyederhanaan yang berlebihan dan hukum dipahami sebagai suatu keteraturan. Bagi kaum positivis, hukum tidak lain dari perintah yang bersumber dari otoritas yang berdaulat dalam masyarakat yang mengharuskan orang atau orang orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perintah itu disandarkan kepada ancaman keburukan berupa sanksi yang dipaksakan berlakunya bagi orang yang tidak taat. Perintah, kewajiban untuk mentaati dan sanksi merupakan tiga unsur essensial hukum dalam pandangan positivisme. Bagi faham ini hukum positif berbeda jika dibandingkan dengan asas asas lain misalnya asas asas yang didasarkan pada moralitas, religi, kebiasaan, konvensi ataupun kesadaran masyarakat.Bahkan lebih ekstrim lagi, hukum harus melarang setiap aturan yang mirip hukum tetapi tidak bersifat perintah dari otoritas yang berdaulat.
Dilihat dari latarbelakang munculnya, posistivisme ini dilatari oleh politik liberalisme yang memperjuangkan kemerdekaan individu sehingga wajar apabila faham ini tidak memberikan concern terhadap keadilan yang luas bagi masyarakat. Dan baginya untuk mewujudkan kemerdekaan individu diperlukan kepastian hukum dalam bentuk undang undang dan prosedur hukum yang jelas. Bahkan demi kepastian hukum prinsip keadilan dan kemanfaatan bisa dikorbankan.
Dengan memahami karakter posistivisme di atas, maka apabila faham ini terus mendominasi sistem hukum negara kita tentu akan menghambat penegakan hukum yang berkeadilan dan menimbulkan keterpurukan hukum yang krusial terus menerus. Maka untuk bisa keluar dari problem ini bangsa Indonesia harus dapat melepaskan diri dari belenggu positivisme karena dengan hanya mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistik-positivistik yang berbasis pada peraturan tertulis (rule bound) dan prosedur hukum semata sistem hukum Indonesia tidak akan pernah mampu menangkap hakikat kebenaran dan keadilan. Dan lebih ironis lagi penegakan hukum hanya diimplementasikan dalam format peradilan formal (formal justice) semata yang tidak akan mampu menangkap substansinya. Hukum hanya berurusan dengan hal hal yang bersifat teknis dan teknologis. Sentuhan kemanusiaan hukum menjadi hilang. Hukum direduksi menjadi dua hal yang berhadapan secara berlawanan yaitu benar-salah, menang-kalah dan lain sebagainya. Langkah strategis yang sangat mendesak untuk dilakukan untuk dapat keluar dari perangkap positivisme yang sangat merugikan tatanan hukum kita adalah melakukan reformasi hukum menuju Sistem Hukum Progresif. Untuk sampai kepada sistem hukum progresif ini semua konsep perlu dikaji ulang dan digugat, baik konsep negara hukum, konsep penegakan hukum, konsep peradilan bahkan konsep keadilan itu sendiri. Karena fokusnya menuju hukum progresif maka kemudian yang dihasilkan nanti adalah negara hukum progresif, konsep penegakan hukum progresif, konsep keadilan progresif dan konsep konsep hukum lain yang progresif. Untuk memulai reformasi hukum bisa dilakukan dari posisi saat ini, dari tradisi dan praktek bernegara hukum dan penegakan hukum yang diterapkan selama ini. Semua ini dijadikan obyek gugatan, atau dengan kata lain keterpurukan hukum yang terjadi selama ini menjadi entry point gugatan untuk menemukan format baru yang progresif.
Kultur hukum (legal culture). Yang menjadi problem dari kultur hukum adalah belum kondusifnya praktek budaya penegakan hukum bagi bekerjanya sistem hukum secara sistemik dan berkeadilan. Kentalnya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di Indonesia yang hingga kini menjadi permasalahan bangsa yang krusial sangat menghambat penegakan hukum secara umum termasuk penegakan HAM. Untuk membangun kultur hukum yang kondusif diperlukan keteladanan yang baik dari kalangan aparat penegak hukum dan para elite kekuasaan untuk menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana telah ditegaskan dalam UUD 45. Hal ini dapat terwujud apabila mereka memiliki moralitas dan integritas personal yang tinggi dalam menjalankan tugas masing-masing.
(TAUFIK HIDAYAT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar