PELAKSANAAN PILKADA SERENTAK YANG DEMOKRATIS,
DAMAI DAN BERMARTABAT
Dalam praktiknyaPilkada melahirkan berbagai konflik yang di antaranya dipicu oleh masalah
administrasi data pemilih, netralitas penyelenggara Pemilu, serta kurangnya kepatuhan
peserta pilkada dan partai politik terhadap peraturan yang berlaku. Kajian ini menggunakan
metode penelitian kualitatif refleksif, yaitu ingin merefleksikan tentang pilkada serentak dan
kaitannya terhadap upaya membangun geliat demokrasi dalam pemerintahan dan politik lokal
serta menjamin hadirnya kemaslahatan bersama dalam masyarakat. Masalahnya adalah
bagaimana pilkada serentak sebagai agenda politik nasional menuju demokratisasi dapat
berjalan secara substansi dan tidak sekedar ritual prosedur semata.
Tulisan ini akan memaparkan mengenai Pelaksanaan Pilkada Serentak Yang Demokratis, Damai Dan Bermartabat dalam mewujudkan kompetisi yang fair dan terbuka (fair and open in
regular base) dalam pemilihan kepala daerah secara serentak.
Hasil kajian menunjukkan bahwa pilkada yang demokratis konstitusional, damai dan bermartabat adalah pemilihan kepala daerah yang dalam proses pelaksanaannya transparan,
akuntabel, kredibel, dan partisipatif, serta hasilnya dapat diterima oleh semua pihak, sehingga
mampu menjamin hadirnya kemaslahatan bersama dalam masyarakat
Pendahuluan
Agenda politik nasional strategis
dan memiliki aspek pemerintahan dan
kemasyarakatan yang luas dengan segala
konsekuensinya bagi masa depan sistem
politik Indonesia adalah Pelaksanaan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
serentak. Bukan hanya mengejar target
keserentakan pencalonan, dinamika
kampanye, dan pelantikannya, tetapi
juga kesejalanannya dinamika di daerah
dengan agenda pembangunan yang
dicanangkan Pusat agar dapat mencapai
sasaran dengan hasil maksimal.
Konstruksi politik beroperasinya sistem
presidensial yang tidak terpencar masing-
masing kegiatannya di tingkat lokal
sebagai akibat latar belakang politik
kepala daerahnya yang beragam dengan
pemerintah koalisi di Pusat, adalah
sintesa besar dari pembahasan substansi
penting dari demokrasi pilkada sebagai
agenda nasional. 1
Penyelenggaraan pilkada
serentak yang dilaksanakan secara
bertahap dimulai pada 2015, kemudian
tahap kedua akan dilaksanakan pada
15 Februari 2017 untuk kepala daerah
yang masa jabatannya berakhir pada
semester kedua 2016 dan yang berakhir
pada 2017. Selanjutnya, secara bertahap
gelombang ketiga direncanakan Juni
2018, berikutnya tahun 2020, 2022, dan
2023 hingga pilkada serentak nasional
pada tahun 2027 yang meliputi seluruh
wilayah Indonesia. Pilkada secara rutin
menjadi agenda nasional yang dilakukan
dalam kurun waktu 5 tahun sekali.
Pilkada serentak 2017 akan
diselenggarakan di 7 provinsi (Aceh,
Kepulauan Bangka Belitung, DKI Jakarta,
Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan
Papua Barat), 18 kota, dan 76 kabupaten
atau khusus bagi kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang akan mengakhiri masa
jabatannya pada Juli 2016-Desember
2017 (tersebar di 28 Provinsi)
pilkada serentak tahap II di provinsi
Jawa tengah akan diselenggarakan di
tujuh Kabupaten/Kota, yaitu Kabupaten
Banjarnegara, Kabupaten Batang,
Kabupaten Brebes, Kabupaten Cilacap,
Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara dan
Kota Salatiga.
Pilkadaserentakmerupakanupaya
untuk menciptakan local accountability,
political equity dan local responsiveness.
Dengan begitu, demokratisasi di tingkat
lokal terkait erat dengan tingkat partisipasi,
dan relasi kuasa yang dibangun atas dasar
pelaksanaan azas kedaulatan rakyat.
Selain itu, hasil pilkada juga harus mampu
menghantarkan masyarakat pada kondisi
sosial, politik dan ekonomi yang lebih
baik. Pilkada yang baik akan melahirkan
pemerintahan yang baik. Pilkada yang
diselenggarakan secara lebih profesional,
demokratis, akan memberikan dampak
nyata terhadap perubahan politik.
Meskipun demikian, dalam
praktiknya Pilkada melahirkan berbagai
konflik yang di antaranya dipicu oleh
masalah administrasi data pemilih,
netralitas penyelenggara Pemilu, serta
kurangnya kepatuhan peserta pilkada
dan partai politik terhadap peraturan yang
berlaku. Pilkada serentak sebagai agenda
politik nasional menuju demokratisasi
dapat berjalan secara substansi dan tidak
sekedar ritual prosedur semata. Dalam
tulisanini, Penulistertarikuntukmembahas
tentang Bagaimana Pelaksanaan Pilkada
Serentak Yang Demokratis, Damai Dan
Bermartabat?
B. Pembahasan
1. Kerangka Teoretis Demokrasi
Konstitusional dalam
Penyelenggaraan Pilkada Serentak
Secara harfiah demokrasi
berasal dari bahasa Yunani, demos
yang berarti rakyat dan kratia yang
berarti pemerintahan. Sedangkan
secara istilah, demokrasi merupakan
dasar hidup bernegara yang
menempatkan rakyat dalam posisi
berkuasa (government or role by
people) sehingga pada tingkat
terakhir rakyat memberikan ketentuan
mengenai kehidupannya, termasuk
dalam menilai kebijaksanaan negara
karena kebijaksanaan tersebut
menentukan kehidupan rakyat.
Demokrasi dapat dijustifikasikan
sebagai government of, by, and for
people.
2. Ada dua pendekatan terhadap demokrasi: pendekatan normatif dan
pendekatan empirik.
3. Pendekatan
normatif, menekankan pada ide dasar
dari demokrasi yaitu kedaulatan ada
di tangan rakyat dan oleh karenanya
pemerintahan diselenggarakan
dari, oleh, dan untuk rakyat. Dalam
perkembangannya, ide kedaulatan
rakyat secara utuh sulit diterapkan
selain beragam dan seringkali saling
bertentangan, rakyat juga sulit
dihimpun untuk penyelenggaraan
pemerintahan sehari-hari. Oleh
karena itulah muncul ide demokrasi
yang terkonkretisasi dalam lembaga
perwakilan, baik lembaga eksekutif,
legislatif maupun yudikatif yang
anggota-anggotanya dipilih dari
partai politik atau perseorangan
sebagai agregasi dari berbagai
kepentingan rakyat. Sedangkan
pendekatan empirik menekankan
pada perwujudan demokrasi dalam
kehidupan politik sebagai rangkaian
prosedur yang mengatur rakyat untuk
memilih, mendudukkan dan meminta
pertanggungjawaban wakilnya di
lembaga perwakilan. Wakil-wakil
inilah yang kemudian membuat dan
menjalankan keputusan publik.
Anders Uhlin mengemukakan
adanya dua pendekatan berbeda
terhadap konsep demokrasi, yaitu sebagai tujuan dan sebagai label bagi
sistem politik yang ada. Teori normatif
berkenaan dengan demokrasi sebagai
tujuan (resep tentang bagaimana
demokrasi seharusnya), sementara
teori empiris berkenaan dengan sistem
politik yang ada (deskripsi tentang apa
demokrasi itu sekarang).4 Sedangkan
Franz Magnis Suseno dalam
menelaah mengenai pengertian dasar
demokrasi, membedakan antara apa
yang disebutnya dengan "telaah etika
politik" di satu pihak dan "diskursus
politik" di lain pihak. Menurutnya
"diskursus politik" dapat diartikan
sebagai mengajukan penilaian, kritik,
dan tuntutan langsung terhadap
realitas politik yang bertujuan menilai,
mempengaruhi, mempertahankan
atau mengubah keadaan dalam
negara serta menanggapi langsung
argumentasi dan legitimasi yang
diajukan oleh pelbagai aktor di
panggung politik. Sedangkan telaah
"etika politik" termasuk telaah filsafat
yang obyeknya adalah prinsip-
prinsip sebagai dasar untuk dapat
mempertanyakan syarat, konsistensi
dan implikasi-implikasi pertanyaan
diskursus politik dari segi prinsip etika.
Terkait dengan demokrasi dari
segi etika politik, negara demokratis
memiliki lima gugus ciri hakiki, yaitu:
negara hukum; prinsip kontrol nyata
masyarakat terhadap pemerintah;
prinsip perwakilan melalui lembaga
perwakilan yang dipilih melalui pemilu
yang bebas; prinsip mayoritas; dan
adanya prinsip jaminan terhadap
hak-hak demokratis.
5. Sedangkan
negara demokratis terkait dengan
diskursus politik memiliki lima macam
elemen, yaitu: partisipasi, di mana rakyat terlibat dalam pembuatan
keputusan politik; adanya kontestasi
yang menyamakan kedudukan di
antara rakyat; adanya tingkat liberasi
dan kebebasan yang dijamin untuk
atau oleh rakyat; adanya sistem
perwakilan; dan satu sistem pemilihan
berdasarkan aturan mayoritas.
6.Menurut Beetham normatifitas
demokrasi bertujuan untuk memberi
ruang kontrol rakyat terhadap urusan-
urusan publik atas dasar kesetaraan
politik dan solidaritas antara
warganegara yang mensyaratkan
seperangkat prinsip umum tentang
hak dan kemampuan bagi semua
orang untuk berpartisipasi, otorisasi,
representasi dan bertanggungjawab
secara transparan
7.Dalam suatu
pemerintahan, prinsip-prinsip di
atas mensyaratkan seperangkat
instrumen, meliputi: (i) pemilu yang
demokratis, keterwakilan, pemerintah
yang responsif dan bertanggung
jawab; (ii) konstitusi atau hukum yang
menjamin kesetaraan, kepastian
hukum dan keadilan; dan (iii)
partisipasi masyarakat dalam segala
bentuk, baik media, seni, maupun
organisasi masyarakat sipil yang
bebas dan berorientasi demokratis.
Prasyarat efektifnya suatu sistem
demokrasi adalah independensi atau
kemandirian dan korespondensi atau
kesesuaianantaradefinisiresmidemos
(yakni bagaimana "warganegara
Indonesia" didefinisikan secara legal-
konstitusional dan administratif) yakni
dengan bagaimana masyarakat
mengidentifikasi diri mereka dalam
urusan public dalam arti kratos. Hal
inilah yang pada akhirnya mengacu
pada responsifitas representas Demokrasi normatif sebagai
sebuah ide pemerintahan rakyat
memposisikan rakyat dalam posisi
sentral untuk menentukan dan menilai
kebijaksanaan negara oleh karena
kebijaksanaan tersebut menentukan
kehidupan rakyat. Kedaulatan rakyat
ini dipahamai Rousseau sebagai
kemauan rakyat (volonte generale
atau general will) yang dilembagakan
melalui lembaga perwakilan rakyat
agar dapat dirumuskan dalam
public policy.
8. Atas dasar tersebut
maka lahirlah teori demokrasi
representatif, di mana hak untuk
membuat keputusan-keputusan politik
dijalankan oleh sedikit orang dalam
lembaga parlemen (legislatif) yang
dipilih rakyat melalui pemilu sebagai
implementasi kedaulatan rakyat
yang diimbangi dengan lembaga
pemerintah (eksekutif) sebagai
pelaksana kebijakan parlemen dan
lembaga-lembaga hukum (yudikatif).
Sedangkan dari sudut empiris, sistem
politik demokratis adalah sistem yang
menunjukkan bahwa kebijakan umum
ditentukan atas dasar mayoritas
oleh wakil-wakil yang diawasi secara
efektif oleh rakyat dalam pemilihan
berkala yang didasarkan atas prinsip
kesamaan politik dan diselenggarakan
dalam suasana terjaminnya
kebebasan politik.
9. Terkait dengan hal tersebut,
April Carter maupun Lawrence Dood10
menyatakan bahwa dalam teori
demokrasi (representative democratie
theory), institusi perwakilannya
meliputi kekuasaan legislatif,
eksekutif dan yudikatif.
10. Pelembagaan
demokrasi memiliki tiga komponen
kualifikasi sebagai modus vivendi
yang diharap dapat mendorong dan
mengembangkan demokrasi yang
sehat, yaitu kompetensi, konstituensi
maupun integritas.
11.Tiga komponen
kualifikasi tersebut merupakan
modus vivendi yang bersifat kumulatif
bagi demokratisnya pelembagaan
demokrasi secara hukum.
Konstituensi memberikan legalitas
kepadaposisipolitikseseorangdengan
tanggung jawab yang harus diberikan
kepada konstituennya dapat diukur
berdasarkan dedikasi. Kompetensi
memberikan efektivitas kepada posisi
politik seseorang, dengan tanggung
jawab yang harus diberikan kepada
komitmen kerjanya dapat diukur
berdasarkan prestasi. Sedangkan
integritas memberikan legitimasi
kepada seseorang dengan tanggung
jawab berkenaan dengan komitmen
terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip
yang menjadi pedoman, oleh karena
itu diukur berdasarkan kemampuan
resistensi terhadap represi politik,
komersialisasi dan tingkat otonomi
berhadapan dengan deviasi politik.
Demokrasi konstitusional
(constitutional democratie) adalah
gagasan bahwa pemerintahan yang
demokratis adalah pemerintahan yang
terbatas kekuasaannya dan tidak
dibenarkan bertindak tiran terhadap
warganya. Pembatasan kekuasaan
pemerintahan tersebut termaktub
dalam konstitusi yang dibuat
berdasarkan prosedur demokratis
sehingga sering disebut dengan
pemerintahan berdasarkan konstitusi
(constitutional government).
12. Dengan
demikian, Pilkada Serentak (Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, serta Walikota dan
Wakil Walikota) adalah pelaksanaan
kedaulatan rakyat di wilayah provinsi
dan kabupaten/kota untuk memilih
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, serta Walikota dan
Wakil Walikota secara langsung dan
demokratis (Pasal 1 angka 1 UU No.
8 Tahun 2015).
2. Pembelajaran dari Pilkada Serentak
2015
KPU, Panwaslu, dan pemda
merupakan tiga pilar utama dalam
pelaksanaan pilkada. Hal ini berkaitan
dengan kelengkapan logistik dan
perlengkapan Pilkada, daftar pemilih
tetap (DPT), penerbitan surat keputusan
pemberhentian bagi pasangan calon
bupati-wakil bupati atau walikota-wakil
walikota yang merupakan pegawai
negeri sipil (PNS), anggota DPR,
maupun TNI/Polri aktif, serta penertiban
alat peraga kampanye atau APK di
beberapa daerah yang pemasangannya
melanggar peraturan. Pilkada serentak
2015 di Jawa Tengah diikuti sebanyak
56 pasangan calon kepala daerah. Yakni
Kota Semarang, Magelang, Surakarta,
Pekalongan, Kabupaten Rembang,
Kebumen, Purbalingga, Pekalongan,
Boyolali, Blora, Kendal, Sukoharjo,
Semarang, Wonosobo, Demak,
Purworejo, Grobogan, Pemalang, Sragen,
dan Wonogiri, Klaten. Dari 56 pasangan
calon, 52 pasangan calon di antaranya
diusung partai politik dan gabungan partai
politik. Sedangkan empat pasangan
calon, mencalonkan diri melalui jalur
perorangan. Calon perorangan dari
Kabupaten Wonosobo, Klaten, Rembang,
dan Magelang. Sebanyak 13 calon
merupakan mantan bupati/walikota
setempat, 11 calon adalah wakil bupati/
wakil walikota yang mencalonkan diri
sebagai bupati/walikota, sebanyak 26
calon berprofesi sebagai anggota DPR
RI/DPRD, dan 10 calon berlatar belakang
PNS
Terkait dengan penyelenggaraan
Pilkada serentak 2015 di Jawa Tengah,
ketidaknetralan ASN dalam juga terjadi,
salah satunya di Kabupaten Pemalang
yakni intervensi Sekretaris Daerah
(Sekda) Kabupaten Pemalang, terhadap
anggota panitia pengawas (panwas)
daerah setempat, namun penindakan
kepada ASN tersebut lemah. Selain itu,
terdapat 3 (tiga) TPS yang dilakukan
Pemungutan Suara Ulang(PSU) yaitu
di Kabupaten Kebumen da 1 TPS dan di
Kabupaten Pekalongan ada 2 TPS.
Pengalaman berharga yang dapat
dipetik dari pelaksanaan pilkada serentak
2015, dapat kita telaah untuk mewujudkan
pilkada serentak yang demokratis
konstitusional, damai dan bermartabat.
Pertama, fase pra pemungutan suara.
Kedua, fase proses pemungutan suara,
dan ketiga, fase pasca pemungutan suara.
Pada fase pra pemungutan suara,
setidaknya persoalan yang muncul adalah
masalah pencalonan, penganggaran,
data pemilih, kampanye, dan distribusi
logistik. Munculnya kasus pelanggaran
administratif yang diuji melalui putusan
PTUN dan berlanjut dengan kasasi di
tingkat MA memakan waktu lama. Kurun
waktu penyelesaian sengketa pilkada
yang lama tersebut, telah berakibat pada
tertundanya pilkada serentak di lima
daerah atau gagal dilaksanakan (Provinsi
Kalimantan Tengah, Kabupaten Fakfak,
Kota Pemantangsiantar, Kabupaten
Simalungun, dan Kota Manado).
Pada fase proses pemungutan
suara hingga rekapitulasi perolehan
suara merupakan momen krusial yang
paling disoroti berbagai kalangan, karena
dianggap momen yang paling rawan
terjadinya berbagai pelanggaran pemilu.
Mulai dari pemilih mencoblos lebih dari
satu kali, praktek politik uang, manipulasi
perolehan suara dan lain sebagainya.
Politik uang dalam tahapan pencalonan
ataupun ketika di tahapan pemungutan
suara masih berkembang. UU Pilkada
belum dapat digunakan untuk menjerat
pelaku politik uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar