Kamis, 17 Mei 2018

(HUKUM-01/203-171710795)

Bangsa Indonesia masih berada dalam masa transisi dari rezim otoriter dan represif ke rezim demokratis, namun menyadari masih lemahnya penguasaan masalah dan kesadaran bahwa penegakan HAM merupakan kewajiban seluruh bangsa tanpa kecuali, perlu diterapkan keadilan yang bersifat transisional, yang memungkinkan para korban pelanggaran HAM di masa lalu dapat memperoleh keadilannya secara realistis.

Penegakan HAM sangat bergantung seberapa berkualitas demokrasi dijalankan di Indonesia. Demokrastisasi Indonesia sekalipun telah mencapai perubahan positif masih banyak resiko negatif yang membayangi, dimana kran liberalisasi politik, kebebasan media massa serta jaminan artikulasi warga negara menjadi kisah sukses yang harus diapresiasi sebagai dampak nyata reformasi.

Komnas HAM seringkali mendapat banyak sorotan dan diangap tidak independen karena proses seleksi komisioner sarat dengan kepentingan politik serta orang-orang yang menjadi kandidat komisioner tidak memiliki latar belakang pengetahuan dan pemahaman HAM yang luas. Ketika terpilih menjadi komisioner, ideologi partai atau kelompok tempatnya berasal lebih mewarnai pola pikirnya ketimbang paham HAM universal. Lembaga yang lahir dari pergulatan perjuangan manusia dipundaknya menanggung marwah untuk mendorong terwujud dan tegaknya martabat setiap manusia.

Untuk itu, Komnas HAM sangat diharapkan berperan maksimal dalam mendorong perlindungan dan penegakan HAM. Apalagi di tengah trend pelanggaran HAM yang semakin massif dari tahun ke tahun, peran lembaga ini sangat ditungu-tunggu. Meski Komnas HAM diberi mandat oleh UU untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat akan tetapi mendapat kendala yang terletak pada kurangnya Political Will….kelompok, golongan, ataupun individu terhadap kelompok, golongan, atau individu lainnya untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut.

Akibatnya Komnas HAM untuk melakukan pemanggilan pun menjadi berdebatan dikalangan pemerintah dan sering diabaikan oleh pihak-pihak yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat. Disisi lain, saat ini HAM tidak lagi dipandang sekadar sebagai perwujudan faham individualisme dan liberalisme tetapi lebih dipahami secara humanistis sebagai hak-hak yang inheren dengan harkat dan martabat kemanusiaan, apapun latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin dan pekerjaannya.

Dewasa ini pula banyak kalangan yang berasumsi negatif terhadap pemerintah dalam menegakkan HAM. Perlu diketahui bahwa pemerintah Indonesia sudah sangat serius dalam menegakkan HAM, hal ini dapat dlihat dari upaya pemerintah Indonesia menyambut baik kerja sama internasional dalam upaya menegakkan HAM di seluruh dunia atau di setiap negara dan sangat merespons terhadap pelanggaran HAM internasional hal ini dapat dibuktikan dengan kecaman presiden atas beberapa agresi militer di beberapa daerah akhir-akhir ini contoh; Irak, Afghanistan, dan baru-baru ini Indonesia juga memaksa PBB untuk bertindak tegas kepada Israel yang telah menginvasi Palestina dan menimbulkan banyak korban sipil, wanita dan anak-anak.

Tidak sulit bagi siapapun untuk menyimpulkan bahwa terorisme merupakan suatu tindakan yang sangat merugikan masyarakat baik nasional maupun internasional, bahkan sekaligus merupakan kejahatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Dengan merujuk pada ketentuan Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menetukan, "Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu". Sehingga adanya rasa takut dan cemas yang melanda warga masyarakat yang diakibatkan oleh terorisme, maka para teroris telah merampas hak asasi orang lain tentang rasa aman. Apalagi jika tindakan itu menimbulkan korban nyawa yang sering tidak sedikit jumlahnya. Dengan demikian, baik melalui pemahaman logika sederhana maupun dengan analisa normatif, telah dapat dibuktikan bahwa tindakan terorisme merupakan kejahatan terhadap HAM.

 

Terorisme sendiri sebagai suatu fenomena sosial mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Cara-cara yang digunakan untuk melakukan kekerasan dan ketakutan juga semakin canggih seiring dengan keinginan teknologi modern. Proses globalisasi dan budaya massa menjadi lahan subur perkembangan terorisme. Kemudahan menciptakan ketakutan dengan teknologi tinggi dan perkembangan informasi melalui media yang luas, membuat jaringan dan tindakan teror semakin mudah mencapai tujuannya.

 

Bentuk-bentuk terorisme seiring perkembangan zaman dapat diperinci sebagai berikut:

  1. Sebelum Perang Dunia II, hampir semua tindakan terorisme terdiri atas pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah.
  2. Terorisme pada tahun 1950-an yang dimulai di Aljazair, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan "serangan yang bersifat acak" terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang mereka sebut (Algerian Nationalist) sebagai "terorisme negara". Menurut mereka, pembunuhan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan bukanlah soal yang harus dirisaukan, bahkan sasarannya adalah mereka yang tidak berdosa.
  3. Terorisme yang muncul pada tahun 1960-an dan terkenal dengan istilah "terorisme media", berupa serangan acak atau random terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas.

Dari gambaran diatas sejarah panjang perkembangan dan perubahan wajah terorisme dari waktu ke waktu. Hal ini pula yang menyebabkan sampai saat ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Terorisme. Berbagai konsepsi dan definisi yang disampaikan oleh para ahli mengenai terorisme, sangat beragam mengikuti perkembangan corak tindakan tersebut yang sangat dinamis.

 

Sebagian ahli berpendapat bahwa terorisme adalah penggunaan atau ancaman kekerasan fisik oleh individu-individu atau kelompok-kelompok untuk tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang ada, apabila tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan, melumpuhkan atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih besar daripada korban-korban langsungnya. Terorisme melibatkan kelompok-kelompok yang berusaha untuk menumbangkan rezim-rezim tertentu untuk mengoreksi keluhan kelompok/nasional, atau untuk menggerogoti tata politik internasional yang ada.

 

Pembentukan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, merupakan kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat proaktif yang di landaskan kepada kehati-hatian dan bersifat jangka panjang, karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat multi etnik dan mendiami ratusan ribu pulau yang tersebar di seluruh wilayah nusantara, letaknya ada yang berbatasan dengan negara lain dan oleh karenanya seluruh komponen bangsa Indonesia berkewajiban memelihara dan meningkatkan kewaspadaan akan adanya segala bentuk kegiatan tindak pidana terorisme, disamping itu konflik yang sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia berakibat sangat merugikan kehidupan bangsa Indonesia yang menyebabkan kemunduran peradaban yang pada akhirnya Indonesia akan dapat menjadi tempat subur berkembangnya terorisme baik yang dilakukan orang Indonesia sendiri maupun orang asing.

 

Materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 terdiri dari 47 (empat puluh tujuh) pasal yang antara lain mengatur masalah ketentuan umum, lingkup berlakunya, kualifikasi tindak pidana terorisme, tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme di sidang pengadilan, kompensasi, restitusi dan rehabilitasi serta kerjasama internasional.

Ditinjau dari optik yuridis, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mempunyai kekhususan meliputi :

  1. sebagai ketentuan payung terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme juga bersifat ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus koordinatif dan berfungsi memperkuat ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. adanya perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa yang disebut"safe guarding rules"
  3. adanya pengecualian bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik atau tindak pidana yang bermotif politik atau tindak pidana yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerja sama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif.
  4. ketentuan undang-undang ini memberi kemungkinan Presiden membentuk satuan tugas anti teror dengan berlandaskan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sun shine principle) dan atau prinsip pembatasan waktu efektif (sunset principle).
  5. adanya kualifikasi bahwa pendanaan untuk kegiatan terorisme sebagai tindak pidana terorisme.
  6. dikenal, diakui dan dipertahankannya ancaman sanksi pidana dengan minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap pelaku tindak pidana terorisme.

 

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa tindak pidana terorisme yang diatur didalam undang-undang ini dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik dan tindak pidana dengan tujuan politis yang menghambat ekstradisi.

 

Dalam hal ini, harus diakui bahwa dalam penjelasan undang-undang tersebut sangat disayangkan tidak dijelaskan apa yang dimaksud tindak pidana politik dan tindak pidana dengan tujuan politik. Menurut Barda Nawawi Arif , dalam kebijakan legilatif selama ini tidak ada suatu suatu perbuatan yang secara formal di kualifikasikan sebagai "kejahatan atau tindak pidana politik" oleh karena itu dapat dikatakan bahwa istilah "kejahatan atau tindak pidana politik" bukan merupakan istilah yuridis melainkan hanya merupakan istilah atau sebutan teoritik ilmiah (scientific term).

 

Selanjutnya, ancaman pidana minimal khusus di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang ternyata tidak disertai dengan aturan atau pedoman pemidanaan untuk menerapkan ancaman pidana tersebut, menurut Barda Nawawi Arif ini merupakan perpanjangan dari sistem KUHP, dan seharusnya undang-undang khusus ini di luar KUHP membuat aturan khusus atau tersendiri untuk penerapannya. Hal ini merupakan konsekwensi dari adanya Pasal 103 KUHP karena KUHP sendiri bukan mengatur masalah ini. Dengan tidak adanya aturan atau pedoman pemidanaan ini maka tidak begitu jelas apakah pidana minimal itu dapat diperingan (dalam hal ada faktor yang meringankan) atau dapat diperberat (dalam hal ada faktor yang memberatkan).

 

Dilihat dari sudut kebijakan kriminal, maka upaya penanggulangan kejahatan (termasuk tindak pidana terorisme) dengan sarana hukum pidana (penal policy) bukan merupakan kebijakan yang strategis. jadi kebijakan strategis dalam penanggulangan kejahatan (termasuk tindak pidana terorisme) terletak pada kebijakan penanggulangan yang sensitif.

 

Inilah yang tidak dipenuhi oleh kebijakan penal dalam menanggulangi kejahatan, karena kebijakan penal merupakan kebijakan parsial, represif dan simptomik. Walaupun kebijakan penal bersifat represif, namun sebenarnya juga mengandung unsur preventif, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap delik atau kejahatan diharapkan ada efek pencegahan atau penangkalnya (deterent effect). Disamping itu kejahatan penal tetap diperlukan dalam penanggulangan kejahatan karena hukum pidana merupakan salah satu sarana kebijakan sosial untuk menyalurkan "ketidaksukaan masyarakat (social dislike) atau "pencelaan atau kebencian sosial" (social disaproval / social abhorence) yang sekaligus juga diharapkan menjadi sarana "perlindungan dengan sosial" (social defence), oleh karena itulah sering dikatakan bahwa "penal policy" merupakan bagian integral dari social defence policy.

 

Agaknya dimasa yang akan datang peran serta masyarakat hendaknya dimasukkan di dalam Rencana Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, hal ini mengingat sulitnya upaya mendeteksi kejahatan terorisme dan di dalam kenyataannya pihak Kepolisian memasang gambar-gambar atau foto tokoh-tokoh teroris yang dicari dengan meminta bantuan masyarakat.

 

Menurut saya, kesimpulannya Kesepakatan dunia yang menjadikan tindakan terorisme sebagai musuh bersama yang mengancam terhadap HAM sangat mendasar dan mendapat pembenaran baik dengan menggunakan logika sosial maupun logika hukum. Terorisme dipandang sebagai kejahatan luar biasa yang membutuhkan penanganan dengan cara-cara yang luar biasa. Upaya yang dimaksud tentu saja upaya yang komprehensip dengan tidak hanya mengandalkan hukum semata sebagai pilar utama dalam pemberantasan tindakan terorisme. Upaya luar biasa yang dimaksud adalah terlibatnya semua pihak yang saling bahu-membahu dalam memberantas terorisme demi terjaganya kehormatan dan keselamatan umat manusia. Upaya ini sudah semestinya untuk secara tegas dinyatakan dalam berbagai kebijakan hukum pemerintah agar dalam pelaksanaannya dapat terarah dan terukur serta lebih memebrikan rasa tanggung jawab bersama yang bersifat mutlak.


Penulis Artikel : Amira Sukma Tristyana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar