HAM UNTUK ORANG BERCADAR DAN BERJENGGOT
HAM adalah norma-norma, yang menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional. Hak asasi itu sendiri berasal dari Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada seluruh manusia. Akan tetapi, pada saat ini sudah banyak hak asasi yang dilanggar oleh manusia guna mempertahankan hak pribadinya.
Hak dapat diartikan sebagai kekuasaan dalam melakukan sesuatu atau kepunyaan, sedangkan asasi adalah hal yang utama, dasar. Sehingga hak asasi manusia atau sering disebut sebagai HAM dapat diartikan sebagai kepunyaan atau milik yang bersifat pokok dan melekat pada setiap insan sebagai anugerah yang telah diberikan oleh Allah SWT.
Tapi bagaimana HAM untuk para orang yang bercadar dan untuk orang yang berjenggot yang banyak dikalangan orang ramai sebagai Teroris. Sejak masa Amrozi dan Ali Imron dulu, sebagian orang memiliki anggapan bahwa orang-orang yang berjenggot dan memakai celana di atas mata kaki adalah orang-orang yang sekelompok dengan Noordin cs. Atau istri-istri mereka yang mengenakan cadar dituduh sebagai istri para teroris.
Bercadar adalah menutup wajah terkhusus untuk seorang perempuan. Dalam dunia islam bercadar bagi perempuan hukumnya sunnah. Inilah yang seharusnya dilakukan seorang perempuan yang beragama islam, tetapi masyarakat sekarang lebih suka mengejek seorang perempuan bercadar identik dengan terorisme atau istri seorang teroris. di Indonesia saat ini, jumlah wanita yang menggunakan jilbab bercadar masih menjadi minoritas. Karena banyak masyarakat awam, khususnya wanita yang belum mengenakan cadar menganggap bahwa cadar hanyalah sebuah tuntutan budaya timur. Namun bagi wanita yang sudah mengenakan cadar, mereka menganggap bahwa cadar merupakan sebuah cara agar mereka lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. dan lebih meningkatkan keimanannya. Banyaknya orang-orang yang menganggap bahwa wanita bercadar adalah orang dari kebudayaan Arab atau Timur Tengah. Sehingga mereka masih enggan untuk memakai cadar dalam kehidupan sehari-harinya. Akan tetapi perlu kita ketahui bahwa anjuran memakai cadar bagi wanita muslimah merupakan sesuatu yang didasari fungsi agama dan banyak dalil Al-Qur'an, hadits-hadits dan ajaran dari sahabat Nabi Muhammad SAW serta dari para pengikut ulama. Tetapi adanya anggapan orang yang mengira orang yang bercadar adalah seorang teroris adalah salah satu anggapan yang berasal dai doktrin masyarakat. Seperti yang baru saja terjadi di Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta dimana mereka melarang mahasiswi untuk memakai cadar. Mereka menilai hal tersebut telah melanggar HAM dan pelarangan bercadar adalah bentuk kecurigaan dengan anggapan orang yang bercadar adalah orang yang Radikalisme menurut saya paham yang dikeluarkan oleh UIN SuKa telah melanggar Norma kesusilaan dimana Norma kesusilaan hadir dalam bentuk kesadaran hati nurani yang selalu muncul mengiringi perjalanan hidup setiap manusia. Bahkan, norma kesusilaan inilah yang membuat kita pantas disebut manusia dan membedakan kita dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya, selama orang yang bercadar tidak melanggar aturan , tidak melanggar undang-undang dan dia yakin untuk bercadar. Jadi, kita harus mulai menghilangkan pemikiran negatif kita tentang perempuan yang bercadar, karena semata-mata mereka bercadar untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yang dianjurkan untuk menutupi wajahnya dari banyaknya fitnah yang ada di dunia ini. Perempuan bercadar adalah mereka yang mencintai agmanya dan berusaha untuk menjaga
kehormatannya. Jadi berusahalah untuk menghargainya dan menghilangkan sebuah pemikiran cadar yang dihubungkan dengan terorisme.
Adapun orang yang berpenampilan berjenggot untuk para kaum pria masih banyak orang-orang yang beranggapan sebagai teroris anggapan seperti itu termasuk doktrin yang terjadi di masyarakat bagaimana tidak Tiap hari kita disuguhi berita terorisme lewat TV Untuk pelaku terorisme ataupun orang yang disangka mempunyai hubungan dengan terorispun sering kita liat di TV, lebih sering orang yang disangka teroris itu muslim berjenggot, ataupun mungkin isterinya yang bercadar sehingga tanpa sadar TV sudah ikut membentuk opini masyarakat kita bahwa yang bersangkutan dengan teroris ya pasti muslim yang bercadar atau berjenggot. Padahal hal tersebut adalah salah satu ajaran islam yang memboleh kan untuk berjenggot untuk kaum pria tetapi jika ada orang atau pihak manapun yang melarang untuk pria yang berjenggot itu adalah bagian dari pelanggaran HAM dimana seseorang telah melanggar norma kesusilaan yang hadir dalam bentuk kesadaran hati nurani yang selalu muncul mengiringi perjalanan hidup setiap manusia. Bahkan, norma kesusilaan inilah yang membuat kita pantas disebut manusia dan membedakan kita dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya.
Kejadian terorisme yang dilakukan oleh orang yang bercadar Salah satu pelaku bom Surabaya atau bom bunuh diri di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jalan Diponegoro, Surabaya, Jawa Timur, diduga dilakukan sosok dewasa bercadar menggandeng dua anak.
Informasi ini didapat dari seorang saksi mata bernama Tardianto. Ia mengaku, kedatangannya ke GKI Jalan Diponegoro ini menemui salah seorang keluarga. Setibanya di lokasi, tepatnya di sebuah warung samping GKI, Tardianto melihat seorang bercadar itu tampak berjalan kaki memasuki area parkir GKI.
"Ada yang memakai cadar dan satu masih balita dengan mengenakan jaket warna hitam dan menggunakan pakaian berwarna gelap," Tak lama kemudian, mendengar satu ledakan keras dan terlihat seorang wanita yang masih anak-anak sudah tergeletak. Selain satu orang anak itu, selain itu juga melihat seorang sekuriti yang kedapatan luka parah.
Selain itu serangan terorisme yang dilakukan oleh Amrozi dimana kita mengenal dengan serangan Bom bali 1. Peristiwa pengeboman yang terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002. Dua ledakan pertama terjadi di Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali, sedangkan ledakan terakhir terjadi di dekat Kantor Konsulat Amerika Serikat, walaupun jaraknya cukup berjauhan. Rangkaian pengeboman ini merupakan pengeboman pertama yang kemudian disusul oleh pengeboman dalam skala yang jauh lebih kecil yang juga bertempat di Bali pada tahun 2005. Tercatat 202 korban jiwa dan 209 orang luka-luka atau cedera, kebanyakan korban merupakan wisatawan asing yang sedang berkunjung ke lokasi yang merupakan tempat wisata tersebut. Peristiwa ini dianggap sebagai peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia.
Setiap aksi teror yang dijalankan tak satupun yang berkesesuaian dengan akal dan nurani manusia, karena perbuatan mengancam, menyakiti atau bahkan membunuh jelas bertentangan dengan akal sehat. Agama Islam secara tegas mendefinisikan perbuatan-perbuatan buruk yang memiliki konsekuensi kemanusiaan adalah perbuatan yang bertentangan secara syariat dan bertolak-belakang dengan akal sehat manusia. Perlakuan teror jelas masuk kategori yang bertentangan secara hukum syariat, terlebih mengingkari akal sehat, karena perbuatannya mengancam, menyakiti atau membunuh tanpa kejelasan.
Para pelaku teror tentunya akan berpegang pada prinsip rasionalisme yang melekat dalam diri mereka sendiri. Filosof berkebangsaan Jerman, Immanuel Kant, misalnya, pernah menjelaskan bahwa sisi rasio kemanusiaan dalam kaitannya terhadap ilmu pengetahuan, dapat dibedakan ke dalam dua hal: rasio teoritis atau rasio murni dan rasio praktis. Jika para pelaku teror mendasarkan aksinya hanya bersandarkan pada teori-teori jihad yang dimanipulasi dan disederhanakan, lalu menjadi asupan pengetahuan dogmatik yang diyakini sebagai kebenaran, maka sangat tepat jika mereka hanya mengandalkan rasio praktis.
HAM adalah hak yang melekat pada setiap orang yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai sebuah anugerah, maka HAM melekat erat pada setiap manusia, siapapun dia tanpa terkecuali. Tidak ada seorang atau pihak manapun bisa mencabut HAM seseorang secara sewenang-wenang, termasuk pemerintah. Termasuk seorang pelaku teroris yang juga ada HAM yang melekat di diri mereka. Sementara di Indonesia, terduga teror diperlakukan sebagai manusia yang pada dirinya melekat hak-hak yang dilindungi oleh undang-undang. Dengan pendekatan berbasis HAM, terorisme dapat dilokalisir sehingga tidak menyebar luas ke masyarakat. Pendekatan yang humanis menempatkan teroris para pelaku lapangan bukan hanya sebagai pelaku semata, namun juga korban. Mereka adalah korban dari indoktrinasi dan penyebaran pemahaman agama yang salah melalui berbagai media, di antaranya internet. Untuk itu, selepas dipenjara, mereka harus dirahabilitasi dan diberdayakan secara sosial dan ekonomi. Pendekatan HAM juga memberikan porsi yang besar kepada aktor-aktor non negara untuk berperan serta menanggulangi terorisme. Hal ini karena terorisme, sebagai faham dan gerakan, tidak bisa hanya diatasi oleh aparat negara yang jumlah dan kapasitasnya sangat terbatas, dibandingkan skala ancaman dan gerakan teror yang sangat luas dan mengglobal. Melalui pemeriksaan di pengadilan, aparat negara bisa memperoleh banyak data dan informasi tentang terorisme yang diperoleh dari tersangka/terdakwa, saksi, ahli, dan alat bukti lainnya. Keterangan ini berguna untuk menguak dan menelusuri jaringan teror yang ada untuk kepentingan pencegahan dan penindakan. Selain itu, proses penegakan hukum menjadi media edukasi bagi publik dan terduga teroris bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah dan melanggar hukum.
Dan dijelaskan bahwa seorang teroris telah mengambil hak hidup dari rakyat sipil yang menjadi korban terorisme. Dan tersebut melanggar peraturan – peraturan terkait hak asasi manusia. Maka bisa dianggap wajar apabila para teroris yang bersalah secara fatal dalam tindakan terorisme tersebut di hukum dengan hukuman yang sangat berat. Karena telah mengorbankan tidak hanya satu atau dua orang rakyat sipil yang menjadi korban tetapi bisa sampai puluhan atau ribuan yang menjadi korban. Dan para teroris telah mengambil hidup mereka, dimana setiap korban terorisme meninggalkan sanak keluarganya, dan itu tindakan pelanggaran HAM. Pengertian yang lain mejelaskan bahwa pelanggaran HAM adalah tindakan atau kelalaian oleh negara terhadap norma yang belum dipidana dalam hukum pidana tetapi, merupakan norma hak asasi yang diakui secara Internasional.
Oleh karena itu, dalam hal ini negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan keadaan yang aman di lingkungan negara dan memperkuat pertahanan negara, khususnya dari serangan terorisme. Negara juga bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Termasuk korban terorisme beserta kelurga dari korban teroris yang meninggal dunia, dengan cara menyantuni, dan memberikan bantuan kepada mereka. Dan kita harus mulai menghilangkan pemikiran negatif kita tentang perempuan yang bercadar dan pria yang berjenggot , karena semata-mata mereka bercadar dan berjenggot untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yang dianjurkan untuk menutupi wajahnya dari banyaknya fitnah yang ada di dunia ini. Perempuan bercadar dan pria yang berjenggot adalah mereka yang mencintai agmanya dan berusaha untuk menjaga
kehormatannya. Jadi berusahalah untuk menghargainya dan menghilangkan sebuah pemikiran cadar dan jenggot yang dihubungkan dengan terorisme.
NAMA : RESTU KURNIAWAN
NIM : 171710769
KELAS : A01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar