Kamis, 17 Mei 2018

(HUKUM-01/203-171710354) Penanganan Terorisme Melalui Penegakan Hukum Dan HAM

Sejak lahir setiap manusia sudah mempunyai hak asasi yang dijunjung tinggi serta diakui semua orang. Hak tersebut lebih penting dibandingkan hak seorang raja ataupun penguasa. Hak asasi itu sendiri berasal dari Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada seluruh manusia. Namun, pada saat ini sudah banyak hak asasi yang dilanggar oleh manusia guna mempertahankan hak pribadinya.

 

Hak dapat diartikan sebagai kekuasaan dalam melakukan sesuatu atau kepunyaan, sedangkan asasi adalah hal yang utama, dasar. Sehingga hak asasi manusia atau sering disebut dengan HAM dapat diartikan sebagai kepunyaan atau milik yang bersifat pokok dan melekat pada setiap insan sebagai anugerah yang telah diberikan oleh Allah SWT. Untuk lebih jelasnya tentang apa itu Hak Asasi Manusia, berikut pengertian HAM.

 

Secara singkat pengertian HAM atau Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki oleh seseorang sejak ia masih dalam kandungan dan dapat berlaku secara universal. Selain pengertian singkat tadi, pengertian HAM  juga disebut pada pasal 1 butir 1 UU No. 39 Tahun 1999 yang berbunyi "Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Allah SWT dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, pemerintah, hukum dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia".

 

Menurut G.J. Wolhots, pengertian HAM adalah sejumlah hak yang melekat dan berakar pada tabiat setiap pribadi manusia, dan justru karena kemanusiaannya itulah, hak tersebut tidak dapat dicabut siapa pun juga karena jika dicabut akan hilang kemanusiaannya.

 

HAM merupakan hak yang tidak dapat dicabut dan yang tidak pernah di tinggalkan ketika umat manusia beralih memasuki era baru dari kehidupan pramodern ke kehidupan modern. Betapa ham telah mendapat tempat khusus di tengah-tengah perkembangan  kehidupan  manusia  mulai abad 18 sampai sekarang.

Negara wajib melindungi dan menjunjung tinggi HAM karena masyarakat telah menyerahkan sebagian hak-haknya kepada negara untuk dijadikan hukum (Teori Kontrak Sosial). Negara memiliki hak membuat hukum dan menjatuhkan hukuman atas pelanggaran HAM. Negara, pemerintah atau organisasi apapun berkewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa terkecuali. Ini berarti bahwa HAM harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Kewajiban menghormati hak asasi manusia tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama yang berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, serta hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dan tersurat dalam Pasal 28A sampai Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945 yang yang mengatur tentang hak asasi manusia.

Kewajiban menghormati hak asasi manusia tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama yang berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, serta hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dan tersurat dalam Pasal 28A sampai Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945 yang yang mengatur tentang hak asasi manusia.

Menyandigkan terorisme dengan HAM bisa jadi adalah suatu yang paradoks. Pada satu sisi, teroris atau tersangka teroris tergolong telah melakukan kejahatan berat, yaitu tidak hanya telah menghabisi nyawa orang lain, yang kadang kala tidak tahu apa-apa, tapi juga menebarkan rasa takut dan cemas ke anggota masyarakat yang lain, bahkan menembus batas teritorial negara sekalipun. Dari sisi hukum formal dan sistem norma yang berlaku di masyarakat, semua tindakan kriminal seharusnya diberikan hukuman yang setimpal dengan dampak yang dihasilkan.
Namun pada sisi lain, penegakan hukum terhadap kejahatan terorisme terkadang dilakukan dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan HAM. Padahal, para teroris atau tersangka teroris adalah juga manusia, yang memiliki hak asasi sebagai manusia yang harus kita hargai. Artinya, mereka pun harus dilakukan selayaknya manusia yang lain, termasuk dipenuhi hak-haknya.
Sering kali tindakan terorisme di tujukan atas sebuah perintah agama tertentu, disini islam menjadi klaim negara-negara tertentu menunjuk agama islam sebagai teroris. Islam adalah teroris begitulah paham orang-orang anti islam. Sasaran terorisme bisa jadi siapa saja dan apa saja. Entah itu negara atau kelompok atau individu. Namun pada prinsipnya dan yang paling menyakitkan, terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam hal ini kita berbicara pada posisi dimana HAM menjadi sasaran tindakan teror itu dilakukan.
Jika kita melihat peledakan bom dilakukan sebagai sebuah usaha untuk mengekspresikan pendapatnya, maka cara itu sangat tidak manusiawi, karena tidak ada yang lebih berharga di dunia ini daripada nyawa seseorang. Peledakan bom Bali, misalnya, telah menyebabkan puluhan bahkan ratusan nyawa lenyap. Kejahatan seperti ini jelas tidak bisa ditolelir oleh HAM.
Akibat dari peledakan itu sendiri pun melanggar hak asasi manusia, khususnya Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berbunyi, "Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu." Dengan adanya rasa takut dan cemas yang melanda warga masyarakat yang diakibatkan oleh terorisme, maka para teroris telah merampas hak asasi orang lain tentang rasa aman. Di sini kita bisa melihat bahwa sasaran utama terorisme bukan lagi sekadar kejahatan terhadap negara atau kelompok atau individu, melainkan kejahatan terhadap HAM.
Namun yang menjadi masalah adalah kejahatan teroris yang di atas namakan jihad seperti bom bali 1 dan bom bali 2 telah menimbulkan kejahatan kemanusiaan. Jihad dalam islam adalah salah satu perbuatan yang bernilai pahala besar di dalamnya. Namun jihad yang di klaim sebagai alasan bencana bom bali 1 dan bom bali 2 menimbulkan akibat berupa penderitaan dan banyak korban meninggal dunia.
Jika menyandingkan HAM dan jihad yang di klaim seperti bom bali 1 dan bom bali 2, jihad tersebut telah melanggar Hak Asasi Manusia, yaitu hak untuk hidup. Namun hak untuk berjihad adalah hak asasi juga. Yaitu hak seseorang untuk menjalankan perintah agamanya. 
Namun apakah yang menjadi sesuatu yang salah antara teroris berdasarkan jihad yang merupakan perintah agama, ataukah jihad semestinya tidak melanggar HAM. Hingga saat ini hal tersebut masih di perdebatkan dalam islam itu sendiri, apakah jihad seperti itu adalah benar adanya.
Namun tindakan terorisme seperti bom bali 1 dan bom bali 2 adalah kejahatan karena telah membunuh orang. Apakah adanya kesalahan pemahaman terhadap arti jihad yang salah, karena tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan dan kejahatan terlebih islam yang berarti damai.

Konsep keamanan nasional juga tidak lepas dari keamanan insani serta melindungi hak-hak setiap warga negaranya. Begitu pula dalam menangani masalah terorisme, sebagai negara demokrasi tentunya mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Mengapa hak asasi manusia amat penting?. Hal ini dikarenakan bahwa hak asasi manusia adalah suatu hal yang mengikat secara universal, bersifat absolut, pada diri manusia, melekat dalam diri masing-masing individu sebagai suatu nilai yang tidak bisa dikurangi, menjadi jaminan legal untuk melindungi individu dan kelompok dari tindakan-tindakan yang bisa mengancam hak dasar tersebut.[4]

Terkait penanganan terorisme di dunia, setiap negara yang di bawah PBB mempunyai kewajiban untuk turut andil dalam memerangi terorisme yang sekaligus sebagai upaya untuk menjaga perdamaian dunia. Dalam upaya-upaya memerangi terorisme tersebut perlu diperhatikan prinsip-prinsip HAM dan tidak melakukan tindakan yang pragmatis.

MK memberi istilah terhadap aksi terorisme sebagai kejahatan biasa yang sangat kejam. Terorisme tidak sama dengan kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. MK sendiri mengakui bahwa putusan itu diambil karena belum ada landasan yuridis bahwa kejahatan terorisme juga tersangkut paut dengan kejahatan luar biasa.[5]

Dalam upaya menanggulangi aksi-aksi terorisme diperlukan suatu penguatan terhadap peran penegak hukum khususnya di Indonesia dengan menitikberatkan pada institusi keamanan, dalam hal ini kepolisian sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam menghadapi aksi serangan maupun ancaman terorisme. Pemerintah Indonesia disponsori oleh Australia oleh beberapa pemerintah asing khususnya pemerintah Australia dan Amerika Serikat membentuk Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri sebagai lini terdepan dalam pemberantasan terroisme. Tugas pokoknya lebih banyak menitikberatkan untuk segera membongkar kasus pemboman, menangkap pelaku, dan membongkar jaringan teroris yang berada di belakang aksi teror.

Polisi memiliki kewenangan dalam penanggulangan terorisme, namun juga ada batasan-batasan nyata yang mengatur aspek dari kepolisian itu sendiri. Kekuatan diskresi yang melekat dalam mandat tugas mereka juga harus diikuti dengan proses pemahaman untuk menghormati berbagai ketetapan yang telah disepakati dalam standar HAM yang telah diakui dunia internasional. Sudah seharusnya tantangan-tantangan yang akan dan telah dihadapi oleh polisi dijalankan dalam koridor hukum dan standar HAM internasional.

Tindakan pencegahan terorisme dapat diartikan sebagai tindakan yang efektif melalui kebijakan dan berbagai program strategi untuk mencegah terjadinya aksi terorisme di Indonesia. Menghadapi ancaman terroisme yang akhirnya menimbulkan ketakutan serta penderitaan terhadap manusia, pemerintah demokratis harus dihadapkan pada pilihan yang sulit dalam menentukan kebijakan dan keputusan akan hal ini. Di satu sisi, mereka harus menjunjung tinggi nilai-nilai dasar demokratis yaitu berdasarkan proses hukum dan hak asasi manusia. Di sisi lain, mereka harus memfokuskan pada dampak serta kerusakan yang disebabkan oleh terorisme itu sendiri.

Dalam rangka menanggulangi terorisme, negara dituntut untuk tegas dalam penanganannya karena ini menyangkut mengenai prinsip keamanan negara. Dalam rangka penegakan hukum, terdapat dua pendekatan yang digunakan yaitu soft approach dan hard approach, namun selama ini negara dominan menggunakan hard approachHard approach sendiri terdiri dari hukum, militer, dan intelijen.

Jika cara-cara militer diterapkan untuk mengatasi atau menanggulangi terorisme, ini merupakan keamanan militer (meskipun ini terkait juga dengan keamanan politik). Sesuai pengertian politik menurut Barry Buzan adalah pembentukan tingkah laku manusia dengan tujuan untuk mengatur sekelompok orang dalam jumlah yang besar.[8] Jadi ancaman politik merupakan sub-bagian dari ancaman nasional yang tidak memakai cara-cara militer dalam skala besar.[9] Keterlibatan militer tidak cocok dalam penanganan terorisme karena terorisme merupakan kejahatan melanggar hukum sehingga jika militer terlibat berarti militer termasuk pada penegakan hukum. Militer dalam konteks ini hanya membantu polisi apabila polisi tidak mampu mengatasi gangguan yang terjadi dan membutuhkan tambahan kekuatan.

Selain upaya dalam menjelaskan wewenang dan tugas dalam penanggulangan terorisme oleh militer dan polisi, terdapat upaya kerjasama antara polisi dan lembaga intelijen. Semangat dan kinerja berlimpah yang dilakukan oleh aparat keamanan untuk melakukan penumpasan terorisme diharapkan dapat dibarengi dengan kegiatan menyimpulkan dan mengolah data yang diberikan oleh intelijen yang memadai. Intelijen harus difungsikan secara profesional dan efektif menjadi mata, telinga, rasa, dan pikiran untuk memberikan pencegahan sehingga mampu mengidentifikasi jaringan, kelompok, serta dapat mengantisipasi segala bentuk penyebaran bahaya terorisme

 Penulis Artikel : Hidayat Sarikin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar