Terorisme bukanlah merupakan masalah baru, karena gerakan maupun kelompok-kelompok terorisme ini sesungguhnya telah lama ada. Makin maraknya tindak kejahatan yang dilakukan berbagai kelompok teroris yang muncul akhir-akhir ini memang sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya negara yang merasakan dampak buruk dari gerakan terorisme internasional ini, tindak kriminal yang mereka lakukan kian brutal dan makin banyak jatuh korban jiwa dari kalangan sipil yang tak berdosa. Terorisme umumnya disebabkan faktor pertentangan ideologi, agama, etnik, perbedaan pandangan hidup individu, keinginan untuk memisahkan diri dari suatu negara, maupun akibat kesenjangan sosial. Namun hal ini belum cukup mendapat perhatian serius dari setiap negara. Masalah ini baru kemudian mendapat perhatian serius pada saat terjadinya kasus yang luar biasa dan menimbulkan korban jiwa dalam jumlah yang banyak.
Hingga saat ini, definisi terorisme masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan, dan dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Amerika Serikat sendiri yang pertama kali mendeklarasikan 'perang melawan terorisme' belum memberikan definisi yang gamblang dan jelas sehingga semua orang bisa memahami makna sesungguhnya tanpa dilanda keraguan, tidak merasa didiskriminasikan serta dimarjinalkan. Kejelasan definisi ini diperlukan agar tidak terjadi salah tangkap, dan berakibat merugikan kepentingan banyak pihak, di samping demi kepentingan atau target meresponsi hak asasi manusia (HAM) yang seharusnya wajib dihormati oleh semua orang beradab.
Kejahatan terorisme pada saat sekarang ini hadir dan menjelma dalam kehidupan bagaikan momok, virus ganas, dan bahkan seperti monster yang menakutkan yang sewaktu-waktu dan tidak dapat diduga bisa menjelmakan terjadinya prahara nasional dan global, termasuk mewujudkan tragedi kemanusiaan, pengebirian martabat bangsa dan penyejarahan tragedi atas Hak Asasi Manusia (HAM). Hak asasi manusia kehilangan eksistensinya dan tercabut kesucian atau kefitrahannya di tangan pembuat teror yang telah menciptakan kebiadaban berupa aksi animalisasi (kebinatangan) sosial, politik, budaya, dan ekonomi.
Terorisme dewasa ini benar-benar merupakan bagian dari momok besar bagi bangsa Indonesia, di samping dunia atau masyarakat Internasional. Dikatakan demikian, karena sempat membuat gentar rakyat kecil karena kejadian yang mereka alami telah mengakibatkan banyak pihak yang dirugikan dan dikorbankan. Sehingga menjadikannya sebagai suatu fenomena modern dan telah menjadi fokus perhatian berbagai organisasi internasional, berbagai kalangan dan negara.
Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa aksi-aksi terorisme, baik yang berdimensi lokal maupun internasional, juga merupakan sebuah bentuk penolakan, resistensi ataupun reaksi tandingan yang diperlihatkan sebuah kelompok dalam lingkungan terbatas maupun luas, karena persamaan gagasan dan persepsi terhadap sistem ekonomi dunia yang dinilai timpang, tidak adil, dan merugikan mayoritas masyarakat dunia, ataupun masyarakat lain yang minoritas, yang aspirasinya disalurkan oleh perjuangan gerakan tersebut. Keprihatinan yang besar atas realitas kemiskinan yang semakin meluas dan tingkat kesenjangan yang tinggi dalam sebuah negara, maupun antara sedikit negara maju dan banyak negara berkembang dan terbelakang di Asia, Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika dan bahkan Eropa serta sebagian benua Amerika lainnya, adalah kondisi yang menyuburkan pertumbuhan gerakan terorisme dan aksi-aksi mereka di berbagai belahan dunia. Sehingga, walaupun muncul gerakan dan aksi-aksi terorisme yang dilancarkan tidak selalu tepat dalam waktu yang bersamaan atau serentak, namun tingkat keprihatinan yang sama atas realitas kemiskinan dan kesenjangan sosial di sekitarnya, ataupun atas sistem dunia yang terus berlangsung, telah menyebabkan mudah berkembangnya gerakan dan aksi-aksi terorisme di suatu negara, kawasan dan dunia secara lebih luas.
Dalam perkembangannya tindak pidana terorisme yang terjadi selama ini cenderung dihubungkan dengan ajaran agama Islam yang radikal dan seolah-olah Islam membolehkan melakukan berbagai bentuk tindak pidana kekerasan yang dikenal dengan tindak pidana terorisme. Sebenarnya terorisme yang mengatasnamakan agama bisa jadi merupakan akibat dari hubungan antar negara, ketika negara dipersepsikan sebagai representasi agama. Sehingga setiap konflik yang muncul antar negara disebut juga konflik agama seperti konflik antara negara-negara Arab dan Israel, padahal yang menjadi pelaku kekerasan atau teror berasal dari kelompok-kelompok dalam masyarakatnya yang memang memiliki perbedaan agama. Namun demikian, memang sulit untuk menarik hubungan bahwa agama merupakan sumber dari aksi terorisme ketika kita segaris dengan realis bahwa negara adalah unit yang sekular dan kuat (power) merupakan faktor yang dominan mempengaruhi hubungan antar negara. Bila unit analisanya adalah kelompok masyarakat, maka faktor agama bisa merupakan salah satu faktor penting dalam menjelaskan aktivitas mereka.
Perdebatan tentang pelaku dan motif dari terorisme sering harus membawa kita kepada identifikasi ideologi dan agama dari pelaku terorisme, karena ideologi atau agama merupakan sumber legitimasi dari aksinya. Negara mendapatkan legitimasi kekerasan atau teror karena kedaulatan dan kewenangan konstitusionalnya. Isu tentang 'terorisme Islam' perlu dilihat lebih jauh apakah Islam melegitimasi teror atau pelaku terorisme baik negara atau bukan negara telah membajak Islam.
Mengenai terorisme membutuhkan kesadaran mendalam yang mampu menguraikan setiap unsur, bentuk, modus, dan aspek-aspek dalam terorisme serta mengklasifikasikannya secara objektif dan ilmiah, khususnya yang berkaitan dengan pertimbangan dari aspek akibat yang menimpa umat manusia. Masyarakat beradab pada zaman modern sekarang ini tidak ada yang membenarkan aksi apapun yang tergolong terorisme. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terorisme merupakan sebuah bentuk kekerasan langsung atau tidak langsung, yang dikenakan pada sasaran yang tidak sewajarnya mendapat perlakuan kekerasan tersebut, dan dengan aksi tersebut dimaksudkan agar tejadi rasa takut yang luas di tengah-tengah masyarakat. Walaupun ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa terorisme lahir dan tumbuh dari rasa kekecewaan akibat perlakuan tidak adil yang berlangsung lama dan kelihatan tidak ada harapan perubahan serta keadaan ekonomi yang tidak kunjung habisnya dirasakan oleh kelompok-kelompok tertentu.
Namun demikian, terorisme tidak dapat diidentikkan dengan perbuatan yang bermotif agama (terutama agama Islam), melainkan lebih bermuatan politik. Azyumardi Azra, mengatakan, terorisme sebagai kekerasan politik sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan Islam. Islam mengajarkan etos kemanusiaan yang sangat menekankan kemanusiaan universal. Islam menganjurkan umatnya untuk berjuang mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kehormatan.
Akan tetapi, perjuangan itu haruslah tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau terorisme. Setiap perjuangan untuk keadilan harus dimulai dengan premis bahwa keadilan adalah konsep universal yang harus diperjuangkan dan dibela setiap manusia.
Bicara soal hak asasi manusia (HAM) hampir semua orang sepakat bahwa aksi terorisme merupakan salah satu bentuk pelanggaran berat di samping kejahatan perang, pembasmian etnis, atau juga penggunaan senjata kimia. Di Indonesia, rentetan aksi terorisme yang telah terjadi sejak tahun 2000 hingga kasus-kasus terbaru seperti teror Bom Thamrin dan Bom Samarinda tahun lalu sejatinya juga merupakan kasus pelanggaran HAM. Kelompok teroris begitu tega meledakkan bom di jalan raya, hotel, kawasan wisata, kafe, bahkan tempat ibadah, demi kepentingan politik mereka.
Aksi terorisme melahirkan para korban, yaitu masyarakat sipil yang tak tahu menahu tentang konflik yang dipersoalkan kelompok teroris. Di antara para korban ada yang sekadar lewat, nongkrong, mampir makan, atau sedang bekerja mencari nafkah di lokasi-lokasi kejadian teror. Ratusan korban telah meninggal dunia akibat serangan terorisme sementara ratusan lainnya mengalami penderitaan menahun akibat kejahatan luar biasa itu. Sebagian mereka mengalami cacat seumur hidup karena kehilangan anggota tubuh, sebagian lainnya mengalami luka psikologis yang hingga kini belum sepenuhnya dapat dipulihkan.
Derita akibat serangan teror tak berhenti di situ. Ketika serangan terorisme berhasil membunuh nyawa manusia, pada saat yang sama tercipta anak-anak yatim atau piatu yang kehilangan orang tuanya, tercipta keluarga yang kehilangan tulang punggungnya, tercipta kemiskinan -atau setidaknya ancaman kemiskinan- yang tersistem. Dari alasan ini kita mengetahui betapa terorisme adalah kezaliman dan merupakan bentuk pelanggaran HAM yang nyata.
Dalam perspektif Islam, manusia digambarkan oleh Al-Quran sebagai makhluk yang paling sempurna, mulia, serta terhormat. Bersandar dari pandangan kitab suci ini, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM tidak lain merupakan tuntutan Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap pemeluknya. Dalam Islam, sebagaimana dinyatakan oleh pemikir muslim Abu al-A'la al-Maududi (1967), HAM adalah hak kodrati yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau pihak mana pun. Hak-hak yang diberikan tersebut bersifat permanen atau kekal.
Gagasan Islam tentang HAM berpijak pada konsep tauhid, yaitu pengakuan keesaan Allah yang tergambar dari ungkapan syahadat, la ilaha illa Allah, tiada tuhan/sesembahan selain Allah. Konsep ketauhidan mengandung inti persamaan dan persaudaraan seluruh manusia. Tauhid juga mencakup ide persamaan dan persatuan semua makhluk, benda tak bernyawa, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. HAM merupakan standar normatif yang ditetapkan Allah atau dibuat manusia berdasarkan firman Allah untuk mengatur hubungan sesama manusia baik antarindividu, antarmasyarakat, maupun antarnegara. Pengakuan adanya hak asasi yang melekat pada diri setiap manusia bermakna pengakuan adanya kewajiban yang harus ditunaikan terhadap umat manusia.
Akan tetapi, dengan lihai para teroris justru mengklaim bahwa aksi teror yang mereka lakukan adalah tuntunan yang diajarkan dalam Islam. Mereka mengesampingkan fakta betapa Islam menganjurkan pemeluknya untuk menghormati umat agama lain. Yang mereka tonjolkan adalah ayat Alquran yang menganjurkan untuk membunuh kaum di luar Islam. Padahal, ayat-ayat suci Alquran selalu terkait dengan konteks sosial yang membingkai wacana tentang sebab ayat tersebut turun. Kelompok teroris tak pernah peduli akan aspek sosial kemasyarakatan setiap melancarkan serangan. Belakangan ini bahkan umat muslim yang berseberangan dengan pemahaman keagamaan mereka pun juga menjadi sasaran teror karena dinilai telah kafir.
Menimbang kekejaman terorisme yang melahirkan berbagai penderitaan korban mestinya membuat negara menyadari bahwa aspek perlindungan HAM korban teror wajib diperkuat. Memperkuat perlindungan HAM korban terorisme menurut hemat penulis adalah dengan menjamin hak-hak mereka sebagai korban aksi terorisme, yang diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, terpenuhi.
Dalam UU No. 15/2003, disebutkan bahwa korban terorisme berhak mendapatkan hak restitusi dan kompensasi. Restitusi, ganti rugi kepada korban yang dibayarkan oleh pelaku, hampir pasti tak dapat diharapkan. Mirisnya, hak kompensasi atau ganti rugi negara kepada korban karena gagal memberikan rasa aman, juga tak pernah terbayarkan sebab pemberian kompensasi menurut UU tersebut mensyaratkan adanya putusan pengadilan. Berdasarkan pengalaman Aliansi Indonesia Damai (AIDA), lembaga yang beperhatian terhadap korban terorisme, dari ratusan korban terorisme yang ada di Indonesia, mulai korban Bom Bali 2002 hingga korban Bom Thamrin 2016, belum ada satu pun yang mendapatkan kompensasi dari negara.
Hak-hak korban terorisme dalam UU No. 15/2003 yang terabaikan ini harus menjadi perhatian bersama seiring dengan adanya rencana revisi UU tersebut yang kini tengah digodok pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Selama hak kompensasi belum terbayarkan, selama itu pula negara menanggung hutang kepada para korban terorisme.
Sementara itu, hak-hak korban terorisme yang diatur dalam UU No. 31/2014 mencakup bantuan rehabilitasi medis, psikologis, dan psikososial. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU tersebut, telah mulai memberikan hak-hak kepada sebagian korban. Dari ratusan korban terorisme yang ada di Indonesia, LPSK baru dapat menjangkau puluhan di antara mereka disebabkan bermacam kendala, termasuk tentang assessment korban.
Menangani korban terorisme memang hal baru bagi LPSK mengingat selama ini lembaga tersebut lebih banyak mengurusi korban pelanggaran HAM berat. Dalam memberikan hak-hak kepada korban pelanggaran HAM berat, LPSK berdasarkan pada surat keterangan korban yang didapat dari Komnas HAM. Sementara itu, menghadapi korban terorisme LPSK terkesan kebingungan tentang siapa yang berwenang menentukan korban. Lembaga tersebut mengambil langkah hati-hati dalam melakukan penelusuran tentang korban sebab tak mau disalahkan dalam membelanjakan anggaran negara. Menurut hemat penulis, ke depan LPSK harus didukung untuk dapat menjangkau lebih banyak lagi korban terorisme sehingga negara benar-benar bekerja konstitusional dengan melaksanakan amanat UU.
Penulis Artikel: Rahayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar