Rabu, 25 April 2018

(Hukum01-171710795) Hal-Hal Terkait Buruh Beserta Problematikanya

Akhir-akhir ini kita disibukkan dengan sajian media mengenai masalah-masalah perburuhan khususnya di Indonesia. Semua itu mengindikasikan, bahwa dunia perburuhan kita belum tertata sebagaimana mestinya. Isu-isu untuk melakukan demo, tersaji setiap saat. Hal ini berarti, ada masalah yang mendasar yang belum terselesaikan. Masalah yang mendasar itu tentunya terkait regulasi dan kebijakan pemerintah. Karena itu, yang diperlukan adalah kejujuran semua pihak. Dunia usaha dituntut jujur untuk memberikan upah yang layak, sementara pemerintah selayaknya harus memfasilitasi, sehingga dunia usaha bisa menjadi wahana yang mensejahterakan pekerja. Masalah ini, akan sangat lebih baik , kalau bisa dituangkan dalam regulasi / perundangan dan kebijakan terkait kesejahteraan buruh. DPR, sebagai wakil rakyat dan wakil buruh, bisa mengambil inisiatif, sebagaimana DPR telah mengambil inisiatif dengan terbitnya UU BPJS. Sebab, menumbuhkan kondisi perburuhan yang kondusif merupakan langkah yang strategis membangun bangsa.
Buruh pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan baik berupa jasmani maupun rohani. Perburuhan, telah ada didunia sejak peradaban manusia dimulai. Sejak dulu, buruh telah dipandang sebelah mata diseluruh dunia, padahal keberadaan mereka sangat membantu roda perekonomian suatu bangsa. Hingga akhirnya muncullah usaha-usaha dari kalangan buruh untuk  melindungi hak-hak mereka.
Tanggal 1 Mei ditetapkan menjadi hari perjuangan kelas pekerja sedunia. Satu Mei dipilih karena mereka terinspirasi kesuksesan aksi buruh di Kanada pada tahun 1872. Ketika itu buruh Kanada menuntut 8 jam kerja seperti buruh di AS, dan mereka berhasil. Delapan jam kerja di Kanada resmi diberlakukan mulai tanggal 1 Mei 1886.
Pembangunan Nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dalam mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, merata baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Salah satu problem yang langsung menyentuh kaum buruh adalah rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta tanggungannya. Kebutuhan hidp semakin meningkat, sementara gaji yang diterima relative tetap. Faktor ini menjadi salah satu pendorong protes kaum buruh.
Problem kesejahteraan hidup. Pencapaian kesejahteraan, tergantung pada kemampuan gaji dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Gaji yang relative tetap, sedangkan kebutuhan hidup semakain bertambah membuat kualitas kesejahteraan rakyat (termasuk buruh) semakin rendah. Sedangakan problem PHK adalah perkara biasa dalam dunia ketenaga kaerjaan. Asalkan sesuai dengan kesepakatan kerjaa bersama (KKB) baik pihak pekerja maupun pengusaha.  Problem perburuhan ini sebenarnya terjadi karena kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja yang menjadi pilar sistem kapitalisme. Dengan kebebasan ini, seorang pengusaha yang senantiasa berorientasi keuntungan dianggap sah mengeksploitasi tenaga buruh. Dengan kebebasan ini pula, kaum buruh diberi ruang kebebasan mengekspresikan tuntutannya akan peningkatan kesejahteraan dengan memanfaatkan serikat pekerja, melakukan sejumlah intimidasi bahkan tindakan anarkis sekalipun.
Sedangkan dasar yang memicu konflik buruh dan pengusaha sendiri, disebabkan oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost (biaya hidup) terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Maka tidak heran namanya Upah Minimum. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu yang minimum sekedar untuk mempertahankan hidup mereka. Konsekuensinya kemudian adalah terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh. Dampak dari eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan Sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.
Jadi, masalah perburuhan akan selalu ada selama relasi antara buruh dan pengusaha dibangun berdasarkan sistem ini. Meski mereka telah melakukan sejumlah tambal sulam untuk menyumbat kemarahan kaum buruh dan menghadapi provokasi kaum Sosialis, namun tambal sulam ini secara natural hanya sekedar untuk mempertahankan sistem Kapitalisme. Tetapi, jika diklaim bahwa tambal sulam ini telah berhasil memecahkan masalah perburuhan, jelas hanya klaim bohong dan kosong. Dalam perspektif politik ekonomi, kaum buruh selalu berada dalam kungkungan nasib yang menyedihkan. Mereka berada dalam kekuasaan dan kendali pemilik modal atau majikan. Di balik tenaga mereka yang mengalami eksploitasi luar biasa, upah yang mereka nikmati kerap tidak cukup untuk (sekadar) memenuhi kebutuhan pokok. Bahkan, tidak jarang upah hasil kerja mereka sebulan penuh hanya cukup untuk bertahan hidup selama 10 hari. Di sisi lain, mereka pun selalu berada dalam ancaman bayang-bayang PHK (pemutusan hubungan kerja) secara sepihak dengan pesangon yang ala kadarnya.
Gambaran di atas merupakan realitas yang tidak bisa dihindarkan kala paradigma ekonomi yang digunakan ialah paradigma industrial-kapitalistik. Dalam paradigma industrial-kapitalistik ini, pemilik modal (majikan) cenderung memposisikan buruh (pekerja) sebagai bagian dari faktor produksi. Buruh kerapkali ditekan untuk bekerja tanpa mengenal lelah (tak ubahnya sebuah mesin produksi), tetapi upah yang dibayarkan sangat rendah. Hal ini tidak lepas dari prinsip ekonomi kapitalis itu sendiri bahwa untuk mendapatkan profit (untung) sebesar-besarnya, maka biaya produksi harus ditekan sekecil-kecilnya. Dalam lingkungan negara yang menganut sistem sekuler-kapitalisme, realitas semacam itu adalah sebuah keniscayaan. Ada beberapa faktor yang dijadikan sebagai alat pembenar (legitimator) berkaitan dengan eksploitasi buruh
Berbicara konteks kesejahteraan, kehidupan buruh cenderung marjinal dan tak sesuai dengan hak-hak manusiawi. Berbicara hak-hak pekerja/buruh, berarti kita membicarakan hak-hak asasi maupun hak yang bukan asasi. Hak asasi adalah hak yang melekat pada diri pekerja/buruh itu sendiri yang dibawa sejak lahir dan jika hak tersebut terlepas/terpisah dari diri pekerja/buruh itu akan menjadi turun derajat dan harkatnya sebagai manusia, sedangkan hak yang bukan asasi berupa hak pekerja/buruh yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sifanya non asasi.

Memang hampir di semua negara saat ini, problem ketenagakerjaan atau perburuhan selalu tumbuh dan berkembang, baik di negara maju maupun berkembang, baik yang menerapkan ideologi kapitalisme maupun sosialisme. Hal demikian terlihat dari adanya departemen yang mengurusi ketenagakerjaan pada setiap kabinet yang dibentuk. Hanya saja realitas tiap negara memberikan beragam problem riil, sehingga terkadang memunculkan berbagai problema yang berbeda. 


Seperti Indonesia sebagai salah satu negara berkembang,  problem ketenagakerjaan sampai saat ini masih terkait dengan sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya kemampuan SDM tenaga kerja, tingkat gaji yang rendah hingga jaminan sosial yang nyaris tidak ada. Belum lagi, perlakuan yang merugikan pekerja, seperti penganiayaan, tindak asusila, penghinaan, sampai pelecehan seksual. Sehingga banyak warga Indonesia menjadi tenaga kerja luar negeri. Namun mereka, warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, banyak yang mengalami nasib yang kurang beruntung karena lemahnya Indonesia di Mata Dunia yang dipandang sebagai negara para koruptor dan kurang menghargai masyarakat terutama buruh. Pemerintah dituntut berperan untuk menengahi konflik kepentingan antara buruh dan pengusaha dengan cara membuat aturan permainan dan mengatur kompromi diantara pihak-pihak berkepentingan. Dengan demikian pada hakekatnya, dalam kerangka Hubungan Industrial Pancasila (HIP), kebijakan UMR merupakan titik keseimbangan sebagai hasil musyawarah bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Perjuangan kaum buruh untuk memperbaiki kesejahteraan selama ini cukup jelas, yakni menunjukkan betapa upah tenaga kerja sangat tidak kompetitif dan jauh dari mencukupi. Relasi yang selama ini dibangun masih menempatkan posisi subordinatif terhadap majikan (pengusaha). Sehingga yang muncul ketidaksatu paduan buruh dan pengusaha, justru rasa ketidakpercayaan dan kecurigaan antara satu dan yang lain semakin mengkristalisasi perbedaan orientasi masing-masing. 

Melihat persoalan ketenagakerjaan yang demikian kompleks di atas, tentu saja juga membutuhkan pemecahan yang komprehensip dan sistemis. Sebab, persoalan tenaga kerja, bukan lagi merupakan persoalan individu, yang bisa diselesaikan dengan pendekatan individual. Akan tetapi, persoalan tenaga kerja di atas merupakan persoalan sosial, yang akhirnya membutuhkan penyelesaian yang mendasar dan menyeluruh.

Persoalan yang sangat erat hubungannya dengan fungsi dan tanggung jawab negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya harus diselesaikan melalui kebijakan dan implementasi negara dan tidak menyerahkan penyelesaiannya kepada pengusaha dan buruh. Sedangkan masalah kontrak kerja, dapat diselesaikan sendiri oleh pengusaha dan buruh. Pemerintah dalam hal ini hanya berfungsi sebagai pengawas sekaligus penengah jika terjadi persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh pengusaha dan buruh. Sehingga, menghadapi problem ketenagakerjaan saat ini, rasanya tak cukup jika pemerintah hanya melakukan revisi perundang-undangan, melainkan mesti mengacu kepada akar persoalan ketenagakerjaan itu sendiri.

Dengan demikian agar persoalan ketenagakerjaan dapat diselesaikan dengan tuntas, maka persoalan pemenuhan kebutuhan masyarakat seharusnya menjadi fokus perhatian. Selain itu, penyelesaian berbagai masalah ketenagakerjaan perlu dilakukan dengan tetap mencari solusi yang paling menguntungkan bagi kedua belah pihak, tidak ada yang dirugikan, baik buruh maupun pengusaha.

Karenanya, langkah penting yang perlu diambil adalah melakukan kategorisasi, dengan memisahkan permasalahan ketenagakerjaan yang terkait erat dengan pemenuhan kebutuhan dan masalah yang langsung berhubungan dengan kontrak kerja pengusaha dengan pekerja. Kategori pertama terkait dengan persoalan ketersediaan lapangan kerja, pengangguran, lemahnya SDM, tuntutan kenaikan upah serta tuntutan tunjangan sosial. Sedangkan kategori kedua menyangkut persoalan kontrak kerja antara pengusaha dan buruh mencakup persoalan PHK serta berbagai penyelesaian sengketa perburuhan lainnya.

Baik buruh maupun pengusaha berusaha meraih kemakmuran ekonomi. Menurut filsuf Yunani, Plato, kemakmuran ekonomi hanya bisa dicapai melalui pembagian kerja yang adil. Keadilan sendiri harus bersifat istimewa, karena didalamnya terdapat pengakuan dan penghormatan terhadap hak individu.

Jika hendak menyelesaikan problem kesejahteraan hidup, baik bagi kaum buruh maupun rakyat secara makro, tentunya penyelesaiannya harus mampu mencakup penyelesaian yang bersifat kasuistis dan sekaligus dibarengi oleh usaha penyelesaian bersifat sistemis-integralistis. Bila penyelesaian yang dilakukan hanya bersifat kasuistis dan parsial, maka problem mendasar seputar kesejahteraan hidup kaum buruh dan rakyat secara menyeluruh tidak akan selesai. Pemerintah melakukan berbagai langkah yang mampu memberikan nilai dan rasa keadilan, tidak saja bagi para pengusaha tapi juga bagi para buruh. Adanya pendapat bahwa persoalan ketenagakerjaan bukan semata-mata masalah buruh dan pengusaha, melainkan masalah bangsa adalah benar adanya. Maka, sudah semestinya pemerintah berupaya memberikan penyelesaian yang adil bagi semuanya.

Bahwa pemerintah harus memperhatikan kepentingan para pengusaha agar roda perekonomian negeri ini dapat terus bergerak itu benar. Namun, cara-cara ini mestinya tidak harus dengan mengorbankan para buruh. Sekedar contoh, pemerintah sebenarnya bisa menempuh berbagai upaya untuk menghilangkan berbagai faktor yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi bagi perusahaan. Misalnya, izin-izin dipermudah dan pungutan-pungutan liar harus dibabat. Karena, sudah menjadi rahasia umum, pungutan-pungutan itu sangat besar. Penciptaan iklim bisnis yang kondusif akan membantu menyehatkan perusahaan sehingga perusahaan pun dapat berbuat adil kepada para pekerjanya.


Penulis Artikel :
Amira Sukma Tristyana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar