Rabu, 25 April 2018

(Hukum01-171710793) Tenaga Kerja Asing dan Buruh Serta Problematikanya

Berbicara tentang perekonomian Indonesia,seperti mendeskripsikan tangisan  keras dengan air mata yang semakin mengering.Sama hal nya dengan kesempatan kerja yang semakin sempit bahkan tak mampu lagi menampung pekerja yang bertambah setiap tahun. Ironisnya, ditengah kondisi seperti itu,tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia semakin ramai. Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. Di dalam UU ter­sebut, juga menegaskan keten­tuan bahwa setiap pengusaha dilarang memperkerjakan orang-orang asing tanpa izin tertulis dari menteri atau pe­jabat yang ditunjuk.

Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri di era globalisasi ini telah membawa mobilisasi pekerja antar negara dengan mudah. Sebab itulah tenaga kerja asing pun bisa masuk ke Indonesia. Harus digaris ba­wahi, bahwa penggunaan te­naga kerja asing itu telah di atur dengan tegas dalam Pera­turan Perundang-Undangan Republik Indonesia. Terdapat syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi sebelum mem­perkejakan tenaga asing di Indoneisa.

Tenaga kerja asing tidak boleh menduduki jabatan kerja yang dilarang. Jabatan kerja yang dilarang  telah diatur dalam Keputusan Men­teri Tenaga Kerja dan Trans­migrasi Republik Indonesia No 40 Tahun 2012 Tentang Jabatan-Jabatan Tertentu yang Dilarang Diduduki Tenaga Kerja Asing.Lebih kurang ada 19 jabatan kerja yang dilarang untuk tenaga kerja asing, beberapa diantaranya adalah menjadi direktur personalia, manejer hubungan indus­trial, dan manajer personalia. Jaba­tan-jabatan tersebut mengatur perihal pengadaan dan penem­patan tenaga kerja, penggajian dan pengupahan, serta kom­pensasi balas jasa dan jaminan sosial. Selain itu juga tentang sistem kontrol personalia, proses pemutusan hubungan kerja,pendidikan dan pela­ti­han,serta pengembanagan karier. Tujuan dibuatnya kepu­tusan menteri ini adalah untuk mem­perjelas batasan peng­gu­naan tenaga kerja asing di In­donesia dan untuk me­lin­du­ngi para tenaga kerja indo­ne­sia. Bertolak ukur pada dasar hukum yang telah di undang­kan oleh pemerintah, seakan memberikan jaminan yang kuat terhadap nasib para pen­cari kerja di Indonesia. Tetapi apa yang terjadi dalam prak­tiknya, mereka masih tertatih mencari kesana-kemari lowo­ngan pekerjaan. Baik itu lulu­san Sekolah Menengah Atas hingga Sarjana pun sangat sulit untuk mendapatkan pe­kerjaan di negeri sendiri.

Penggunaan tenaga kerja asing memang memiliki dam­pak positif kepada pere­ko­nomian dan perkembangan Indonesia jika memenuhi prosedur dan persyaratan seba­gaimana yang telah diatur. Tenaga kerja asing itu meru­pakan penambah devisa bagi negara, dan dapat memacu semangat tenaga kerja Indo­nesia untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manu­sianya, agar dapat bersaing dengan tenaga kerja asing.  Akan tetapi di balik dampak positif, ada begitu banyak dampak negatif, karena seperti  yang kita tahu, terkadang aturan itu tidak sesuai dengan praktiknya. Contohnya, masih banyak oknum yang mencari keuntungan dengan menye­ludupkan tenaga kerja asing itu ke Indonesia. Memperkaya diri sendiri dan golongan tanpa tahu begitu banyak anak bangsa yang kelaparan.

Kemana lagi harapan bang­­­­sa Indonesia ini ber­tum­pu jika tidak pada pemimpin pemerintahannya. Berharap perlindungan dengan sayap kejujuran yang teduh adalah hal yang dirindukan saat ini. Dalam persoalan peng­gu­naan tenaga kerja asing di Indo­nesia, pemerintah diha­rapkan dapat lebih teliti dan fokus agar tidak ada lagi tenaga kerja asing ilegal yang dapat men­cari keuntungan di Indone­sia, dimana ke­untu­ngan itu meru­pakan hak warga negara Indo­nesia.Jika masalah tenaga kerja asing telah mampu di­atasi peme­rintah, maka per­soalan pere­konomian Indo­nesia pun lebih dapat di kontrol dan dijaga kestabilita­san­­nya.

Buruh pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan baik berupa jasmani maupun rohani. Perburuhan, telah ada didunia sejak peradaban manusia dimulai. Sejak dulu, buruh telah dipandang sebelah mata diseluruh dunia, padahal keberadaan mereka sangat membantu roda perekonomian suatu bangsa. Hingga akhirnya muncullah usaha-usaha dari kalangan buruh untuk  melindungi hak-hak mereka.

Namun di dalam perjalanannya di Indonesia sebagai negara yang menginginkan kesejateraan masyarakatnya yang tersirat dan terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945, masih belum mampu menyelesaikan masalah tentang hak-hak kaum buruh dengan baik. Akar permasalahan yang terjadi pada buruh masih terletak pada persoalan-persoalan hubungan antara kesepakatan pengusaha dan pemerintah yang akhirnya berimbas buruk pada buruh dan msayarakat sebagai konsumen. Hal itu disebabkan adanya praktik-praktik gratifikasi, kolusi, nepotisme dan Korupsi yang melanda setiap bagian pelaksana pemerintahan mulai dari tingkat yang paling bawah hingga tingkat yang paling tinggi. Imbas dari kelalaian pengawasan, dan penetapan keputusan yang tidak adil memberikan masalah pada buruh berupa:

  1. Problem Upah

Salah satu problem yang langsung menyentuh kaum buruh adalah rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan upah/gaji yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya. Faktor ini, yakni kebutuhan hidup semakin meningkat, sementara gaji yang diterima relatif tetap, menjadi salah satu pendorong gerak protes kaum buruh. Sistem pengupahan di Indonesia, diwujudkan dalam suatu sistem yang khas Hubungan Industiral Pancasila (HIP). Dalam HIP, kepentingan pengusaha dan buruh diwujudkan dalam suatu musyawarah. Ini berarti HIP memberikan kedudukan (bargaining power) yang seimbang antara pengusaha dan buruh. Dalam HIP, kedudukan pengusaha dan buruh adalah partnership yang seharusnya saling memahami dan menghormati, mengingat kedua-duanya memiliki tanggung jawab yang sama dalam berproduksi.  HIP meletakkan hubungan ideal antara pengusaha dan buruh sebagai hubungan yang harmomis. Pemerintah berkepentingan terhadap masalah upah, karena upah merupakan sarana pemerataan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus terkait dengan kemajuan perusahaan yang nantinya berpengaruh pada perkembangan perekonomian nasional atau daerah. Untuk membantu mengatasi problem upah/gaji, pemerintah biasanya membuat "Batas minimal gaji" yang harus dibayarkan oleh perusahaan kepada pekerjanya, yang kemudian dikenal dengan istilah Upah Minimum Regional (UMR) atau Upah Minimum Daerah (UMD). Intervensi pemerintah dalam hal ini ditujukan menghilangkan kesan eksploitasi pemilik usaha kepada buruh, karena membayar di bawah standar hidupnya. Nilai UMR dan UMD ini biasanya dihitung bersama berbagai pihak yang merujuk kepada Kebutuhan Fisik Minimum Keluarga (KFM), Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), atau kondisi lain di daerah yang bersangkutan. Penetapan UMR sendiri sebenarnya sangat bermasalah dilihat dari realitas terbentuknya kesepakatan upah antara pengusaha dan buruh. Dalam kondisi normal dan dalam sudut pandang keadilan ekonomi, seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya peran jasa buruh dalam mewujudkan hasil usaha dari perusahaan yang bersangkutan.

  1. Problem Pemenuhan Kebutuhan dan Kesejahteraan Hidup

Aristoteles (filsuf Yunani) mendefinisikan kebutuhan mendasar manusia adalah semua kebutuhan dasar yang menyangkut dimensi manusia meliputi kebutuhan material, kesehatan, kebutuhan sosial (diterima masyarakat) hingga kebutuhan untuk meng-aktulisasi sebagai manusia. Implikasinya adalah setiap manusia berhak untuk secara leluasa mengambil inisiatif untuk memenuhi kebutuhannya. Hak pemenuhan kebutuhan hidup didasarkan pada fakta bahwa manusia adalah mahluk biologis yang memiliki kebutuhan dasar biologis meliputi kecukupan makanan, perlindungan, pakaian, perawatan medis dan pendidikan. Ketika para buruh hanya memiliki sumber pendapatan berupa upah/gaji, maka pencapaikan kesejahteraan bergantung pada kemampuan gaji dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dalam kenyataanya, jumlah gaji relatif tetap, sementara itu kebutuhan hidup selalu bertambah (adanya bencana, sakit, sekolah, tambah anak, harga barang naik, listrik, telepon, biaya transportasi, dan lain-lain.) Hal ini menyebabkan kualitas kesejahteraan rakyat (termasuk buruh) semakin rendah. Sejatinya, negara tidak lepas tangan dari usaha pemenuhan kebutuhan dasar warga negara, apalagi yang menyangkut kebutuhan pokok. Kondisi yang menimpa kaum buruh, memang tidak jauh beda dengan mayoritas rakyat/kaum lainnya selain buruh. Artinya, problem kesejahteraan ini lebih bersifat problem sistemis dari pada hanya sebatas problem ekonomi, apalagi problem buruh cukup diselesaikan antara buruh dan pengusaha semata. Padahal dwi pihak, kaum buruh selalu tak bisa berbuat apa-apa bila berhadapan dengan pengusaha. 

  1. Problem Pemutusan Hubungan Kerja

Salah satu persoalan besar yang dihadapi para buruh saat ini adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pemutusan hubungan kerja menjadi momok menakutkan bagi buruh dan menambah kontribusi pengangguran di Indonesia. Dalam kondisi ketika tidak terjadi keseimbangan posisi tawar menawar dan pekerjaan merupakan satu-satunya sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK menjadi bencana besar yang bisa-bisa membuat buruh traumatis. Secara umum PHK terjadi karena beberapa sebab, seperti permintaan sendiri, berakhirnya masa kontrak kerja, kesalahan buruh, masa pensiun, kesehatan/kondisi fisik yang tidak memungkinkan, atau karena meninggal dunia. Problem PHK biasanya terjadi dan kemudian menimbulkan problem lain yang lebih besar di kalangan buruh karena beberapa kondisi dalam hubungan buruh-pengusaha. Sebenarnya, PHK bukanlah problem yang besar kalau kondisi sistem hubungan buruh pengusaha telah seimbang dan adanya jaminan kebutuhan pokok bagi buruh sebagaimana bagi seluruh rakyat oleh sistem pemerintahan yang menjadikan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat sebagai asas politik perekonomiannya.

  1. Problem Tunjangan Sosial dan Kesehatan

Dalam masyarakat kapitalistis seperti saat ini, tugas negara lebih pada fungsi regulasi, yakni pengatur kebebasan warga negaranya. Karena itu, sistem ini tidak mengenal tugas negara sebagai "pengurus dan penanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya". Rakyat yang ingin memenuhi kebutuhannya harus bekerja secara mutlak, baik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya maupun kebutuhan pelengkapnya sehingga prinsip struggle for life benar-benar terjadi. Jika seseorang terkena bencana atau kebutuhan hidupnya meningkat, ia harus bekerja lebih keras secara mutlak. Begitu pula ketika ia sudah tidak mampu bekerja karena usia, kecelakaan, PHK atau sebab lainnya, maka ia tidak punya pintu pemasukan dana lagi. Kondisi ini menyebabkan kesulitan hidup luar biasa, terutama bagi seorang warga negara yang sudah tidak dapat bekerja atau bekerja dengan gaji sangat minim hingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.

  1. Problem Lapangan Pekerjaan

Kelangkaan lapangan pekerjaan bisa terjadi ketika muncul ketidakseimbangan antara jumlah calon buruh yang banyak, sedangkan lapangan usaha relatif sedikit; atau banyaknya lapangan kerja, tapi kualitas tenaga kerja buruh yang ada tidak sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan. Kelangkaan lapangan pekerja ini memunculkan angka tingkat pengangguran yang tinggi yang dapat berakibat pada aspek sosial yang lebih luas.


Dalam era globalisasi, pemerintah harus mengakomodasi tekanan internasional terhadap kebijakan pemerintah yang berkenanaan dengan masalah humanisme.  Sebagai contoh aktual adalah : isu ancaman pembatalan fasilitas bea masuk (Generalized  System of Preferences – GSP) oleh Pemerintah dan Parlemen Amerika Serikat pada tahun 1993 terhadap bea masuk produk-produk ekspor Indonesia ke Amerika Serikat.  Ancaman tersebut berkaitan dengan perlindungan hak-hak buruh dan praktek buruh anak di Indonesia.


Penulis artikel :
Irvan Pratama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar