Rabu, 25 April 2018

(Hukum01-171710623) Kedudukan Buruh dan Problematikanya

Buruh, pekerja, tenaga kerja, karyawan pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainnya kepada pemberi kerja atau majikan atau pengusaha.

Buruh adalah mereka yang bekerja pada usaha perorangan dan diberikan imbalan secara harian maupun borongan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, baik lisan maupun tertulis yang biasanya imbalan kerja tersebut diberikan secara harian.

Pada dasarnya, buruh, pekerja, tenaga kerja maupun karyawan adalah sama. Tapi di Indonesia buruh selalu diindentikan dengan pekerja rendahan, hina, kasar dan sebagainya. Sedangkan pekerja, tenaga kerja dan karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih tinggi dan diberikan kepada buruh yang tidak memakai otot tetapi otak dalam bekerja, tetapi pada intinya keempat kata tadi mempunyai makna yang sama yaitu pekerja. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku umum untuk seluruh pekerja maupun pungasaha di Indonesia..

Menurut UU No 13 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 atay 2, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Tenaga kerja merupakan modal utama serta pelaksanaan dari pembangunan masyarakat pancasila. Tujuan terpenting dari pembangunan masyarakat tersebut adalah kesejahteraan rakyat termasuk tenaga kerja. Tenaga kerja sebagai pelaksana pembangunan hatus di jamin hak-haknya. PER-04/MEN/1994 mengatakan bahwa pengertian tenaga kerja adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan yang belum wajib mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja karena adanya pentahapan kepesertaan.

Secara umum pengertian buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan upah. Dalam konteks kepentingan didalam suatu perusahaan terdspat dua kelompok yaitu kelompok pemilik modal (owner) dan kelompok buruh., yaitu orang-orang yang diperintah dan dipekerjakan dan berfungsi sebagai salah satu komponen dalam proses produksi. Dalam teori Karl Marx tentang nilai lebih disebutkan bahwa kelompok yang memiliki dan menikmati nilai lebih disebut sebagai majikan dan kelompok yang terlibat dalam.proses penciptaan nilai lebih itu disebut buruh.

Buruh berbeda dengan pekerja. Pengertian pekerja lebih menunjuk kepada proses dan bersifat mandiri, bisa saja pekerja itu bekerja untuk dirinya sendiri dan mengaji dirinya sendiri seperti petani yang mempunyai tanah garapan sendiri, nelayan yang mempunyai kapal ikan sendiri, dokter yang membuka praktek sendiri dll yang dalam proses bekerjanya memperoleh nilai tambah dari apa yang mereka buat sendiri. Istilah tenaga kerja dan karyawan dipopulerkan oleh pemerintah orde baru untuk menggantikan kata buruh yang pada waktu itu dianggap kekiri-kirian dan radikal.

Problem Ketenagakerjaan di Indonesia sampai saat ini masih terkait dengan sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya SDA tenaga kerja, upah murah dan jaminan sosial yang seadanya. Dan juga perlakuan yang merugikan bagi para pekerja seperti penganiayaan, tindak asusila, penghinaan, intimidasi sampai pelecehan seksual. Akhirnya banyak warga negara Indonesia yang menjadi tenaga kerja di luar negeri dan ini pun menyisakan masalah dengan kurangnya perlindungan dan pengawasan dari negara terhadap para tenaga kerja Indonesia tersebut.

Indonesia sebagai negara bercita-cita ingin mensejahterakan rakyatnya seperti yang terkandung dan menjadi amanat dalam Pancasila dan UUD 1945 walaupun dalam prakteknya belum bisa mewujudkan amanat ini terutama terkait dengan permasalahan yang dialami oleh kaum pekerja/buruh. Akar permasalahan yang terjadi pada pekerja/buruh masih terletak pada persoalan-persoalan hubungan dan kesepakatan antara pengusaha dan pemerintah yang akhirnya berimbas kepada pekerja/buruh dan masyarakat sebagai konsumen.  Kasus gratifikasi dan korupsi yang melibatkan pengusaha dan pemerintah akhirnya mengakibatkan kelalaian dalam pengawasan dan penetapan keputusan yang pada akhirnya merugikan kaum pekerja/buruh.

Problem yang muncul akibat dari kelalaian pengawasan dan penetapan keputusan yang tidak adil ini berupa :

 

 

 

  1. Problem Upah.


Salah satu problem yang langsung menyentuh kaum buruh adalah rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan upah yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat sementara upah yang diterima relative tetap, menjadi salah satu pendorong gerakan protes kaum pekerja/buruh.
Sistem perburuhan di Indonesia mengacu pada sistem Hubungan Industrial Pancasila, dalam sistem ini kedudukan pengusaha dan pekerja/buruh adalah setara, memiliki tanggung jawab yang sama, saling menghormati dan saling memahami. Semua kepentingan harus dibicarakan secara musyawarah. Pemerintah berkepentingan terhadap masalah upah, karena upah merupakan sarana pemerataan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus terkait dengan kemajuan perusahaan yang nantinya berpengaruh pada perkembangan perekonomian nasional dana atau daerah. Untuk mengatasi permasalahan upah pemerintah biasanya menetapkan batas minimal upah/Upah Minimum Regional yang harus dibayarkan perusahaan kepada pekerjanya, walaupun penetapan UMK ini sebenarnya bermasalah kerena seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya peran jasa buruh dalam mewujudkan hasil usaha dari peruasahaan yang bersangkutan.

 

  1. Problem Pemenuhan Kebutuhan dan Kesejahteraan Hidup.


Aristoteles (filsuf Yunani) mendefinisikan kebutuhan mendasar manusia adalah semua kebutuhan dasar yang menyangkut dimensi manusia meliputi kebutuhan material, kesehatan, kebutuhan sosial (diterima masyarakat) hingga kebutuhan untuk meng-aktualisasi sebagai manusia. Implikasinya adalah setiap manusia berhak untuk secara leluasa mengambil inisiatif untuk memenuhi kebutuhannya. Hak pemenuhan kebutuhan hidup didasarkan pada fakta bahwa manusia adalah mahluk biologis yang memiliki kebutuhan dasar biologis meliputi kecukupan makanan, perlindungan, pakaian, perawatan medis dan pendidikan. Ketika para pekerja/buruh hanya memiliki sumber pendapatan berupa upah, maka pencapaian kesejahteraan bergantung pada kemampuan upah dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dalam kenyataanya, jumlah upah relatif tetap, sementara kebutuhan hidup selalu bertambah seperti biaya pendidikan, perumahan, sakit dll. Hal ini menyebabkan kualitas kesejahteraan rakyat termasuk pekerja/buruh semakin rendah. Seharusnya pemerintah tidak lepas tangan dari usaha pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya apalagi menyangkut kebutuhan pokok.

  1. Problem Pemutusan Hubungan Kerja

PHK adalah salah satu persoalan besar yang dihadapi oleh kaum pekerja/buruh. PHK menjadi hal yang menakutkan bagi kaum pekerja/buruh dan menambah kontribusi bagi pengangguran di Indonesia. Dalam kondisi ketika tidak terjadi ketidakseimbangan posisi tawar menawar dan pekerjaan merupakan satu-satunya sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK menjadi bencana besar yang dapat membuat buruh menjadi traumatis. Problem PHK biasanya terjadi dan menimbulkan problem lain yang lebih besar dikalangan buruh karena beberapa kondisi dalam hubungan buruh-pengusaha. Sebenarnya, PHK bukanlah problem yang besar kalau kondisi sistem hubungan pekerja/buruh dan pengusaha telah seimbang dan adanya jaminan kebutuhan pokok bagi pekerja/buruh sebagaimana bagi seluruh rakyat oleh sistem pemerintahan yang menjadikan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat sebagai asas politik perekonomiannya.

  1. Problem Tunjangan Sosial dan Kesehatan


Dalam masyarakat kapitalis seperti saat ini, tugas  negara lebih pada fungsi regulasi, yakni pengatur kebebasan warga negaranya. Sistem ini tidak mengenal tugas negara sebagai pengurus dan penanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya. Rakyat yang ingin memenuhi kebutuhannya harus bekerja secara mutlak, baik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya maupun kebutuhan pelengkapnya. Jika seseorang terkena bencana atau kebutuhan hidupnya meningkat, ia harus bekerja lebih keras secara mutlak. Begitu pula ketika ia sudah tidak mampu bekerja karena usia, kecelakaan, PHK atau sebab lainnya, maka ia tidak punya pintu pemasukan dana lagi. Kondisi ini akan menyebabkan kesulitan hidup, terutama bagi rakyat yang sudah tidak dapat bekerja atau bekerja dengan upah yang minim sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

  1. Problem Lapangan Pekerjaan

Kelangkaan pekerjaan bisa terjadi ketika muncul ketidakseimbangan antara jumlah calon pekerja/buruh yang banyak, sedangkan lapangan pekerjaan relatif sedikit, atau banyaknya lapangan kerja, tapi kualitas tenaga kerja pekerja/buruh yang ada tidak sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan. Kelangkaan pekerjaan ini dapat menimbulkan gejolak sosial, angka pengangguran yang tinggi dapat berakibat pada aspek sosial yang lebih luas.

Melihat permasalahan ketenagakerjaan diatas, tentu saja membutuhkan pemecahan yang baik dan sistematis, karena permasalahan tenaga kerja bukan lagi permasalahan individu yang bisa diselesaikan dengan pendekatan individual, tetapi merupakan persoalan sosial, yang akhirnya membutuhkan penyelesaian yang mendasar dan menyeluruh. Persoalan  yang sangat erat hubungannya dengan fungsi dan tanggung jawab negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya harus diselesaikan melalui kebijakan dan pelaksanaan oleh negara bukan diselesaikan oleh pekerja/buruh dan pengusaha. Sedangkan masalah hubungan kerja dapat diselesaikan oleh pekerja/buruh dan pengusaha. Menghadapi permasalahan yang ada maka pemerintah tidak cukup dengan hanya merevisi perundang-undangan, melainkan mesti mengacu kepada akar permasalahan ketenagakerjaan itu sendiri. Yang terpenting adalah pemerintah tidak boleh melepaskan fungsinya untuk melindungi dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya adalah hal ini kesejahteraan bagi pekerja/buruh.

PERMASALAHAN BURUH

Perburuhan di Indonesia selalu mempermasalahkan aspek kelayakan upah minimum yang tidak pernah menjadi kesepakatan antara buruh dengan pengusaha. Sampai kapan pun tidak akan pernah ada yang disebut dengan kesepahaman nyata antara buruh dengan pemilik modal (pengusaha). Di negara manapun, kesepakatan perburuhan merupakan upaya politik yang kemudian disepakati atau tidak disepakati secara politik. Upah minimum di Indonesia hanya dilandasi hasil survei regional terhadap kebutuhan hidup (living cost) dan biaya-biaya tambahan lainnya, padahal tidak semua orang memiliki yang sama. Adapun masalahnya bahwa setiap orang harus menerima kenyataan yang disebut kesepakatan upah.

Semua negara akan senantiasa bermasalah dengan perburuhan, kecuali dengan negara yang menganut paham komunis/sosialis. Di negara komunis, kesenjangan pendapatan relative sangat rendah. Keseluruhan kapital dianggap milik negara dan dialokasikan untuk pendanaan kesejahteraan. Adapun di negara sosialis kesenjangan pendapatan tidak terlalu tinggi , akan tetapi setiap orang dijamin hak-hak dasarnya.

Konflik perburuhan di semua negara sebenarnya akan bermuara pada kepentingan politik dan ekonomi. Konflik pada kepentingan ekonomi terletak pada tarik menariknya kepentingan individu (institusi rumah tangga) yang menyediakan tenaga kerja dan kepentingan pemilik kapital yang menyediakan lapangan kerja. Kepentingan tenaga kerja tidak semata menuntut akan pendapatan yang layak, melainkan tuntutan atas kesejahteraan. Demikian pula halnya dengan pemilik kapital yang menginginkan untuk mengefektifkan biaya produksi agar dapat mengoptimalkan laba operasionalnya. Permasalahan perburuhan sesungguhnya harus dilihat dari sudut pandang ekonomi dengan melihat aliran pendapatan dan biaya. Sektor rumah tangga menginginkan untuk memperoleh pendapatan dengan memberikan kontribusi berupa produktivitas kepada pemilik modal. Tentu saja, pendapatan tersebut dianggap sepadan untuk memenuhi hak-hak dasarnya sebagai warga negara, yaitu kesejahteraan. Biaya hidup yang selama ini menjadi pedoman pengukuran standarisasi upah minimum hanyalah mengukur ongkos kebutuhan pokok sehari-hari. Sementara itu, biaya hidup bukanlah ukuran yang memiliki sifat statis, tetapi akan senantiasa dinamis mengikuti perubahan atas harga (inflasi).

Dari sisi pemilik kapital selalu akan menganggap komponen upah sebagai bagian dari komponen biaya produksi. Pemilik capital menginginkan untuk mengoptimalkan perolehan laba bersihnya. Produktivitas yang diberikan oleh tenaga kerja diharapkan akan dapat memberikan manfaat untuk mengoptimalkan output dan menopang strategi bersaing. Fakta tadi harus dipandang dengan secara realistis, apabila masalah perusahaan tidak semata mengenai input dan output semata.

Menurut UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dikatakan bahwa perusahaan tidak hanya diwajibkan membayar upah buruh/pekerja, melainkan memiliki kewajiban pula untuk memenuhi kesejahteraan. Upah layak sesungguhnya tidak pernah terjadi di Indonesia, kecuali yang disebut upah murah. Sekalipun ada yang disebut standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL), akan tetapi ukuran statistic tersebut belum tentu merepresentasikan kehidupan layak yang sesungguhnya apalagi apabila dikaitkan dengan PP No 78 Tahun 2015 yang meninjau tentang KHL ini selama 5 tahun sekali. Maka yang terjadi adalah pendapatan buruh/pekerja lebih terserap habis hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya saja, belum lagi kalau ada pelanggaran atas kesepakatan upah oleh pihak perusahaan. Di Indonesia pun upah murah sering dipakai sebagai upaya menarik investor asing agar mau menanamkan modalnya.

Jadi penulis bisa menarik kesimpulan, bahwa sampai kapanpun aka nada perbedaan persepsi mengenai upah dan kesejahteraan buruh/pekerja, kesepakatan upah yang terjadi lebih kepada kesepakatan politik bukan atas nilai keadilan dan kesejahteraan dan yang memperburuk keadaan ini adalah kebijakan upah murah selalu dipakai oleh pemerintah dalam upaya menarik investor asing ke Indonesia.

Permasalahan perburuhan yang ada sampai saat ini lebih disebabkan karena faktor-faktor di luar hubungan kerja/industrial itu sendiri, misalnya:  

  1. Ketimpangan jumlah lapangan kerja dan jumlah tenaga kerja yang mengakibatkan posisi buruh atau tenaga kerja dalam posisi yang lemah; 
  2. Hak-hak dasar atau hak-hak normatif yang seharusnya dinikmati oleh warga negara termasuk buruh dan saat ini belum bisa dipenuhi oleh Negara, antara lain: pendidikan yang murah dan berkualitas, transportasi umum yang murah, layak dan aman, biaya kesehatan/ jaminan kesehatan, harga-harga kebutuhan pokok, perumahan, jaminan hari tua untuk warga negara yg sudah berusia lanjut ; jaminan mendapatkan pekerjaan;
  3. Hak-hak di bidang hukum, antara lain: perlindungan hukum bagi buruh yang melakukan kegiatan serikat pekerja, pengawasan pemerintah terhadap pelanggaran hak-hak buruh, ketakutan akan pemutusan hubungan kerja (PHK);

 

Penulis artikel :
Anisa Agustina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar