Kamis, 04 Mei 2017

(Mardiono-FHUMPREGA22) Konsep ketenagakerjaan (perburuhan) negara Spanyol dan perbandingannya dengan Indonesia.

Memaknai Konsep Waktu

SPANYOL

Waktu merupakan symbol untuk memberikan pesan dengan makna tertentu. Waktu sebagai symbol dapat digambarkan misalnya sepertu berapa lama sebuah budaya memperkenankan seseorang  terlambat dalam sebuah perjumpaan (pertemuan, tatap muka, berbicara, dan bertamu), atau kemungkinan kedua di mana suatu kebudayaan tidak memiliki ketentuan sama sekali terhadap penggunaan waktu (kalau ada bisa dilanggar).

Setiap kebudayaan mengajarkan kepada kita untuk menggunakan dan melihat waktu dengan cara yang berbeda-beda. Kebudayaan mengajarkan kita bagaimana memandang masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang, dan faktor-faktor persepsi budaya terhadap waktu sangat memengaruhi kita ketika sedang berkomunikasi.

Konsep Waktu yang digunakan di Spanyol adalah Waktu Polikronik atau klasik multi-aktif, bukan linear-aktif.  Artinya Spanyol memandang waktu sebagai suatu perputaran yang kembali dan kembali lagi. Mereka cenderung mementingkan kegiatan-kegiatan yang terjadi dalam waktu ketimbang waktu itu sendiri, menekankan keterlibatan orang-orang dan penyelesaian transaksi ketimbang menepati jadwal waktu. Oleh karena itu, Spanyol cenderung lebih santai, dapat menjadwalkan waktu berdasarkan beberapa tujuan sekaligus.

Jadi semakin banyak hal yang dapat mereka lakukan atau menangani pada saat yang sama , mereka merasa lebih terpenuhi dan merasa bahagia.

Orang-orang polikronik cenderung berpikir waktu seperti siklus, waktu itu akan datang kembali, kalau berkomunikasi mengutamakan relasi, mengembangkan percakapan dengan basa- basi. Waktu yang bak berputar dalam lingkaran itu dianggap potensial untuk membawa resiko yang sama, baik keberuntungan ataupun kemalangan. Maka keterlambatan atau kelalaian untuk melakukan sesuatu pekerjaan merupakan hal biasa, karena waktu akan tersedia kembali untuk menuntaskan tugas tersebut.

Ungkapan "Waktu berjalan" memang lebih cocok untuk penganut waktu Polikronik yang cenderung lamban . Penundaan suatu kegiatan bagi penganut waktu Polikronik bukanlah membuang-buang waktu , jika hal itu memang layak, yakni untuk menghindari "hari buruk" yang dianggap akan membawa kesialan, untuk dijadualkan lagi pada "hari baik" yang dianggap akan membawa keberuntungan.

Ketiadaan rencana kegiatan yang matang sering menandai kehidupan penganut waktu polikronik. Oleh karena itu, mereka juga cenderung fatalistic, menerima nasib yang mereka anggap sebagai takdir yang tidak bisa mereka hindari .  Dalam budaya polikronik, seperti di Spanyol orang-orang dan hubungan-hubungan lebih penting dari janji pertemuan (appointment). Pertemuan akan berlangsung terus dengan mengabaikan jadual waktu, jika apa yang dilakukan belum tuntas.

Bagi penganut waktu polikronik adalah absurd untuk selalu mengasosiasikan waktu yang tidak digunakan secara produktif (untuk menghasilkan uang) dengan kerugian, misalnya waktu yang digunakan untuk berkumpul dan bercengkrama dengan kerabat atau sahabat, saat melakukan ritual agama, saat kita malakukan hobi kita, atau saat kita berleha-leha untuk menyenangkan diri.

INDONESIA

Jadi konsep waktu yang digunakan di Indonesia juga sama dengan yang dianut di Spanyol, yaitu sama-sama menganut Waktu Polikronik  . Bagi orang Indonesia, khususnya bagi orang-orang Jawa, waktu menjadi relative. Mereka menyebut "jam karet'. Sebutan itu menunjuk pada toleransi terhadap waktu. "On time" (tepat waktu) dalam budaya Barat berhubungan dengan disiplin, bagi orang-orang Jawa disebut "ngat" (tepat waktu) tidak ada hubungannya dengan disiplin, tetapi lebih mementingkan unsure-unsur yang menghubungkan dengan dunia spiritual atau magis.Waktu bersifat mulur mungkret (relative), yakni tergantung siapa dan dalam situasi yang bagaimana waktu didefinisikan.

Jadi, "on time" atau tepat waktu dalam budaya Indonesia tergantung kepada situasi dan kondisinya. Waktu menjadi kurang penting jika peristiwa yang menjadi subjek dianggap kurang penting. Jadi konsep waktu melekat pada peristiwa yang terjadi.

Jadi, waktu, sebagai sebuah unsur penting dalam komunikasi menjadi focus pembahasan komunikasi antarbudaya, karena konsep waktu akan memepengaruhi keberhasilan aktitivitas komunikasi antarbudaya.

Status dan Peran Perempuan dalam Bekerja

SPANYOL

Spanyol terdapat diskriminasi yang terlihat dalam lingkungan kerja. Penyebabnya bisa jadi seperti posisi jabatan yang dipimpin dalam suatu perusahaan. Banyak penelitian yang telah membahas diskriminasi gender dan ras dalam jabatan yang tinggi. Masyarakat Spanyol melihat perempuan sebagai peran sekunder dalam hal pekerjaan padahal tenaga kerja perempuan terus meningkat tiap tahunnya.

Pada tahun 2006, tenaga kerja perempuan Spanyol sebesar 42%, sementara hanya ada 6% – 8% yang menduduki jabatan tinggi di suatu perusahaan karena menurut beberapa penelitian telah membuktikan bahwa perempuan mengalami banyak hambatan atau kesulitan untuk meningkatkan posisi jabatan di perusahaan dikarenakan diskriminasi gender.

Dalam kasus ini, Spanyol lebih terlihat dengan jelas dalam perbedaan jabatan yang di miliki perempuan di berbagai perusahaan dibanding Negara – Negara Eropa lainnya. Pada tahun 2004, European Professional Women's Network Monitor menyatakan bahwa Spanyol memiliki representasi perempuan hanya 3%.

Dan studi pada tahun 2007 menyatakan bahwa dari 300 perusahaan Eropa, negara-negara yang memiliki diskriminasi gender pada jabatan, yaitu: Portugal, Italia, Spanyol dan Belgia. Peneliti Amnesty International di Spanyol mengatakan bahwa "tindakan ini sudah melanggar hukum, baik hukum Spanyol maupun hukum internasional, dan dapat mempengaruhi masyarakat asing maupun masyarakat etnis minoritas di Spanyol".

INDONESIA

Sama halnya dengan status dan peran bekerja perempuan di Spanyol, di Indonesia masih terdapat diskriminasi terhadap perempuan didalam dunia kerja.

Hari Perempuan Internasional (International Women Day) yang jatuh pada tanggal 8 Maret lalu, menjadi kesempatan untuk merayakan pencapaian di bidang ekonomi, politik, dan sosial bagi para perempuan di seluruh dunia.

Tahun 2015 ini, peringatan Hari Perempuan Internasional mengambil tema "Make It Happen", yang difokuskan pada dorongan bagi para perempuan di dunia dengan menggalang tindakan efektif bagi dikenalinya dan diperdalamnya pencapaian profesional dan personal mereka.

Namun, sebelum membahas lebih jauh tentang kepuasan kaum perempuan tentang bagaimana feminisme membuat perbedaan bagi kesetaraan untuk perempuan di Indonesia dan di seluruh dunia, masih banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan.

Salah satunya adalah tentang diskriminasi perempuan di dunia kerja. Faktanya, masih adanya perbedaan penghasilan yang cukup besar berdasarkan gender yang ternyata dapat merusak perekonomian negara secara keseluruhan. Sehingga sangat penting untuk menyuarakan isu ini kepada pemerintah atau para pemegang kepentingan agar terjadi perubahan.

Menurut sebuah artikel di media nasional Indonesia pada Agustus 2014 lalu, diskriminasi perempuan di dunia kerja di Indonesia masih banyak ditemukan. Banyak perempuan yang sering mengalami ketidaksetaraan di bidang ketenagakerjaan.

Di sisi lain, kesetaraan gender idealnya diwujudkan dalam berbagai hal, di antaranya empat faktor yakni akses, partisipasi, kontrol, dan benefit. Jika salah satu dari keempat faktor itu tak terpenuhi, artinya ada ketidaksetaraan di lingkungan pekerjaan atau sektor kepegawaian.

Berdasarkan sejumlah penelitian, para pria memiliki akses lebih besar untuk bekerja karena banyak pendapat menyebutkan, pekerjaan perempuan termasuk sektor sekunder bagi mereka, dibandingkan peran utamanya secara domestik alias di dalam rumah tangga.

Hal ini juga didukung sejumlah data nasional yang menunjukkan diskriminasi perempuan di dunia kerja masih banyak terasa, sehingga mereka merasakan ketidaksetaraan.

Di antaranya data dari Biro Pusat Statistik (BPS) dan hasil survei yang dilalukan Departemen Tenaga Kerja (Sakernas) pada Agustus 2013 silam, menyatakan 57 persen pekerja perempuan diperkejakan di sektor informal. Berdasarkan data yang sama dari BPS dan Sakernas, penghasilan rata-rata perempuan bekerja di sektor di luar agrikultur, hanya sekitar 80 persen dari penghasilan pria.

Sedangkan menurut data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapennas) tahun 2013, menyebutkan hanya 209.512 perempuan yang memegang posisi tinggi di berbagai sektor pekerjaan. Dengan kata lain, hanya 18 persen dari 1,1 juta total pekerja perempuan yang bekerja di level manajerial.

Budaya Bekerja

SPANYOL

Di Spanyol ada jumlah yang sangat terbatas antara tindakan yang bertujuan menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan keluarga di Spanyol dan orang-orang yang eksis sering ditemukan tidak efektif, terutama yang berfokus pada cuti panjang dan mengurangi jam kerja.

Sejak krisis ekonomi tahun 2008, banyak keluarga tidak mampu untuk mengambil cuti dan mengurangi pendapatan mereka. Dan orang enggan untuk menerima jam kerja berkurang, karena mereka percaya karir profesional mereka akan terganggu sebagai hasilnya. Karya-hidup ketidakseimbangan juga dapat memiliki efek merusak pada perusahaan, produktivitas pekerja bisa menurun, absensi dapat meningkatkan dan kecelakaan dapat terjadi.

Terutama dipengaruhi oleh kecepatan baru kehidupan kerja adalah rumah tangga di mana kedua orang tua bekerja penuh waktu. Dikombinasikan dengan kurangnya kronis fasilitas penitipan anak, ini sering berarti bahwa mereka tidak mampu merawat anak-anak mereka selama seminggu. Jadi kakek sering memainkan peran penting dalam mendukung keluarga Spanyol mengahadapi sumber daya yang terbatas.

Akibatnya, pemerintah sedang mencari inisiatif baru dan langkah-langkah masyarakat. Banyak profesional juga berpendapat bahwa ada kebutuhan untuk membawa perubahan dalam sikap budaya. Pihak berwenang menyatakan bahwa laki-laki, khususnya, harus berkomitmen penuh untuk mengurus anak-anak dan orang tua, untuk mencapai keseimbangan yang memuaskan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga.

Terlepas dari berbagai kerangka hukum mengenai keseimbangan kehidupan kerja, ada rencana untuk membangun sekolah pembibitan lebih dan mempromosikan skema kerja yang nyaman untuk keluarga dalam perusahaan Spanyol. Keluarga adalah landasan budaya Spanyol dan berfungsi sebagai jaringan dukungan sosial dan keuangan.

Spanyol memiliki 14 hari libur setiap tahun, 2 yang bervariasi tergantung pada pemerintah daerah setempat. Karyawan biasanya berhak 30 hari kalender dari liburan dibayar setiap tahun, kecuali perjanjian atau kontrak kolektif telah ditetapkan. Liburan biasanya diambil pada bulan Juli, Agustus atau September, dengan Agustus menjadi bulan yang paling populer.

Hari kerja khas Spanyol cenderung dari seluruh 08:30 atau 09:00 untuk sekitar 01:30 dan kemudian dari 04:30 atau 17:00 untuk sekitar 20:00.

Siesta yang merupakan kebudayaan spanyol yang terkenal, saat ini menurun di kota-kota besar, masih merupakan bagian utama dari hari kerja di Spanyol. Tidur siang adalah istirahat sore hari, biasanya sekitar tiga jam, yang memberikan karyawan istirahat dari pekerjaan selama tengah hari panas yang hebat. Kebanyakan orang cenderung untuk pergi pulang untuk makan siang, menghabiskan waktu dengan keluarga mereka atau bersantai selama waktu ini.

Tradisi Spanyol dari makan siang yang panjang dan istirahat sore telah ditantang dalam beberapa tahun terakhir. Meningkatnya persaingan dari pasar Eropa dan seluruh dunia lainnya telah mengakibatkan banyak perusahaan meninggalkan praktik lama didirikan dalam mendukung hari kerja yang intensif, di mana karyawan memiliki istirahat makan siang pendek, dan menyelesaikan sebelumnya di sore hari.

Banyak karyawan di kantor-kantor di kota-kota tetap di meja mereka sepanjang siang dan hanya daerah pedesaan sebagian besar mempertahankan ketaatan pada siang, di mana laju kehidupan cenderung berarti bahwa tidur siang masih bagian penting dari hari.

Minggu kerja standar 40 jam di Spanyol tapi ini bervariasi antara pekerjaan. Hukum juga memastikan ada minimal dua belas jam istirahat antara hari kerja dan karyawan tidak dapat bekerja lebih dari delapan puluh jam lembur dalam satu tahun kecuali ada kesepakatan bersama di tempat.

Jam untuk bank dan kantor-kantor publik:
Bank
Senin sampai Jumat: 08:30-02:00
Sabtu: 08:30-01:00
Dari bulan April sampai September: ditutup pada hari Sabtu
Kantor-kantor publik
Senin sampai Jumat: 08:00-03:00
Toko
Senin sampai Sabtu: 10:00-13:30 dan 17:00-20:30

INDONESIA

Saat ini begitu terasa akan buruknya Budaya Kerja bangsa Indonesia, dimana hal ini tercermin dalam identitas diri setiap individu, seperti kurangnya sikap disiplin, produktif, inovatif, semangat serta mudah terpengaruh oleh budaya asing yang bersifat negatif dan tidak mau bekerja keras seperti bangsa-bangsa yang lebih maju.

Semua itu menyebabkan sebagian besar anak bangsa yang saat ini kita lihat banyak menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang tidak produktif, sehingga membuat mereka masih terbelenggu didalam kebodohan, kemiskinan, dan selalu kalah dalam persaingan termasuk dalam hal bisnis.

Saat ini banyak sekali perubahan yang terjadi pada setiap lingkup kehidupan. Terjadinya perubahan-perubahan dalam lingkup strategis dunia, termasuk perubahan budaya sebagai akibat globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini ditandai dengan kemajuan komunikasi dan informasi yang seakan tidak terbendung, telah mempengaruhi perubahan kehidupan dan budaya yang signifikan dalam masyarakat dunia dewasa ini.

Masalah yang terjadi saat ini adalah belum siapnya bangsa Indonesia dalam menghadapi perubahan tatanan kehidupan yang disuguhkan oleh bangsa  lain melalui transformasi budaya. Tentu budaya yang disuguhkan adalah nilai-nilai budaya positif yang mampu membangun karakter individu dalam menghadapi persaingan kompetensi dengan bangsa lain, seperti budaya disiplin dan kerja keras.

Walaupun ditengah maraknya pengaruh budaya negative akibat globalisasi, namun sebenarnya ada perubahan budaya yang diharapkan bersifat positif bagi pembangunan bangsa dan generasi selanjutnya seperti perubahan budaya kerja, baik bagi organisasi pemerintah maupun organisasi masyarakat/swasta dalam bekerja, memproduksi, dan melayani masyarakat.

Didalam sebuah negara, menurut penulis ada tiga domain penting yang harus saling bersinergi dalam membangun kemajuan sebuah bangsa, yakni Pemerintah, swasta, dan masyarakat madani. Ketiga domain ini harus bersinergi didalam budaya kerja yang positif untuk menghadapi persaingan dan pengaruh yang diberikan bangsa lain, agar kita tetap memancarkan identitas, seperti yang dikatakan mengenai definisi budaya kerja yaitu cara hidup tertentu yang memancarkan identitas tertentu dari suatu bangsa (Ashley Montagu dan Christopher Dawson 1993).

Budaya kerja positif yang perlu dibangun oleh bangsa Indonesia dalam menghadapi persaingan bisnis seperti ASEAN Economics Community yang kurang dari 3 bulan lagi akan kita hadapi,menjadi sangatlah penting. Sebab budaya kerja merupakan suatu komponen kualitas manusia yang melekat dengan identitas bangsa dan menjadi tolak ukur dasar dalam pembangunan, yang menentukan integritas bangsa dan penyumbang utama dalam menjamin kesinambungan kehidupan bangsa, serta terkait erat dengan nilai-nilai dan falsafah bangsa yang mampu mendorong kinerja seseorang.

Dapatkah kita bayangkan jika Indonesia tidak memiliki budaya kerja positif dalam menghadapi AEC?, dimana arus barang sangat bebas keluar masuk kesetiap negara serta sangat mudahnya para individu untuk bekerja dinegara manapun yang dia suka. Kualitas mutu dan kompetensi SDM yang baik sangat dibutuhkan dalam menghadapi atmosfer seperti ini. Tentunya semua dimulai dengan membangun budaya kerja positif yang disiplin dan fokus terhadap tujuan, sebab budaya kerja mampu mengubah perilaku individu untuk meningkatan produktivitas kerja, meningkatkan kepuasan kerja, menjamin hasil kerja berkualitas, memperkuat jaringan kerja (networking), menjamin keterbukaan (accountable), dan membangun kebersamaan yang baik dalam  lingkungan pekerjaan. Maka dari itu budaya kerja positif sangatlah penting dibangun oleh elemen-elemen bangsa seperti pemerintah, swasta, dan masyarakat madani sebagai bekal dalam menghadapi atmosfer persaingan bisnis yang sebentar lagi akan kita hadapi yaitu ASEAN Economics Community.

Jam Kerja dalah waktu untuk melakukan pekerjaan, dapat dilaksanakan siang hari dan/atau malam hari. Jam Kerja bagi para pekerja di sektor swasta Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya pasal 77 sampai dengan pasal 85.

Pasal 77 ayat 1, UU No.13/2003 mewajibkan setiap pengusaha Indonesia untuk melaksanakan ketentuan jam kerja. Ketentuan jam kerja ini telah diatur dalam 2 sistem seperti yang telas disebutkan diatas yaitu:

7 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1  minggu; atau
8 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.
Pada kedua sistem jam kerja tersebut juga diberikan batasan jam kerja yaitu 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu. Apabila melebihi dari ketentuan waktu kerja tersebut, maka waktu kerja biasa dianggap masuk sebagai waktu kerja lembur sehingga pekerja/buruh berhak atas upah lembur.

Akan tetapi, ketentuan waktu kerja tersebut tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu seperti misalnya pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar