Selasa, 01 Mei 2018

(Hukum 02-171710829) buruh dan pembangunan diindonesia

1.Buruh dalam Model Pembangunan Kapitalistik yang Dipandu Negara

Paska kejatuhan Sukarno tahun 1965 yang sekaligus menandai berkuasanya Rezim Kapitalisme Negara Orde Baru, Perubahan arah dan model pembangunan pun terjadi. Sukarno yang mengedepankan kemandiriaan dianggap gagal untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada saat itu. Pada era kepemimpinan Suharto, model pembangunan orde baru dibuat secara sentralistik, peran Negara dalam merencanakan, melaksanakan dan mengawasinya menjadi sangat kuat. Karena begitu sentralistiknya segala bentuk ancaman atau gangguan terhadap jalannya pembangunan (dalam definisi pemerintah) akan dianggap sebagai pelanggaran dan ditindak secara represif bahkan dengan instrument militer.
Ideologi pembangunan yang diusung oleh orde baru dalam sector perburuhan kemudian dimanifestasikan ke dalam konsep "Hubungan Perburuhan Pancasila" (HPP), yang sejak pertengahan tahun 1980an diubah menjadi "Hubungan Industrial Pancasila" (HIP). Konsep ini menganalogikan hubungan antara buruh dan pengusaha sebagai hubungan anggota dari suatu keluarga, yang tidak mengenal konflik kepentingan melainkan perbedaan pendapat yang dapat dan harus diselesaikan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat. Pada tingkat politik, perwujudannya dapat kita lihat dalam suatu struktur hubungan perburuhan yang bersifat korporatif yang dibangun sebagai arena bagi Negara melakukan intervensinya terhadap masalah-masalah perburuhan. Hal tersebut tergambarkan dalam suatu tripartite hubungan perburuhan yang terdiri dari organisasi buruh (bentukan pemerintah), federasi para pengusaha dan departemen tenaga kerja.
Selain sudah dikekang secara struktural oleh pemerintahan orde baru, buruh juga masih harus berhadapan dengan aparat keamanan bentukan orde baru yang bekerja lintas instansi seperti KOPKAMTIB. Sepanjang tahun 1980 sampai 1988, laporan Forum Solidaritas Buruh (1993) di wilayah Jakarta, Surabaya, Jawa Barat dan Jawa Tengah saja paling sedikit telah terjadi 77 kasus konflik perburuhan yang melibatkan militer. Sepanjang tahun 1990, menurut catatan resmi jumlah pemogokan buruh bahkan telah meningkat 50 persen dengan jumlah kasus pemogokan yang mencapai 92 persen kasus. Angka itu meningkat menjadi 147 kasus pada tahun 1991, dan naik menjadi 177 kasus pada tahun 1992 dengan 63,27 persen diantaranya berupa tuntutan kenaikan upah sesuai dengan ketentuan tentang upah upah minimum (Mulyana W. Kusumah, 1994).
Banyaknya kasus campur tangan militer di dalam penyelesaian konflik perburuhan melalui aksi pemogokan dan unjuk rasa untuk menuntut perbaikan upah dan kondisi kerja hanya merupakan salah satu indikasi pemihakan Negara kepada kelas pemilik modal dan sekaligus pemarginalan kelas buruh. Kebijakan-kebijakan pengekangan bernuansa kelas ini sekali lagi membuktikan bahwa orientasi Negara dalam model pembangunan ini masih berpihak pada para kelas pemodal dan relasinya tetap menjadikan kelas pekerja sebagai objek eksploitasi atas nama pembangunan dan stabilitas Negara.
Represi secara struktural terhadap buruh dan serikat buruh ini diperparah lagi oleh model pembangunan rezim otoriter yang korup. Karena pemerintahan ini sangat otoriter maka pengawasan menjadi sangat lemah dan terbatas. Kekuasaan yang sangat luas ini kemudian membuka ruang bagi terjadinya kapitalisme perkoncoan (crony capitalism). Hal ini terjadi secara luas dalam praktik pembangunan orde baru, para borjuasi besar yang ingin membangun usahanya di Indonesia harus memiliki koneksi terhadap rezim yang berkuasa (Eric Hiariej: 2005,hal 78). Akumulasi antara model pembangunan kapitalisme yang memang memiliki kontradiksi inheren dalam dirinya dengan crony capitalism , dalam konteks orde baru akumulasi capital tanpa henti yang dilakukan baik oleh Negara dan kelas borjuasi akhirnya menimbulkan kesenjangan yang ekstrem dan tak mampu di atasi karena disaat yang bersamaan krisis (dalam tubuh kapitalisme secara global) yang melanda dunia juga sedang terjadi.
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tersebut kemudian juga harus ditanggung akibatnya oleh begitu banyak buruh. Buruh harus dikurangi gajinya akibat pengetatan anggaran yang dilakukan industri tempat mereka bekerja. Buruh juga harus menerima pemecatan akibat industri menghentikan operasi perusahaan karena bangkrut. Lebih lanjut buruh seperti masyarakat Indonesia yang lain hidupnya semakin terhimpit oleh naiknya harga bahan pokok secara tak terkendali sehingga dengan pendapatan yang tidak juga meningkat mereka sekali lagi harus menambah pengeluaran untuk sekadar bertahan hidup.
Runtuhnya rezim orde baru kemudian juga mengantarkan Indonesia ke dalam model pembangunan yang tidak lagi sentralisti dan otoriter. Tetapi pertanyaannya kemudian apakan model pembangunan tersebut adalah model pembangunan yang bersahabat terhadap buruh atau hanya bentuk lain dari model pembangunan kapitalistik yang akan tetap mengeksploitasi dan menghisap kaum buruh. Pertanyaan-pertanyaan inilah kemudian yang akan coba kita jawab dan elaborasi lebih lanjut.

2.Buruh dalam Model Pembangunan Kapitalistik yang Dipandu Pasar

Setelah rezim orde baru tumbang, Indonesia kemudiaan harus bergelut dengan dampak krisis yang diwariskan oleh rezim sebelumnya. Secara umum Indonesia menjadi sangat demokratis dan bahkan telah melakukan PEMILU secara demokratis. Yang lebih mutakhir lagi adalah Indonesia telah mampu melaksanakan Pemilihan Presiden secara langsung selama dua periode dan dianggap sebagai contoh baik demokrasi. Tetapi demokrasi yangdipraktikkan Indonesia saat ini tidak bisa kita lepaskan dari konteks struktur ekonomi politik global yang berlaku. Struktur ekonomi politik global saat ini yang masih bercorak kapitalistik tetapi tidak lagi dipandu oleh Negara. Struktur ini menganggap bahwa krisis pembangunan yang banyak melanda Negara-negara termasuk Indonesia adalah karena ulah Negara yang terlalu banyak mengintervensi dan menginterupsi mekanisme pasar.
Struktur yang dijelaskan di atas adalah neoliberalisme, paham ini kemudiaan dimanifestasikan kedalam beberapa bentuk kebijakan utama. Kebijakan-kebijakan tersebut kemudiaan dijelaskan dalam Washington Consensus. "Awalnya, ada 10 kata kunci dalam konsensus ini; (1) disiplin fiskal, dengan menjaga defisit serendah-rendahnya, karena defisit yang tinggi akan mengakibatkan inflasi dan pelarian modal; (2) prioritas-prioritas belanja pemerintah, dengan mengurangi atau menghilangkan subsidi dalam sektor-sektor seperti pendidikan, kesehatan, dan lainnya; (3) reformasi perpajakan; (4) liberalisasi keuangan; (5) nilai tukar mata uang negara-negara sedang berkembang harus mengadopsi nilai tukar yang kompetitif agar memacu ekspor; (6) liberalisasi perdagangan, dengan meminimumkan hambatan-hambatan tarif dan perizinan; (7) penanaman modal asing harus dibuat seliberal mungkin karena dapat membawa masuk keuntungan modal dan keahlian dari luar negeri; (8) privatisasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah; (9) deregulasi sektor ekonomi, karena pengaturan pemerintah yang kuat dan berlebihan dapat menciptakan korupsi dan diskriminasi terhadap perusahaan-perusahaan kecil yang memiliki akses rendah kepada pejabat-pejabat pemerintah di level lebih tinggi; (10) penghargaan terhadap hak milik harus ditegakkan, karena hukum yang lemah dan sistem peradilan yang jelek dapat mengurangi insentif untuk akumulasi modal (dikutip oleh M.Naim, 2000)."
Dalam perkembangannya, ada penambahan 10 kata kunci baru. (1) Bank Sentral yang independen; (2) reformasi baik terhadap sektor publik maupun tata kelola sektor swasta; (3) fleksibilitas tenaga kerja; (4) pemberlakuan kesepakatan-kesepakatan WTO dan harmonisasi standar-standar nasional dengan standar-standar internasional di dalam kegiatan bisnis dan keuangan, tetapi dengan pengecualian (terutama tentang perburuhan dan lingkungan hidup); (5) penguatan sistem keuangan nasional untuk memfasilitasi liberalisasi; (6) pembangunan berkelanjutan; (7) perlindungan masyarakat miskin melalui program jaring pengaman sosial; (8) strategi pengurangan kemiskinan; (9) adanya agenda kebijakan pembangunan nasional; (10) partisipasi demokrasi (dikutip oleh M. Beeson & I. Islam, 2006).
Keseluruhan kebijakan di atas dapat kita sederhanakan menjadi tiga bentuk kebijakan dasar dalam model pembangunan ini. Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi liberalisasi, privatisasi dan deregulasi. Keseluruhan praktik tersebut merupakan kebijkan yang digunakan untuk mengurangi intervensi Negara terhadap pasar sehingga actor-aktor swasta dan individu bisa bebas untuk terus beraktifitas dan mengakumulasi kapital. Indonesiapun telah mempraktikkan model-model pembangunan neoliberalisme tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari pola kebijakan pemerintah Indonesia yang mulai mengintegrasikan perekonomiaannya ke perekonomian global, pengurangan subsidi serta privatisasi BUMN yang bekerja di sektor publik.
Lalu, apa artinya pelaksanaan kebijakan tersebut bagi kaum buruh di Indonesia. Hal pertama harus kita beri penekanan adalah pemikiran pemerintah Negara-negara berkembang termasuk Indonesia tentang buruh murah sebagai keunggulan komparatif untuk menarik investasi masuk kenegaranya. Pemikiran ini muncul dengan logika bahwa upah buruh yang rendah akan mengurangi biaya produksi sehingga harga produk bisa semakin murah dan bisa bersaing di pasar internasional. Oleh karena itu upah buruh akan selalu dijaga agar tetap rendah dengan argument agar hasil produksi mereka bisa bersaing di pasar internasional dan pembangunan akan terus tumbuh akibat jumlah investasi yang besar masuk ke Negara mereka.
Masalahnya selanjutnya bagi buruh dalam model pembangunan neoliberalisme ini adalah penerapan labour flexibilization. Labour Flexibilization adalah bentuk strategi yang digunakan pengusaha untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat di pasar internasional. Para pengusung neoliberalisme berpendapat bahwa strategi ini akan membawa keuntungan bagi kedua pihak, buruh akan mendapat kesempakatan kerja yang lebih besar karena adanya system kerja paruh-waktu (part time jobs). Labour flexibilization ini juga dianggap akan memberi kesempatan kepada buruh (secara individu) untuk bernegosiasi langsung dengan pihak perusahaan tanpa perantara seperti serikat buruh. Lebih lanjut memungkinkan adanya kepuasan kerja dengan menyesuaikan jenis dan beban pekerjaan dengan kemampuan buruh.
Fakta di lapangan justru memperlihatkan hal yang berlawanan dengan hal yang dijanjikan melalui strategi Labour Flexibilization tersebut. "Dalam waktu kurang dari satu tahun, terjadi pemecatan massal di hampir semua sektor industri. Menurut laporan ILO tahun 1998, sampai akhir tahun tersebut sekitar 5,5 juta buruh dipecat, umumnya di sektor industri manufaktur ringan, konstruksi dan perdagangan." Hal ini membuktikan bahwa strategi tersebut memang didesain hanya untuk menguntungkan perusahaan semata. Pelonggaran tersebut telah membuat buruh berada dalam kondisi dan posisi tawar yang sangat lemah terhadap pemilik modal. Dan yang paling jelas terlihat dari pelaksanaan strategi tersebut adalah upaya untuk melemahkan serikat buruh. Upaya tersebut dilakukan dengan membuat buruh dapat berhadapan langsung dengan perusahaan secara individu, dalam artian buruh diupayakan agara bergerak secara individual bukan kolektif.

Assyura rahmawati 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar