Kamis, 20 April 2017

(pika yuliastuti - 013 ) perbandingan konsep kewarganegaraan indonesia dengan negara kanada

Perbandingan konsep kewarganegaraan anatara Negara Indonesia dan Negara kanada


Dalam Hal Memaknai Konsep Waktu
Di Kanada untuk kebanyakkan hal harus janji terlebih dahulu. Mulai
dari urusan formal sampai pribadi harus janji terebih dahulu jika
tidak ingin ditolak saat sudah sampai di tempat tujuan. Sedangkan di
Indonesia apabila ingin bertemu dengan seseorang tidak membuat janji
terlebih dahulu juga masih bias. Selain itu sebagian besar penduduk
Negara maju seperti Kanada sudah menyadari bahwa waktu sangatlah
berharga. Untuk menghemat waktu, para eksekutif di berbagai Negara
maju membuat rencana bisnis secara efisien dengan memusatkan perhatian
pada tugas tertentu pada periode tertentu. Oleh karena waktu sangatlah
terbatas, dalam berkomunikasi mereka cenderung langsung menuju pada
pokok persoalan (to the point) dan cepat. Hal ini berbeda dengan para
eksekutif dari Negara berkembang seperti Indonesia, yang umumnya
memandang waktu relatif luwes atau fleksibel. Menurut mereka,
menciptakan dasar-dasar hubungan bisnis lebih penting dari pada
sekedar dapat menyelesaikan suatu pekerjaan.
Dalam Hal Status Peran Perempuan dalam Bekerja atau Bisnis
Budaya menuntun peran yang akan dimainkan seseorang, termasuk siapa
berkomunikasi dengan siapa, apa yang mereka komunikasikan, dan dengan
cara bagaimana mereka berkomunikasi. Sebagai contoh, di Negara-negara
yang sedang berkembang peran wanita dalam dunia bisnis marih relatif
rendah. Sementara, di Negara-negara maju, peran wanita di dunia bisnis
sudah cukup kuat. Status peran perempuan di Indonesia masih cenderung
terikat oleh adat dan norma yang melekat pada lingkungan sekitar.
Antara laki-laki dan perempuan di Indonesia masih terdapat perbedaan
pandangan dari masyarakat, masyarakat menilai kaum perempuan lebih
pantas untuk berada di rumah bukan di luar rumah untuk bekerja.

Berbeda dengan yang terjadi di Kanada, di Negara maju seperti Kanada
kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan sangat dijunjung
tinggi. Hampir tidak terlihat perbedaan dalam status seseorang dalam
dunia kerja antara laki-laki dan perempuan, keduanya dipandang sama
atau sederajat, tidak ada yang dibeda-bedakan. Hal itu juga karena
masyarakat disana tidak memiliki adat istiadat atau norma-norma
sebanyak yang dimiliki di Indonesia. Salah satu prinsip dalam
pandangan mereka menegaskan bahwa setiap perempuan berhak bekerja di
luar rumah sebagaimana laki-laki asalkan tidak melupakan kodratnya
sebagai seorang perempuan. Karena pada dasarnya perempuan memiliki
beberapa kelebihan dalam bekerja, oleh karena itu sebagian tempat
usaha lebih tertarik memperkerjakan perempuan dibandingkan laki-laki.

Dalam Hal Budaya Bekerja
Kanada sangat mengutamakan peraturan dan disiplin, dan dalam hal
pekerjaan mereka melakukan dengan sangat serius. Di mata beberapa
orang, dalam banyak kasus, orang Kanada kaku dan tidak fleksibel.
Kanada sangat mengutamakan peraturan tentang kebersihan dan kerapian.
Di Kanada baik taman, jalan-jalan, teater atau tempat-tempat umum
lainnya terlihat rapi. Kanada juga menekankan peraturan untuk memakai
pakaian pada tempatnya. Saat bekerja memakai pakaian kerja, saat di
rumah meskipun anda bisa berpakaian santai, tapi selama ketika ada
tamu datang, atau pergi keluar, anda harus berpakaian rapi. Di teater,
para wanita mengenakan rok panjang, atau setidaknya mengenakan pakaian
gelap.
Berdasarkan survei yang dilakukan majalah Spiegel terhadap 1.000
responden bulan Maret 2005 menunjukkan bahwa nilai "kesadaran
nasional" (national consciousness) merupakan nilai yang paling rendah
(26-31 persen) di antara nilai-nilai lainnya yang dianggap penting
dalam kehidupan rakyat Kanada. Nilai yang tertinggi peringkatnya
adalah kejujuran dan integritas (81-83 persen). Dari survei ini dapat
dilihat bahwa orang Kanada sangat memprioritaskan kejujuran dan
integritas dalam melakukan sesuatu. Adapun hal-hal yang perlu kita
pelajari dari kebiasaan atau etos kerja bangsa asing diantaranya
adalah menghargai waktu, tulus dan fokus pada etiket.
Sedangkan di Indonesia sendiri budaya bekerjanya dianggap lemah atau
loyo, seperti yang tertulis dalam buku "Manusia Indonesia" karya
Mochtar Lubis yang diterbitkan sekitar seperempat abad yang lalu,
diungkapkan adanya karakteristik etos kerja tertentu yang dimiliki
oleh bangsa Indonesia. Beberapa di antara ciri-ciri itu adalah:
munafik; tidak bertanggung jawab; feodal; percaya pada takhyul; dan
lemah wataknya. Beliau tidak sendirian. Sejumlah pemikir atau
budayawan lain menyatakan hal-hal serupa. Misalnya, ada yang menyebut
bahwa bangsa Indonesia memiliki 'budaya loyo,' 'budaya instan,' dan
banyak lagi.
Hasil pengamatan para pemikir atau cendekia tersebut tentu ada
kebenarannya. Tetapi tentunya (dan mudah-mudahan) bukan maksud mereka
untuk membuat final judgement terhadap bangsa kita.
Pernyataan-pernyataan mereka perlu kita sikapi sebagai suatu teguran
dan peringatan yang serius. Jika ciri-ciri etos kerja sebagaimana
diungkapkan Dalam "Manusia Indonesia" kita sosialisaikan, tumbuh
kembangkan dan pelihara, maka berarti kita bergerak mundur beberapa
abad ke belakang.
Tanpa bermaksud terlarut dalam kejayaan masa lalu, sejarah menunjukkan
bahwa bangsa Indonesia memiliki prestasi yang patut dihargai dalam
perjalanannya. Tegaknya Candi Borobudur dan puluhan yang lainnya hanya
mungkin terjadi dengan dukungan etos Kerja yang bercirikan disiplin,
kooperatif, loyal, terampil rasional (sampai batas tertentu), kerja
keras, dan lain-lain. Berkembang luasnya pengaruh kerajaan-kerajaan
besar seperti Majapahit, Samudra Pasai, Mataram, Demak, dengan
berbagai perangkat dan Infrastruktur teknologis maupun sosial dalam
pengelolaan kenegaraannya, juga mempersyaratkan adanya suatu etos
kerja tertentu yang patut dihargai. Selain ini, pesantren-pesantren
yang sampai kini masih bertahan dan berkembang, memiliki akar
pertumbuhan pada beberapa abad yang lalu, yang menunjukkan bahwa
tradisi belajar mengajar telah menjadi bagian kehidupan masyarakat
Tanah Air jauh sebelum bangsa belanda mengunjungi kita. kita juga
mengenal slogan-slogan yang setidaknya dulu pernah menjadi perminan
suatu etos kehidupan, seperti: Bhinneka Tunggal Ika; Ing Ngarso Sung
Tulodo, ing Madyo Mbangung Karso, Tut Wuri Handayani; Menang Tan
Ngasorake; Niteni, iroake, Nambahake. Ini mencerminkan etos kerja
dalam konteks kehidupan sosial yang penting dalam membangun persatuan,
leadership, dan bahkan untuk berinovasi. Masih banyak lagi
slogan-slogan yang berlaku dan terkenal di berbagai daerah-daerah di
Tanah air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar