Minggu, 07 Mei 2017

(Rafiansyah Saputra-16PR11064) hukum reg A-KONSEP KETENAGAKERJAAN PERBURUHAN NEGARA JEPANG DAN PERBANDINGAN DENGAN INDONESIA

KONSEP KETENAGAKERJAAN PERBURUHAN NEGARA JEPANG DAN PERBANDINGAN DENGAN INDONESIA
Jepang sekarang kita kenal sebagai salah satu negara di dunia yang memiliki etos kerja yang hebat.orang Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap bayaran atau imbalan. Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Bagi mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar, secara otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka, hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan. Pada tahun 1960, rata-rata jam kerja pekerja di Jepang adalah 2.450 jam/tahun. Pada tahun 1992 jumlah itu menurun menjadi 2.017 jam/tahun. Namun, jam kerja itu masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jam kerja di negara lain, misalnya Amerika (1.957 jam/tahun), Inggris (1.911 jam/tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Prancis (1.680 jam/tahun). Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah waktu yang dihabiskannya di tempat kerja. Keadaan ini tentu sangat berbeda dengan budaya kerja orang atau bangsa Indonesia yang biasanya selalu ingin pulang lebih cepat. Di Jepang, orang yang pulang kerja lebih cepat selalu diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai pekerja yang tidak penting, malas dan tidak produktif.
Sikap patriotisme bangsa Jepang juga menjadi salah satu faktor yang membantu keberhasilan ekonomi negaranya. Bangsa Jepang bangga dengan produk buatan negerinya sendiri. Mereka juga menjadi pengguna utama produk lokal dan pada saat yang sama juga mencoba mempromosikan produk made in Japan ke seluruh dunia mulai dari makanan, teknologi sampai tradisi dan budaya. Dimana saja mereka berada bangsa Jepang selalu mempertahankan identitas dan jatidiri mereka. Minat dan kecintaan bangsa Jepang terhadap ilmu membuat mereka merendahkan diri untuk belajar dan memanfaatkan apa yang telah mereka pelajari. Mereka menggunakan ilmu yang diperoleh untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan "produk Barat" demi memenuhi kepentingan pasar dan kebutuhan konsumen. Bangsa Jepang memang pintar meniru tetapi mereka memiliki daya inovasi yang lebih tinggi. Pihak Barat memakai proses logika, rasional dan kajian empiris untuk menghasilkan sebuah inovasi. Namun bangsa Jepang melibatkan aspek "emosi dan intuisi" untuk menghasilkan inovasi yang sesuai dengan selera pasar.

Ciri-ciri etos kerja dan budaya kerja orang Jepang.
1. Bekerja untuk kesenangan, bukan untuk gaji semata. Tentu saja orang Jepang juga tidak bekerja tanpa gaji atau dengan gaji yang rendah. Tetapi kalau gajinya lumayan, orang Jepang bekerja untuk kesenangan. Jika ditanya "Seandainya anda menjadi milyuner dan tidak usah bekerja, anda berhenti bekerja ?", kebanyakan orang Jepang menjawab, "Saya tidak berhenti, terus bekerja." Bagi orang Jepang kerja itu seperti permainan yang bermain bersama dengan kawan yang akrab. Biasanya di Jepang kerja dilakukan oleh satu tim. Dia ingin berhasil dalam permainan ini, dan ingin menaikkan kemampuan diri sendiri. Dan bagi dia kawan-kawan yang saling mempercayai sangat penting. Karena permainan terlalu menarik, dia kadang-kadang lupa pulang ke rumah. Fenomena ini disebut "work holic" oleh orang asing.
2. Mendewakan langganan. Memang melanggar ajaran Islam, etos kerja orang Jepang mendewakan client/langganan sebagai Tuhan. "Okyaku sama ha kamisama desu" (Langganan adalah tuhan.) Kata itu dikenal oleh semua orang Jepang. Kata ini sudah motto bisnis di Jepang. Perusahaan Jepang berusaha mewujudkan permintaan dari langganan secepat mungkin, dan berusaha mengembangkan hubungan erat dan panjang dengan langganan.
3. Bisnis adalah perang. Orang Jepang yang di dunia bisnis menganggap bisnis sebagai perang melawan perusahaan lain. Untuk menang perang, perlu strategi dan pandangan jangka panjang. Budaya bisnis Jepang lebih mementingkan keuntungan jangka panjang. Supaya menang perang seharusnya diadakan persiapan lengkap untuk bertempur setenaga kuat. Semua orang Jepang tahu pribahasa "Hara ga hette ha ikusa ha dekinu" (Kalau lapar tidak bisa bertempur.) Oleh karena itu orang Jepang tidak akan pernah menerima kebiasaan puasa. Bagi orang Jepang, untuk bekerja harus makan dan mempersiapkan kondisi lengkap.
Untuk melancarkan urusan pekerjaannya, orang Jepang memegang teguh prinsip tepat waktu dengan tertib dan disiplin, khususnya dalam sektor perindustrian dan perdagangan. Untuk itu, tidak ada alasan bagi Indonesia tidak bisa menjadi seperti Jepang. Indonesia memiliki sumber alam melimpah dari pada Jepang, tenaga manusia murah, infrastruktur yang baik, dan kedudukan geografis yang strategis. Tergantung kemauan, komitmen dan langkah pasti pemerintah serta masyarakatnya dalam mengaplikasikan formula ekonomi yang ampuh tersebut. Jika bangsa Jepang bisa melakukannya, maka tidak ada alasan untuk kita gagal melaksanakannya. Kekuasaan ada ditangan kita dan bukan terletak pada negara.

Etos kerja bangsa Indonesia.
Insititute for Management of Development, Swiss, World Competitiveness Book (2007), memberitakan bahwa pada tahun 2005, peringkat produktivitas kerja Indonesia berada pada posisi 59 dari 60 negara yang disurvei. Atau semakin turun ketimbang tahun 2001 yang mencapai urutan 46. Sementara itu negara-negara Asia lainnya berada di atas Indonesia seperti Singapura (peringkat 1), Thailand (27), Malaysia (28), Korea (29), Cina (31), India (39), dan Filipina (49). Urutan peringkat ini berkaitan juga dengan kinerja pada dimensi lainnya yakni pada Economic Performance pada tahun 2005 berada pada urutan buncit yakni ke 60, Business Efficiency (59), dan Government Efficiency (55). Lagi-lagi diduga kuat bahwa semuanya itu karena "mutu sumberdaya manusia Indonesia yang tidak mampu bersaing". Juga mungkin karena faktor budaya kerja yang juga masih lemah dan tidak merata. Bisa dibayangkan dengan kondisi krisis finansial global belakangan ini bisa-bisa posisi Indonesia akan bertahan kalau tidak ada proses remedi yang tepat.
Produktivitas kerja jangan dipandang dari ukuran fisik saja. Dalam pemahaman tentang produktifitas dan produktif disitu terkandung aspek sistem nilai. Manusia produktif menilai produktivitas dan produktif adalah berdasarkan sikap mental. "Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin; hari esok harus lebih baik dari hari ini". Jadi kalau seseorang bekerja, dia akan selalu berorientasi pada faktor produktivitas kerja di atas atau minimal sama dengan standar kerja dari waktu ke waktu. Bekerja produktif sudah sebagai panggilan jiwa dan kental dengan amanah. Dengan kata lain sikap tersebut sudah terinternalisasi. Tanpa diinstruksikan dia akan mampu untuk bertindak produktif. Itulah yang disebut dengan budaya kerja positif (produktif). Sementara itu budaya bekerja produktif mengandung komponen-komponen : (1) pemahaman substansi dasar tentang bekerja. (2) sikap terhadap karyawan. (3) perilaku ketika bekerja. (4) etos kerja. (5) sikap terhadap waktu. Pertanyaannya apakah semua kita (sebagai bangsa Indonesia) sudah berbudaya kerja produktif ?
Budaya kerja produktif di Indonesia, belum merata. Bekerja masih dianggap sebagai sesuatu yang rutin. Bahkan di sebagian karyawan, bisa jadi bekerja dianggap sebagai beban dan paksaan terutama bagi orang yang malas. Pemahaman karyawan tentang budaya kerja positif masih lemah. Budaya organisasi atau budaya perusahaan masih belum banyak dijumpai. Hal ini jugalah yang agaknya kurang mendukung terciptanya budaya produktivitas kerja. Perusahaan belum mengganggap sikap produktif sebagai suatu sistem nilai. Seolah-olah karyawan tidak memiliki sistem nilai apa yang harus dipegang dan dilaksanakan. Karena itu tidak jarang perusahaan yang mengabaikan kesejahteraan karyawan termasuk upah minimumnya. Ditambah dengan rata-rata pendidikan karyawan yang relatif masih rendah maka produktivitas pun rendah. Karena itu tidak heran produktivitas kerja di Indonesia termasuk yang terendah dibanding dengan negara-negara lain di Asia. Mengapa bisa seperti itu ?
Hal demikian bisa dijelaskan lewat formula matematika sederhana. Produktivitas kerja merupakan rasio dari keluaran/output dengan inputnya. Bentuk output dapat berupa barang dan jasa. Sementara input berupa jumlah waktu kerja, kondisi mutu dan fisik karyawan, tingkat upah dan gaji, teknologi yang dipakai dsan sebagainya. Jadi output yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh faktor input yang digunakan. Dengan demikian produktivitas kerja di Indonesia relatif rendah karena memang rendahnya faktor-faktor kualitas fisik, tingkat pendidikan, etos kerja, dan tingkat upah dari karyawan. Hal ini ditunjukkan pula oleh angka indeks pembangunan manusia di Indonesia (gizi, pendidikan, kesehatan) yang relatif lebih rendah dibanding di negara-negara tetangga.
Seharusnya faktor-faktor tersebut perlu dikuasai secara seimbang agar para karyawan mampu mencapai produktivitas yang standar. Pendidikan dan pelatihan perlu terus dikembangkan disamping penyediaan akses teknologi. Kompetensi (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) karyawan menjadi tuntutan pasar kerja yang semakin mendesak. Dengan kata lain suasana proses pembelajaran plus dukungan kesejahteraan karyawan perlu terus dikembangkan. 

Etos kerja orang Indonesia adalah :
1.Munafik atau hipokrit. Suka berpura-pura, lain di mulut lain di hati.
2.Enggan bertanggung jawab. Suka mencari kambing hitam.
3. Berjiwa feodal, gemar upacara, suka dihormati daripada menghormati dan lebih mementingkan status daripada prestasi.
4. Percaya takhyul, gemar hal keramat, mistis dan gaib.
5. Berwatak lemah, kurang kuat mempertahankan keyakinan, plinplan, dan gampang terintimidasi. Dari kesemuanya, hanya ada satu yang positif, yaitu
6. Artistik; dekat dengan alam. Dengan melihat keadaan saat ini, ini merupakan kenyataan pahit, yang memang tidak bisa kita pungkiri, dan memang begitu adanya.
Namun lanjutnya, dari 240 juta jiwa rakyat Indonesia, tidak semua memiliki etos kerja yang buruk seperti tersebut di atas. Masih ada organisasi yang peduli dan mau mengubah etos kerja yang disematkan ke bangsa Indonesia saat ini. Kita harapkan etos kerja yang diterapkan tersebut bisa diimplementasikan dalam kerja nyata dan akan lebih baik lagi jika hal positif tersebut menyebar kepada semua Organisasi kerja di seluruh Indonesia.
Lebih jauh lagi, bangsa Indonesia adalah negara yang kaya dan merupakan bangsa yang besar. Indonesia dikarunia sumber daya alam yang melimpah ruah dan jumlah penduduk yang besar. Dan itu merupakan modal untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera. Namun pada kenyataannya hingga saat ini rakyat miskin semakin bertambah banyak, pengangguran semakin meningkat, dan banyak anak yang tidak mempunyai kesempatan untuk bersekolah.
Salah satu faktor rendahnya etos kerja yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yaitu negatifnya keteladanan yang ditunjukkan oleh para pemimpinnya. Mereka merupakan model bagi masyarakat yang bukan hanya memiliki kekuasaan formal, namun juga kekuasaan nonformal yang justru sering disalahgunakan. Bukan bermaksud untuk membandingkan Negara kita dengan Negara Jepang, tetapi saya berharap dengan adanya perbandingan ini diharapkan kita dapat mengambil kebaikan didalamnya. Agar Negara kita bisa menjadi Negara yang memiliki etos kerja yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Dan bisa membuat Negara kita menjadi Negara yang maju sama seperti Negara Jepang tersebut. Tentunya itu semua akan terjadi apabila kita memiliki kesadaran dari diri kita masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar