DESKRIPSI
Tujuan pembuatan artikel ini untuk mengetahui sejarah peristiwa yang terjadi di tahun 1920 yaitu Peristiwa Mandor di Pontianak, Kalimantan Barat.
Pada tanggal 22 Januari 1942, bala tentara Jepang mendarat di Pemangkat, Muara Sungai Kapuas, Singkawang, dan Ketapang. Tentara itu kemudian merebut Pontianak pada 2 Februari 1942.
Kedatangan tenrara Jepang tidak mendapat perlawanan berarti dari tentara Belanda, yang segera melarikan diri begitu pasukan musuh datang. Oleh karena itu Jepang dapat menguasai seluruh Kalimantan Barat dengan relatif mudah.
Peristiwa Mandor adalah sebuah peristiwa kelam yang pernah terjadi di Kalimantan Barat, peristiwa ini terjadi pada tahun 1943-1944 di daerah Kecamatan Mandor Kabupaten Landak.
Sewaktu itu, pihak Jepang sudah mencurigai bahwa di Kalimantan Barat dan Selatan ada komplotan-komplotan yang terdiri atas feodal lokal, cerdik pandai, ambtenar, politisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga rakyat jelata, dari berbagai etnik, suku maupun agama. Sehingga komplotan-komplotan tersebut dihancurkan dengan penangkapan-penangkapan. Penangkapan-penangkapan tersebut terjadi antara September 1943 dan awal 1944.
Menurut data yang ada, jumlah korban dari peristiwa Mandor tersebut adalah ± 21.037 orang, namun Jepang menolaknya dan menganggap hanya 1.000 korban saja.. Peristiwa mandor terjadi akibat ketidaksukaan penjajah Jepang terhadap para pemberontak. Karena ketika itu Jepang ingin menguasai seluruh kekayaan yang ada di Bumi Kalimantan Barat. Sebelum terjadi peristiwa Mandor terdapat peristiwa cap kapak dimana kala itu pemerintah Jepang mendobrak pintu - pintu rumah rakyat mereka tidak ingin terjadi pemberontakan di Kalimantan Barat. Meskipun demikian ternyata menurut sejarah yang dibantai bukan hanya kaum cendekiawan maupun feodal namun juga rakyat-rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa.
Jepang memang telah menyusun rencana genosida untuk memberangus semangat perlawanan rakyat Kalimantan Barat kala itu. Sebuah harian Jepang Borneo Shinbun, koran yang terbit pada masa itu, mengungkap rencana tentara negeri samurai itu untuk membungkam kelompok pembangkang kebijakan politik perang Jepang.
Tanggal 28 Juni diyakini sebagai hari pengeksekusian ribuan tokoh-tokoh penting masyarakat pada masa itu.
PENDAHULUAN
Tak sedikit kaum cerdik pandai, cendikiawan, para raja, sultan, tokoh masyarakat maupun pejuang lainnya gugur sebagai kesuma bangsa atas kebiadaban Jepang kala itu. Menurut sejarah hampir terdapat 21.037 jumlah pembantaian yang dibunuh oleh Jepang, namun jepang menolaknya dan menganggap hanya 1.000 korban saja.
Zaman pendudukan Jepang lebih menyeramkan daripada masa pendudukan Belanda. Peristiwa mandor terjadi akibat ketidaksukaan penjajah Jepang terhadap para pemberontak. Karena ketika itu Jepang ingin menguasai seluruh kekayaan yang ada di Bumi Khatulistiwa.
Sebelum terjadi peristiwa mandor terjadilah peristiwa Cap Kapak dimana kala itu pemerintah Jepang mendobrak pintu-pintu rumah rakyat (Tionghoa, Melayu, maupun Dayak) mereka tidak ingin terjadi pemberontak-pemberontak terdapat di Kalimantan Barat. Meskipun demikian ternyata menurut sejarah yang dibantai bukan hanya kaum cendekiawan maupun feodal namun juga rakyat-rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa. Tidak diketahui apakah karena tentara Jepang memang bodoh atau apa, kala itu pisau dilarang oleh penjajah Jepang.
Jepang memang telah menyusun rencana genosida untuk memberangus semangat perlawanan rakyat Kalbar kala itu. Sebuah harian Jepang Borneo Shinbun, koran yang terbit pada masa itu mengungkap rencana tentara negeri samurai itu untuk membungkam kelompok pembangkang kebijakan politik perang Jepang. Tanggal 28 Juni diyakini sebagai hari pengeksekusian ribuan tokoh-tokoh penting masyarakat pada masa itu.
PEMBAHASAN
Peristiwa mandor adalah sebuah peristiwa masa kelam yang pernah terjadi di kalimantan barat, peristiwa ini terjadi pada tahun 1943-1944 di daerah Mandor kabupaten landak Tak sedikit kaum cerdik pandai, cendikiawan, para raja, sultan, tokoh masyarakat maupun pejuang lainnya gugur sebagai kesuma bangsa atas kebiadaban Jepang kala itu. Menurut sejarah hampir terdapat 21.037 jumlah pembantaian yang di bunuh oleh Jepang, namun jepang menolaknya dan menganggap hanya 1.000 korban saja. Zaman pendudukan Jepang lebih menyeramkan daripada masa pendudukan Belanda. Peristiwa mandor terjadi akibat ketidaksukaan penjajah Jepang terhadap para pemberontak. Karena ketika itu Jepang ingin menguasai seluruh kekayaan yang ada di Bumi Kalimantan Barat. Sebelum terjadi peristiwa mandor terjadilah peristiwa cap kapak dimana kala itu pemerintah Jepang mendobrak pintu - pintu rumah rakyat (Tionghoa, Melayu, Maupun Dayak) mereka tidak ingin terjadi pemberontak-pemberontak terdapat di kalimantan barat. Meskipun demikian ternyata menurut sejarah yang dibantai bukan hanya kaum cendekiawan maupun feodal namun juga rakyat-rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa. Tidak diketahui apakah karena tentara Jepang memang bodoh atau apa, kala itu pisau dilarang oleh penjajah Jepang.
Jepang memang telah menyusun rencana genosida untuk memberangus semangat perlawanan rakyat Kalbar kala itu. Sebuah harian Jepang Borneo Shinbun, koran yang terbit pada masa itu mengungkap rencana tentara negeri samurai itu untuk membungkam kelompok pembangkang kebijakan politik perang Jepang. Tanggal 28 Juni diyakini sebagai hari pengeksekusian ribuan tokoh-tokoh penting masyarakat pada masa itu.
Masuknya tentara pendudukan Jepang bulan Juni tahun 1942 di Kalbar, ditandai dengan tindak kekerasan perampasan, perampokan, pemerkosaan dan penindasan rakyat. Hingga akhirnya seluruh suku, pemuka masyarakat, raja dan panembahan di Kalbar berkumpul dan bermusyawarah bagaimana menangani tentara pendudukan Jepang yang bertindak semena-mena. Namun, musyawarah tersebut tercium oleh Jepang karena ada mata-mata Jepang yang juga orang Indonesia ikut dalam musyawarah itu. Jepang tambah curiga ketika datang dua orang utusan dari Banjarmasin yakni dr Soesilo dan Malay Wei, dimana secara diam-diam dua tokoh tersebut menyampaikan berita bahwa akan ada gerakan pemberontakan terhadap tentara pendudukan Jepang sekitar bulan Januari 1944. Sialnya, rencana pemberontakan tersebut diketahui oleh tentara pendudukan Jepang sehingga mulailah terjadi penangkapan. Pembunuhan besar-besaran terjadi pada tanggal 20 Rokoegatsu 2604 atau tanggal 28 Juni 1944. Di suatu siang kendaraan truk tertutup kain terpal berhenti di depan Istana Raja Mempawah. Serdadu bersepatu selutut dan topi yang berjumbai ke belakang serta pinggang yang digelayuti "samurai" turun terburu-buru menuju Istana. Dengan alasan mengajak berunding, serdadu "Dai Nippon" itupun menciduk Raja Mempawah. Kemudian menangkap pula Panangian Harahap dan Gusti Djafar, teman baik sang Raja. Mereka bertiga dengan tangan terikat diberi sungkup kepala terbuat dari bakul pandan, lalu digiring ke atas truk yang sudah menunggu dari tadi. Serdadu yang lain dengan cekatan menempeli istana dan rumah kedua sahabat raja dengan plakat bertuliskan huruf kanji. Bunyinya "Warui Hito" yang artinga orang jahat. Ternyata saat itu tak cuma di rumah itu saja yang ditempeli. Banyak sekali rumah-rumah di wilayah Kalbar yang di atas pintunya tertempel "Warui Hito". Kalau sudah begitu, penghuninya tak akan kedatangan tamu lagi, karena sudah dicap jahat. Masyarakat umum pun tak berani bertandang ke situ. Sebab mereka tahu betul, jika berani mendekat apalagi bertamu, berarti tak lama lagi rumahnya bakal ditempeli dan dirinya disungkupi untuk dinaikkan ke atas truk pula. Sehingga terjadilah apa yang dikenal dengan "Oto Sungkup". Mereka ditangkap dengan disungkup bakul, dibawa ke tempat pembantaian yang sekarang dinamakan Makam Juang Mandor. Setibanya di Mandor, mereka yang ditangkap diturunkan dari truk dan disuruh menggali sendiri lubang tempat mereka bakal dikuburkan. Setelah lubang tersedia barulah Tentara Jepang dengan tanpa perikemanusiaan menyiksa dan memancung satu per satu leher korban dengan pedang samurainya. Sehingga terjadilah peristiwa yang dikenal dengan "Mandor Bersimbah Darah". Sungguh mengenaskan, badan yang terkubur terpisah dari kepala. Pembantaian sadis seperti itu terus berlanjut hingga tahun 1945, tentara pendudukan Jepang tak kenal kompromi terus menangkap dan membunuh rakyat Kalbar yang dianggap pembangkang dengan dalih ingin mendirikan negara Borneo Barat dari penjajahan. Saksi mata TNR Simorangkir yang pada saat itu pegawai kantor pendaftaran tanah di kota Mempawah Kabupaten Pontianak mengisahkan pengalamannya. Waktu itu tahun menunjukkan pada angka 1945, meski kalah populer dengan tahun "Teno Heika" Jepang 2605. Rupanya angka 45 menjadi pedoman pengisian tawanan ke dalam truk sungkup. Jumlah 45 orang agaknya dijadikan target korban yang ternyata dibawa ke daerah Mandor. Suatu saat cerita Simorangkir, melihat ada dua truk yang berhenti di depan penjara Mempawah. Sebuah truk diantaranya sudah tertutup rapat dengan terpal. Dua serdadu Jepang dengan samurai melintang di badan bersiaga duduk di kursi rotan yang diletakkan di atas terpal yang menutupi tumpukan manusia. Sementara truk yang satu masih belum tertutup rapat, mungkin belum memenuhi target 45. Tanpa diduga, seorang serdadu Jepang memanggil Simorangkir dan Djafar yang kebetulan berada tak jauh dari penjara untuk segera naik ke atas truk. Mereka berdua tak tahu kalau isi truk tadi adalah calon-calon mayat. Namun tak disangka, keajaiban tiba-tiba muncul. Seorang serdadu Jepang lainnya melihat Simorangkir dan Djafar naik ke truk bukan dari dalam penjara, memerintahkannya supaya turun lagi dan segera pulang. Sebagai gantinya, serdadu itu memanggil dua anggota polisi yang sedang berjaga-jaga di mulut jalan raya untuk naik ke truk. Agaknya kedua polisi yang juga putra bangsa itu tak tahu dirinya dijadikan alat pemenuh target 45 "Warui Hito", truk itu pun segera ditutup terpal rapat-rapat dan berjalan beriringan. Konon, ada saja tahanan yang dapat meloncat dari dalam truk guna menyelamatkan diri. Namun serdadu yang berjaga di truk tak berusaha mengejarnya. Tapi dengan santai meski bertampang garang, dia menjemput korban penggantinya, rakyat yang ditemui di sepanjang perjalanan menuju Mandor. Asal di dalam truk tetap berisi 45 orang.
Di antara yang menjadi korban kebiadaban tentara Jepang adalah elite masyarakat Kalimantan Barat. Sultan Pontianak Syarif Muhammad Alkadrie beserta seluruh kerabat di lingkungan istana yang berjumlah 60 orang serta beberapa orang di luar lingkungan istana ditangkap dan dibawa menggunakan truk yang ditutupi kain terpal.
Mereka dibawa ke tempat yang kemudian dikenal sebagai salah satu ladang pembantaian di Kalimantan Barat, sebuah tempat yang didirikan oleh Tentara Jepang di kawasan hutan pinus dekat Desa Kopyang, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak. Tempat itu berjarak sekitar 88 kilometer dari Kota Pontianak.
Tindakan yang dilakukan Jepang ini dapat dikatakan meniru pola pembantaian Holocaust Jerman di Eropa. Nazi Jerman mendirikan kamp-kamp konsentrasi di Polandia, sebagai tempat penampungan tawanannya untuk kemudian dibunuh.
Tidak ada satu pun keluarga sultan yang kembali, sehingga diperkirakan mereka semua telah dibunuh oleh Tentara Jepang.
Lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Peristiwa Mandor pada 28 Juni Sebagai Hari Berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat melalui paripurna DPRD Kalimantan Barat merupakan bentuk kepedulian sekaligus apresiasi dari DPRD terhadap perjuangan pergerakan nasional yang terjadi di Mandor.
Peristiwa Mandor adalah sebuah peristiwa masa kelam pada tahun 1943-1944 di daerah Mandor, Kabupaten Landak.
Sewaktu itu, pihak Jepang sudah mencurigai bahwa di Kalimantan Barat dan Selatan ada komplotan-komplotan yang terdiri atas kaum cerdik pandai, cendikiawan, para raja, sultan, tokoh masyarakat, orang-orang Cina, dan para pejabat. Sehingga komplotan-komplotan tersebut dihancurkan dengan penangkapan-penangkapan. Penangkapan-penangkapan tersebut terjadi antara September 1943 dan awal 1944
Menurut sejarah, dibawah pimpinan Letnan Jenderal Tadashige Daigo membantai 50.000 putra putri terbaik, para Raja, Cendikiawan, dan Tokoh2 Masyarakat. Mereka dipancung dan dimasukkan ke dalam satu lubang sehingga menyerupai bukit kematian.
Versi lain mencatat hampir terdapat 21.037 jumlah pembantaian yang di bunuh oleh Jepang, namun Jepang menolaknya dan menganggap hanya 1.000 korban saja.
Zaman pendudukan Jepang lebih menyeramkan daripada masa pendudukan Belanda. Peristiwa Mandor terjadi akibat ketidaksukaan penjajah Jepang terhadap para gerakan perlawanan saat itu. Karena ketika itu, Jepang ingin menguasai seluruh kekayaan yang ada di Bumi Kalimantan Barat.
Sebelum terjadi peristiwa Mandor terjadilah peristiwa Cap Kapak dimana kala itu pemerintah Jepang mendobrak pintu - pintu rumah rakyat (Tionghoa, Melayu, Maupun Dayak) mereka tidak ingin di kalimantan Barat ada perlawanan. Meskipun demikian ternyata menurut sejarah yang dibantai bukan hanya kaum cendekiawan maupun feodal (masyarakat bangsawan atau yan g dikuasai bangsawan), namun juga rakyat-rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa.
Tidak diketahui apakah karena tentara Jepang memang bodoh atau apa, kala itu pisau dilarang oleh penjajah Jepang. Jepang memang telah menyusun rencana genosida untuk memberangus semangat perlawanan rakyat Kalbar kala itu.
Peristiwa Mandor Jadi Dosa Jepang yang Tak Terungkap
Jepang dulu memang sangat kejam. Soal genosida, negara matahari terbit ini tercatat melakukan aksi mengerikan itu berkali-kali. Yang paling terkenal tentu pembantaian Nanking yang sampai hari ini masih bikin sakit hati orang-orang Tiongkok. Tak hanya itu, Jepang juga tercatat melakukan hal yang sama di Korea, Malaysia, Filipina, dan tentu Indonesia.
Soal kejadian genosida yang mereka lakukan di Indonesia, nampaknya hal tersebut cukup jarang diungkapkan apalagi tragedi Mandor ini. Padahal ini juga harusnya jadi peristiwa yang tak kalah penting ketika membahas daftar kejahatan yang dilakukan oleh Jepang. Soal pembantaian, setidaknya selama menjajah, Jepang sudah menghabisi sekitar 10 juta orang.
Mengerikan kalau mengingat kejadian ini kembali. Terbayang dengan cukup jelas bagaimana wajah-wajah polos orang-orang pribumi yang lehernya harus diadu dengan tajamnya Katana orang-orang Jepang itu. Peristiwa ini mungkin menyakitkan, tapi harus tetap diingat. Tak hanya untuk mengenang mereka yang telah gugur, tapi juga sebagai pelajaran tentang penjajahan yang akan selalu menciptakan hal-hal mengerikan seperti ini.
TAK ADA PENGECUALIAN, SEMUA ORAG DIBANTAI
Dalam pandangan Jepang, ketika satu orang berbuat jahat, maka yang lain harus merasakan akibatnya. Dan dalam kejadian Mandor ini hal tersebut benar-benar mereka tunjukkan. Ketika harusnya Jepang hanya menghukum para pemberontak saja, mereka malah melimpahkan hukuman kepada hampir semua orang yang ada. Alhasil, kejadian Mandor ini korbannya tak hanya para pejuang saja, tapi juga orang-orang yang tak tahu apa-apa.
Jepang hampir menghabisi semua orang yang ada, tanpa mempedulikan apa pun. Warga sipil yang polos, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, politisi, semua dibantai dengan sadis oleh penjajah laknat ini. Bahkan genosida ini juga tak memandang ras atau suku. Selama seseorang tidak beridentitas Jepang, maka kepalanya bakal ditebas.
Tentara Jepang tidak hanya mengangkap dan membunuh raja-raja penentang mereka, tetapi juga para intelektual dan tokoh masyarakat yang diniai tidak mendukung pendudukan Jepang. Di antara tokoh yang menjadi korban adalah dr. Sunaryo Martowardoyo (Kepala Rumah Sakit Jiwa Pontianak), pasangan suami istri dr. Rubini (Kepala Rumah Sakit Umum Pontianak), dr. Luhema (dokter Rumah Sakit Sambas), drh. Bagindo Nazaruddin Pontianak, R. Mohammad Jusuf Prabukusuma (Ketua Parindra Sambas), dan masih banyak lainnya.
Para guru pun tidak luput dari penangkapan dan pembunuhan, seperti Ya' Abdullah yang ditangkap tentara Jepang di ruang kelas saat sedang mengajar.
Tidak dapat dipastikan jumlah kaum intelektual, penguasa, pengusaha, politisi, dan sebagainya yang menjadi korban kebiadaban Tentara Jepang di Mandor antara periode 14 April 1943-24 Mei 1944. Jumlahnya bervariasi antara 1.534 orang hingga 1838 orang.
Akan tetapi penduduk Kalimantan Barat yang terbunuh selama masa pendudukan Jepang dari tahun 1942-1945 diperkirakan berjumlah 21.037 jiwa. Keterangan itu disampaikan oleh Kyotoda Takabashi, salah seorang mantan tentara pendudukan Jepang yang pernah bertugas di Pontianak. Ia mengadakan kunjungan bersama rombongan bekas tentara Jepang ke Pontianak pada 22 Maret 1977.
Saat sidang Mahkamah Militer Tentara Sekutu pada bulan Oktober-November 1945, Yamammoto, Komandang Kempetai di Pontianak mengakui bahwa target jumlah pimpinan masyarakat setempat yang akan dibunuh adalah 50.000 orang
Menurut para ahli-ahli sejarah, yang bertanggung jawab atas aksi pembantaian masal ini adalah Syuutizitiyo Minseibu.
Secara garis besar, korban - korban pembantaian Jepang saat itu yang juga termasuk beberapa tokoh penting di Kalimantan Barat adalah : 1. Sultan - Sultan Pontinak 2. Pnembahan Sanggau Ade Muhammad Ari 3. Pangeran Adipati 4. Pangeran Agung 5. JE. Patiasina 6. Panembahan Ketapang Gusti Sauna 7. Panembahan Sintang Raden Abdullah Daru Perdana 8. Panembahan Ngabang Gusti Abdul Hamid 9. Tokoh Tionghoa : Tjhai Pin Bin, Tjong Tjok Men dan Thai Sung Hian. 10. dan tentunya rakyat-rakyat sipil yang tidak berdosa.
Sebenarnya pembantaian yang dilakukan Jepang di Kalimantan Barat tersebut memang mempunyai suatu maksud. Kalimantan Barat sendiri mempunyai lokasi yang strategis dan hanya mempunyai penduduk sekitar satu setengah juta jiwa. Selain itu Kalimantan Barat sendiri mempunyai wilayah yang sangat luas yaitu satu setengah kali luas pulau Jawa ditambah Madura dan Bali. Kalimantan sendiri pada waktu itu akan dijadikan seperti Manchuria dan Korea kedua. Pada waktu itu di Kalimantan Barat, semua orang yang berumur dua belas tahun ke atas semuanya akan dibunuh habis. Generasi sisanya sampai kanak-kanak akan dididik dengan ala Jepang ditambah dengan orang-orang jepang yang akan didatangkan nantinya sebagai transmigrasi. Maka jadilah Kalimantan barat lima puluh tahun mendatang sebagai " Jepang beneran" dan itu merupakan rencana militer Jepang. Itulah sebabnya mengapa banyak kaum intelektual yang dibunuh pada saat pembantaian di kota Mandor tersebut.
SIMPULAN
Maka kita dapat menyimpulkan dari artikel di atas bahwa, peristiwa mandor ini bertujuan untuk membunuh orang-orang yang pintar dalam bidang pekonomian, politik dan lain-lain. Akibatnya pada akhir 1944, orang-orang Dayak di Kalimantan Barat mulai membunuh orang-orang Jepang. Akan tetapi, perlawanan rakyat ini tidak betul-betul mengancam kekuasaan kolonial Jepang.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar