Kamis, 08 November 2018

A181710031_Jawaban UTS

1. Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga masyarakat suatu negara untuk membentuk suatu negara yang dapat menjamin 

adanya persatuan dan kesatuan, keinginan itu semua timbul dalam upaya membangun suatu negara yang kokoh dan memiliki kemungkinan kecil atau terhindar dari kemungkinan adanya konflik yang serius antara pusat dan daerah 

yang dapat menghambat pembangunan nasional dan meyebabkan mudahnya terjadi perpecahan. CF Strong menyebutkan1 bahwa negara kesatuan hakikatnya adalah negara yang kedaulatannya tidak terbagi atau dengan katalain negara yang kekuasaan pemerintah pusatnya tidak terbatas, karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan pembuat undang-undang selain badan pembuat undang-undang pusat.


2.    -Teori Ketuhanan

Penganut teori ini adalah F.Y. Stahl, Kranenburg, Thomas Aquino, Haller, dan Agustinus. Lewat teori ini, para ahli berpendapat bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Tuhan. So, terbentuknya suatu negara juga bisa terjadi atas kehendak Tuhan. Bukti nyata teori ini dapat dilihat dalam kalimat 'by the Greece of God' (dengan rahmat Tuhan) pada undang-undang dasar suatu negara, seperti Pembukaan UUD 1945.

         -Teori Kekuasaan

Nah, yang ini beda dari teori pertama. Kalau menurut para ahli yang mendukung hal ini, negara bisa terbentuk karena adanya kekuasaan. Kekuasaan berarti perjuangan hidup yang terkuat, memaksakan kemauannya kepada yang lemah. Kekuasaan yang dimaksud ada 2, yaitu fisik dan ekonomi.

        -Teori Perjanjian

Menurut teori ini, negara bisa ada karena perjanjian masyarakat. Semua warga mengadakan perjanjian untuk mendirikan suatu organisasi yang melindungi dan menjamin kelangsungan hidup bersama. So, nggak ada paksaan untuk bernegara dalam teori ini. Penganut teori ini adalah Thomas Hobbes, John Locke, J.J. Rousseau, dan Montesquieu.

      -Teori Hukum Alam

Pada teori ini, negara dianggap terjadi karena faktor alamiah, sama seperti waktu seseorang lahir atau meninggal. Negara terjadi secara alamiah dengan bersumber dari manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki kecenderungan berkumpul dan saling berhubungan untuk mencapai kebutuhan hidupnya. Penganut teori ini adalah Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Thomas Aquino.

         -Teori Kedaulatan

Ada 2 sub-teori yang berhubungan dengan kedaulatan, yaitu:

a.    Teori kedaulatan negara, yaitu negara memegang kekuasaantertinggi untuk menciptakan hukum demi mengatur kepentingan rakyat. Penganut teori ini adalah Paul Laband dan Jellinek.
b. Teori kedaulatan hukum, yaitu hukum memegang peranan tertinggi dan kedudukannya lebih tinggi dari negara. Penganut teori ini adalah Krabbe.

3. Selama abad ke-18, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (disingkat VOC) memantapkan dirinya sebagai kekuatan ekonomi dan politik di pulau Jawa setelah runtuhnya Kesultanan Mataram. Perusahaan dagang Belanda ini telah menjadi kekuatan utama di perdagangan Asia sejak awal 1600-an, tetapi pada abad ke-18 mulai mengembangkan minat untuk campur tangan dalam politik pribumi di pulau Jawa demi meningkatkan kekuasaan mereka pada ekonomi lokal. Namun korupsi, manajemen yang buruk dan persaingan ketat dari Inggris (East India Company) mengakibatkan runtuhnya VOC menjelang akhir abad ke-18. Pada tahun 1796, VOC akhirnya bangkrut dan kemudian dinasionalisasi oleh pemerintah Belanda. Akibatnya, harta dan milik VOC di Nusantara jatuh ke tangan mahkota Belanda pada tahun 1800. Namun, ketika Perancis menduduki Belanda antara tahun 1806 dan 1815, harta tersebut dipindahkan ke tangan Inggris. Setelah kekalahan Napoleon di Waterloo diputuskan bahwa sebagian besar wilayah Nusantara kembali ke tangan Belanda.

Arsitek Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia

 

Dua nama menonjol sebagai arsitek Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia. Pertama, Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal 1808-1811 ketika Belanda dikuasai oleh Perancis dan, kedua, Letnan Inggris Stamford Raffles, Gubernur Jenderal 1811-1816 ketika Jawa dikuasai Inggris. Daendels mereorganisasi pemerintahan kolonial pusat dan daerah dengan membagi pulau Jawa dalam distrik (yang juga dikenal sebagai residensi) yang dipimpin oleh seorang pegawai negeri sipil Eropa - yang disebutkan residen - yang secara langsung merupakan bawahan dari - dan harus melapor kepada - Gubernur Jenderal di Batavia. Para residen ini bertanggung jawab atas berbagai hal di residensi mereka, termasuk masalah hukum dan organisasi pertanian. Raffles melanjutkan reorganisasi pendahulunya (Daendels) dengan mereformasi pengadilan, polisi dan sistem administrasi di Jawa. Dia memperkenalkan pajak tanah di Jawa yang berarti bahwa petani Jawa harus membayar pajak, kira-kira nilai dua-perlima dari panen tahunan mereka, kepada pihak berwenang. Raffles juga sangat tertarik dengan budaya dan bahasa Jawa. Pada tahun 1817 ia menerbitkan bukunya The History of Java, salah satu karya akademis pertama yang topiknya pulau Jawa. Namun, reorganisasi administrasinya yang diterapkan Raffles juga berarti meningkatnya intervensi pihak asing di masyarakat dan ekonomi Jawa, yang tercermin dari meningkatnya jumlah pejabat peringkat menengah Eropa yang bekerja di residensi-residensi di pulau Jawa. Antara tahun 1825 dan tahun 1890 jumlah ini meningkat dari 73 menjadi 190 pejabat Eropa. Sistem pemerintahan kolonial Belanda di Jawa adalah sistem yang direk (langsung) maupun dualistik. Bersamaan dengan hirarki Belanda, ada hirarki pribumi yang berfungsi sebagai perantara antara petani Jawa dan layanan sipil Eropa. Bagian atas struktur hirarki pribumi ini terdiri dari para aristokrasi Jawa, sebelumnya para pejabat yang mengelola pemerintahan Mataram. Namun, karena dikuasai penjajah para priyayi ini terpaksa melaksanakan kehendak Belanda. Meningkatnya dominasi Belanda atas pulau Jawa tidak datang tanpa perlawanan. Ketika Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan untuk membangun jalan di tanah yang dimiliki Pangeran Diponegoro (yang ditunjuk sebagai wali tahta Yogyakarta setelah kematian mendadak saudara tirinya), ia memberontak dengan didukung oleh mayoritas penduduk di Jawa Tengah dan ia menjadikannya perang jihad. Perang ini berlangsung tahun 1825-1830 dan mengakibatkan kematian sekitar 215,000 orang, sebagian besar orang Jawa. Tapi setelah Perang Jawa selesai - dan pangeran Diponegoro ditangkap - Belanda jauh lebih kuat di Jawa dibanding sebelumnya.

 

Tanam Paksa atau Sistem Kultivasi di Jawa

 

Persaingan dengan para pedagang Inggris, Perang Napoleon di Eropa dan Perang Jawa mengakibatkan beban finansial yang besar bagi Kerajaan Belanda. Diputuskan bahwa Jawa harus menjadi sebuah sumber utama pendapatan untuk Belanda dan karena itu Gubernur Jenderal Van den Bosch mendorong dimulainya era Tanam Paksa (para sejarawan di Indonesia mencatat periode ini sebagai era Tanam Paksa namun Pemerintah Kolonial Belanda menyebutnya Cultuurstelsel yang berarti Sistem Kultivasi) di tahun 1830.

Dengan sistem ini, Belanda memonopoli perdagangan komoditi-komoditi ekspor di Jawa. Terlebih lagi, pihak Belanda lah yang memutuskan jenis (dan jumlah) komoditi yang harus diproduksi oleh para petani Jawa. Secara umum, ini berarti para petani Jawa harus menyerahkan seperlima dari hasil panen mereka kepada Belanda. Sebagai gantinya, para petani menerima kompensasi dalam bentuk uang dengan harga yang ditentukan Belanda tanpa memperhitungkan harga komoditi di pasaran dunia. Para pejabat Belanda dan Jawa menerima bonus bila residensi mereka mengirimkan lebih banyak hasil panen dari waktu sebelumnya, maka mendorong intervensi top-down dan penindasan. Selain pemaksaan penanaman dan kerja rodi, pajak tanah Raffles juga masih berlaku. Sistem Tanam Paksa menghasilkan kesuksesan keuangan. Antara tahun 1832 dan 1852, sekitar 19% dari total pendapatan pemerintah Belanda berasal dari koloni Jawa. Antara tahun 1860 dan 1866, angka ini bertambah menjadi 33%. Pada awalnya, Sistem Tanam Paksa itu tidak didominasi hanya oleh pemerintah Belanda saja. Para pemegang kekuasaan Jawa, pihak Eropa swasta dan juga para pengusaha Tionghoa ikut berperan. Namun, setelah 1850 - waktu Sistem Tanam Paksa direorganisasi - Pemerintah Kolonial Belanda menjadi pemain utama. Namun reorganisasi ini juga membuka pintu bagi pihak-pihak swasta untuk mulai mendominasi Jawa. Sebuah proses privatisasi terjadi karena Pemerintah Kolonial secara bertahap mengalihkan produksi komoditi ekspor kepada para pengusaha swasta Eropa.

 

Zaman Liberal Hindia Belanda

 

Semakin banyak suara terdengar di Belanda yang menolak sistem Tanam Paksa dan mendorong sebuah pendekatan yang lebih liberal bagi perusahaan-perusahaan asing. Penolakan sistem Tanam Paksa ini terjadi karena alasan kemanusiaan dan ekonomi. Pada 1870 kelompok liberal di Belanda memenangkan kekuasaan di parlemen Belanda dan dengan sukses menghilangkan beberapa ciri khas Sistem Tanam Paksa, seperti persentase penanaman beserta keharusan menggunakan lahan dan tenaga kerja untuk mengekspor hasil panen. Kelompok liberal ini membuka jalan untuk dimulainya sebuah periode baru dalam sejarah Indonesia yang dikenal sebagai Zaman Liberal (sekitar 1870-1900). Periode ini ditandai dengan pengaruh besar dari kapitalisme swasta dalam kebijakan kolonial di Hindia Belanda. Pemerintah Kolonial pada saat itu kurang lebih memainkan peran sebagai pengawas dalam hubungan antara pengusaha-pengusaha Eropa dengan masyarakat pedesaan Jawa. Namun, walau kaum liberal mengatakan bahwa keuntungan pertumbuhan ekonomi juga akan mengucur kepada masyarakat lokal, keadaan para petani Jawa yang menderita karena kelaparan, kurang pangan dan penyakit tidak lebih baik dibandingkan masa Tanam Paksa.

Abad ke-19 juga dikenal sebagai abad ekspansi karena Belanda melaksanakan ekspansi geografis yang substantial di Nusantara. Didorong oleh mentalisme imperialisme baru, negara-negara Eropa bersaing untuk mencari koloni-koloni di luar benua Eropa untuk motif ekonomi dan status. Salah satu motif penting bagi Belanda untuk memperluas wilayahnya di Nusantara - selain keuntungan keuangan - adalah untuk mencegah negara-negara Eropa lain mengambil bagian-bagian dari wilayah ini. Pertempuran paling terkenal (dan pertempuran yang paling lama antara Belanda dan rakyat pribumi) selama periode ekspansi Belanda abad ini adalah Perang Aceh yang dimulai pada tahun 1873 dan berlangsung sampai 1913, berakibat pada kematian lebih dari 100,000 orang. Namun, Belanda tidak pernah memegang kontrol penuh atas Aceh. Toh, integrasi politik antara Jawa dan pulau-pulau lain di nusantara sebagai kesatuan politis kolonial telah sebagian besar dicapai pada awal abad ke-20.

 

 

Politik Etis dan Nasionalisme Indonesia

 

Waktu perbatasan Hindia Belanda mulai mirip perbatasan yang ada di Indonesia saat ini, Ratu Belanda Wilhelmina membuat pengumuman pada pidato tahunannya di 1901 bahwa kebijakan baru, Politik Etis, akan diterapkan di Hindia Belanda. Politik Etis ini (yang merupakan pengakuan bahwa Belanda memiliki hutang budi kepada orang nusantara) bertujuan untuk meningkatkan standar kehidupan penduduk asli. Cara untuk mencapai tujuan ini adalah melalui intervensi negara secara langsung dalam kehidupan (ekonomi), dipromosikan dengan slogan 'irigasi, pendidikan dan emigrasi'. Namun, pendekatan baru ini tidak membuktikan kesuksesan yang signifikan dalam meningkatkan standar kehidupan penduduk asli.

Politik Etis menyebabkan efek samping yang besar. Komponen pendidikan dalam politik ini berkontribusi signifikan pada kebangkitan nasionalisme Indonesia dengan menyediakan alat-alat intelektual bagi masyarakat Indonesia untuk mengorganisir dan menyampaikan keberatan-keberatan mereka terhadap Pemerintah Kolonial. Politik Etis ini memberikan kesempatan, untuk sebagian kecil kaum elit Indonesia, untuk memahami ide-ide politik Barat mengenai kebebasan dan demokrasi. Maka, untuk pertama kalinya orang-orang pribumi mulai mengembangkan kesadaran nasional sebagai 'orang Indonesia'. Pada 1908, para mahasiswa di Batavia mendirikan asosiasi Budi Utomo, kelompok politis pribumi yang pertama. Peristiwa ini dianggap sebagai saat kelahiran nasionalisme Indonesia. Hal ini memulai tradisi politik kerja sama antara elit muda Indonesia dan para pejabat pemerintahan Belanda yang diharapkan untuk membantu wilayah Hindia Barat mencapai kemerdekaan yang terbatas. Bab selanjutnya dalam proses kebangkitan nasionalisme Indonesia adalah pendirian partai politik pertama berbasis masa, Sarekat Islam, pada tahun 1911. Pada awalnya, organisasi ini didirikan untuk mendukung para pengusaha pribumi terhadap pengusaha Tionghoa yang mendominasi ekonomi lokal namum Sarekat Islam ini kemudian mengembangkan fokusnya dan mengembangkan kedasaran politik populer dengan tendensi subversif. Gerakan-gerakan penting lainnya yang menyebabkan terbukanya pemikiran politik pribumi adalah Muhammadiyah, gerakan reformis sosio-religius Islam yang didirikan pada tahun 1912 dan Asosiasi Sosial Demokrat Hindia, gerakan komunis yang didirikan pada tahun 1914 yang menyebarluaskan ide-ide Marxisme di Hindia Belanda. Perpecahan internal di gerakan ini kemudian mendorong pendirian Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1920.

Pada awalnya, Pemerintah Kolonial Belanda mengizinkan pendirian gerakan-gerakan politik lokal namun ketika ideologi Indonesia diradikalisasi pada tahun 1920an (seperti yang tampak dalam pemberontakan-pemberontakan komunis di Jawa Barat dan Sumatra Barat di tahun 1926 dan 1927) Pemerintah Belanda mengubahkan kebijakannya. Sebuah rezim yang relatif toleran digantikan dengan rezim represif yang menekan semua tindakan yang diduga subversif. Rezim represif ini hanya memperparah keadaan dengan meradikalisasi seluruh gerakan nasionalis Indonesia. Sebagian dari para nasionalis ini mendirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pada tahun 1927 sebagai sebuah reaksi pada rezim yang represif. Tujuannya adalah mencapai kemerdekaan penuh untuk Indonesia.

Peristiwa penting lainnya bagi nasionalisme Indonesia adalah Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Pada kongres yang dihadiri organisasi-organisasi pemuda ini, tiga idealisme diproklamasikan, menyatakan diri memiliki satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Tujuan utama dari kongres ini adalah mendorong persatuan antara kaum muda Indonesia. Di dalam kongres ini lagu yang kemudian menjadi lagu kebangsaan nasional (Indonesia Raya) dikumandangkan dan bendera nasional di masa kemerdekaan (merah-putih) dikibarkan untuk yang pertama kalinya. Pemerintah Kolonial Belanda bertindak dengan melakukan aksi-aksi penekanan. Para pemimpin nasionalis muda, seperti Sukarno (yang di kemudian hari menjadi presiden pertama Indonesia) dan Mohammad Hatta (wakil presiden Indonesia yang pertama) ditangkap dan diasingkan.

 

Invasi Jepang ke Hindia Belanda

 

Penjahah Belanda cukup kuat untuk mencegah nasionalisme Indonesia dengan cara menangkap para pemimpinnya dan menekan organisasi-organisasi nasionalis namun mereka tidak bisa menghapuskan sentimen nasionalisme yang telah tertanam. Orang-orang Indonesia, di sisi lain, tidak cukup kuat untuk melawan pemimpin kolonialis dan karenanya membutuhkan bantuan dari luar untuk menghancurkan sistem kolonial.

Pada Maret 1942, tentara Jepang, dibakar semangatnya oleh keinginan akan minyak, menyediakan bantuan tersebut dengan menduduki Hindia Belanda. Walau pada awalnya disambut sebagai pembebas oleh penduduk pribumi Indonesia, mereka segera mengalami kesengsaraan di bawah penjajahan Jepang: kekurangan makanan, pakaian dan obat beserta kerja paksa di bawah kondisi yang menyiksa. Kurangnya makanan terutama disebabkan oleh administrasi yang tidak kompeten, dan ini mengubah Jawa menjadi sebuah pulau penuh kelaparan. Orang-orang Indonesia bekerja sebagai buruh paksa (disebut romusha) ditempatkan untuk bekerja dalam proyek-proyek yang padat karya di Jawa. Waktu Jepang mengambil alih Hindia Belanda para pejabat Belanda ditempatkan dalam kamp-kamp tawanan dan digantikan oleh orang-orang Indonesia untuk mengerjakan tugas-tugas kepemerintahan. Tentara Jepang mendidik, melatih dan mempersenjatai banyak kaum muda Indonesia dan memberikan suara politik kepada para pemimpin nasionalis. Ini memampukan para pemimpin nasionalis untuk mempersiapkan masa depan bangsa Indonesia yang merdeka. Pada bulan-bulan terakhir sebelum penyerahan diri Jepang, yang secara efektif mengakhiri Perang Dunia II, pihak Jepang memberikan dukungan penuh pada gerakan nasionalis Indonesia. Hancurnya kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial Pemerintah Kolonial Belanda melahirkan sebuah era baru. Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, delapan hari setelah penjatuhan bom atom di Nagasaki dan dua hari setelah Jepang kalah perangnya.

 4. Sebagai persiapan, BPUPKI melakukan dua kali sidang. Sidang pertama dilakukan pada 29 Mei-1 Juni 1945. Sidang ini menghasilkan rumusan dasar negara Indonesia (Pancasila) yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo, Mr. Muh. Yamin, dan Ir. Soekarno. Itulah mengapa tiap 1 Juni, sekarang kita peringati sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Sebagai tindak lanjut, pada 22 Juni 1945, dibentuk Panitia Kecil sebanyak sembilan orang (disebut juga Panitia Sembilan) dan mematangkan konsep Pancasila. Hasilnya dikenal sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Sidang kedua dilakukan pada 10-14 Juli 1945 menghasilkan rumusan Undang-Undang Dasar lengkap dengan pembukaannya (preambule).


5. Peranan seorang mahasiswa adalah dengan memperteguh penanaman nilai-nilai pancasila di dalam kehidupan sehari-hari. Karena saat ini masyarakat Indonesia sudah mulai meninggalkan dan bahkan melupakan nilai-nilai pancasila, yang notabene menjadi ideologi dan jati diri bangsa Indonesia. Oleh karena itu, para generasi muda sekarang harus dapat bersatu dan damai walaupun berbeda agama, suku, dan budaya. Dapat berpikir Rasional, Demokratis, dan Kritis dalam menuntaskan segala masalah yang ada di Negara kita. Memiliki semangat jiwa muda yang dapat membangun Negara Indonesia yang mandiri dapat mencontoh seperti karakter para pahlawan bangsa kita. Dengan cara cinta tanah air dan rela berkorban bagi bangsa Indonesia, serta menjunjung tinggi nilai nasionalisme dan persaudaraan antar agama, ras atau suku bagi semua bangsa Indonesia agar tidak terjadi perpecahan ataupun perselisihan antar bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar