Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu democratia yang berarti kekuasaan rakyat, serta terbentuk dari demos berarti rakyat dan cratos berarti kekuatan atau kekuasaan. Ada beberapa jenis demokrasi, tetapi hanya ada dua bentuk dasar. Keduanya menjelaskan cara seluruh rakyat menjalankan keinginannya. Bentuk demokrasi yang pertama adalah demokrasi langsung yang mana semua warga Negara berpartisipasi langsung dan aktif dalam pengambilan keputusan dalam pemerintahan. Di kebanyakan Negara demokrasi modern, seluruh rakyat masih merupakan satu kesatuan berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan secara tidak langsung melalui perwakilan, ini disebut sebagai demokrasi perwakilan. Konsep demokrasi perwakilan muncul dari ide dan institusi yang berkembang pada abad pertengahan Eropa, era Pencerahan dan Revolusi Amerika Serikat dan Perancis.
Dari pengertian singkat tentang demokrasi di atas, sepertinya Indonesia berada pada bentuk demokrasi yang kedua yakni demokrasi perwakilan. Sebagai bukti perwakilan kita di kursi Dewan Perwakilan Rakyat yang sedang menjalankan amanah dari kita, namun kebanyakan amanah yang diembannya sukar untuk dijalankan. Namun dibalik itu semua, kitalah yang telah memilih mereka untuk duduk dikursi 'empuk' sana, kita juga yang harus menerima segala apa saja yang diamanahkan kepada mereka. Sudah tentu mereka sebagai wakil kita lebih rendah kedudukannya dalam pemerintahan demokrasi. Indonesia juga pernah menjadi Negara demokrasi terpimpin dimana hal tersebut terasa kurang efektif, dengan semakin banyaknya para kaum intelek yang tahu tentang hal pemerintahan.
Demokrasi juga berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari rakyat berarti bahwa segala apa yang akan dilakukan harus melalui pendapat rakyat selama rasional dan untuk kepentingan Negera. Oleh rakyat berarti bahwa, segala sesuatu yang menyangkut masalah kenegaraan harus diperoleh dari rakyat. Untuk rakyat berarti bahwa segala ketentuan dan kebijakan yang telah ataupun belum diputuskan adalah untuk kepentingan rakyat kita, rakyat Indonesia. Namun dalam kenyataannya, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah sebuah mitos yang terkadang terlaksana namun lebih banyak yang tidak terlaksana. Seperti dalam pemberitaan yang hangat pada beberapa waktu silam yang menyatakan bahwa, kita sebagai individu yang otomatis juga sebagai rakyat dilarang untuk mengkritik kinerja wakil kita di pemerintahan, baik secara halus apalagi secara kasar. Nah, dari kasus tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa rakyat yang mengkritik akan menghambat kinerja mereka di sana. Sungguh ironis memang, kita berharap banyak terhadap mereka, namun jika kinerja mereka kita kritik, malah harus dikenakan pidana karena membuat nama baik wakil kita yang katanya buruk tersebut.
Berangkat dari masalah itu, banyak kontra ketimbang pro dari RUU tentang dihukumnya rakyat yang mengkritik wakilnya di pemerintahan. Sepertinya mereka lupa dengan apa yang termaktub dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Bukankah sumber hukum terkuat setelah Pancasila yang sebagai dasar Negara Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945? Secara hierarki, sumber hukum di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945, lebih jelas lagi bahwa pembentukan Rancangan Undang-Undang tersebut telah menyalahi peraturan di atasnya. Di dunia Internasional, sangat kompleks peraturan perihal kebebasan berserikat, berpendapat dan mengeluarkan pikiran. Selain itu, kemerdekaan berpendapat merupakan sebagian dari Hak Asasi Manusia. Oleh sebab itu, dijamin oleh Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pasal 19 dan 20 berikut.
1. Pasal 19
"Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dan tidak memandang batas-batas."
2. Pasal 20
Ayat (1): "Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berpendapat."
Ayat (2): "Tidak ada seorang juga pun dapat dipaksa memasuki salah satu perkumpulan."
Seiring dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, berlahiranlah para media sosial tempat dimana rakyat seperti kita sekarang untuk berkumpul dalam suatu komunitas dengan beragam manfaat tergantung bagaimana kita menggunakannya. Namun, kebanyakan dari kita adalah digunakan untuk mengomentari, baik orang biasa sampai orang penting sekalipun dengan cara dan kata maupun bahasa yang kurang baik untuk dibaca maupun didengar, namun tidak semuanya seperti itu, banyak juga rakyat yang menggunakan media sosial dengan cara yang bijak dan penuh kehati-hatian.
Beralih ke media sosial yang sedikit banyak telah mengubah pola dan cara rakyat untuk saling berkomunikasi, bertukar pikiran, pendapat maupun gagasan. Dulu, sebelum adanya teknologi beserta media sosial seperti sekarang, rakyat yang akan menyampaikan pendapatnya harus turun ke jalan-jalan dan tempat yang menjadi tujuan mereka untuk mengeluarkan aspirasinya, seperti berorasi, membakar ban, menulis slogan atau jenis lainnya serta hal yang sangat mendukung agar tujuan mereka untuk mengeluarkan pendapat itu sampai atau didengar oleh orang atau lembaga yang dituju. Memang, sampai sekarang pun cara itu masih intens dilakukan, baik dikalangan aktifis maupun dikalangan rakyat biasa. Namun, semenjak lahirnya media sosial, rakyat lebih senang mengeluarkan pendapat dari jempol maupun jari lain mereka tanpa harus berhujan panas di luar sana. Permasalahannya, akun media sosial yang notabennya biasa dimiliki lebih dari satu individu pengguna. Misalkan saja facebook, berapa banyak akun yang orangnya sebenarnya hanya satu tetapi membuat akun lebih dari satu. Ini menjadi problema dimana jikalau orang tersebut berpotensi untuk menjadi pengguna sosial media yang kurang bijak dengan membuat atau menuliskan kata-kata berbau SARA, menjelekkan orang lain, memfitnah orang lain dan masih banyak lagi.
Tidak hanya itu, media sosial juga menjadi bahan untuk mengekspresikan diri seorang rakyat agar rakyat lain dapat mengetahui apa yang sedang kita rasakan. Ironisnya, banyak para netizen yang berkomentar dengan nada yang cukup memanaskan hati ketika dibaca. Belum tentu hal tersebut jelek di mata hukum, namun mereka dengan kurangnya keilmuan hukum menganggap bahwa hal tersebut telah melanggar hukum, begitu juga sebaliknya, hal yang memang melanggar hukum mereka anggap itu jauh dari kata melanggar hukum.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 terdapat 5 asas yang merupakan landasan kebebasan bertanggung jawab dalam berpikir dan bertindak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Kelima asas tersebut yaitu:
1. Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban;
2. Asas musyawarah dan mufakat;
3. Asas kepastian hukum dan keadilan;
4. Asas proporsionalitas; serta
5. Asas mufakat.
Dari asas di atas, dapat dipahami bahwa sebelum kita menyampaikan pendapat di muka umum haruslah disusun secara matang, dengan pertimbangan aspek tersebut di atas. Terkait dengan mengkritik kinerja wakil kita di pemerintahan, sudah tentu telah melalui pergumulan hati yang sangat dalam dengan telah memperhatikan hak dan kewajiban kita sebagai rakyat, melalui musyawarah, adanya kepastian hukum dan keadilan yang kita inginkan dari mengkritiki wakil kita tersebut, telah dibagi dan dipikirkan secara matang akan hal yang kita kehendaki serta telah melalui mufakat, baik dari hati sesama rakyat yang merasakan maupun dengan dinamika yang telah terjadi di masyarakat pada umumnya. Namun, dengan lahirnya media sosial yang telah merambah dikehidupan rakyat, telah sedikit bergeser dari beberapa asas yang telah disebutkan di atas. Bergeser maksudnya adalah dikarenakan, media sosial merupakan sistem bersosial tanpa mengharuskan untuk bertemu langsung dengan lawan bicara. Memang, semakin canggih zaman sekarang, juga dapat bertatap muka dengan aplikasi sistem bernama video call. Memang hal tersebut telah memenuhi syarat berkomunikasi secara langsung, namun belum tentu lokasi dan suasana dalam video call tersebut sama dengan apa yang diucapkan lawan bicara kita.
Gonjar-ganjir kasus demi kasus pelecehan nama baik seseorang dari media sosial telah melahirkan asumsi-asumsi buruk yang ditengarai oleh filosofis dinamika kontekstual yang ada pada masyarakat zaman millennial ini. Seperti pada kasus asusila yang dialami oleh beberapa pesohor keartisan, di ranah yang konon katanya menjadi pemeluk agama Islam terbanyak di dunia. Namun rupanya itu hanyalah editan dari para tangan jahil untuk menjelekkan nama baik pesohor tersebut. Itulah sekelumit permasalahan yang harus dihadapi oleh manusia zaman sekarang. Selain pandai dalam edit mengedit, rupanya zaman millennial ini telah membawa generasi muda sekarang untuk berani mengekspresikan diri kearah negatif guna mencari sensasi agar dikenal banyak orang. Mereka lebih senang mempublikasikan tentang diri mereka untuk menarik orang lain agar tertarik. Ini juga salah satu dampak negatif dari perkembangan teknologi khususnya tentang kebebasan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat. Sisi positifnya, dari perkembangan teknologi zaman millennial ini adalah info yang tidak diketahui orang, akan menjadi tahu tentang apa yang terjadi di luar sana tanpa harus menyaksikan langsung apa fenomena atau kejadian yang sedang terjadi. Terlebih, sejak kasus penistaan agama yang dilakukan oleh mantan Gubernur Daerah Keistimewaan Ibukota Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, semakin tinggi sensitifitas ketika berbicara tentang agama di Indonesia. Sedikit berbicara agama lain biar pun tidak ada unsur untuk menghina atau menjelek-jelekkan antar agama telah dianggap rasis oleh sebagian orang. Mereka menganggap bahwa Indonesia telah jauh dari kata toleransi yang sejak lama dikenal oleh khalayak ramai di seluruh dunia. Mereka juga beranggapan bahwa, Indonesia telah menjadi ladang terorisme akibat rasis yang sedang dirasakan. Seyogyanya, kita harus berpikir jernih saat harus menghadapi fenomena ini, mengingat bahwa Indonesia dikenal juga dengan berbagai keberagamannya, baik dari ras, suku, kebudayaan, agama dan masih banyak lagi. Ingat, bahwa kita dinaungi dengan sebuah prinsip yang sejak dulu terpatri sebelum kemerdekaan Indonesia, yakni sejak zaman kerajaan nusantara yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Motto inilah yang menguatkan tekad dan niat para pendahulu bangsa untuk berjuang bersama-sama menghadang dan menghalau para penjajah dengan kobaran semangat yang berapi-api.
Setelah mengetahui cara untuk mengatasi masalah tersebut di atas, hal yang perlu kita lakukan selanjutnya adalah bermula dari kita sendiri, untuk tidak mempublikasikan di media sosial tentang sedikit atau banyaknya yang menjerumus pada kesalahpahaman dari pihak agama lain. Namun apakah ini menekan kebebasan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat? Tidak, pelarangan ini adalah demi menjaga suasana umat beragama di Indonesia agar lebih kondusif. Selain agar kondusif, pelarangan ini juga telah di firmankan Allah dalam Al-Qur'an Surah Al-Kafiirun ayat 5 yang artinya, "Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku." Ini telah jelas bahwa, kita sebagai umat beragama agar tidak mencampur urusan rumah tangga agama oranglain dalam ruang lingkup keagamaan yang heterogen. Boleh untuk membahas agama lain untuk dibahas dalam lingkup mandiri, serta mengambil hikmahnya tanpa harus menjelek-jelekkan agama lain. Kembali pada titik permasalahannya bahwa, Indonesia yang memang mayoritas penduduknya beragama islam sudah tentu sendi-sendi kehidupan bernegara harus berdasarkan agama islam. Kita lihat Negara lain yang mayoritas beragama Kristen misalnya, sendi kenegaraannya juga mengikuti agama yang mayoritas. Malangnya, di Negara Eropa dan Amerika, mereka sepertinya rendah dalam hal toleransi terhadap umat beragama. Mereka selalu mengintimidasi agama Islam di sana. Beruntunglah mereka yang hidup di Negara dengan toleransi yang tingi, mereka aman dan tentram dalam melakukan kehidupan beragamanya di Indonesia.
Selain kasus pelarangan mengkritik wakil kita di pemerintahan, kasus asusila para pesohor, kasus penistaan agama, hal yang sedang marak dan hangat untuk diulas lebih dalam adalah kasus transgender. Seperti yang disiarkan diberita-berita maupun majalah elektronik,banyak dari para kalangan selebritas yang ternyata adalah para transgender. Implikasinya dengan kebebasan berserikat, mereka sepertinya bebas dalam berkumpul dalam komunitas yang dapat menanungi mereka agar terlindungi dari kecaman-kecaman luar yakni dalam suatu wadah bendera pelangi yaitu Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender atau lebih dikenal dengan sebutan LGBT. Masalah ini juga menyangkut dengan semakin maraknya grup-grup di media sosial yang ternyata itu adalah perkumpulan para aktifis, yang membela hak mereka dalam mempertahankan ideologi mereka yakni menjadi apapun, karena adanya Hak Asasi Manusia. Sepertinya, mereka telah melewati serta terlampau jauh dari rambu-rambu yang telah direncanakan Allah dengan sebaik-baiknya. Dengan dibentuknya komunitas-komunitas tersebut, tentu akan mempengaruhi orang lain agar mau menerima mereka serta mendukung mereka untuk mendapatkan hak mereka di ranah Nasional. Mereka menginginkan menjadi manusia yang sebebas-bebasnya tanpa rambu-rambu pembatas.
Implikasi buruk selanjutnya yang dihasilkan oleh kebebasan untuk berkumpul dan berserikat, serta mengeluarkan pendapat adalah semakin maraknya bermunculan partai-partai politik yang seyogyanya sedari dulu telah melahirkan eksistensinya dalam perbanyakan partai politik di Indonesia. Menurut penulis, semakin banyak partai politik di Indonesia, akan semakin memperbanyak pengeluaran negara saat-saat seperti ini, yakni saat pesta demokrasi digelar. Selain itu kebanyakan dari mereka yang berserikat untuk membentuk partai politik yang baru tentu tidak berasal dari para kaum intelek Indonesia, melainkan dari para pengusaha negeri ini. Para pemilik partai adalah mereka yang memiliki keuangan yang banyak. Kebanyakan dari para pengusaha yang mendirikan partai politik adalah mereka yang tidak tahu ranah perpolitikan. Di samping itu, permainan politik yang selalu menggunakan uang, uang dan uang, tentu sangat berdampak negatif bagi perkembangan politik di Indonesia. Mereka yang berserikat dalam naungan partai politik belum sepenuhnya tahu, mau dibawa kearah mana partai yang mereka kelola. Selain itu, banyaknya partai politik juga mengimplikasikan bahwa perpolitikan di Indonesia belum matang, bahkan tidak akan pernah matang. Kita ambil contoh Negara yang hanya memiliki dua partai politik saja, yakni Negara Adidaya walkhusus Amerika Serikat. Mereka yang Negara maju saja hanya memiliki sedikit partai politik. Tidak seperti Indonesia yang ada sebagian nyeletuk dengan mengibaratkan partai di Indonesia seperti "Ikan Teri." Sepertinya Indonesia juga harus membatasi berserikat dalam hal eksistensi partai politik. Mungkin, akan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, namun ini demi kebaikan dan kematangan perpolitikan di tanah air kita tercinta ini.
Baiklah, problematika dari kebebasan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat dapat dibagi menjadi dua dari ulasan-ulasan singkat di atas. Yang pertama adalah problematika yang berbau negatif. Kita tahu, bahwa hidup manusia ini dijamin oleh Hak Asasi Manusia, namun hal tersebut harus ada rambu-rambunya agar tidak mengganggu Hak Asasi Manusia lainnya. Misalkan dalam berlalu lintas, mentang-mentang kebebasan dijunjung tinggi seseorang dengan sesuka hatinya melaju dengan kencang saat mengendarai motor di jalan raya. Memang benar hidup itu bebas, tapi apakah dia tidak memikirkan hak oranglain dalam menggunakan jalan raya? Oranglain juga punya hak untuk keselamatan diri mereka masing-masing. Lalu hubungannya dengan kebebasan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat adalah bahwa, kita harus tahu batasan-batasan dalam kebebasan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat. Memang, Negara kita tidak melarang atau mengekang kebebasan tersebut, namun kita sebagai makhluk yang diciptakan Allah dengan sebaik mungkin, dengan diberikannya nafsu. Tentunya nafsu tersebut harus kita kelola dengan baik, agar nalar pikir kita tentang kebebasan itu terkontrol serta melahirkan kenyamanan untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Problematika kedua yaitu yang berbau positif. Kita sebagai zoon politicon harus dapat dan memiliki hak untuk mengkritik wakil kita di pemerintahan. Ingat, bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kita sebagai tampuk pemegang kekuasan tertinggi di Negara juga harus mengetahui kinerja wakil kita di sana, jika kinerja tersebut berdampak negatif bagi kebanyakan rakyat, kenapa rakyat harus diam merenung tanpa boleh mengeluarkan aspirasi dan kritik yang membangun? Kenapa rakyat harus dibungkamkan oleh kebijakan yang hanya mementingkan perorangan maupun kelompok? Sepertinya Indonesia telah dibayang-bayangi oleh teknik adu domba oleh Negara lain, karena mengingat bahwa rezim pemerintahan sekarang adalah memihak pada barat.
Namun sebaliknya, hal yang negatif dan malah akan menghancurkan masa depan Negara yang diacuhkan. Mungkin penulis juga belum atau ilmu politiknya masih cetek. Tidak memungkiri bahwa, kita kembali pada prinsip bahwa mengeluarkan pendapat untuk kemaslahatan orang banyak itu bagus dan harus diperjuangkan serta diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, indikasi yang harus kita telaah lebih jauh lagi adalah campur tangan media yang tidak dapat dielakkan. Mereka seolah menjadi kontrol dalam pemerintahan maupun kehidupan rakyat Indonesia. Mereka seolah-olah mendapat mandat langsung untuk mengawasi keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari hal itu, sungguh sangat bermanfaat bagi kita sebagai rakyat biasa agar kita juga bersama-sama mengawasi keberlangsungan, baik politik, eksekutif dan yudikatif yang ada di Indonesia. Namun sebaliknya, apabila dilakukan untuk menjelek-jelekkan orang lain, memfitnah, merendahkan harkat dan martabat, menyebarkan isu yang salah atau hoax, dan masih banyak lagi kemungkinan yang dapat dilakukan oleh sebagian rakyat yang kurang paham tentang arti Negara heterogen, itu sangat dan apa perlu dibersihkan serta dihindarkan agar kedamaian, ketentraman, keamanan, kerukunan dan hal lainnya dapat tercipta demi Indonesia yang lebih toleran lagi. Dengan menggunakan kebebasan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat secara bijak akan meningkatkan taraf kebaikan bernegara untuk rakyat Indonesia.
Penulis: Mustaqfiril Asror
Tidak ada komentar:
Posting Komentar