Sabtu, 30 Juni 2018

(FEKON08 - 171310646) Hubungan HAM dan Demokrasi

Antara HAM dan demokrasi memiliki hubungan yang sangat erat. HAM
tidak mungkin eksis di suatu negara yang bersifat totaliter ( tidak
demokratis ), namun sebaliknya negara yang demokratis pastilah
menjamin eksistensi HAM. Suatu negara belum dapat dikatakan
demokratis apabila tidak menghormati dan melindungi HAM. Kondisi yang
dibutuhkan untuk memperkokoh tegaknya HAM adalah alam demokratis di
dalam kerangka negara hukum ( rule of law state ). Konsep negara hukum
dapat dianggap mewakili model negara demokratis ( demokrasi ).
Implementasi dari negara yang demokratis diaktualisasikan melalui
sistem pemerintahan yang berdasarkan atas perwakilan ( representative
government) yang merupakan refleksi dari demokrasi tidak langsung.
Menurut Julius Stahl dan A.V.Dicey suatu negara hukum haruslah
memenuhi beberapa unsur penting, salah satu unsur tersebut antara lain
yaitu adanya jaminan atas HAM. Dengan demikian untuk disebut sebagai
negara hukum harus terdapat perlindungan dan penghormatan terhadap HAM
Dari pendapat di atas, sesungguhnya dapat dilihat bagaimana hubungan
demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Demokrasi punya keterkaitan yang erat
dengan Hak Asasi Manusia karena sebagaimana dikemukakan tadi, makna
terdalam dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat, yaitu rakyatlah
sebagai pemegang kekuasaan politik tertinggi dalam suatu negara.
Posisi ini berarti, secara langsung menyatakan adanya jaminan terhadap
hak sipil dan politik rakyat (Konvenan Hak Sipil dan Politik), pada
dasarnya dikonsepsikan sebagai rakyat atau warga negara untuk mencapai
kedudukannya sebagai penentu keputusan politik tertinggi. Dalam
persepktif kongkret ukuran untuk menilai demokratis atau tidaknya
suatu negara, antara lain; berdasarkan jawaban atas pertanyaan
seberapa besarkah tingkat kebebasan atau kemerdekaan yang dimiliki
oleh atau diberikan kepada warga Negara di Negara itu ? Makin besar
tingkat kebebasan, kemerdekaan dimaksudkan di sini adalah kebebasan,
kemerdekaan dan hak sebagaimana dimasukkan dalam kategori Hak-Hak
Asasi Manusia generasi pertama. Misalnya, kebebasan untuk menyatakan
pendapat, kemerdekaan untuk menganut keyakinan politik, hak untuk
diperlakukan sama dihadapan hukum.
Hanya kemudian patut dijelaskan lebih lanjut, bahwa persoalan
demokrasi bukanlah sebatas hak sipil dan politik rakyat namun dalam
perkembangannya, demokrasi juga terkait erat dengan sejauh mana
terjaminnya hak-hak ekonomi dan sosial dan budaya rakyat. Sama
sebagaimana parameter yang dipakai di dalam Hak Asasi Manusia generasi
pertama (hak sipil dan politik), maka dalam perspektif yang lebih
kongkret negara demokratis juga diukur dari sejauh mana negara
menjamin kesejahteraan warga negaranya, seberapa rendah tingkat
pengangguran dan seberapa jauh negara menjamin hak-hak warga negara
dalam mendapatkan penghidupan yang layak. Hal inilah yang secara
langsung ataupun tidak langsung menegaskan bagaimana hubungan yang
terjalin antara demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Secara sederhana
dapat dijelaskan bahwa, Hak Asasi Manusia akan terwujud dan dijamin
oleh negara yang demokratis dan demikian sebaliknya, demokrasi akan
terwujud apabila negara mampu manjamin tegaknya Hak Asasi Manusia.
Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan
konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang
memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai
kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi.
Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya
supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan
konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan
demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.
Oleh karena itu tidak terlalu keliru jika Francis
Fukuyama mengatakan bahwa "sejarah telah berakhir (the end of
history)", manakala harus menjelaskan fenomena yang demikian. Dengan
diadopsinya system nilai demokrasi, terutama liberal, maka secara
langsung dan tidak langsung, telah mengakhiri sebuah evolusi
persaingan antara dua ideology besar di dunia, yakni demokrasi liberal
yang berdasarkan ekonomi pasar, di satu pihak, melawan komunisme serta
sentralisme ekonomi di pihak lain, dengan ideology yang disebut
pertama sebagai pemenangnya, dimasa yang lalu soviet dan AS adalah
kubu yg selalu bertikai, bipolar, amerika yang pro kebebasan dan
soviet yang anti kekerasan, tapi sekarang sudah bubar jadi dunia
sekarang seolah olah miring memihak kepada ide kebebasan, yang oleh
fukuhiyama disebut the end of history ( tdk ada lagi otoritarian isu)
Pada saat yang sama, mereka melihat banyak negara barat atau Negara
non-barat lainnya yang menerapkan system demokrasi liberal, mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Pada tahap inilah pikiran-pikiran
demokrasi liberal mencuat ke permukaan. Apa yang disebut sebagai
Gelombang Demokrasi Ketiga, telah menjadi warna dominan dari wacana
bernegara di seluruh dunia. Meski Huntington mengingatkan bahwa tidak
berarti semuanya akan berjalan dengan mulus, namun fenomena global
sekarang mengarah pada apa yang dikatakan Fukuyama tersebut di atas,
"The End of History". Demokrasi di Indonesia dapat diartikan
pengertian demokrasi bahwa sistem pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Sehingga dengan kata lain demokrasi juga
bisa diartikan secara sederhana, yaitu nama lain dari kedaulatan
rakyat. Sedangkan HAM (Hak Asasi Manusia) memiliki arti umum, yaitu
hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap pribadi manusia sebagai
anugerah Tuhan kepada makhluk ciptaan-Nya. Sedemikian sehingga hak
asasi tidak dapat dipisahkan dari keberadaan pribadi manusia itu
sendiri.
Dalam prakteknya di Indonesia sendiri mengenai demokrasi tentunya
sudah sangat jelas dengan adanya pemilihan umum yang diselenggarakan
untuk memilih presiden dan wakil persiden serta beberapa waktu rakyat
lainnya, mulai dari tingkat daerah hingga tingkat pusat sekalipun.
Semuanya dilaksanakan secara terbuka dan langsung dengan rakyat
sebagai pemilihnya. Di mana pemilihan umum pertama yang dapat
terselenggara di Indonesia adalah pada tahun 1955 Demokrasi
perwakilan dengan sistem parlementer
Demokrasi sistem parlementer semula lahir di Inggris pada abad XVIII
dan dipergunakan pula di negara-negara Belanda, Belgia, Prancis, dan
Indonesia (pada masa UUDS 1950) dengan pelaksanaan yang bervariasi,
sesuai dengan konstitusi negara masing-masing. Negara-negara Barat
banyak menggunakan demokrasi parlementer sesuai dengan masyarakatnya
yang cenderung liberal. Ciri khas demokrasi ini adalah adanya hubungan
yang erat antara badan eksekutif dengan badan perwakilan rakyat atau
legislatif. Para menteri yang menjalankan kekuasaan eksekutif diangkat
atas usul suara terbanyak dalam sidang parlemen. Mereka wajib
menjalankan tugas penyelenggaraan negara sesuai dengan pedoman atau
program kerja yang telah disetujui oleh parlemen. Selama
penyelenggaraan negara oleh eksekutif disetujui dan didukung oleh
parlemen, maka kedudukan eksekutif akan stabil. Penyimpangan oleh
seorang menteri pun dapat menyebabkan parlemen mengajukan mosi tidak
percaya yang menggoyahkan kedudukan eksekutif.
Demokrasi parlementer lebih cocok diterapkan di negara-negara yang
menganut sistem dwipartai: partai mayoritas akan menjadi partai
pendukung pemerintah dan partai minoritas menjadi oposisi.
Dalam demokrasi parlementer, terdapat pembagian kekuasaan
(distribution of powers) antara badan eksekutif dengan badan
legislatif dan kerja sama di antara keduanya. Sedangkan badan
yudikatif menjalankan kekuasaan peradilan secara bebas, tanpa campur
tangan dari badan eksekutif maupun legislatif.
Kelebihan demokrasi perwakilan bersistem parlementer:
o pengaruh rakyat terhadap politik yang dijalankan pemerintah sangat besar;
o pengawasan rakyat terhadap kebijakan pemerintah dapat berjalan dengan baik;
o kebijakan politik pemerintah yang dianggap salah oleh rakyat dapat
sekaligus dimintakan pertanggungjawabannya oleh parlemen kepada
kabinet;
o mudah mencapai kesesuaian pendapat antara badan eksekutif dan
badan legislatif;
o menteri-menteri yang diangkat merupakan kehendak dari suara
terbanyak di parlemen sehingga secara tidak langsung merupakan
kehendak rakyat pula;
o menteri-menteri akan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas
karena setiap saat dapat dijatuhkan oleh parlemen;
o pemerintah yang dianggap tidak mampu mudah dijatuhkan dan diganti
dengan pemerintah baru yang dianggap sanggup menjalankan pemerintahan
yang sesuai dengan keinginan rakyat.
Kelemahan demokrasi perwakilan bersistem parlementer:
o kedudukan badan eksekutif tidak stabil, karena dapat diberhentikan
setiap saat oleh parlemen melalui mosi tidak percaya;
o sering terjadi pergantian kabinet, sehingga kebijakan politik
negara pun labil;
o karena pergantian eksekutif yang mendadak, eksekutif tidak dapat
menyelesaikan program kerja yang telah disusunnya.


b. Demokrasi perwakilan dengan sistem pemisahan kekuasaan
Demokrasi ini berpangkal pada teori pemisahan kekuasaan yang
dikemukakan oleh para filsuf bidang politik dan hukum. Pelopornya
adalah John Locke (1632-1704) dari Inggris, yang membagi kekuasaan
negara ke dalam tiga bidang, yaitu eksekutif, legislatif dan
federatif. Untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan,
ketiga bidang itu harus dipisahkan. Charles Secondat Baron de Labrede
et de Montesquieu (1688-1755) asal Prancis, memodifikasi teori Locke
itu dalam teori yang disebut Trias Politica pada bukunya yang berjudul
L'Esprit des Lois. Menurut Montesquieu, kekuasaan negara dibagi
menjadi: legislatif (kekuasaan membuat undang-undang), eksekutif
(kekuasaan melaksanakan undang-undang) dan yudikatif (kekuasaan
mengatasi pelanggaran dan menyelesaikan perselisihan antarlembaga yang
berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang). Ketiga cabang kekuasaan
itu harus dipisahkan, baik organ/ lembaganya maupun fungsinya.
Teori Montesquieu disebut teori pemisahan kekuasaan (separation du
puvoir) dan dijalankan hampir sepenuhnya di Amerika Serikat. Di negara
itu, kekuasaan legislatif dipegang oleh Kongres, kekuasaan eksekutif
oleh Presiden dan kekuasaan yudikatif oleh Mahkamah Agung. Ketiga
badan tersebut berdiri terpisah dari yang lainnya untuk menjaga
keseimbangan dan mencegah jangan sampai kekuasaan salah satu badan
menjadi terlampau besar. Kesederajatan itu menjadikan ketiganya dapat
berperan saling mengawasi (check and balance).
Kelebihan demokrasi perwakilan bersistem pemisahan kekuasaan:
o pemerintah selama masa jabatannya tidak dapat dijatuhkan oleh
parlemen, sehingga pemerintahan dapat berlangsung relatif stabil
o pemerintah memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan programnya
tanpa terganggu oleh adanya krisis kabinet
o sistem check and balance dapat menghindari pertumbuhan kekuasaan
yang terlampau besar pada setiap badan
o mencegah terjadinya kekuasaan yang absolut (terpusat pada satu orang).
Kelemahan demokrasi perwakilan bersistem pemisahan kekuasaan:
o pengawasan rakyat terhadap pemerintah kurang berpengaruh
o pengaruh rakyat terhadap kebijakan politik negara kurang mendapat perhatian
o pada umumnya keputusan yang diambil merupakan hasil negosiasi
antara badan legislatif dan eksekutif sehingga keputusan tidak tegas
o proses pengambilan keputusan memakan waktu yang lama.

PERATURAN HAM
Sedangkan untuk HAM sendiri sebenarnya sudah ada bahkan sejak
berdirinya Negara Indonesia ini, sebagaimana tercantum dalam pembukaan
UUD 1945 meskipun hanya secara implisit atau tersirat. Keseriusan
pihak pemerintah pun kian terlihat dengan berdirinya Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) pada tahun 1997 setelah adanya
Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia yang yang diselenggarakan pada
tahun 1991. Sejak itulah pembicaraan mengenai HAM memasuki tahap yang
sangat serius dan berkesinambungan. Di mana pada tahun 1999, Indonesia
berhasil memiliki sistem hukum yang jelas dan rigid mengenai HAM yang
ditulis dalam UU No. 39 tahun 1999.
Adapun hubungan demokrasi dan HAM di Indonesia dapat ditinjau melalui
Undang-Undang Dasar 1945 (yang sudah berkali-kali mengalami proses
amandemen hingga sekarang), diantaranya:
1. Setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan
kehidupannya dan memiliki hak dan kewajiban warga negara. Mulai dari
membentuk keluarga, meneruskan keturunan melalui pernikahan yang sah
secara hukum serta menerima perlindungan dalam kelangsungan hidupnya
termasuk perlindungan terhadap perlukaan yang bersifat diskriminatif
seperti perbudakan. Dalam artian semua warga negara bebas menjalankan
kehidupannya masing-masing dan menerima hak-haknya sebagai warga sipil
Negara Indonesia.
2. Setiap orang bebas untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan
keyakinannya masing-masing, memilih pekerjaan, pendidikan dan
pembelajaran, dan juga tempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Ini juga merupakan hak asasi yang mencakup hak-hak
sipil dan ekonomi sebagai warga Negara Indonesia. Di samping itu,
warga Negara juga bebas untuk pindah status kewarganegaraannya ke
negara lain dan berhak pula kembali untuk menjadi warga Negara
Indonesia lagi di kemudian hari.Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dengan siapapun, memperoleh informasi dari siapapun
termasuk mengolah, memiliki, dan menyimpannya untuk pengembangan
pribadi dan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu semua orang bebas
untuk berserikat, berkumpul serta mengelurkan pendapatnya. Hal ini
juga merupakan hak-haknya di bidang politik, sosial, dan budaya.
3. Setiap orang berhak untuk memperoleh jaminan sosial yang
memungkinkan untuk pengembangan dirinya, kesehatan dirinya, dan
lainnya sebagai manusia yang memiliki martabat. Hal ini dilakukan
selain agar terjaminnya hak-hak sipil dan sosialnya, juga memastikan
bahwa setiap warga Negara memiliki kesejahteraan sosial yang sama dan
adil.
4. Setiap warga Negara yang menyandang masalah sosial seperti
masyarkat yang tinggal di daerah-daerah terpencil berhak memperoleh
kemudahan dan perlakuan khusus untuk mendapatkan kesempatan yang sama
termasuk dalam hal pembangunan, di mana biasanya pada dearah terpencil
sering tertinggal proses pembangunannya. Hak-hak ini sesuai dengan
hak-hak khusus dan ha katas pembangunan yang menjadi landasan dalam
HAM (Hak Asasi Manusia) di Indonesia agar tidak penyebab terjadinya
penyalahgunaan kewenangan.

5. Semua kebebasan dan hak yang memang menjadi hak-hak dari setiap
warga Negara Indonesia tentunya juga diatur dalam suatu Undang-Undang
untuk memenuhi tuntutan serta mencapai keadilan dengan
mempertimbangkan nilai-nilai moral, agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam sebuah masyarakat yang demokratis. Oleh karena itu, semua
warga Negara wajib menghormati dan tunduk pada hukum undang-undang
yang berlaku dan selalu mendapat bimbingan bagaimana cara menanamkan
kesadaran hukum pada masyarakat.
6. Disamping itu, Negara juga harus menjunjung tinggi nilai-nilai
etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan dari segi agama serta
menjamin kemerdekaan semua penduduknya untuk bebas memeluk,
menjalankan (mengamalkan), dan menyebarkan agamanya.
7. Ditambah lagi, meskipun semua warga Negara diberi kebabasan dan
hak-hak yang berhak diterimanya, namun mereka juga harus menaruh rasa
hormat kepada kebebasan dan hak-hak orang lain dalam kehidupan bersama
sebagai masyarakat sekaligus warga Negara. Hal ini sesuai dengan hak
asasi sipil dan sosial sebagai warga Negara Indonesia.
8. Terakhir ialah kebebasan dan hak warga Negara untuk terjun langsung
dalam dunia pemerintahan. Dalam artian ikut ambil bagian untuk menjadi
badan Negara yang memegang kendali sistem pemerintahan Negara
Indonesia.

Demikian beberapa hubungan antara demokrasi dan HAM di Indonesia yang
dapat disebut dan dijelaskan, di mana hubungan keduanya sangatlah erat
dan tidak bisa dipisahkan begitu saja. Perjalanan keduanya, yaitu
demokrasi dan HAM, sudah ada bahkan sejak Negara Indonesia berdiri
hingga sekarang meskipun terjadi banyak sekali jenis jenis pelanggaran
ham yang terkait dengan HAM. Sudah sepatutnya bahwa Indonesia yang
menganut demokrasi dan menjunjung hak asasi manusia bahwa dalam
pemberian serta pelaksaan kebebasan (demokrasi) tersebut didasari dan
dilingkupi oleh hak-hak dasar dasar (hak asasi manusia) tersebut.
Sedemikian sehingga berjalanannya demokrasi dan penegakan HAM menjadi
sejalan untuk mencapai bersama-sama sebuah kesejahteraan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yang satu, yaitu Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).

Dio Agung Pradipta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar