Sabtu, 30 Juni 2018

(FEKON08-171310657) Kualitas Demokrasi Indonesia Saat Ini

KUALITAS DEMOKRASI SAAT INI DI INDONESIA

Sudah diketahui secara umum jika di Indonesia memiliki sistem pemerintahan demokrasi, yang mana segala kekuasaan berada di tangan rakyatnya. Demokrasi merupakan pemerintah yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan jika kepentingan pemerintah didedikasikan hanya untuk rakyat, entah itu pemimpin, lembaga-lembaga pemerintahan, DPR, DPRD, dan DPD semua hanya menjalankan amanah sebagai perwakilan rakyat dalam menjalankan pemerintahan. Demokrasi yang diadakan 5 tahun sekali salah satunya pemilu, seringkali menjadi berita politik nasional yang tidak pernah habis untuk dibahas dan diperbincangkan karena selalu saja ada masalah yang  menyelimuti kegiatan pemilu tersebut. Di antaranya yakni adanya sebagian masyarakat yang tidak menggunakan hak suaranya, terdapat kampanye hitam dan permasalahan lainnya.

Bahkan yang baru – baru terjadi adalah adanya dugaan penistaan agama dalam hal demokrasi di tahun ini, khususnya pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Di mana hal tersebut menjadi berita dari ranah politik yang paling menggemparkan Indonesia, sehingga banyak masyarakat yang turut terlena pada maraknya pemberitaan hingga turut berkomentar. Demokrasi di Indonesia sendiri masih berada pada ranking bawah di dunia, di mana hal tersebut dapat saja disebabkan oleh adaya berbagai masalah yang menyelimuti kegiatan demokrasi tersebut. Berbagai masalah yang menyelimuti salah satu kegiatan politik yakni pemilu ini memang seharusnya ditemukan solusi tepat aga ke depannya masyarakat dapat merasakan peran demokrasi di Indonesia, dan kualitas demokrasi Indonesia menjadi lebih baik lagi agar pandangan demokrasi Indonesia di kancah internasional berada pada peringkat atas.

 

Tujuan dalam uraian di atas tentu harus dilakukan atas dukungan dari pemerintah dan juga masyarakat Indonesia sendiri, di mana masyarakat seharusnya lebih berfikir secara bijak daam menyikapi berbagai masalah pemilu dan demokrasi yang diselenggarakan untuk memilih wakil – wakil dan pemimpinnya. Sedangkan sebagai pemerintahan diharapkan mampu mengayomi, mengontrol atau mengawasi serta menyelenggarakan sistem demokrasi dengan terpadu dan berkala melalui berbagai macam pendekatan yang tidak merugikan orang banyak khususnya masyarakat Indonesia. Demokrasi yang selalu menjadi berita politik Indonesia bahkan di berbagai negara di dunia, memang sebaiknya diperlukan peran serta dan kerjasama antar masyarakat dan pemerintah agar tercipta kualitas demokrasi yang aman dan tanpa gangguan.  

Presiden kita JOKOWIDODO memberikan pernyataan bahwa Demokrasi kita kebablasan' mungkin kerap terdengar dalam percakapan politik sehari-hari. Namun kali ini pernyataan itu punya bobot lebih besar ketika diucapkan oleh Presiden Joko Widodo, kepala pemerintahan sekaligus kepala negara Republik Indonesia.

Pernyataan ini disampaikan oleh Jokowi dalam kesempatan pelantikan pengurus Partai Hanura di Sentul Jawa Barat, 21/02. Dalam kesempatan itu, Jokowi, seperti dikutip berbagai media, menyebutkan bahwa praktik demokrasi kita sudah membuka peluang terjadinya artikulasi politik yang ekstrim seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme dan terorisme serta ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila.

Bentuk nyata penyimpangan itu menurut Jokowi adalah politisasi SARA, yang menurutnya harus dihindari. Lebih lanjut Jokowi menyebutkan bahwa bertebarnya kebencian, kabar bohong, fitnah, saling memaki dan menghujat bisa menjurus kepada pecah belah bangsa.

Jokowi menyebutkan hal ini adalah ujian yang membuka peluang bangsa ini semakin dewasa, matang dan tahan uji. Ia kemudian mengimbau agar perilaku seperti ini dihentikan, dan kuncinya adalah pada penegakan hukum. "Aparat hukum harus tegas dan tidak usah ragu-ragu,"

Kapolri kita Jendral Tito Karnavian juga memberi tanggapan kondisi demokrasi di Indonesia saat ini. Tito mengingatkan agar warga tidak salah arah pascareformasi.

"Jangan sampai kita salah arah setelah reformasi. Kita lihat kita terapkan demokrasi. Pertanyaannya, apa demokrasi saat ini masih Pancasila atau bukan? Saya melihat bahwa sistem demokrasi saat ini sudah mengarah ke liberal," kata Tito dalam simposium nasional di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Senin (14/8/2017).

Tito punya alasan mengapa menyebut demokrasi mengarah ke liberal. Menurutnya, kebebasan berpendapat saat ini sudah terlalu luas.

"Kebebasan berpendapat di muka umum, kebebasan berekspresi, freedom, terlalu luas, terlalu lebar," sebutnya dalam simposium yang bertajuk 'Bangkit Bergerak, Pemuda Indonesia MajukanBangsa'.
Kalau terus didiamkan, justru akan terjadi konflik vertikal, yaitu ketidakpuasan kelas bawah yang ingin instan, cepat, adanya kesejahteraan. Sehingga siapa pun pemimpinnya, akan cepat dituntut kalau nggak ada perubahan dalam 2 atau 3 tahun," ujarnya.

Tak hanya itu, Tito juga menitip pesan kepada para pemuda dan mahasiswa. Pemuda dan mahasiswa, yang merupakan ujung tombak untuk merawat bangsa, harus tetap solid menjunjungPancasila.

"Jangan terlalu banyak kembali nostalgia, demo di lapangan, kemudian eksis segala macam. Itu mungkin cara lama. Cara baru kreativitas dengan inovasi," tuturnya

dianggap sudah sampai ke titik maksimal, bahkan melampauinya. Karena itu, yang terjadi adalah kondisi demokrasi yang tidak ideal atau bahkan kekacauan. Apakah kesimpulan ini memiliki dasar teoretis dan mencerminkan pendapat umum? Konsolidasi demokrasi Benarkah demokrasi Indonesia sudah sampai ke batas terjauh? Freedom House adalah lembaga pemeringkat kebebasan yang paling sering jadi rujukan. Menurut lembaga ini, sejak 2013, Indonesia kembali masuk era partly free setelah sebelumnya ada di posisi fully free. Alih-alih sampai ke level terjauh seperti dialami negara-negara yang mapan dalam demokrasi, Indonesia kini malah mundur dalam kualitas demokrasi dilihat dari unsur yang terpenting: kebebasan. Walaupun mundur dalam kualitas demokrasi, di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia terdepan dalam hal demokrasi dan kebebasan sipil. Indonesia bahkan satu di antara sedikit negara Asia yang menganut sistem demokrasi elektoral. Tentu saja, dibandingkan dengan negara-negara yang sudah mapan dalam demokrasi, seperti Eropa Barat, Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru, kualitas demokrasi kita masih tertinggal. Dengan demikian, pernyataan bahwa demokrasi Indonesia kebablasan yang artinya sudah pernah sampai ke titik terjauh tidak mendapat legitimasi teoretis dan faktual. Sekarang malah kualitas demokrasi kita mundur. Menurut Juan Linz dan Alfred Stepan, sebuah rezim demokratis disebut terkonsolidasi jika ia memenuhi tiga unsur. Pertama, unsur behavioral: tak ada aktor politik dominan yang mencoba meraih ambisi kuasanya dengan menciptakan rezim nondemokratis. Kedua, unsur sikap: mayoritas warga percaya bahwa prosedur dan institusi demokrasi adalah cara terbaik meraih kekuasaan. Ketiga, aspek konstitusional: baik pemerintah maupun kekuatan non-pemerintah bisa menyelesaikan sengketa dalam ruang hukum. Demokrasi terkonsolidasi jika ia menjadi satu-satunya prosedur dalam meraih kekuasaan, Dalam bahasa Linz dan Stepan, it is the only game in town. Dari aspek behavioral, hampir tak ada gerakan dominan di masyarakat yang mencoba mengganti sistem demokrasi. Kekuatan politik dominan sejauh ini masih sepakat berkompetisi dalam ruang demokrasi. Satu-satunya kelompok yang terang-terangan memobilisasi warga menolak demokrasi hanya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Namun, pengaruh mereka tak signifikan. Pada aspek sikap, mayoritas mutlak warga Indonesia tak tertarik dengan gagasan mengganti sistem demokrasi. Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan bahwa dukungan pada demokrasi sangat tinggi. Sekitar 68 persen warga menyatakan, walaupun tidak sempurna, demokrasi adalah sistem politik terbaik. Jika demokrasi kebablasan berarti demokrasi keluar dari jalur, pandangan ini juga tak memiliki basis dukungan publik. Mayoritas publik Indonesia justru menilai demokrasi kita saat ini sudah berjalan di jalur yang benar. Survei nasional SMRC yang dilakukan berkala menunjukkan dukungan yang konsisten bahwa demokrasi berjalan di jalur yang semestinya (78 persen pada survei November 2016). Selain menganggap demokrasi sebagai sistem terbaik dan sekarang berjalan pada jalur yang benar, publik juga mengapresiasi pemerintah yang menjalankan sistem ini. Tingkat kepuasan publik pada pemerintah, yang dalam hal ini diwakili oleh presiden, masih cukup tinggi, yakni 79 persen (survei November 2016). Hal ini berbeda dengan negara-negara demokratis lain. Pada banyak negara, umumnya publik sangat kritis dan skeptis terhadap jalannya pemerintahan. Mereka antipati pada penyelenggara negara dan parpol. Namun, tingkat penerimaan pada demokrasi sebagai sistem terbaik masih sangat tinggi. Fenomena di mana warga kritis pada penyelenggara sistem demokrasi tetapi percaya pada sistem oleh Pippa Norris dan kawan-kawan disebut fenomena critical citizens. Dalam hal ini, Indonesia tampak belum berada dalam kondisi itu. Yang terjadi adalah kondisi sempurna di mana warga menerima demokrasi sebagai sistem terbaik dan menganggap sistem ini dijalankan secara benar. Kekhawatiran presiden dan para elite lain tentang demokrasi yang kebablasan lagi-lagi tidak ada dasar dalam persepsi publik. Populisme Lalu dari mana narasi kebablasan itu muncul? Kemungkinan besar dari tendensi populisme elite. Tulisan Sheri Bermen di Foreign Affairs (November/Desember 2016), "Populism is not Fascism", menjelaskan perbedaan antara fasisme dan populisme dalam hubungannya dengan demokrasi. Tak sedikit yang menganggap populisme sama dengan fasisme karena muncul dari krisis yang melahirkan narasi pembelaan terhadap kepentingan bangsa. Mereka mengandaikan ada kekuatan luar yang hendak menghancurkan negeri dan mereka lahir untuk melawan dan melindungi. Ada "kita" yang diserang dan perlu mempertahankan diri, ada "mereka" yang menyerang sebagai musuh. Pada tataran itu, tampak bahwa para fasis dan populis menggunakan narasi yang mirip. Menjadi berbeda jika kita melihat bagaimana mereka memperlakukan sistem demokrasi. Para fasis menganggap demokrasi bagian dari ancaman atau setidaknya memperlemah posisi bangsa. Karena itu, yang pertama mereka hancurkan ketika berkuasa adalah sistem demokrasi, diganti dengan otoritarianisme. Sebaliknya, kaum populis datang dengan gagasan bahwa demokrasi ada dalam bahaya atau setidaknya sedang tidak dalam kondisi baik. Tuntutan utama mereka adalah memulihkan demokrasi yang mereka anggap sedang sakit. Di sini, narasi "demokrasi kebablasan" mendapat tempat. Merek ingin mendudukkan demokrasi yang keluar rel kembali ke jalur yang benar. Persoalannya, jalur demokrasi yang benar itu ada dalam persepsi para elite. Mereka mengandaikan tata kehidupan ideal yang jika itu tak terjadi, mereka merasa berhak mewujudkannya dengan menggunakan aparat yang mereka kuasai. Di sana, elite yang memiliki otoritas akan mulai mengintervensi kehidupan warga. Mereka mengintervensi percakapan dan gagasan warga. Mereka menentukan yang baik dan yang buruk bagi warga. Maka, akan muncul sensor percakapan publik. Media dibatasi. Film disensor. Gambar-gambar media diburamkan. Jurnalis ditangkap. Ekspresi beragama dibatasi. Jika itu yang terjadi, bukan tak mungkin predikat kita sebagai negara partly free akan semakin tenggelam ke unfree. Keriuhan yang terjadi belakangan ini tidak bisa diselesaikan dengan mengurangi kebebasan dasar yang menjadi fondasi tegaknya demokrasi. Yang perlu dilakukan justru memperluas kebebasan dengan menjamin hak setiap warga untuk tidak diperlakukan semenamena oleh orang lain atas dasar apa pun.

Sistem demokrasi yang berjalan di Indonesia

 

Demokrasi Liberal (1950-1959)

Demokrasi liberal atau demokrasi parlementer berlaku pada tahun 1950—1959. Pada saat itu, konstitusi yang berlaku adalah UUDS 1950. Berdasarkan UUDS 1950, sistem pemerintahan dan demokrasi yang diterapkan di Indonesia, yaitu sistem parlementer dan demokrasi liberal. Artinya, kabinet yang menterinya diajukan oleh parlemen (DPR) dan bertanggung jawab kepada parlemen (DPR).

Dalam sistem parlementer ini, kepala pemerintahan adalah perdana menteri dan presiden hanya sebagai kepala negara. Masa demokrasi liberal ini membawa dampak yang cukup besar, memengaruhi keadaan, situasi dan kondisi politik pada waktu itu. Dampaknya, yaitu:

  • Pembangunan tidak berjalan lancar karena kabinet selalu silih berganti.
  • Tidak ada partai yang dominan maka seorang kepala negara terpaksa bersikap mengambang di antara kepentingan banyak partai.
  • Dalam sistem multi partai, tidak pernah ada lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif yang kuat.
  • Munculnya pemberontakan di berbagai daerah (DII/TII, Permesta, APRA, RMS).
  • Memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintahan saat itu.

Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara. Akhirnya, pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945, serta tidak berlakunya UUDS 1950.

DEMOKRASI DI INDONESIA SAAT INI

 

Setelah Demokrasi Indonesia pasca kolonial, kita mendapati peran demokrasi yang makin luas. Pada saat zaman Soekarno, kita mengenal beberapa model demokrasi. Partai-partai Nasionalis, Komunis hingga Islamis hampir semua mengatakan bahwa demokrasi itu merupakan sesuatu yang ideal. Bahkan bagi mereka, demokrasi bukan hanya sebagai sarana, tetapi demokrasi akan mencapai sesuatu yang ideal. Bebas dari penjajahan serta mencapai kemerdekaan merupakan tujuan saat itu, yaitu mencapai sebuah demokrasi. Oleh karena itu, orang makin menyukai demokrasi.

Adapun Demokrasi yang berjalan di Indonesia pada saat ini dapat dikatakan merupakan Demokrasi Liberal. Dalam sistem Pemilu mengindikasi sistem demokrasi liberal di Indonesia antara lain sebagai berikut:

1. Pemilu multi partai yang diikuti oleh banyak partai. Paling sedikit sejak reformasi, Pemilu diikuti oleh sekitar 24 partai (Pemilu 2004), paling banyak ialah 48 Partai (Pemilu 1999). Pemilu bebas berdiri sesuka hati, asal memenuhi beberapa syarat yang ditetapkan KPU. Kalau semua partai diijinkan ikut Pemilu, bisa muncul ratusan hingga ribuan partai.

2. Pemilu selain memilih anggota dewan (DPR/DPRD), memilih anggota DPD (senat). Dan anggota DPD ini nyaris tidak ada guna dan kerjanya, hal itu juga mencontoh sistem di Amerika yang mengenal kedudukan para anggota senat (senator).

3. Pemilihan Presiden secara langsung sejak tahun 2004. Bukan hanya sosok presiden, tetapi juga wakil presidennya. Untuk Pilpres, mekanisme nyaris serupa dengan pemilu partai, hanya saja obyek yang dipilih berupa pasangan calon. Kadang, kalau dalam sekali Pilpres tidak diperoleh pemenang mutlak, dan dilakukan pemilu putaran kedua, untuk mendapatkan legitimasi suara yang kuat.

4. Pemilihan pejabat-pejabat birokrasi secara langsung (Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah), yaitu pilkada gubernur, walikota, dan bupati. Lagi-lagi polanya persis semacam pemilu Partai atau pemilu Presiden. Hanya sosok yang dipilih & level jabatannya berbeda. Disana ada penjaringan calon, kampanye, proses pemilihan, dan sebagainya.

5. Adanya badan khusus penyelenggara Pemilu, yakni KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebagai panitia, dan Panwaslu (Penitia Pengawas Pemilu) sebagai pengawas proses pemilu. Belum lagi tim pengamat independen yang dibentuk secara swadaya. Dan disini dibutuhkan birokrasi tersendiri dalam menyelenggarakan Pemilu, meskipun pada dasarnya birokrasi itu masih bergantung kepada Pemerintah juga.

6. Adanya lembaga survey, lembaga pooling, lembaga riset, dan lain-lain. yang aktif melakukan riset seputar perilaku pemilih atau calon pemilih dalam Pemilu. Termasuk adanya media-media yang aktif dalam melakukan pemantauan proses pemilu, pra pelaksanaan, saat pelaksanaan, maupun paca pelaksanaan.

7. Demokrasi di Indonesia amat sangat membutuhkan modal (uang). Banyak sekali biaya yang harus dibutuhkan untuk memenangkan Pemilu. Konsekuensinya, pihak-pihak yang berkantong tebal, mereka lebih berpeluang memenangkan Pemilu, daripada orang-orang yang idealis, tetapi miskin harta. Akhirnya, hitam-putihnya politik tergantung dengan tebal-tipisnya kantong para politisi.

Oleh karena itu, sinkronisasi antara demokrasi dengan pembangunan nasional haruslah sejalan bukan malah sebaliknya demokrasi yang ditegakkan hanya merupakan untuk pemenuhan kepentingan partai dan kelompok tertentu saja. Jadi, demokrasi yang kita terapkan sekarang haruslah mengacu pada sendi-sendi bangsa Indonesia yang berdasarkan filsafah bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar