Sutradara :Riri Riza
Produser :Mira Lesmana
Penulis :Riri Riza
Pemeran : Nicholas Saputra, Wulan Guritno,Indra Birowo, Lukman Sardi, Sita Nursanti, Thomas Nawilis, Jonathan Mulia, Christian Audy, Donny Alamsyah, Robby Tumewu, Tutie Kirana, Gino Korompis, Surya Saputra, Happy Salma
Distributor :Sinemart Pictures
Durasi :147 menit
Soe Hok Gie lahir di Jakarta, 17 Desember 1942. Sejak tahun 1956 di masa SMP Soe Hok Gie sudah memiliki sifat yang berani untuk melawan tindakan semena-mena. Dia sudah tertarik dengan karya-karya sastra seperti karangan Mahatma Gandhi. Di tahun 1959, saat itu Soe Hok Gie masih mengenyam pendidikan di SMA Kolese Kanisius. Dia sudah terbiasa dengan membaca koran dan mendengar radio sehingga mengerti benar apa yang sedang terjadi di Indonesia, saat itu dia menyadari benar demokrasi yang sebenarnya bukan demokrasi "…kita seolah-olah merayakan demokrasi tapi memotong lidah-lidah orang yang mengemukakan pendapat mereka yang merugikan pemerintahan…". Soe Hok Gie di masa SMA sudah sering menulis pendapatnya dan dipajang di mading sekolah. Dia percaya bahwa generasi muda bertugas untuk menghancurkan kekacauan yang sudah terjadi seperti korupsi. Tahun 1963, Soe Hok Gie selalu menjadi pembicara di kalangan teman-temannya tentang politik di Indonesia, mengemukakan pendapatnya dengan tujuan menggerakkan generasi muda dalam memperjuangkan kebenaran di tengah kekacauan politik seperti kapitalisme yang saat itu merajalela di Indonesia. Karena pemikirannya, seorang ketua partai sosialis memintanya bergabung dalam kampanye. Pernah suatu kali Soe Hok Gie berkesempatan untuk menemui Soekarno. Menurutnya, Soekarno memiliki 3 gelar seperti raja-raja, seperti gelar politik, gelar militer dan gelar agama. Karena itu beliau bersikap seperti raja-raja terdahulu; beristri banyak dan mendirikan keraton-keraton. Soekarno menentang nasionalis. Soe Hok Gie berpendapat bahwa lebih baik berkata tidak pada Soekarno. Di tengah gencarnya dia mengemukakan pendapatnya tentang politik beserta idealis pemikirannya, dia juga dekat dengan seorang wanita bernama Ira, wanita ini seringkali hadir dan mendengarkan ceramah Soe Hok Gie dengan seksama. Suatu ketika Soe Hok Gie bertemu kembali dengan teman lamanya, Han, yang mendukung gerakan komunis. Tetapi tidak bagi Soe Hok Gie, dia lebih memilih tidak terhadap semua partai karena menurutnya itu semua adalah permainan politik. Di UI saat itu sudah ada banyak partai dan golongan yang masuk kedalam universitas dari GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia). Tapi Soe Hok Gie berharap bahwa mahasiswa dapat memilih keputusan atas prinsip dewasa tanpa melibatkan agama, ras, ormas atau golongan manapun. "Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor" begitulah ungkapannya terhadap pandangannya tentang politik. 1 Oktober 1965, keadaan politik di Indonesia semakin parah, situasi semakin berbahaya dengan munculnya berita penculikan Ahmad Yani. Saat itu, ada 2 organisasi yang memiliki pengaruh besar di Indonesia, yaitu anti komunis dan PKI, Soekarno lebih condong ke PKI demi politik keseimbangan. Januari 1966, untuk menghancurkan gerakan anti-komunis, Soekarno menaikkan harga-harga sasarannya untuk membuat masyarakat khawatir dan lupa tujuannya untuk menumpas PKI. Mahasiswa UI saat itu bergabung menjadi satu dengan tujuan menghancurkan PKI, tetapi Soe Hok Gie menilai harus ada keseimbangan ekonomi dan tidak boleh banyak menuntut, jika tidak akan terjadi 'Chaos'. Februari 1966, Soekarno menyatakan untuk tidak membubarkan PKI dan tidak menurunkan harga, sehingga puluhan mahasiswa kembali berdemo tetapi dihentikan oleh ABRI. Dimana organisasi anti-komunis juga bergerak yang salah satunya menangkap orang-orang yang berhubungan dengan PKI dan salah satu yang tertangkap adalah Han, teman Soe Hok Gie. Di Bali terdapat peristiwa pembunuhan bagi mereka yang dianggap PKI, total korbannya adalah 80.000 jiwa. Walaupun situasi sudah genting tetap saja Soe Hok Gie menulis apa yang ada dipikirannya termasuk apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa Bali tersebut, sehingga banyak orang yang menjauhinya. "lebih baik saya diasingkan dari pada menyerah pada kemunafikan" itulah kata-kata yang diucapkan di tengah orang-orang yang mulai mundur dalam perjuangan. Soe Hok Gie mulai diincar oleh orang-orang yang tidak senang dengan pemikirannya. Soe Hok Gie meninggal pada 16 Desember 1969, Semeru-Jawa Timur, Indonesia. Saran kepada pembaca adalah kita harus berani seperti Soe Hok Gie dan menentang dengan tegas apa yang menurut kita tidak patut dilakukan, bukan hanya duduk diam di tempat mengikuti alur.
Sutradara: Olla Ata Adonara
Penulis: Dyah Kalsitorini
Pemain: Tika Bravani, David Chalik, Cok Simbara, Della Puspita, Rara Nawangsih, Egy Fadly, Inne Azri, Malvino Fajaro
Sinopsis Mengenai Film Nyai Ahmad Dahlan 2017
Film biografi Indonesia berjudul "Nyai Ahmad Dahlan" ini merupakan film yang bercerita tentang kisah dari seorang wanita bernama Siti Walidah ( Tika Bravani ) yang lebih dikenal dengan 'Nyai Ahmad Dahlan. Sejak kecil Siti Walidah memiliki impian untuk menjadi seorang yang pintar, Siti Walidah lahir pada tahun 1872 di sebuah Kampung Kauman. Pada saat zaman tersebut, perempuan memiliki pergaulan yang sangat terbatas dan tidak belajar di sekolah formal. Setelah dewasa, Siti Walidah menikah dengan seorang pria bernama KH Ahmad Dahlan ( David Chalik ) dan dengan menjadi istri beliau menjadi Nyai Ahmad Dahlan. Kyai Ahmad Dahlan merupakan seorang sosok lelaki yang memiliki pikiran maju dan mendukung istrinya untuk bersama membangun bangsa Indonesia. Kyai Ahmad Dahlan bersama dengan Nyai Ahmad Dahlan juga dengan segala kecerdasannya ikut membangun dan membesarkan Muhammadiyah. Karena pergaulan dari Nyai Ahmad Dahlan bersama dengan para tokoh-tokoh, baik dari tokoh dari Muhammadiyah dan juga tokoh pemimpin bangsa lainnya dan kebanyakan dari teman seperjuangan suaminya, wawasan dan pandangan dari Nyai Ahmad Dahlan menjadi sangat luas. Tokoh-tokoh pemimpin bangsa tersebut tidak lain adalah Bung Karno, Bung Tomo, Jenderal Sudirman, KH Mas Mansyur dan lain-lainnya. Setelah mendirikan dan membesarkan Muhammadiyah, Nyai Ahmad Dahlan turut merintis sebuah kelompok pengajian demi pengajian untuk memberikan ilmu keagamaan bagi para semua wanita hingga terbentuknya organasisai yang dikenal dengan 'Aisyiyah'. Pada zaman tersebut, tidak mudah untuk membesarkan organasasi wanita, Nyai Ahmad Dahlan bersama dengan para pengurus Aisyiyah harus berjuang memajukan perempuan yang bermanfaat bagi keluarga, bangsa dan negara. Menurut Nyai Ahmad Dahlan, bahwa wanita juga sepadan perannya dengan lelaki namun tidak boleh sampai melupakan fitrahnya sebagai seorang wanita. Pada saat Jepang masuk ke Indonesia, beliau menentang para penjajah Jepang dengan melarang para warga untuk menyembah dewa matahari. Bersama dengan para warga, beliau mendirikan dapur umum bagi para pejuang untuk melawan para penjajah. Kehidupan bersama dengan KH Ahmad Dahlan, Nyai Ahmad Dahlan juga saling mendukung dalam hal membangun bangsa tergambar begitu indah. Dengan cinta menjadi landasan dalam menjalani hidup dan perjuangan.
FILM SANG PENCERAH
Judul Film : Sang Pencerah
Director : Hanung Bramantyo
Running Time : 112 minute
Genre : Historical (sejarah), Indonesia Tahun : 2010
Sebagai orang yang pernah menimba ilmu agama di Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Muhammadiyah dan alumnus SD Muhammadiyah di Garut (1964-1969), saya tertarik melihat film Sang Pencerah (SP) garapan Hanung Bramantyo. Sineas muda yang juga menggarap AAC (Ayat Ayat Cinta) ini memang patut diacungi jempol. Muhammadiyah sejak pendiriannya memang didedikasikan untuk dunia pendidikan dan kesehatan. Jadi, wajar kalau saat ini kita temukan pendidikan dasar, menengah dan tinggi Muhammadiyah di Nusantara ini. Dan di kompleks pendidikan Muhammadiyah itu selalu ada BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak) dan PA (Panti Asuhan). Secara keseluruhan film SP itu sangat bagus ditinjau dari segi kandungan, alur cerita, seni penataan musik, dan segi perfilman lainnya. Paling tidak, sebagai orang awam-film, saya dapat menikmati nonton film SP, mampu memberikan atensi terhadap film tersebut, duduk dengan tenang. Muhammad Darwis (nama KH Ahmad Dahlan) sebelum ke Mekkah) selalu bertanya di dalam hatinya. Mengapa agama yang diyakininya sebagai rahmatan lilalamin (rahmat atau kebaikan bagi seluruh alam) justru tidak nampak. Secara fakta banyak sekali masyarakat yang terlantar dan seakan-akan dibiarkan oleh para pemuka agama. Orang-orang miskin dibiarkan melarat seakan sudah menjadi takdir mereka, nyata-nyata di hadapan masjid. Kesehatan masyarakat sangat rapuh. Tidak ada yang tergerak hatinya untuk memperbaiki hidup dan kehidupan mereka. Para pemuka agama dan pengikutnya tidak terusik dan sibuk dengan ritual keagamaan. Setiap hari mereka sholat berjamaah, sementara masyarakat miskin di sekitar masjid sudah kehilangan harapan hidup. Situasi demikian kontras, dan dari hari ke hari semakin banyak jumlah. Pemahaman agama juga bercampur aduk dengan kepercayaan mistik berlebih-lebihan. Sesajen berbagai jenis makanan terbuang begitu saja. Sangat mubah. Upacara tahlilan sangat berlebihan. Bahkan mereka yang sudah kehilangan saudaranya juga harus melaksanakan tahlilan yang overdosis, membuat masyarakat menjadi sedih lahir dan batin. Masyarakat menganggap bahwa tahlilan adalah kewajiban agama. Darwis merasa yakin bahwa ini bukan esensi beragama. Pasti ada kesalahan pemahaman terhadap agama yang sebenarnya untuk rahmatan lilalamin. Bila sebuah kebiasaan lalu dibungkus dengan kepercayaan sebagai sesuatu yang sakral, maka kebiasaan itu dianggap sebuah kebenaran. Keluar dari kebiasaan itu berarti pelanggaran. Orang lain akan menganggap mereka yang tidak sama kebiasaannya bukanlah kelompoknya, bukan orang-orang beriman alias kafir. Situasi ini dimanfaatkan oleh penguasa (penjajah), bila menguntungkan maka akan diteruskan dan dilindungi seolah-olah inilah ajaran Tuhan yang wajib ditaati. Bila kebiasaan ini mengusik kenikmatan atasan (pemimpin umat, pemerintah, penjajah) maka itu harus dimusnahkan. Keadaan bercampur aduk dengan pimpinan agama yang vested dan mudah memberi cap kafir bagi mereka yang tidak sepaham. Itulah secara umum yang terjadi di sekitar Ngayogyakarta pada saat itu. Cap kafir ini sangat mujarab sehingga orang tidak ada yang mempertanyakan kekeliruan ini terus terjadi. Para pengikut agama yakin seyakin yakinnya bahwa perilaku kafir adalah sebesar-besarnya dosa. Jadi, harus dijauhi. Tetapi mereka banyak yang tidak paham makna iman, musyrik, mistik, sholat, ibadah, kafir, dan sesajen campur baur menjadi kepercayaan seakan kebenaran ajaran yang wajib ditaati. Tanpa reserve. Ketika Darwis membahas semua itu dengan ayahandanya yang diperankan oleh Ikrangera, sang ayah tidak sepenuhnya menerima. Dikatakannya bahwa agama itu bukan soal akal saja, tetapi juga harus dengan hati. Pernyataan ini ada benarnya, tetapi hati yang bagaimana dulu? Hati yang sudah dilumuti kesenangan duniawi, kedudukan, kepangkatan, kewibawaan, tentunya akan memelihara kebiasaan yang dibungkus dengan kepercayaan yang seolah-olah agung. Tidak jarang hati seperti ini justru telah mengikat kita dengan ketamakan duniawi. Kita tidak lagi menjadi bebas, tetapi terperdaya oleh hawa nafsu. Muhammad Darwis tetap tidak bisa menerima situasi demikian. Tetapi bagaimana caranya? Inilah yang menjadi esensi perjuangannya. Darwis lalu pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah al Mukaramah. Di sanalah Darwis sempat membaca pemikiran-pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Muhammad Abduh (1849-1905) pemikir modern dari Mesir yang menekankan betapa pentingya akal. Seperti yang dituangkan di dalam Surah Al-Baqarah (30-34) tentang kejadian manusia, jelas sekali bahwa kelebihan manusia di atas makhluk hidup lainnya adalah karena kekuatan akalnya. Akal-fikiran itulah yang membuat manusia layak menjadi khalifatul-fil-ardli (pemimpin di muka bumi). Abduh mengajarkan bahwa manusia diberikan anugerah intelegensia oleh Allah, untuk dipergunakan. Manusia bukanlah kerbau yang ditusuk hidungnya lalu mengekor ke mana saja maunya pimpinan. Abduh berprinsip bahwa kebebasan berpikir untuk selalu bertanya dan berinovasi adalah modal kemajuan sebuah negara. Negara maju, menurut Abduh, adalah negara yang pandai menggunakan otaknya. Dengan demikian, ilmu pengetahuan terus berkembang sesuai dengan kemajuan zaman. Itulah kelebihan orang Barat ketimbang Timur. Dalam konteks ini barangkali Abduh berpendapat "saya melihat Islam di negara Barat, tetapi sedikit Muslim. Dan saya melihat banyak Muslim di Timur, tetapi tidak ada Islam". Abduh juga dikenal dekat dengan tokoh-tokoh dari kalangan Nasrani dan Yahudi. Rupanya pemikiran Abduh sejalan dengan apa yang dipikirkan Darwis. Tidak heran kalau Darwis sering berpendapat bahwa guru agama bukanlah yang menentukan segalanya. Kebenaran harus bersama-sama dicari, bukan hanya milik guru. Pola pendidikan ini tentu sangat berbeda diametral dengan yang selama ini dianggap kebenaran di Ngayogyakarta, yakni petuah guru adalah kebenaran. Murid hanya boleh mengikuti, tanpa ada bantahan sedikitpun. Seperti kebiasaan masa itu, orang Indonesia yang pergi berhaji, lalu mendapat nama baru. Begitupun Darwis, namanya jadi Ahmad Dahlan (AD). Dengan bekal nalar yang kuat ditambah pengetahuan agama yang semakin banyak selama di Makkah al-Mukaramah, AD semakin memiliki modal untuk melakukan perubahan. Sepulang dari Mekah, AD dijadikan Imam Masjid di Kauman dan berhak memberikan tausiah. Ceramah-ceramahnya agak berbeda dengan para kiai umumnya waktu itu yang sangat menekankan penerimaan tanpa banyak bertanya, AD justru menekankan betapa pentingnya akal. Bertanya dan diskusi adalah modal awal untuk maju. AD juga mengajarkan bahwa Al-Qur'an dapat dikaji sesuai dengan nuansa ke kinian, tidak statis tapi dinamis. Tentu saja tausiah model ini cukup membuat para kiai saat itu merinding, karena sudah keluar dari pakem. Dengan bekal pengetahuannya tentang ilmu bumi dan penggunaan kompas, AD mempertanyakan arah sholat yang sudah bertahun-tahun diterima sebagai suatu kebenaran. Inipun membuat hampir semua jamaah terutama para kiainya tersinggung. Mereka tidak mau menerima penjelasan berbasis ilmu pengetahuan yang dipakai AD. Inilah barangkali yang ada di dalam salah satu ayat Surah Al-Baqarah 'tertutuplah mata dan hatinya, sehingga mereka tidak mau belajar'. Ahmad Dahlan bependapat bahwa penggunaan alat dan ilmu pengetahuan Karena perbedaan yang dianggap prinsipil, maka AD diberhentikan dari jabatan Imam mesjid. Dan AD membuat mesjid kecil sekalian dipergunakan untuk belajar mereka yang mulai berpikir terbuka. Para muridnya memanggil kiayi, lengkapnya Kiai Haji Ahmad Dahlan (KHAD). Pola pengajiannya sangat berbeda dengan kebiasaan saat itu. Ketika ada beberapa orang muda tertarik dengan pemikiran KHAD bertanya apa itu agama. KHAD malah memainkan biolanya yang membuat orang-orang muda menjadi tenang mendengar kesyahduannya. Lalu biola itu diberikan kepada salah seorang pemuda dan diminta memainkannya. Keruan saja suaranya menjadi berantakan, karena pemuda itu tidak punya ilmu dan keahlian memainkan biola. Seusai itu KHAD menerangkan makna agama 'Agama bagaikan musik indah yang mampu memberikan kesyahduan, ketenangan, dan kebahagiaan. Tetapi harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan, kalau tidak malah bisa menjadi kacau dan jadi bahan tertawaan'. Perjuangannya semakin mendapat tantangan dan tidak jarang KHAD dikategorikan orang kafir. Akan tetapi KHAD semakin "keukeuh" bahwa perubahan harus dilakukan. Maka KHAD mempelajari organisasi-organisasi modern yang mengajak pada perubahan, terutama Budi Utomo. Dari situ muncullah inspirasi pendirian Muhammadiyah. Maka lahirlah Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912, sebagai perserikatan non-politik. Berbasis perjuangan melalui pendidikan dan kesehatan Muhammadiyah terus berkembang secara kuantitatif. Secara kualitatif, Muhammadiyah harus mulai introspeksi, karena tantangan zamannya juga semakin kompleks. Tanpa harus berubah menjadi sebuah partai, Muhammadiyah bisa dengan tegar memberikan masukan kepada penyelenggara negara. Yang jelas, titipan KHAD harus terus dipegang "hidupilah Muhammadiyah, tetapi jangan mencari penghidupan dari Muhammadiyah". Insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar