Resensi Film Soe Hok Gie
Film ini diproduksi ke dalam layar lebar seluloid dengan tata suara yang tak yakin terdengar stereo. Saya tak tahu apakah memang sulit melakukan mixing 4 kanal suara (surround, center dan subwoofer bisa virtual dari filtering kiri/kanan)? Kecuali pada saat syuting dan editing input suara memang hanya sedikit, jadi sayang kualitas teater dengan tata suara DTS tidak terpakai. Okelah, mungkin tata suara surround terlalu canggih, saya lihat sistem stereonya saja, di banyak adegan sering terjadi tumpang tindih, narasi bertabrakan dengan backsoundhingga saya sulit mendengar, terkadang backsound volumenya terlalu kencang dibandingkan narasi atau dialog. Saya tidak tahu ini kesalahan di tata suara teater ataukah memang dari seluloidnya seperti itu. Ah, ngejelekkin mulu! Film ini dikemas dengan setting yang baik, meskipun saya tidak tahu persis seperti apa kondisi jalan, rumah, pakaian, budaya dan tata bahasa tahun 1950-an hingga akhir 1960-an. Hanya para orang tua kita yang bisa mengkonfirmasikan apakah benar Jakarta pada tahun itu kata-kata 'gue' dan 'lu' sudah sangat membudaya? Apakah benar tahun tersebut sudah ada jam tangan bulat tipis yang dipakai Gie? Orang tua saya dulu tidak tinggal di Jakarta, jadi saya tidak ada tempat bertanya. Eh, anak Betawi yang bonyoknya lama di Jakarta kasih tahu gue ye! Diawali dengan narasi Gie yang datar seperti seseorang bercerita kepada anak kecil mulai mendeskripsikan siapa itu Soe Hok Gie, pikirannya, keluarganya dan lingkungannya. Dialog dan adegan perlahan-lahan ditunjukkan untuk menampilkancharacter development Gie dari sejak SMP hingga masuk Kolese Kanisius. Satu yang tak saya suka adalah pergantian adegan ke adegan diselingi layar hitam selama beberapa detik, buat saya ini cukup mengganggu. Dalam menonton film di bioskop mata dan telinga saya tak butuh istirahat, atau menghela nafas sejenak. Memasuki Fakultas Sastra UI karakter Gie semakin ditunjukkan penuh konflik, ketidakpuasannya terhadap pemerintahan, keprihatinannya kepada masyarakat, pandangannya kepada perempuan, bahkan kepada pola dan budaya kemahasiswaan di kampusnya. Gie memang tak mau menjadi top leader di kampusnya namun ia punya dukungan penuh kepada sahabatnya Herman Lantang, yang selain aktif bersama di kemahasiswaan juga bersama-sama membentuk organisasi hobi yang waktu itu bisa dikatakan gila di jaman revolusi, yaitu naik gunung. Jika anda membaca Catatan Seorang Demonstran tentu anda berharap adegan-adegan demonstrasi yang dimotori oleh Gie dan sahabat-sahabatnya, bahkan cukup detil dituliskan dalam catatan hariannya. Memang tidak banyak ditunjukkan dan saya sempat berpikir bahwa film ini akan menyodorkan bagaimana proses sebuah demonstrasi mahasiswa disiapkan secara teknis dan nonteknisnya, saya tak berharap ada adegan demonstrasi kolosal yang mahal. Di sisi lain kegiatan hobinya naik gunung kurang ditunjukkan, sebab saya ingin tahu pada tahun itu seperti apa mereka menyiapkan peralatan naik gunung yang tentunya tak mudah didapatkan seperti sekarang, dan hal ini ada penjelasannya di buku CSD. Di film ini cakrawala lebar hanya bisa anda dapatkan dalam setting di gunung, termasuk di padang Edelweiss (padang Suryakencana kalau tidak salah namanya) Gunung Gede dan puncak triangulasi Gunung Pangrango (saya pernah duduk juga di puncak Pangrango tersebut dan tidur di kelilingi bunga Edelweiss yang berlimpah), sedangkan di kota hanyalah sudut-sudut kamera sempit namun cukup tertata dalam menggambarkan suasana kota lama Jakarta. Satu yang kurang dari film ini adalah Gie pernah melakukan perjalanan ke luar negeri yaitu ke Amerika dan ke Australia di tahun 1968, setahun sebelum Mapala UI menyiapkan pendakian ke puncak tertinggi di pulau Jawa yaitu gunung Semeru, namun tidak ada deskripsi atau adegan tentang hal ini, memang cukup mengecewakan, namun bisa dimengerti jika alasannya adalah sulit dan mahalnya pengambilan gambar. Salah satu catatannya selama ke Australia adalah piringan hitam Joan Baez-nya ditahan di bandara. Di waktu sebelumnya Sita menyanyikan lagu Donna Donna Donna dengan apik, bahkan cukup menyayat hati mendengar kembali lagu tersebut di film Gie. Lagu "Donna Donna Donna" dulu saya dengarkan sambil membaca buku CSD, yang cukup memengaruhi saya menyukai lagu-lagu Joan Baez yang lain, terutama lagu Diamond and Rust (1975).
RESENSI NOVEL THE DA VINCI CODE
Judul Buku : The Da Vinci Code
Pengarang : Dan Brown
Penerjemah : Ingrid Dwijani Nimpoeno
Penerbit : Penerbit Bentang
Tahun Terbit : 2013
Jacques Saunire adalah seorang ahli simbologi dan kurator seni dari Museum Louvre. Robert Langdon yang merupakan seorang Pakar Simbiologi mendapat telepon yang mengabarkan bahwa Jacques Saunire tewas dalam keadaan yang tidak wajar, yakni dalam keadaan tidak berbusana dan posisinya sama dengan lukisan karya Leonardo Da Vinci dan dan perut yang terlukis simbol pentakel oleh darahnya sendiri yaitu The Vitruvian Man. Bezu Fache merupakan seorang kapten Central Directorate Judicial Police (DCPD) Perancis dan ia meminta Robert Langdon agar memecahkan makna simbol-simbol pada kematian Jacques Saunire. Fache mencurigai Langdon sebagai pelaku pembunuhan Sauniere, hal tersebut dikarenakan kode yang tertulis disamping mayat Sauniere, kemudian diperkuat dengan adanya agenda pertemuan antara Langdon dan Sauniere. Sebab itu, Fache ingin menangkap Langdon ke Museum Louvre, namun untuk menghindari adanya kecurigaan Fache beralasan untuk memanggil Langdon agar membantunya dalam proses penyelidikan. Selain itu, DCPD mendapat bantuan dari departemen kriptografi yaitu Sophie Neveu. Kehadiran Sophie Neveu menghadirkan beberapa informasi terkait kematian Sauniere, tidak hanya itu ia pun memberi informasi rahasia kepada Langdon bahwa sebenarnya Fache berniat menangkap Langdon. Sophie Neveu juga memberitahu Langdon bahwa ia adalah cucu dari Sauniere. Oleh karena itu, Langdon dan Sauniere melarikan diri dari kejaran DCPD. Dari perjalanan penyelidikan kematian Sauniere, lambat laun mereka mengungkap rahasia dibalik Sauniere yang ternyata adalah anggota dari Priory of Sion. Priory of Sion adalah perkumpulan rahasia yang pernah dipimpin oleh Isaac Newton dan Leonardo da Vinci, perkumpulan ini bertugas melindungi rahasia keturunan Yesus dan Holy Grail (Cawan Suci).
KEKURANGAN :
Novel ini banyak menuai kontroversi dari berbagai belah pihak dan komentar positif maupun negatif. Hal ini dikarenakan novel ini mengandung teori dari kristenitas. Namun buku ini menjadi novel terlaris pada tahun 2009 bahkan cerita dari The Da Vinci Code telah diadaptasi ke film layar lebar. Kesuksesan tersebut diperoleh karena cerita yang dikemas dengan menarik dan banyak mengandung kode-kode maupun misteri yang membuat penasaran pembaca.
KEUNGGULAN :
Salah satu hal yang menarik dari novel ini adalah pembagian bab dalam cerita di dalamnya karena Dan Brown seringkali melakukan peralihan fokus tokoh. Pada bab pertama fokus cerita adalah kepada tokoh Robert Langdon kemudian pada bab kedua berganti menjadi Sophie Neveu dan begitu juga dengan bab-bab sesudahnya. Dan Brown juga sering menyelipkan bab pendek di antara cerita, dengan pengaturan bab sedemikian rupa, pembaca akan dipermudah untuk berhenti sejenak untuk melanjutkan ke bab selanjutnya.
SARAN :
Kekurangan dalam buku ini menurut saya hanya terletak pada pencetakan bukunya yang mana buku dicetak tidak seperti ukuran buku lainnya yang lebar. Buku ini dicetak dengan ukuran yang kecil sehingga halamannya terlihat sangat banyak. Hal tersebut membuat saya sulit untuk membawanya ke mana-mana.
KESIMPULAN : Buku sangat mendidik bermotivasi untuk di pelajari
RESENSI FILM GIE
Sutradara :Riri Riza
Produser :Mira Lesmana
Penulis :Riri Riza
Pemeran : Nicholas Saputra, Wulan Guritno,Indra Birowo, Lukman Sardi, Sita Nursanti, Thomas Nawilis, Jonathan Mulia, Christian Audy, Donny Alamsyah, Robby Tumewu, Tutie Kirana, Gino Korompis, Surya Saputra, Happy Salma
Distributor :Sinemart Pictures
Durasi :147 menit
Soe Hok Gie lahir di Jakarta, 17 Desember 1942. Sejak tahun 1956 di masa SMP Soe Hok Gie sudah memiliki sifat yang berani untuk melawan tindakan semena-mena. Dia sudah tertarik dengan karya-karya sastra seperti karangan Mahatma Gandhi. Di tahun 1959, saat itu Soe Hok Gie masih mengenyam pendidikan di SMA Kolese Kanisius. Dia sudah terbiasa dengan membaca koran dan mendengar radio sehingga mengerti benar apa yang sedang terjadi di Indonesia, saat itu dia menyadari benar demokrasi yang sebenarnya bukan demokrasi "…kita seolah-olah merayakan demokrasi tapi memotong lidah-lidah orang yang mengemukakan pendapat mereka yang merugikan pemerintahan…". Soe Hok Gie di masa SMA sudah sering menulis pendapatnya dan dipajang di mading sekolah. Dia percaya bahwa generasi muda bertugas untuk menghancurkan kekacauan yang sudah terjadi seperti korupsi.
Tahun 1963, Soe Hok Gie selalu menjadi pembicara di kalangan teman-temannya tentang politik di Indonesia, mengemukakan pendapatnya dengan tujuan menggerakkan generasi muda dalam memperjuangkan kebenaran di tengah kekacauan politik seperti kapitalisme yang saat itu merajalela di Indonesia. Karena pemikirannya, seorang ketua partai sosialis memintanya bergabung dalam kampanye. Pernah suatu kali Soe Hok Gie berkesempatan untuk menemui Soekarno. Menurutnya, Soekarno memiliki 3 gelar seperti raja-raja, seperti gelar politik, gelar militer dan gelar agama. Karena itu beliau bersikap seperti raja-raja terdahulu; beristri banyak dan mendirikan keraton-keraton. Soekarno menentang nasionalis. Soe Hok Gie berpendapat bahwa lebih baik berkata tidak pada Soekarno
Di tengah gencarnya dia mengemukakan pendapatnya tentang politik beserta idealis pemikirannya, dia juga dekat dengan seorang wanita bernama Ira, wanita ini seringkali hadir dan mendengarkan ceramah Soe Hok Gie dengan seksama. Suatu ketika Soe Hok Gie bertemu kembali dengan teman lamanya, Han, yang mendukung gerakan komunis. Tetapi tidak bagi Soe Hok Gie, dia lebih memilih tidak terhadap semua partai karena menurutnya itu semua adalah permainan politik. Di UI saat itu sudah ada banyak partai dan golongan yang masuk kedalam universitas dari GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia). Tapi Soe Hok Gie berharap bahwa mahasiswa dapat memilih keputusan atas prinsip dewasa tanpa melibatkan agama, ras, ormas atau golongan manapun. "Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor" begitulah ungkapannya terhadap pandangannya tentang politik.
1 Oktober 1965, keadaan politik di Indonesia semakin parah, situasi semakin berbahaya dengan munculnya berita penculikan Ahmad Yani. Saat itu, ada 2 organisasi yang memiliki pengaruh besar di Indonesia, yaitu anti komunis dan PKI, Soekarno lebih condong ke PKI demi politik keseimbangan.
Januari 1966, untuk menghancurkan gerakan anti-komunis, Soekarno menaikkan harga-harga sasarannya untuk membuat masyarakat khawatir dan lupa tujuannya untuk menumpas PKI. Mahasiswa UI saat itu bergabung menjadi satu dengan tujuan menghancurkan PKI, tetapi Soe Hok Gie menilai harus ada keseimbangan ekonomi dan tidak boleh banyak menuntut, jika tidak akan terjadi 'Chaos'. Februari 1966, Soekarno menyatakan untuk tidak membubarkan PKI dan tidak menurunkan harga, sehingga puluhan mahasiswa kembali berdemo tetapi dihentikan oleh ABRI. Dimana organisasi anti-komunis juga bergerak yang salah satunya menangkap orang-orang yang berhubungan dengan PKI dan salah satu yang tertangkap adalah Han, teman Soe Hok Gie. Di Bali terdapat peristiwa pembunuhan bagi mereka yang dianggap PKI, total korbannya adalah 80.000 jiwa. Walaupun situasi sudah genting tetap saja Soe Hok Gie menulis apa yang ada dipikirannya termasuk apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa Bali tersebut, sehingga banyak orang yang menjauhinya. "lebih baik saya diasingkan dari pada menyerah pada kemunafikan" itulah kata-kata yang diucapkan di tengah orang-orang yang mulai mundur dalam perjuangan. Soe Hok Gie mulai diincar oleh orang-orang yang tidak senang dengan pemikirannya. Soe Hok Gie meninggal pada 16 Desember 1969, Semeru-Jawa Timur, Indonesia. Saran kepada pembaca adalah kita harus berani seperti Soe Hok Gie dan menentang dengan tegas apa yang menurut kita tidak patut dilakukan, bukan hanya duduk diam di tempat mengikuti alur.
FILM LASKAR PELANGI
FILM LASKAR PELANGI
Pemain : Ikal (Zulfani), Lintang (Ferdian), Mahar (Veris Yamarno), Ibu Muslimah (Cut Mini), Pak Harfan (Ikranagara), Pak Mahmud (Tora Sudiro), Zulkarnaen (Slamet Rahardjo), Bapak Ikal (Mathias Muchus), Ibu Ikal (Rieke Diah Pitaloka),Ikal Dewasa ( Lukman Sardi ), Lintang Dewasa (Ario Bayu), Pak Bakri (Teuku Rifnu Wikana), Bapak Lintang (Alex Komang), Istri Pak Harfan (Jajang C.Noer), Ayah A Ling (Roby Tumewu), Kucai ( Yogi Nugraha), Syahdan (M. Syukur Ramadan), A Kiong (Suhendri), Borek (Febriansyah), Trapani (Suharyadi), Harun (Jefry Yanuar), Sahara (Dewi Ratih Ayu), Flo (Marcella), A Ling (Levina)
Produser : Mira Lesmana
Sutradara : Riri Riza
Durasi : 125 Menit
Sinopsis : Sebuah film yang merupakan adaptasi dari sebuah novel berjudul "Laskar Pelangi" karya Andrea Hirata. Berawal dari Ikal yang diperankan oleh Lukman Sardi ( anak asli Pulau Belitong ) yang berkunjung ke kampung halamannya. Ia mengantarkan cerita pada masa kecil di pulau tersebut, cerita tentang pertama kalinya ia masuk sekolah SD Muhammadiyah. Kelas baru yang berusaha dibuka oleh 2 orang guru yang hebat bu Muslimah & pak Harfan, sekolah yang memiliki syarat untuk membuka sekolah tersebut dimana harus memiliki 10 orang murid. Saat itu masih hanya 9 orang, kemudian harun yang menyelamatkan anak-anak yang ingin bersekolah sebagai siswa yang ke-10. Maka terbentuklah Laskar Pelangi dari 10 orang murid itu yang terdiri dari Ikal, Lintang, Mahar, Borek, A-Kiong, Kucai, Syahdan, Borek, Trapani, Sahara dan Harun.
5 tahun bersama bu muslimah, pak harfan, dan ke-10 anak Laskar Pelangi itu banyak melawati aral melintang. Namun dengan keunikan dan keistimewaan anak-anak tersebut membuat alur cerita lebih seru.
Banyak cerita yang membuat saya tertawa, seperti saat adegan ikal yang jatuh cinta kepada a-ling, hanya melihat tangan a-ling hatinya langsung berbunga-bunga. Saat mahar menghibur menghibur ikal dengan nyanyian bunga seroja dan diiringi tarian anak-anak laskar pelangi, itu merupakan adegan yang membuat saya tertawa terbahak-bahak. Adegan yang menurut saya menegangkan adalah saat lomba cerdas cermat, dimana seorang lintang yang telat karena di perjalanan ada seekor buaya yang berada di jalan sehingga ia tidak bisa lewat.
Film ini berceritakan tentang bagaimana anak-anak di salah satu pulau terindah di Indonesia. Dimana mereka harus berjuang untuk bersekolah. Cerita ke-10 anak Laskar Pelangi yang terus berjuang untuk menggapai mimpi mereka, serta keindahan persahabatan yang menyelamatkan hidup manusia.
Kelebihan : Menurut saya ini merupakan film yang sangat bagus yang diambil dari sebuah novel cerita anak negeri di pulau terindah di Indonesia yaitu Pulau Belitong. Film ini juga bisa mempromosikan pulau tersebut, bahwa negeri kita ini mempunyai pulau yang sangat indah. Alur ceritanya juga bagus sangat natural dengan kepolosan ke-10 anak Laskar Pelangi tersebut.
Kekurangan : Untuk kekurangan mengenai film ini menurut saya tidak ada. Namun bila kita membaca novelnya, memang banyak adegan yang tidak ditayangkan di film ini.
Saran : Saya sangat mengharapkan ada lebih banyak film-film seperti Laskar Pelangi ini. Karena film-film seperti ini akan meningkatkan moral anak-anak bangsa kita bahwa kita itu BISA jika mau BERJUANG.
Kesimpulan : Menurut kesimpulan saya film ini sangat mendidik anak-anak yang ada di daerah dapat semangat untuk mengejar impiannya.
Sutradara: Olla Ata Adonara
Penulis: Dyah Kalsitorini
Pemain: Tika Bravani, David Chalik, Cok Simbara, Della Puspita, Rara Nawangsih, Egy Fadly, Inne Azri, Malvino Fajaro
Sinopsis Mengenai Film Nyai Ahmad Dahlan 2017
Film biografi Indonesia berjudul "Nyai Ahmad Dahlan" ini merupakan film yang bercerita tentang kisah dari seorang wanita bernama Siti Walidah ( Tika Bravani ) yang lebih dikenal dengan 'Nyai Ahmad Dahlan. Sejak kecil Siti Walidah memiliki impian untuk menjadi seorang yang pintar, Siti Walidah lahir pada tahun 1872 di sebuah Kampung Kauman. Pada saat zaman tersebut, perempuan memiliki pergaulan yang sangat terbatas dan tidak belajar di sekolah formal. Setelah dewasa, Siti Walidah menikah dengan seorang pria bernama KH Ahmad Dahlan ( David Chalik ) dan dengan menjadi istri beliau menjadi Nyai Ahmad Dahlan. Kyai Ahmad Dahlan merupakan seorang sosok lelaki yang memiliki pikiran maju dan mendukung istrinya untuk bersama membangun bangsa Indonesia. Kyai Ahmad Dahlan bersama dengan Nyai Ahmad Dahlan juga dengan segala kecerdasannya ikut membangun dan membesarkan Muhammadiyah. Karena pergaulan dari Nyai Ahmad Dahlan bersama dengan para tokoh-tokoh, baik dari tokoh dari Muhammadiyah dan juga tokoh pemimpin bangsa lainnya dan kebanyakan dari teman seperjuangan suaminya, wawasan dan pandangan dari Nyai Ahmad Dahlan menjadi sangat luas. Tokoh-tokoh pemimpin bangsa tersebut tidak lain adalah Bung Karno, Bung Tomo, Jenderal Sudirman, KH Mas Mansyur dan lain-lainnya. Setelah mendirikan dan membesarkan Muhammadiyah, Nyai Ahmad Dahlan turut merintis sebuah kelompok pengajian demi pengajian untuk memberikan ilmu keagamaan bagi para semua wanita hingga terbentuknya organasisai yang dikenal dengan 'Aisyiyah'. Pada zaman tersebut, tidak mudah untuk membesarkan organasasi wanita, Nyai Ahmad Dahlan bersama dengan para pengurus Aisyiyah harus berjuang memajukan perempuan yang bermanfaat bagi keluarga, bangsa dan negara. Menurut Nyai Ahmad Dahlan, bahwa wanita juga sepadan perannya dengan lelaki namun tidak boleh sampai melupakan fitrahnya sebagai seorang wanita. Pada saat Jepang masuk ke Indonesia, beliau menentang para penjajah Jepang dengan melarang para warga untuk menyembah dewa matahari. Bersama dengan para warga, beliau mendirikan dapur umum bagi para pejuang untuk melawan para penjajah. Kehidupan bersama dengan KH Ahmad Dahlan, Nyai Ahmad Dahlan juga saling mendukung dalam hal membangun bangsa tergambar begitu indah. Dengan cinta menjadi landasan dalam menjalani hidup dan perjuangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar